Hari Bersamanya

Alifian Dwipura terlihat lebih tampan hari ini. Lelaki yang akrab dipanggil Piyan itu terlihat rapi dengan setelan santai favoritnya—sebuah kaos putih polos dan juga celana jeans skinny lusuh kesukaannya. Tak lupa sepatu converse 70's sebagai pelengkap outfit of the day-nya hari ini. Ia melirik ke arah handphone yang tengah diisi daya itu, jam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat. Garis bibirnya tak henti melambung tinggi, membayangkan kegiatan yang akan ia lakukan hari ini.

Setelah dirasa cukup, ia segera mengenakan masker dan juga jaketnya. Ia beralih menuju gawainya yang daya baterainya itu belum penuh, dan dengan segera menelfon seseorang.

“Dikaaaa,”

“YaAllah, piyaaaaan. Sabar?”

“Emang piyan mau ngomong apa gitu?”

“Pasti mau nanya 'udah siap belum?' iya, 'kan?”

“Ih dika cenayang ya?”

Lelaki disebrang sana hanya bisa menahan senyumnya, “Iya, suka-suka piyan deh. Piyan udah siap emang?” Sahutnya sambil kembali melihat lemarinya yang hanya penuh dengan warna hitam dan putih itu. Ia tengah dilanda bingung, pakaian apa yang kiranya dapat terlihat bagus untuk acara jalan-jalan santainya dengan Piyan hari ini. Dika sebenarnya ingin meminta bantuan sahabatnya, Tria, namun niat itu ia urungkan karena entah mengapa hati kecilnya tiba-tiba berkata, “Ayo, Dika. Percaya diri aja, jangan takut.” Ia cemberut. Haruskah ia percaya apa kata hatinya kali ini?

“Dikaaaa?”

“Eh? Iya?”

“Dih, bengong ya?”

“Hehehe. Tadi ngomong apa?”

“Gue udah siap. Mau gue keatas apa nunggu di ruang tamu?”

“Nunggu diruang tamu aja. Bentar lagi gue selesai kok,” Balasnya ketika tangan kanannya meraih sebuah kemeja kotak-kotak andalannya, sebuah kemeja yang selalu ia gunakan di hari Kamis saat pergi kuliah.

“Oke. Jangan cakep-cakep ya,”

“Dih, kenapa?”

“Nanti pada suka,”

“Basi gombalan lo, yan. Udah kebal gue,”

“Jahat bener,” Piyan memanyunkan bibirnya disebrang sana. Walau Dika tidak melihatnya, lelaki yang lebih tua satu tahun itu tau bahwa anak itu tengah cemberut.

“Udah ya, dadah,”

“Daaah,”

Piyan matikan sambungan telfon itu, lalu dengan segera ia bangkit dan berjalan keluar menuju ruang tamu kostannya itu. Ia kembali berkaca lewat kamera telfon genggamnya itu—kalau-kalau rambutnya berantakan.

“Ngaca wae si kasep. Mau kemana atuh?” Sebuah suara nyaring namun menyenangkan itu lolos memasuki gendang telingan Piyan. Ia menoleh, dan mendapati sang Ibu Kos tengah menyapu disana.

“Mau kencan, Bu. Doain yah,” Piyan terkekeh, merasa geli dengan jawabannya barusan.

“Sama Dika?” Godanya. “Ih si ibu mah apal wae ah,

“Anak kesayangan Ibu eta, awas aja kalau digantungin kaya yang lama. Si Dika bukan jemuran!” Cibir si Ibu yang kemudian disambut kekehan Piyan.

“Parah si Ibu, kok ada anak kesayangan segala sih. Harusnya semua yang nge-kost disini disama-ratakan dong, bu!” Protesnya, walau Piyan tau itu hanya bercanda, ia hanya senang menyahuti Ibu Kostnya.

