how does it feels? —haidar dan marko.

Malam ini, Bandung hujan lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, tetapi suara gemuruh hujan dan petir masih menjadi teman sepi perjalanan lelaki itu pulang menuju rumahnya.

Hari ini, seseorang baru saja mendapat gelar baru dalam hidupnya. Setelah tiga setengah tahun berlalu, akhirnya Haidar Indra Atmajaya resmi dinyatakan lulus sebagai Sarjana Lulusan Manajemen Bisnis dengan predikat Sangat Memuaskan. Walau tidak bisa menemaninya dari dekat—dan ia pun sudah terbiasa mendalami peran sebagai sosok pengagum rahasia—Marko berusaha untuk tetap berada tidak jauh dari pandangan Haidar. Ikut merasakan tiap momen yang terjadi dan tentunya akan ia simpan rapi di memorinya.

Lelaki itu tengah duduk di selasar FEB kala Haidar disambut secara antusias oleh kawan satu himpunannya. Awalnya ia tidak pernah bisa mengerti esensi dari adanya sebuah perayaan secara meriah, karena menurutnya hal itu sangat mengganggu.

Tapi setelah percakapannya kemarin perihal sang kekasih yang mengatakan bahwa ia tidak ingin pergi dari bumi pasundan... Sekarang ia paham, alasan lain di balik beratnya keputusan yang harus lelaki itu ambil.

Hangatnya pelukan yang diberikan seluruh teman-teman Haidar, sorak sorai ucapan selamat dan doa yang mereka panjatkan satu persatu padanya, membuat Marko tersadar bahwa di muka bumi ini, ada begitu banyak sosok yang lelaki itu sayangi.

Ia pikir, dunia Haidar hanya berputar di sekelilingnya. Tapi ia salah. Seratus persen salah. Karena jauh di balik itu semua, Haidar juga punya kebahagiaan tak terhingga lainnya selain genggaman hangat tangannya. Ia pikir, terlalu berat bagi kekasihnya itu untuk meninggalkannya. Tapi lebih dari itu, Haidar benar-benar tidak mau meninggalkan rumahnya.

Ia tidak mau meninggalkan Bandung beserta seluruh isinya.

Dengan langkah berat lelaki kelahiran agustus itu berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Ia terlihat sangat memprihatinkan malam ini. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, seluruh tubuhnya lembap karena diguyur hujan.

Ia bukannya lupa membawa jas hujan, ia hanya tidak punya cukup tenaga untuk sekedar berhenti dan memakai jas hujan.

Setelah menutup pintu dan melepas sepatunya, ia bergegas masuk menuju kamarnya tanpa menyadari kehadiran sang ayah yang tengah membuat teh hangat di dapur.

Brak!

Suara pintu yang di banting barusan berhasil membuat Jefri terkejut. Dilihatnya kamar anak sematawayangnya itu yang sudah kembali tertutup rapat, membuat dahinya pun ikut mengkerut keheranan.

“Abang?”

Hening.

Bugh bugh bugh!

Suara pukulan itu terdengar dikala Jefri tengah mengaduk tehnya yang ke 10x.

“ARGGHHHHHHH!!!!”

Bugh!

Suara pukulan itu kembali terdengar dikala Jefri tengah mengaduk tehnya yang ke 20x.

“Ngga bisa, ngga bisa... Sakit banget, yaAllah.”

Bugh! Bugh!

Tanpa menunggu skenario buruk dalam pikiran Jefri terjadi, akhirnya pria berusia setengah abad itu berjalan menghampiri kamar putranya.

“Bang? Suara apa itu?”

“hiks- hiks. don’t leave me again, please...

Tok tok tok

Diketuknya tiga kali pintu kayu itu, “Abang? Hey, kenapa?”

“Kenapa semua orang yang Bian sayang ninggalin Bian, Ma?” lirihnya begitu pelan, sampai Jefri bisa dengan jelas mendengarnya.

“Abian Marko Pratama.” tegasnya.

“Pa...”

“Pa, can you hear me?

“Iya, Bang. Papa denger,”

Lelaki itu sesegukan, “Pa, how does it feels?

Marko pandangi dua buah foto polaroid yang disana terpampang wajah orang yang dikasihinya.

“Waktu mama pergi, rasanya gimana, Pa?” Tanya putranya itu.

“Pa, jangan diem. Jawab abang, gimana rasanya?”

Jefri mungkin diam, tapi hatinya lebam.

“Gimana rasanya ditinggal sama belahan jiwa Papa?”

“Kamu lagi kangen Mama, Bang?”

Di balik pintu itu Marko menggeleng.

“Kaya gini ya, Pa, rasanya? Sesakit ini?”

Tok tok tok

“Bang, siapa yang pergi?”

Jefri kembali mengetuk pintu itu, kali ini dengan sedikit tenaga. Ia yakin ada yang tidak beres, karena sang putra tidak pernah menangis sehebat ini selain di pemakaman istrinya.

“Haidar, Pa. Haidar pergi. Dunia abang pergi.”


