I'm Sorry. —haidar dan marko.
what if, they didn't make it. an alternative ending.
tw / major character death cw / car crash , blood 4300++ words. enjoy :)
Song Recommendation: Crush – Love You With All My Heart
Makasih sayangku. Cintaku. Duniaku. Semestaku. Belahan jiwaku. Hidup dan matiku.
Marko kembali melihat pesan yang baru saja dikirimnya kepada Haidar itu. Kalau dipikir-pikir lucu juga, hatinya cepat sekali berdebar hanya karena hal sepele seperti ini. Dulu, ia bahkan tidak pernah merasakan hal yang orang bilang “itu namanya jatuh cinta.” Jatuh cinta itu apa sih, lebih tepatnya? Memang ada yang namanya jatuh lalu tumbuh rasa cinta? Bukannya setiap kita terjatuh yang kita bisa rasakan hanyalah rasa sakit dan juga air mata? Tetapi mengapa jatuhnya kali ini terasa begitu... Indah? Apa ini yang orang bilang jatuh cinta pada orang yang tepat?
Haidar Indra Atmajaya—begitulah orang tuanya menamainya—adalah orang yang telah menemani Abian Marko Pratama selama kurang lebih 5 tahun terakhir. Tanpa keduanya tahu, dulu, dulu sekali. Jeratan takdir sudah mengikat keduanya untuk menjadi milik satu sama lain. Jeratan merah yang melingkar pada kelingking keduanya, tampak tak kasat mata bagi orang awam. Namun bagi kedua anak adam itu, mereka bisa merasakan bahwa mereka lahir memang untuk saling menemani satu sama lain.
Lelaki kelahiran Agustus itu lantas bergegas menuju Vespa Merahnya, lalu berjalan turun menuruni jalan Dago Atas yang sejuk. Ia tersenyum di sepanjang jalanan itu, memikirkan masa depan yang fana namun terasa sangat nyata. Pikirannya melayang membayangkan akan seperti apa kehidupan keduanya jika bumi dan seisinya bisa lebih berbaik hati kepada mahluk kecil sepertinya dan Haidar. Apakah semuanya akan jadi lebih baik apabila mereka pergi dari sini? Apakah semuanya akan berjalan sesuai keinginan mereka? Apakah mereka bisa dengan bebas menjadi diri sendiri tanpa perlu merasa takut lagi?
Selagi pertanyaan semu itu menggantung dikepalanya, tanpa sadar ia sudah sampai di Sansco, tempat Haidar tengah menunggu sendirian untuk rapat himpunan. Panggil Marko lelaki acts of service atau apapun itu, ia tahu sebenarnya Haidar akan sangat marah jika mata bulat itu melihatnya berdiri disini. Tapi hati kecilnya juga tahu, bahwa lelakinya itu akan kelewat senang melihat dirinya disini.
Marko lantas terkekeh, lalu melepas helm itu dari kepalanya dan berjalan masuk menuju area kafe. Ia berjinjit dari pintu masuk, membuat pegawai yang tengah berdiri di depan kasir pun terheran. “Selamat dat—” Marko menaruh telunjuknya itu di depan bibir, memberi isyarat kepada pegawai Sansco tersebut untuk tidak bersuara. Yang diberi perintah pun menurut, lalu menyampirkan sebuah senyuman kepada Marko.
Lelaki itu kembali melanjutkan sesi berjinjitnya hingga sampai di area working space yang tengah sepi. Ia mengintip dari dinding yang ada, lalu mendapati Haidar tengah duduk sambil menatap layar ponselnya. Lelaki itu dengan cepat menahan tawanya ketika melihat Haidar menaruh tangan kanannya di kedua pipi yang tengah kemerahan itu.
“Apaan sih nyuruh gue cuci muka mulu, gak jelas.” Ketusnya, membuat Marko tanpa sadar tertawa.
“Pft.“
Ia melotot, lalu menatap lurus ke depan di mana netra mereka akhirnya bertemu. “MARKO BANGSAT!”
Setelah mendengar itu, Marko lantas bergegas lari dari sana menuju gang sempit tempat khusus area masuk pegawai Sansco. Ia bersembunyi disana sambil mengintip, lalu melihat Haidar celingak celinguk di depan parkiran mencari presensi dirinya. Ia terkekeh, lalu kembali bersembunyi.