“Si Dika pengecualian. Dia special, makanya harus ibu jaga,” Mendengar itu Piyan terdiam sebentar. Bahunya dengan segera naik—pertanda tak peduli lalu sedetik kemudian kepalanya didorong dari arah belakang oleh seseorang.

“Kuncan kencan.”

Piyan yang tengah mengusap belakang kepalanya itu langsung terkesiap ketika netranya melihat figur Dika—yang walau wajah bagian bawahnya tertutup masker itu, ia masih bisa menarik kesimpulan bahwa lelaki itu terlihat... sangat menawan.

Buset siapa nih? Cakep amat,” Yang lebih muda dengan segera berdiri, berhadapan dengan Dika yang tengah memutar bola matanya—pertanda kesal.

“Lo cuman bisa liat mata gue, yan. Cakep dari mana sih elah?”

“Justru itu, Dika. Padahal mata lo doang yang keliatan tapi lo beneran cakep banget di mata gue,” Sahut Alifian—Buaya ITB—Dwipura itu tanpa jeda.

“Mata lo aneh, udah ayo buruan. Takut keburu ujan,” Ia tarik lengan Piyan menuju parkiran. Yang ditarik hanya membeku, tak percaya dengan apa yang tengah dirasakannya.

Buset dah ini laki kemarin kentara banget gamau dideketinnya, tapi hari ini kok ngegas banget? Batin Piyan berkata.

“Helm lo mana?” Tanya Piyan saat lelaki itu tengah memasangkan helm kebanggaannya.

“Ini,” Dika angkat ke permukaan helm pemberian Dealer motornya itu. Helm sejuta umat.

“Yaudah buru pake, ngapa dipegang-pegang?” Tanya Piyan. “Ntar aja pas udah di jalan raya,” Jawabnya.

“Biar apa kaya begitu?”

Dika terkekeh, “Ngga biar apa-apa, Piyan. Pengen aja, udah buru ih,” Ia dorong lelaki yang lebih muda satu tahun itu untuk segera menyalakan mesin motornya.

“Ck,”

Piyan dengan segera mengambil helm yang ada di genggaman Dika itu, dan memasangkannya cepat. Yang tua terkejut.

“Bilang aja pengen dipakein. Pake alesan segala, dasar. Bilang 'Gue pengen dipakein, yaaan. Peka dong,' Click. Suara itu terdengar.

Safety first, Dika. Alesan lo ngga masuk akal,”

Dika masih mematung. Padahal gue ngga beralasan apa-apa, loh? Batinnya berkata. Saat Piyan sudah siap dengan motornya, Dika dengan cepat naik dan tak lupa kembali menoyor pelan kepala adik tingkatnya itu.

“DIKA SAKITTTTT!”


Hening. Keduanya nyaman dalam diam saat sudah sampai di daerah Braga, dimana banyak para pelukis-pelukis handal menjual karyanya. Mereka celingak-celinguk canggung, mencoba terlihat serius melihat jajaran lukisan mengaggumkan itu.

“Lo nyari lukisan yang gimana?” Dika akhirnya buka suara. Piyan yang tengah melihat lukisan-lukisan itu diam.

“Buat emak-emak bagusnya yang gimana?” Tanya lelaki itu kembali. Dika memutar bola matanya.

Yang lebih tua sebenarnya tengah gelisah, ia terlalu mengambil banyak resiko kali ini. Kebodohan macam apa lagi yang akan ia lakukan hari ini? Ck, sosoan banget lu, Ka, ngeiyain ajakan beli luksian. Bedain aja kaga bisa, Batinnya tertawa remeh.

“Yang mana ajalah. Sama aja,” Piyan akhirnya menyerah dari menyeleksi beragam lukisan itu sampai akhirnya berhenti pada sebuah lukisan laut.

“Keren nggak?” Tanya Piyan pada Dika yang berdiri disampingnya. Dika mematung. Batinnya tersenyum miris.

Gelap, yan...

