Hati-Hati di Jalan. —haidar dan marko.

what if, they didn't make it. an alternative ending.

Pada ketinggian tiga puluh lima ribu kilo meter diatas permukaan laut, lelaki itu mengeratkan pelukannya kala merasakan atmosfer kurang menyenangkan yang tiba-tiba saja bergejolak di dalam dadanya. Sepuluh jam telah berlalu, dan kini, kurang dari lima jam lagi hingga akhirnya ia akan tiba di Amsterdam.

Merasa jengkel karena harus melewati masa karantina yang lebih panjang dari biasanya, namun hari demi hari coba ia nikmati walau rindunya sudah setengah mati. Hingga tak terasa lima hari pun berlalu, akhirnya hari ini Marko diizinkan untuk keluar dari tempat karantina.

Rasa gugup dengan cepat menggerogoti lubuk hatinya. Akalnya sedang tidak mendukung untuk bekerja dengan sinkron hari ini. Maka dari itu yang lelaki itu lakukan saat ini adalah mengirim pesan kepada Haidar, memberinya kabar bahwa ia sudah sampai di rumah. Yang diseberang sana tentu terperanjat kaget, bisa dengan mudah Marko ketahui dari pesannya yang ditinggalkan begitu saja. Alamat sudah ia kirim sepuluh menit yang lalu, dan sebagai pendatang baru, yang ia lakukan saat ini hanyalah menunggu di sebuah kursi sederhana yang mempertontonkan kanal sebagai pemandangannya. Senyum canggung ia singgungkan kala menyadari bahwa kini ia benar-benar sudah sampai di Amsterdam.

Dari sebelah kirinya, ia bisa mendengar dengan jelas suara orang yang tengah kehabisan nafasnya—seakan habis berlari. Ia pun otomatis menengok, lalu tersenyum kala melihat presensi Haidar disana. Terlihat kacau seperti baru bangun tidur—celana tidurnya kusut, rambutnya berantakan, kaos tak berbentuk yang tertutupi oleh mantel tebal—Haidar Indra Atmajaya versi berantakan menyambut kedatangannya.

“Kok cepet bang-”

Bugh!!

Ucapannya terpotong kala Haidar segera merengkuh tubuhnya, menarik leher itu menuju bahunya. Ia ingat cuaca Amsterdam pagi ini adalah -10 derajat, namun pelukan itu berhasil menaikkan suhu disekelilingnya.

“Dar-”

“Ini beneran? Lo disini, Bi? Gue ngga mimpi?” Dengan cepat Haidar menjauhkan wajahnya dari sana, menangkup wajah Marko yang tengah tertutup masker. Yang lebih tua tekekeh, “Iya, ini gue.”

Oh, demi semesta dan seluruh isinya. Haidar kembali menarik Marko menuju pelukannya, ia lingkarkan tangannya di punggung kekasihnya. Mencium ceruk leher itu, lalu menangis.

“Bi... hiks-”

“Lo pasti takut banget ya, Dar? Maafin gue karena bikin lo nunggu lama ...” Haidar menggeleng, “Gapapa, Bi. Sumpah gapapa. Yang penting lo udah pulang.” Marko tersenyum kecut.

“Gue belom dapet asrama, jadi untuk sementara gue tidur di tempat lo nggapapa, ya?” Ucapnya lembut, sambil melepas pelukan itu. Dilihatnya mata sembap Haidar membuat hatinya ngilu. Ia sungguh diberkati hal yang luar biasa. Marko segera menghapus jejak air mata yang menggenang di pipi itu, lalu mencium bibir ranum Haidar cepat. Semesta marah, tapi Haidar dan Marko mana peduli?

Semesta 0 : Haidar Marko : 1.


“Hari ini kita ke Van Gogh, ya,” Sahut Marko kala keduanya tengah nyaman berbagi afeksi di kasur sempit kamar Haidar. Surai yang tengah diusap penuh cinta itu seketika menjauh, “Kok buru-buru amat?”

“Itu 'kan keinginan lo. Pergi ke Van Gogh bareng gue,” Jawabnya.

Haidar mengerutkan dahinya pertanda bingung. Ya benersih. Bisik hatinya. Tak mau ambil pusing, ia hanya mengiyakan ucapan itu. Menggenggam buku-buku jari kekasihnya dengan erat, lalu tersenyum.

