Di atas motor itu Marko eratkan pelukannya pada Haidar yang tengah fokus menyetir. Ia bisa rasakan hawa panas hadir disana, ketika yang dibonceng sedang tertidur pulas di pundaknya.
“Bi, udah sampe. Ayo bangun, tidurnya nanti lanjut di kamar.” Lembutnya ketika ia berhasil memarkirkan motor di halaman depan rumah mereka, masih dalam posisi duduk karena Abian belum juga bangun.
“Hmmm,” Suaranya terdengar berat, membuat hati yang lebih muda terasa nyeri. “Mau cepet dipeluk, nggak? Ayo nurut,” Ia menepuk-nepuk paha itu pelan hingga akhirnya Marko bangun dan turun dari sana.
Arka tengah berada di day care, sebentar lagi sudah waktunya untuk pulang. Ia mencoba mengatur urutan mana yang harus dilakukannya terlebih dahulu, apakah; pertama, membuat makanan untuk Abian atau kedua, menjemput Arka di tempat penitipan.
Dan ia pun akhirnya memilih untuk membuat cream soup terlebih dahulu untuk sang suami. Katanya perut Marko terasa kurang enak, ia minta untuk tidak dibuatkan sesuatu yang terlalu berat. Maka dari itu Haidar dengan gesit menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sup sederhana itu.
Walau hanya dari produk kemasan, ia juga memasukan beberapa bahan seperti sayur dan juga penyedap supaya makanan itu lebih lezat. Tak lupa menyajikan roti panggang untuk pendamping, Haidar berhasil menyelesaikan masakannya dalam 15 menit!
Terdengar suara kenop pintu terbuka, Marko akhirnya keluar dari kamar ketika sudah selesai mandi. Ia lihat punggung kecil itu tengah sibuk di dapur dengan seragam kantornya, membuatnya merasa sedikit tidak enak.
“Bandel banget dibilang jangan keluar kamar dulu, ish.” Omelnya ketika ia merasakan sebuah tangan melingkar di sekitaran perutnya, “Di makan ya, Bi. Gue jemput Arka dulu abis ini,”
Yang lebih tua cemberut. Ia merungut sedih ketika mendengar itu. “Nggak ada yang bisa anter emang di daycare?”
“Enggak. Lebih tepatnya, gue enggak mau.” Setelah mengaduk untuk yang terakhir kali, ia pun akhirnya berbalik dan mempertemukan netra masing-masing. Haidar tertawa dalam hati ketika melihat mata sayu yang dipaksakan terbuka itu.
Ia mengelus permukaan dahi sang suami lembut, “Pusing, nggak?” Marko kembali cemberut, lalu mengangguk. “Yaudah, tidur ya? Masih kuat enggak kalo makan dulu?”
“Masih, tapi pengen ditemenin...” Lirihnya, membuat Haidar merasa tidak tega untuk meninggalkannya.
“Tapi Arka harus dijemput, Abian,”
“Apa nggak boleh untuk hari ini aja pulangnya dianterin sama Nanny?”
“Bukan enggak boleh, guenya yang takut-“
“They’re good people, nggak mungkin niat jahat sama Arka. Please?”
Haidar menghela nafasnya, “Okey, give me a minute. I’ll call them.”
Marko tersenyum sumringah, lalu memeluk hangat suaminya. “Thank you. I love you.”
“Sekarang, balik lagi ke kamar ya? Nanti gue nyusul sambil bawa supnya.”
Makan siang selesai, kini keduanya tengah nyaman beristirahat di atas kasur empuk kamar mereka. Arka sudah pulang sepuluh menit lalu, dan kini bocah mungil itu tengah tertidur di kamarnya setelah lelah seharian bermain di tempat penitipan anak. Sangat pengertian, anak itu.
Haidar tersenyum lega ketika mendengar suara dengkuran ringan keluar dari hidung lelaki itu. Ia melihat sejenak ke arah suaminya, yang kini sudah terlelap berkat paracetamol dan juga beberapa obat lain yang sudah ditegaknya. Ia kemudian kembali menelusupkan kepalanya ke leher panas itu, lalu menangis.
Kadang, ia merasa bersalah ketika Abian jatuh sakit seperti ini. Harusnya, ia lebih memperhatikannya. Harusnya, ia lebih bawel agar sang suami bisa nurut.
Tetapi sebagai sesama lelaki, ia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Marko sampai memaksakan diri bekerja dari pagi hingga larut malam. Mereka sama-sama punya tujuan yang ingin dicapai; jangan sampai membuat hidup Arka susah.
Berkali-kali ia coba katakan bahwa sebenarnya sudah lebih dari cukup gaji yang mereka kumpulkan itu, buktinya ia saja bisa menabung untuk membeli sebuah motor baru. Tapi Marko bilang, katanya, “Kalau suatu hari nanti Arka punya mimpi yang tinggi, seenggaknya gue bisa jadi pendukung dia. Entah secara financial, moral, apapun. Gue mau semuanya siap, tanpa perlu sana-sini cari lagi. Iwant the best for him.”