“Atau yang ini? Hahahaha,” Lelaki itu tertawa saat ia menunjuk sebuah lukisan ikan koi yang sangat sangat sangat sudah biasa ada di ruang tamu keluarga.

“Biasa banget yang itumah. Yang itu aja, gimana?” Dika menunjuk sebuah lukisan abstrak yang terpampang di ujung sana.

Piyan terenyuh. Bulu kuduknya seketika berdiri.

“Abstrak?” Piyan menyahut.

“Iya, keren ngga? Menurut gue bagus, sih,” Sahutnya lagi saat ia berjalan mendekat ke lukisan itu.

“Wah, akangnya paham seni, ya?” Sang pelukis itu menghampiri Dika, “Eh engga, Pak. Saya kebetulan emang jurusan interior suka gambar juga cuman ngga paham-paham banget soal seni,” Balasnya.

“Oke, saya mau yang ini,” Tanpa berpikir panjang Piyan dengan segera setuju untuk membeli lukisan abstrak pilihan Dika itu.

“Bawanya gimana, yan?” Tanya Dika yang tengah kebingungan itu.

“Lo yang megang lah,” Jawabnya enteng lalu terkekeh.

“Becanda, mau gue gojekin aja langsung dari sini, kan masih ada acara lagi sama lo,” Lelaki itu mengeluarkan dompetnya dan dengan segera membayar lukisan itu. Tak perlu tahu nominalnya, biar Piyan, Dika dan si penjual saja yang tahu.

“Tenang, acara kencan kita masih panjang.” Ia menoleh ke arah Dika sambil mengangkat alisnya dua kali. Melihat itu Dika hanya bisa menatapnya sebal sambil menggelengkan kepalanya.

“Mau kemana, yan?”

“Tempat yang ngga mainstream kemana?”

“Mana gue tau. Gue 'kan ngga pernah main,”

“Tahura mau, nggak?”

Pft,” Yang lebih tua tertawa.

“Mau ngapain? Nyari apaan lo di hutan?”

“Dih, kasian amat yang gapernah main. Ada tempat ngopinya sekarang Tahura tuh, bukan hutan sama Gua Belanda doang.” Cibir Piyan.

“Kirain mau uji nyali siang-siang,”

“Ayo,”

“Nyawa cuman satu, ngga usah aneh-aneh.”

Ck, healing. Ayolah jalan-jalan bentar kedalemnya,” Mohon lelaki kelahiran Februari itu. Matanya berbinar, bak seperti anak anjing yang tengah memohon agar keinginannya dikabulkan. Dika terkekeh, walau lewat matanya itu Piyan hanya terlihat abu-abu, hebatnya figur itu berhasil membuat degup jantung Bayu Mahardika bergejolak. Tanpa tahu rupa yang sebenarnya adik tingkat itu seperti apa, betapa indahnya rambut lurus itu, warna apakah bola matanya, apakah pipi tembamnya itu tengah bersemu merah, ia tidak bisa melihat itu.

“Dika,”

“Hmm?”

“Kebiasaan banget bengong mulu. Jangan ngelamun ah mau ke Tahura loh kita?” Piyan rangkul lelaki itu, membawanya berjalan beriringan dengan langkah kakinya. Yang lebih pendek dua senti itu terpaku.

“Dika, denger Piyan ngga?”

“Iyaa, bawel. Rese dah,”

Piyan terkekeh, “Dika.”

“Apalagi, Piyan?”

“Inget-inget mau ngomong apa ke gue,”


Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda adalah destinasi pilihan Alifian Dwipura setelah kegiatan memilih lukisannya tadi. Saat ia berkata ingin datang kesini untuk healing, ia tidak berbohong. Ia benar-benar ingin istirahat sejenak dari hiruk pikuk perkotaan.