Haidar menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk coklat bergambar beruang miliknya. Handuk itu sudah ada sejak dirinya masih bayi, kalau kata Amih. Dan sampai sekarang handuk itu masih terlihat bagus karena selalu Sang Ibu jaga. Usianya kini sama dengan anak bungsunya. Setiap lelaki itu tanya, “kenapa sih, Mih, masih aja disimpen?”

Akan selalu mudah perempuan itu jawab dengan, “karena kamu ngga lahir dua kali.”

Setelah selesai dengan segala aktivitasnya seharian ini, akhirnya tubuh bongsor itu merebahkan dirinya diatas kasur. Baru saja ia akan menelepon seseorang, pintu kamarnya berbunyi.

Tok tok tok

“Siapa tuuuuuh?”

“De, Amih masuk, ya?”

“Oh, iya sini masuk,” Jawabnya.

Setelah mendapatkan izin dari yang punya ruangan, akhirnya Egi masuk dengan membawa bantal dan guling.

“Eits sebentar, mau apa nyonya kemari dengan bantal di tangan kanan dan guling di tangan kiri?” Ketusnya jahil saat sang Ibu mendekati kasurnya dengan wajah cemberut.

“Amih tidur disini malem ini.”

“Enggak.”

“Ade!”

“Amih ih!”

Mengingat sifat keduanya yang cukup keras kepala, akhirnya Egi naik ke kasur itu dan mencari posisi nyaman untuk menyelami dunia mimpi.

“Amih!!!!”

“Ade,” suara lembutnya menginterupsi amarah Haidar.

“Kamu yakin mau pergi?”

Dilihatnya tatapan sendu sang Ibu ketika pertanyaan itu dilontarkan sontak membuat hatinya tertegun. “Kamu bisa hidup sendirian disana, De? Tanpa Amih?”

Egi menghela nafasnya sejenak, lalu bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk. “Besok kamu berangkat, tapi kamu belom pamitan sama Amih.”

Haidar terkekeh, “ya ‘kan belom berangkat, masa tiba-tiba udah pamitan aja?”

“Bukan, bukan gitu. Maksud Amih tuh kita belum ngabisin banyak waktu bareng-bareng. Amih belom siap aja,” Wanita berusia kepala empat itu tersenyum miris.

“Terus kenapa Amih ngizinin ade daftar beasiswanya abang kalo gitu?” Ia tepuk-tepuk lututnya pertanda canggung.

“Karena Abang bilang ngga seharusnya rasa khawatir orangtua itu jadi penghalang atas rasa bahagia anaknya.”

“Amih langsung mikir, kalau nyatanya emang bener selama ini Amih jadi penghalang kamu untuk gapai kebahagiaan yang kamu cari... Ya berarti Amih yang salah dong, disini. Bukan kamu,”

“Amih selalu mikir, Amih tuh salah apa ya sampe anak-anak Amih pada pergi semua. Apa ada perkataan Amih yang pernah bikin mereka kecewa, atau ada perlakuan Amih yang sekaan membeda-bedakan kalian jadi kesannya kaya lebih condong sayang ke yang satu daripada yang lain, jadi ngga ada yang betah tinggal di rumah,”

“Emang. Amih ‘kan cuman sayang Aa.” Si Bungsu itu cemberut.

“Ya enggaklah. Yang ada juga Amih mah lebih sayang kamu daripada si Abang.” Ia mendekat ke arah anak bungsunya.

“Bohong banget dih.”

“Amih sebagai Ibu yang dari dulu rawat kamu, jaga kamu, bahkan saat masih diperut... Amih yang otomatis paling tau kamu, ngerasa kecewa berat waktu kamu bilang mau beasiswa ke luar. Kaya kok si Ade egois banget ya... Apa ngga mau jagain Amih dan nganter ke dokter kalau sakit, atau anter Amih jalan-jalan?”

Ibu dua anak itu menunduk sejenak, “Amih berharapnya anak-anak Amih tuh disini aja, pada di Bandung ngurusin Amih, ya kaya dulu aja kalian kecil. Ngga akan ada yang pisah.“

“Tapi kata Abangmu, kalo si Ade sampe berani kaya gini, ngejar beasiswa di luar ... Pasti ‘kan emang ada yang lagi kamu kejar. Mungkin dia pengen dapet kerjaan yang pantas dan layak hingga akhirnya bisa nabung—walaupun entah buat apa—mungkin nikah, atau buat istrinya, buat anak-anaknya nanti.”

Nikah, keluarga, anak...

“Semua yang dibilang Abangmu itu bener. Bukan kewajiban kalian untuk nemenin Amih sampe tua, toh ada Papa yang jelas-jelas suami Amih. Ya bisa apa coba Amih kalau udah gitu? Mau ngelarang lagi pake alesan apapun juga udah ngga rasional di otak,”

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak, kembali disadarkan pada kenyataan bahwa kedua putranya ternyata benar-benar sudah dewasa. Bukan lagi bocah ingusan yang minta disuapi tiap kali ingin makan. Bukan lagi bocah cengeng yang suka meraung kencang hingga membuatnya pening ketika tidak dapatkan mainan yang diinginkan. Kini bukan lagi kehendaknya untuk menentukan jalur hidup putranya. Haidar punya kendali penuh atas apapun pilihan hidup yang dipilihnya sekarang.