I really love your hands, Bi.” Sahutnya sambil menautkan jemari dingin mereka. Haidar angkat tinggi-tinggi genggaman mereka setinggi angkasa, setinggi mimpi mereka satu tahun lalu yang berharap bisa hidup di negeri orang lalu dapatkan validasi yang selama ini begitu mereka dambakan. Sedetik kemudian lelaki itu kembali berkata, “Mulai sekarang, tangan ini gaboleh pisah.”

Haidar elus jemari itu, lalu membawanya turun kembali menuju dadanya. “I love you, Abian.”

Tak ada jawaban. Marko hanya membawa raga itu menuju dekapan hangatnya, lalu mengecup kepala itu singkat.

Maafin gue, Haidar.


Museum Van Gogh pukul dua siang telihat begitu lengang saat kedua anak adam itu sampai disana. “Cenayang ya lo? Kok keren, bisa sepi gini.” Ucap Haidar kala ia mengeratkan mantelnya.

“Cakep 'kan, Bi?” Ia menoleh ke samping kiri, dilihatnya Marko yang tengah termenung kala menatap Museum di depannya itu. Tanpa sadar setetes air mata lolos disana, membuat Haidar lagi-lagi kebingungan.

“Dih, kenapa nangis anjir? Lebay banget,” Ejeknya, membuat Marko segera menghapus jejak air mata itu lalu menyusul Haidar yang sudah lebih dulu bergerak meninggalkannya.

Tour berjalan tidak begitu lama mengingat regulasi yang ditetapkan di tengah pandemi. Seusainya dari sana, keduanya melanjutkan agenda mereka dengan menaiki perahu—city cruise kalau wisatawan menyebutnya. Berkeliling Amsterdam menggunakan perahu sambil menyusuri jalanan ditengah kanal tentu tidak boleh dilewatkan, bukan?

Perahu yang dinaiki mereka pun terlihat sepi. Hanya ada mereka berdua dan warga asing lain di barisan depan, terlihat sibuk mendengarkan penjelasan dari pengeras suara yang menjejal kuping mereka. Membuat kedua anak adam itu semakin merasa bebas ketika diberi ruang untuk saling berbagi rasa.

Ada yang janggal dengan hari ini. Haidar merasa lebih clingy dari hari-hari biasanya. Genggaman jemari keduanya tak pernah terlepas sejak tadi, pun kepalanya juga nyaman bersandar di pundak lebar Marko. Seperti ada sebuah sinyal dari dalam dirinya yang mengatakan bahwa jika sedetik saja ia melepaskan diri dari Marko, ia akan kehilangan lelaki itu untuk selamanya.

“Bi, hari ini lo udah pindah asrama, ya?” Yang ditanya menunduk, menatap netra kekasihnya yang masih nyaman menyender. Marko menggeleng.

“Terus kenapa barang-barang lo udah pada di rapihin?” Tanyanya lagi, membuat Marko seketika menghela nafas beratnya.

“Nanti gue jelasin, abis ini.” Ia tersenyum lalu mengecup bibir itu. Yang lebih muda berdehem, mencoba untuk tidak salah tingkah. Marko terkekeh gemas, lalu mencubit pipinya kencang.

“BANGSAT SAKIT!”


Setelah turun dari perahu, mereka mengakhiri perjalanan dengan berjalan kembali menuju asrama Haidar. Marko genggam erat jemari kekasihnya itu yang kini tengah nyaman sembunyi di balik jaket tebalnya, yang mana membuat Haidar terkekeh saat melihat perilaku tersebut. Padahal mereka sudah bebas disini, tapi mengapa Marko masih menyembunyikan tangannya disana?

“Bi, kelewat anjir. Ini kita mau kemana?” Sahut Haidar kala keduanya dengan santai melewati pemukiman tempat tinggal yang lebih muda.

“Ngobrolnya disana aja, jangan di kamar.”

Kedua alisnya lagi-lagi bertemu. Ia lalu menggidikan bahunya pertanda tak peduli, lalu segera meyamakan langkah kakinya dengan Marko yang terkesan begitu tegesa-gesa.

Amsterdam pukul setengah enam sore terlihat begitu indah hari itu. Peralihan musim yang tengah terjadi disana membuat langit Amsterdam menjadi lebih indah untuk jadi teman sepi keduanya saat duduk di kursi sempit ujung kota.