Dika yang sedari tadi hanya mengekori Piyan pun tidak banyak protes. Mau mengeluh pun, tidak tau harus mengeluh apa. Mungkin mengeluarkan uang 10 ribu untuk masuk Tahura lebih baik daripada mengeluarkan 200 ribu untuk main di Trans Studio. Karena jauh di lubuk hatinya, main ke alam adalah healing paling ia sukai.

Langkah kaki keduanya berjalan seirama, tidak ada yang saling mendahului atau saling melambat. Sepatu mereka melangkah beriringan seraya jalanan Hutan Raya itu mulai menjauhi pintu masuk.

“Takut, ngga?” Tanya Piyan saat keduanya sampai di Gua pertama, yaitu Gua Jepang.

Takut, yan. Di mata gue semuanya gelap soalnya...

Dika tersenyum remeh, “Jangan mancing buat sompral ya lo. Diem,”

Piyan terkekeh, lagi-lagi netranya hanya fokus menatap wajah Dika yang padahal tertutup masker.

“Ayo jalan,” Dika dorong punggung lebar itu. Yang didorong hanya bisa tersenyum, bingung dengan perasaan yang tengah dirasakannya saat ini. YaAllah, apa boleh Piyan sebahagia ini? Batinnya berkata.

“Ada gazebo. Mau ngobrol disana?” Tawar Piyan saat mereka sudah berjalan cukup jauh. Sekedar informasi bagi kalian yang belum pernah berkunjung ke Tahura, jika kalian terus menelusuri jalan setapak ini kalian akan sampai ke Lembang. Keren, bukan?

“Ngga jadi di tempat ngopi tadi?” Tanya Dika sambil ngos-ngosan. Tanpa sadar keduanya sudah berjalan jauh, melewati tanjakan yang cukup banyak.

“Jauh lagi, mending disini aja ngobrolnya. Mumpung gaada orang yang ganggu, disini adem ditemenin suara dari curug,” Sahut Alifian—Bawel—Adipura yang tengah melepas sepatunya. Dika yang melihat itu lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya pasrah. Lagi pula, kalau ia harus kembali sendirian rasanya... Ugh. Bisa, sih sebenarnya. Namun, ia tidak berani. Karena semuanya... gelap.

Hening.

Keduanya tengah tenggelam oleh suara dari air terjun di samping mereka.

“Senyum, Kang Dika.” Piyan buyarkan lamunan Dika yang tengah sibuk dengan dunianya itu.

“Muka lo tuh galak, tau nggasih?” Celetuknya.

“Makanan sehari-hari. Udah biasa,” Balasnya sambil merapatkan jaketnya.

“Dika,”

“Piyan,”

Keduanya saling adu tatap. Tawa renyah keduanya terdengar setelahnya. Merasa konyol, akhirnya Piyan buka suara lebih dulu.

“Asik jodoh. Sok, Dika duluan. Mengalah sama yang lebih tua,” Ia sodorkan tangan kanannya ke arah Dika, sambil tangan kirinya ia taruh di perut dan tak lupa juga lelaki itu menunduk.

Dika tertawa, lagi. Dika tersenyum, lagi.

“Jangan nyebelin dulu lah, yaaan. Heup ah,

Ia rapikan rambutnya, membuat yang tengah duduk dihadapannya mematung.

YaAllah, cakepnya...

“Yan,”

“Hmmm?”

“Gue ngga tau sih harus sedih apa seneng, tapi... Makasih ya,”

Piyan mengerutkan dahinya, “Makasih karena?”

“Karena udah nyuruh gue ngaca,”

Piyan mematung.

“Selama gue hidup ngga ada yang pernah nyuruh gue ngaca, Yan. Karena mereka tau, mau segimanapun gue ngaca, di mata gue semuanya bakal sama aja. Ngga ada bedanya,” Ia tersenyum kecut.

“Gelap, Yan. Sama seperti hari-hari yang udah lewat, semuanya gelap di mata gue. Ngga ada yang special. Semuanya biasa aja di mata gue,” Suaranya mulai bergetar.