Ia kembali sesegukan disana, memikirkan hal itu malah membuatnya semakin merasa bersalah. Abian sudah bekerja keras selama hidupnya, ia ingin lelakinya itu istirahat dan mulai menikmati hidup bersama dirinya dan juga Arka.
“Bi, jangan sakit. Jangan maksain diri lagi, gue sedih. Maafin gue yang gak becus ngurus lo,”
Marko sedikit bergerak tidak nyaman ketika merasakan bajunya ditarik, “Hmmm? Dar?”
Ia mengerjapkan mata beberapa kali, hingga akhirnya tersadar ketika melihat Haidar tengah menangis sesegukan di dadanya.
“Sayang? Kenapa?”
Ia menoleh, lalu mencoba bangun perlahan sambil menarik Haidar ke pelukannya. “Gue kira lo keluar, ternyata masih disini. Kenapa nangis, Dar?”
“Gue aja yang sakit, sini. Jangan lo,” Ia cemberut, pipinya luar biasa merah seperti tomat. “Hahaha, kok gitu?”
“Maafin gue ya Bi, nggak becus ngurusin lo. Maaf lo harus sakit kaya gini, sakit ya? Pusing? Mana yang sakit?” Ia telaah tiap-tiap lekuk wajah sempurna itu, lalu kembali menangis.
“Enggak. Udah enggak ada yang sakit, kan udah dipeluk sama Haidar. Marko udah sembuh.” Ia tersenyum dalam suara beratnya. Walau sebenarnya ia masih sangat pusing, karena baru saja tertidur selama sepuluh menit.
“Marko, i don’t deserve you. Udah ya? Jangan terlalu maksain diri lagi, Arka juga pasti maunya hidup dia biasa-biasa aja kok. Nggak perlu luar biasa apalagi mewah, Bi. Biasa aja, ya?”
Marko tersenyum lagi, ia tahu maksud dibalik kalimat yang Haidar katakan. Ia usap surai coklat itu lembut, lalu berkata “Tapi gue yang pengen, Dar. Arka mungkin nggak mau, tapi gue pengen. I will give him everything, bahkan kalau itu dunia sekalipun. It’s okay, i’m fine tho. Namanya juga manusia, ada titik batasnya. Wajar kalo sakit, kalo enggak gue bukan manusia dong.”
Ia terkekeh disana, membuat Haidar semakin menangis kencang. “Jangan nangis, Haidar. Gue cuma demam, bukan sakit parah. Udah gih sana mending mandi terus ganti baju, nanti kalau malah ketularan gimana? Bahaya si Arka nggak ada yang urus,”
“Gue tuh kadang suka heran sama isi kepala lo, Bi. Kenapa selalu orang lain yang jadi nomor satu padahal yang seharusnya yang diprioritasin itu ya diri lo sendiri. Kalo lo kenapa-kenapa, yang sedih kan gue sama Arka. Kita kehilangan lo, kehilangan dunia kita.”
Mendengar itu, hatinya sedikit terenyuh. “Lo pengen hidup Arka dan hidup gue bahagia, tapi harus ngorbanin lo banting tulang sampe sakit? Jangan harap gue izinin, anjing. Keluar ajalah udah, jangan kerja mending kita cuddle sampe bego,”
“Bahagia gue kan kalian. Inget itu.”
Haidar mengelap area hidungnya yang basah, lalu menghela nafasnya. “Sini, peluk lagi. Pindahin sakitnya ke gue,”
“Idih, enggak. Udah sana mending mandi, gue mau tidur lagi.”
“Sini, ish!”
“Enggaaaaak.”
“Lo sakit, gue sakit. Satu sakit, semua sakit.”
“Arka juga?”
“JANGAN! PUSING GUE NGURUS DUA BAYI.”
“Bayi teriak bayi.”
“Sini, Marko. Peluk dulu,” Ia cemberut lagi, “Kalo ketularan beneran gue enggak tanggung jawab.” Ia menyerah, akhirnya pun menyambut hangat rumahnya pulang ke tempat paling hangat yang ada.
“Imun lo sama imun gue masih bagusan gue, tau, Dar. Kalo salah satu dari kita ada yang kena virus, kayanya lo yang mati duluan deh.”
BUGH!
“AKH BANGSAT, DAR! SAKIT ANJIR PUNGGUNG GUE?????”
“SEMBARANGAN KALO NGOMONG!”
“Heheheh, ya emang?”
“Ya berarti lo harus siap-siap aja liat belahan jiwa lo mati duluan. Bisa, emang?”
“Enggak. Enggak akan pernah.” Ia eratkan pelukan itu, mendadak lupa dengan jarak karena takut kalau harus benar terpisah.
“Pergi bareng aja kita, biar adil.”
“Ah udahlah makin ngaco gini ngomong sama orang sakit!” Ia lepaskan pelukannya itu, tapi ditahan oleh yang lebih tua.
Cup cup cup.
“ANJINGGGGG STOPPPP GAUSAH CIUM-CIUM NAJIS!!!!! ABIANNN!!!!”
“Suruh siapa nantangin pengen peluk mulu, nih gua tularin noh penyakitnya.”
Semoga lekas sembuh, Abian!
ditulis di Bandung, pukul sepuluh. —leobabybear 🌹
hai. apakabar?