“Lo aneh.” Barusan itu adalah suara Haidar. Tautan mereka sudah terputus satu menit yang lalu, “Ada apa?”

“Gue bakal pulang hari ini.”

BUGH!

Pandangannya gelap, kepalanya mendadak pening luar biasa. Telinga kanannya seketika berdenging kencang, yang perlahan ikut menjalar menuju telinga kirinya.

“Gue kesini untuk minta maaf sama lo, bukan untuk tinggal apalagi menetap.”

Deg.

Barusan adalah suara belati yang baru saja menusuk hatinya. Haidar mendecih remeh, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Maaf. Tapi kayanya kita harus selesai sampe sini, Dar.”

Aplikasi cuaca menunjukkan suhu kota Amsterdam menjelang malam hari adalah -18 derajat. Tapi mengapa rasanya tubuh Haidar begitu panas seperti tengah berdiri di atas perapian?

“Papa ngga bisa gue tinggalin-”

“Itu lagi, Bi? Alesan lo? Ngga ada alesan lain-”

“Dar, Papa sendirian-”

“Ya terus kenapa kalo sendirian-”

“Dia orang tua gue satu-satunya, siapa yang bakal ngurus kalau dia kenapa-kenapa-”

“Dan lo pikir gue bisa ninggalin orang tua gue-”

“TAPI ORANG TUA LO MASIH LENGKAP-”

“TERUS KARENA ORANG TUA GUE MASIH LENGKAP JADI GUE BISA SEENAKNYA NINGGALIN MEREKA, GITU? HEH BRENGSEK-” Teriaknya begitu lantang hingga berhasil mengalahkan suara desiran ombak di depannya. Haidar berdiri, sarat wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tengah frustasi.

“Lo kalo ngomong di pikir dulu ngga sih, anjing?”

“Emang menurut lo gue juga ngga mau apa mentingin orang tua dari pada ego sendiri? Menurut lo kenapa gue sampe bela-belain daftar beasiwa kaya gini? Demi diri gue? Enggak, anjing. Demi lo. Demi kita.”

“Menurut lo gue belajar mati-matian biar dapet beasiswa, mangkas waktu kuliah satu semester demi lulus lebih cepet lo pikir buat apa? Buat ajang pamer dan merasa paling keren? Sinting. Lo ada disana, Bi. Lo liat semua perjalanan gue sampe akhirnya bisa ada disini. Gue udah nunggu selama ini tapi apa balesan lo?” Air wajahnya berubah menjadi merah padam, mantel tebalnya entah sejak kapan sudah tergeletak sembarang.

“Dar, udah. Kita selesai, ya?”

“KENAPA? KENAPA? BOLEH GUE TANYA KENAPA?” Urat lehernya tanpa izin menyapa Marko, dahi lelaki berkulit madu itu terlihat begitu kacau kala segaris urat juga muncul disana. Ia memejamkan matanya lelah, merasa kesal pada dirinya sendiri karena harus melihat Haidar seperti ini. Bukan, bukan seperti ini perpisahan yang ia inginkan. Bukan seperti ini perpisahan yang sudah ia rencanakan sebelumnya.

“Demi kita, Haidar. Demi kita.”

“BANGSAT JAWAB GUE YANG BENER!” Ia tarik kerah jaket itu.

“DEMI KITA SEMUA, DAR! LO PIKIR KALO KITA HIDUP BAHAGIA DISINI, APA HAL ITU BAKAL BERLAKU JUGA BUAT ORANG TUA KITA?” Netra keduanya menyalang, saling lempar tatapan paling mematikan karena sama-sama kalut.

“REPUTASI MEREKA BAKAL ANCUR SAAT ORANG-ORANG TAU KALAU KITA KAYA GINI. IYA, KITA BERHASIL. HIDUP BAHAGIA, LUPAIN MEREKA YANG MALAH HARUS MULAI BERJUANG NGELAWAN OMONGAN ORANG-ORANG. EMANGNYA LO TEGA NGEBIARIN AMIH JADI BAHAN CACI MAKI ORANG PAS TAU ANAKNYA KABUR KE LUAR NEGERI HANYA KARENA BUTUH PENGAKUAN?!” Cengkraman itu mengendur, bulir air mata seketika berkumpul di pelupuk mata indah Haidar.

“Gue aja yang hancur, Dar. Papa gue jangan...” Lirihnya yang sedetik kemudian disambut isakan yang begitu memilukan.