“Tragedi salah ngambil sambel, minum nutrisari anggur punya lo. Itu bukan sengaja. Emang gue-nya aja yang ngga bisa liat,”

“Lo bilang gue cakep, percuma. Gue ngga bisa liat itu, Yan. Gue ngga tau rambut gue warnanya apa, mata gue warna apa, baju yang gue pake warna apa, apakah gue beneran cakep seperti kata lo—gue ngga tau,” Ia menunduk.

“Orang lain saat tau gue kaya gini... langsung pada menjauh, Yan. Bilangnya gue aneh lah, freak, caper. Dikiranya gue bercanda, hahaha. Sinting,”

“Tapi... lo beda. Gue yakin lo pasti udah ngeh dari awal, 'kan? Harusnya lo ngejauh kaya yang lain, tapi... lo tetep disini.”

“Kenapa, Piyan? Gue beda, loh. Gue ngga bisa lihat apa yang lo lihat. Dunia lo terlalu berwarna buat gue yang gelap,” Finalnya. Mendengar itu, Piyan tersenyum.

“Dika,” Yang lebih muda itu maju beberapa langkah, sampai akhirnya tangan besarnya bisa meraih tangan dingin nan putih itu.

“Rambut dika warnanya hitam,” Ia elus helaian rambut hitam legam itu.

“Mata Dika... warna coklat,” Piyan tatap netra yang entah sejak kapan sudah mulai berkaca-kaca itu. Setetes air mata berhasil lolos dari sana, yang dengan cepat Piyan hapus jejak itu.

“Pipi Dika merah, panas. Lagi malu, ya?” Godanya saat tangan itu perlahan turun menelusuri pipi gemas Dika yang tengah bersemu. Yang tengah membeku itu mendecih.

“Kemeja Dika hari ini warnanya item putih. Bagus,”

“Kaosnya warna item, celananya warna item. Maskernya warna putih,”

“Piyan, lo tau kan maksud gue bukan itu—”

“Dika,” Potongnya.

“Di mata gue, lo sempurna.” Ia genggam tangan itu.

“Ngga ada yang perlu lo khawatirin selama ada gue disisi lo, semuanya aman.”

“Piyan—”

“Lo cakep.”

you were beautiful, Dika.”

Dika menyerah. Air matanya kembali lolos keluar dari sana tanpa seizinnya. Lelaki itu mencoba untuk kembali mengatakan sesuatu pada Piyan, namun entah lidahnya terasa kelu. Serasa batinnya sudah lelah harus terus menolak apa yang lelaki itu katakan.

“Gapapa, Dika. Jangan takut gue pergi kaya yang lain, tenang. Gue ngga begitu, kok. 'Kan udah dibilang gue bukan playboy,” Kekehnya. Dika tatap netra itu. Sarat matanya memang terlihat serius. Tidak ada sarat main-main disana.

“Dika mau ngga?”

“Mau apa?”

“Nerima Piyan,”

Dika melotot.

“Nerima Piyan yang mau nemenin Dika buat lihat dunia lebih luas lagi.” Piyan tersenyum.

“Parahsih kalau ditolakmah. Semakin melekat title sadboy padaku,” Lelaki itu berpura-pura cemberut layaknya anak kecil.

“Piyan ngga akan nyesel?”

Ia menggeleng dengan penuh keyakinan.

“Kenapa juga harus nyesel kalau orangnya secakep secantik seindah setampan serupawan Bayu Mahardika?”

Lelaki itu terkekeh geli karena perkataannya barusan. Dika yang mendengar ujaran itu ditujukan untuknya kembali tertawa lepas sambil memukul pelan lengan Piyan.

Misinya, berhasil.

Piyan dan Dika, Selesai.

ditulis di bandung, hari senin pukul setengah satu dini hari. —leobabybear