“Amih cuman takut kamu nyesel di akhir. Terus berujung kamu ngerasa kesepian. Kebayang kamu disana serba sendiri, apa ngga takut?” Egi menoleh pada Haidar yang tengah menggaruk-garuk sprei kasurnya.

Batin Haidar menggeleng kala pertanyaan itu terlontar dari mulut Ibunya. Ia tertawa miris, lalu hatinya berbisik, “Kenapa harus takut kalau selama ini aja Ade bisa nyembunyiin semuanya sendirian? Haidar udah terbiasa sendiri, Mih. Dari dulu. Bahkan sampe Haidar ngerasain kupu-kupu pertama kali pun Haidar simpen sendiri semuanya. Ade suka sama laki-laki, Ade telen sendiri kenyataan itu. Ade tau kalau seksualitas ade berbeda, juga disimpen sendirian. Bahkan ketika Marko nyatain perasaannya pun Ade ngga bagi sama siapapun. Ade pacaran enam tahun, sembunyi mati-matian karena takut ketauan sama Amih, Papa, Abang DAN kalau sampe kalian tau... kalian pasti kecewa. Ade lewatin itu sendirian. Apalagi yang harus ade takutin, Mih, kalau itu semua udah Ade rasain?

Ia menghela nafas. Batinnya kembali berkata, “Ngga ada yang lebih ade takutin sekarang selain kehilangan Marko, Mih.

“Hmm? Kamu ngomong apa?” Sahut Egi saat lelaki itu tengah bergumam.

Ia gigit bibir bawahnya pertanda panik. Hampir saja ia benar-benar mengatakan kalimatnya barusan.

Haidar menoleh ke arah Sang Ibu, lalu memeluknya erat sambil berkata, “Engga, Amih. Ade ngga takut. Jangan khawatir, Ade bisa kok hidup sendirian.”

“Amih lupa ya kalau Ade itu pernah jadi Ketua Himpunan?”

Ade ditempa sedemikian rupa supaya berani ambil resiko, Mih. Setiap jalan yang Ade pilih pada akhirnya akan menuntut Ade pada sebuah pertanggung jawaban. Dan apapun itu, Ade siap.” Haidar tersenyum kecut.

Enggak, Ade nggak siap, Mih.

Tenggorokan Egi tercekat kala ia mendengar jawaban itu. Kedua netranya dengan cepat terasa panas, tatkala merasakan tepukan hangat dipundaknya. Sebisa mungkin ia mencoba untuk menahan isakannya, lalu beralih membalas tepukan itu di kepala anak bungsunya yang mirip bola-bola coklat kesukaannya.

“De,” Suaranya bergetar.

“Jangan nangis, Amih.”

“Itu pacar kamu gimana kabarnya? Dia nggapapa ditinggalin kamu?”

Kini giliran lidah lelaki itu yang kelu. Bingung harus menjawab apa.

“Berapa tahun sih kalian sekarang? Lima?”

“Enam.”

“Tinggal nikah itu. Apa ngga mau dihalalin dulu?”

Haidar terkekeh, lalu kembali mengeratkan pelukannya seperti beruang. “Nikah kan perlu uang, Mih. Perlu banyak persiapan, ngga bisa semalem jadi. Ade aja sekarang baru mau lanjut kuliah, belom punya kerjaan. Ngga punya duit saya, Bos. Emang Amih mau biayain?”

“Ya mau lah! Gini-gini juga kamu masih tanggung jawab Amih sama Papa,”

“Nanti aja, nanti. Ya?”

“Keburu lari cewemu ntar. Gara-gara kelamaan nunggu kamu pulang,” Wanita itu melepaskan pelukan hangatnya, lalu terkekeh.

“Udah ah mau tidur,” Ia pun bangkit lalu kembali membawa bantal serta gulingnya.

“Lah ngga jadi tidur disini?”

“Nggak. Amih merelakan malam terakhir kamu disini buat quality time sama pacarmu. Tadi mau nelfon dia, 'kan?” Lelaki itu melotot, kala Ibunya itu menunjuk handphonenya yang berada di nakas.

Salam dari calon mertua, buat calon mantu.

Ceklek.

Egi Lutfia mungkin keliru tentang satu hal mengenai dirinya yang merasa paling tahu anaknya, karena sejatinya yang paling mengerti Haidar ialah dirinya sendiri.

Karena Haidar tahu bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan pernah merasa sendirian selama tinggal di tanah Amsterdam. Karena ia tahu, Marko tidak akan membiarkannya hidup kesepian.

Ia percaya, Marko akan datang untuk menyusulnya. Ia pasti pulang, 'kan?

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah delapan malam.