“Papa sendirian, dia ngga punya siapa-siapa buat sekedar bertahan. Gue ngga bisa- gue ngga mau lagi kehilangan orang yang gue sayang...”

Jadi gue bukan orang yang lo sayang, ya, Bi?

“Gue sayang sama Amih, sama Papa lo. Gue ngga mau mereka harus ngerasain diperlakukan ngga pantas hanya karena gue- kita yang kaya gini, Haidar,” Tangisnya pecah lagi, nyawa anak di depannya entah sejak kapan sudah melayang pergi. Lututnya lemas, lidahnya kelu.

“Gue bisa berangkat karena udah setuju sama Papa bakal nyelesaiin hubungan kita disini. Beliau ngasih izin gue pergi untuk ketemu lo sebentar, abis itu balik lagi.”

Gue sayang sama lo, demi Allah. Sayang banget, Dar. Tapi maaf, maaf...” Ia berlutut.

“Ayo balik lagi ke awal. Kita bisa tetep jadi kita yang dulu, kalau-”

“Dasar bajingan.” Potongnya.

“Lo kesini minta putus, tapi sedetik kemudian berubah pikiran setelah bilang sayang sama gue dan minta semuanya balik ke awal?”

Ingin rasanya Haidar pukul lelaki itu hingga kesadarannya bisa kembali. Namun dasar manusia bodoh, rasa sayangnya terlalu tinggi sampai-sampai ia tidak tega untuk sekedar melukai Marko.

“Lo inget 'kan waktu di ranca upas gue bilang apa? Kalau mau bertahan di Bandung, ngga ada lagi kata kita. Perasaan kita yang harus dikorbanin sebagai bayaran atas menjaga perasaan orang lain.”

“Gue tau kalo lo itu emang brengsek, Marko. Sesuai kemauan lo, kita selesai.” Ia tarik kasar mantel tebalnya, “Makasih enam tahunnya. Sumpah demi Allah, makasih.

Dilihatnya punggung yang tengah bergetar hebat itu makin jauh dari pandangannya, membuat hati Marko kembali diremat habis-habisan. Sakit, sakit luar biasa sakit. Haidar tanpa sadar memelankan langkah kakinya, berharap namanya akan dipanggil lalu Marko memeluknya erat dan tak mengizinkannya pergi. Namun nihil, semakin berat ia melangkah, tetap, suara lelaki kesayangannya itu tak pernah ia dengar lagi sampai hari ini.

Haidar tidak tahu, bahwa usahanya selama ini ternyata akan kembali menemui jalan buntu. Mau dunia ini apa, sih, sebenarnya? Kenapa mereka dipertemukan kalau akhirnya dipisahkan oleh kata selesai? Tapi dunia mana peduli? Yang terpenting hati mereka berhasil dipatahkan, semesta pemenangnya.

Semesta 1 : Haidar Marko : 0.


Tok tok tok

Hari Minggu pukul delapan pagi, suara ketukan terdengar di kediaman Keluarga Atmajaya. Joni yang tengah asik dengan tontonan Pagi dan Egi yang tengah fokus membuat sarapan dibuat bingung dengan tamu yang begitu tiba-tiba.

“Siapa, Gi? Kamu ada arisan hari ini?”

“Engga, ah. Coba bukain, Jo.”

“Males. Lagi seru,”

“Ish,” Wanita itu akhirnya mengalah, lalu dengan segera mengecilkan api kompornya. Masih dengan celemek coklat yang melekat di tubuhnya dan spatula di tangan kanannya, Egi bergegas menuju pintu utama rumah mereka.

“Siapa-”

Prang!

Spatula yang Egi rasa sudah digenggamnya kuat-kuat tanpa sadar jatuh menyapa lantai dingin rumahnya itu.

“Egi?!”

“A-ade?”

Wajah pucat mengerikan itu dengan sopan menyapa tatapan terkejut sang Ibu.

“Kamu kok?”

Dibawanya sang Ibu menuju pelukannya, lalu menangis sejadi-jadinya disana. “Hiks... Amih...”

“Ade, kamu kenapa kok bisa ada disini? Bukannya-”

Ucapannya terputus kala si bungsu dengan cepat berlutut dan memeluk kedua kakinya. “ADE! BANGUN, ASTAGFIRULLAH!” Joni yang baru datang pun ikut terkejut kala melihat putra kesayangannya itu tiba-tiba ada di depan pintu rumah mereka.

“Ade minta maaf, Mih...”

Joni yang melihat itu dengan cepat menarik satu kesimpulan dalam hatinya, anak itu hancur. Ketakutan yang selama ini menyelimutinya seakan hilang terbawa angin malam kala melihat anak itu menangis tersedu-sedu sambil memeluk kedua kaki istrinya.

Hati kamu sudah patah, ya, Nak?

“Udah, udah. Kamu udah pulang sekarang. Nggapapa, Ade. Nggapapa.” Ia segera rengkuh putra bungsunya itu, memberinya perlindungan paling aman di muka bumi.

Selamat datang di rumah sebenarnya, Haidar.


Tahun demi tahun berlalu. Satu persatu kerabat dekat Haidar mulai melepas status lajang mereka. Digandengnya wanita paling cantik yang ada di bumi pasundan, meninggalkan Haidar sendirian yang masih nyaman dengan luka lama.

“Nikah, woy. Katanya paling cakep sefakultas dulu, tapi kok masih sendirian aja.” Sindir salah satu teman jurusannya.

“Ayo sini lo aja nikah sama gue. Lo sendiri aja masih jomblo, gausah banyak bacot.” Sungutnya kesal, sembari menyesap minuman berwarna merah itu. “Si goblok, gue normal.”

Haha. Makan hati lagi, dah.

“Ya gue juga-”

“Dar.” Kalimatnya terputus kala seseorang menahan lengannya.

“Pft. Brengsek.” Ia melepaskan tangan itu, lalu pergi meninggalkan keramaian.

Haidar melonggarkan dasi yang terasa begitu mencekik kala ia sampai di parkiran. Mengeluarkan sekotak rokok yang tak pernah absen meninggalkan saku celananya, lalu mengambil satu batang dengan cepat dan membakarnya.

“Inget, lo itu punya asma.” Sambung seseorang kala ia tengah menikmati aroma buah yang mengelilinginya.

Sorry, kita kenal, ya?”

“Haidar.”

Ia lempar kotak nikotin yang sisa setengah itu padanya, “Ambil aja semua.” Nafsu untuk membuat paru-parunya semakin rusak itu seketika hilang kala netranya kembali beradu tatap dengan pria itu. Kalau begini ceritanya, bukan paru-parunya yang terasa sesak.

“Haidar-”

“Jangan. Panggil. Gue.”

“Dar-”

“Stop.”

“Sayang-”

“Lo sinting ya?!” Bentaknya. Ia pelototi mahluk menyebalkan itu, “Lo bilang kita udah selesai. Ngapain masih muncul di depan gue, sih?!”

“Haidar, gue minta maaf.”

“Waktu kemaren minta maaf, sekarang minta maaf lagi. Udah, gue muak denger lo minta maaf.”

“Lo belum dengerin-”

“Apalagi yang perlu di denger, Bi?” Suaranya bergetar, seperti memohon untuk segera menyudahi percakapan ini. “Udah, ya? Lo minta untuk dilepas, dan gue udah lakuin itu. Demi lo, demi Papa lo. Demi kita. Udah, ya? Sakit, Bi. Sumpah demi Allah, sakit.”

Ia megacak rambutnya kasar, “Gue udah lakuin semua yang lo minta. Iya, gue masih sayang lo dan akan selalu begitu. Udah, ya? Ayo, sama-sama cari yang baru. Jangan terus ungkit luka lama, gue udah ikhlas lepasin lo.”

Tak ada yang bisa Marko lakukan selain menganggukan kepalanya pertanda mengerti. “Gue juga sayang sama lo dan akan selalu begitu, Haidar.”

“Dar.” Panggil seseorang dari belakangnya.

“Ayo, anak-anak nungguin.” Itu suara Jovan. Marko tersenyum miris.

“Masih sayang gue dan akan selalu begitu, huh?” Ketusnya, yang kemudian melempar balik kotak rokok yang sebelumnya ia terima.

“Lo salah kalau pikir Jovan itu solusi dari semua ini. You just make it more complicated.

Iya, panggil Haidar bodoh. Perkataan Marko barusan berhasil membuatnya sadar bahwa yang ia lakukan saat ini hanya akan membuahkan luka yang sama.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.