Matanya terus terkunci pada satu sosok yang tengah berdiri itu. Bak adegan dari drama-drama Korea, potongan kejadian sore itu terputar dengan sangat lambat di mata juga pikirannya. Ia melihat Haidar, lelakinya itu terlihat sangat menawan padahal dahinya tengah mengkerut akibat rasa kesal. Ia kembali berterima kasih kepada bumi dan juga matahari yang sudah begitu berbaik hati sore ini, karena memancarkan cahayanya yang begitu hangat sehingga membuat Haidar terlihat seratus kali—bahkan seribu kali lebih tampan. Rambutnya yang berantakan, rasa-rasanya membuat Marko ingin menelusupkan jemarinya disana dan menyisirnya hingga dahi itu terpampang dan tidak mengerut kesal lagi. Ia ingin meredakan kekesalan itu dengan sebuah kecupan disana, yang ia percaya akan membuat Haidar salah tingkah untuk kesekian kalinya.
Ia pegang jantungnya yang berdegup sangat kencang, lalu tersadar ketika melihat Haidar akhirnya berniat masuk kembali ke area kafe. Marko lantas keluar dari sana, lalu menarik lengan itu untuk ikut dengannya.
“Marko, sakit! Lepas!” Rintihan kecil itu terdengar, “Hehe, I'm sorry,“
“Lo ngapain disini?!” Haidar berbisik, membuat Marko yang melihat itu memajukan bibirnya. Memang jarak keduanya kini tengah terpaut sangat dekat, mungkin akan membuat siapapun yang melihat mereka langsung berpikiran buruk dan memaki keduanya. Tapi, Marko mana peduli?
“Mau pegang pipi lo.” Ia cubit pipi yang kemerahannya terlihat memudar, membuat Haidar yang merasakan afeksi itu langsung mendecih. Marko lantas mengusapnya lembut, merasakan pipi gemas itu di seluruh permukaan kulitnya. Oh, Tuhan. Apa boleh Marko gigit pipi itu sekarang juga?
“Lo ngapain kesini, Abian?” tanya kekasihnya itu lagi, dengan nada yang dipertegas. “Iseng aja.” Marko menjawab rasa penasaran itu sambil membawa jemarinya menuju surai lembut Haidar yang terlihat berantakan. Ia usap-usap kepala itu, lalu menyingkirkan rambut itu hingga dahinya terlihat jelas. Tanpa menunggu lama, ia langsung menjatuhkan sebuah kecupan hangat nan dalam disana.
Yang lebih muda tentu bingung luar biasa, ia kembali mengerutkan dahinya karena perlakuan kekasihnya yang begitu tiba-tiba. “Abian, kenapa?”
“Kenapa apanya?” Ia tangkup wajah berisi milik Haidar, lalu kembali mengusapnya.
“Lo aneh. Ada apa? Jangan bikin gue takut.”
“Aneh apanya, anjir? Orang gue nyium doang, emang nggak boleh?” Ia menatap Haidar, lalu tenggelam dalam netra coklatnya yang begitu indah. Haidar masih curiga, mau apa sebenarnya lelaki ini?
Marko yang menangkap sarat tersebut terkekeh lalu kembali mengangguk, memberikan pertanda bahwa semuanya baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja, 'kan?
Marko kembali membawa tubuh Haidar ke pelukannya, memberinya hangat dan juga rasa aman. Walau mereka tengah dalam bahaya karena mungkin saja akan ada yang memergoki kejadian ini, tapi Marko tidak peduli. Ia hanya ingin menghargai momen masa kini yang tengah berlangsung. Dimana hanya ada dirinya, dan juga Haidar serta rasa cinta keduanya yang begitu besar.
Tuhan, tolong lindungi Haidar dari apapun hal buruk yang ada di bumi. Tapi tolong, jangan jauhkan Haidar dari dirinya satu senti pun. Marko tidak akan sanggup. Ia tidak akan pernah bisa.
“Marko,” Panggil Haidar, membuat pelukan keduanya terlepas. Lelaki itu menatapnya dengan makna yang tersirat, “Hm?” Ia berdehem, bermaksud menutupi suaranya yang sudah bergetar.
“Kalau ada apa-apa, langsung kabarin gue, ya?” Ia tersenyum dengan teduh, “Mau itu hari tersedih, terbahagia, terburuk, atau bahkan terbete sekalipun. Lo harus lari ke gue, oke?”
Marko terkekeh, dan mengangguk setelahnya. “Pasti. Kapan sih gue lari tanpa ajak lo?”
Marko sampai di rumah setelah menitipkan Vespa Merah di bengkel langganannya untuk di service. Ia melihat ke arah jam, sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia memijat bahunya yang terasa berat, lalu bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat.
Ia merebahkan tubuh besarnya itu di atas kasur yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan kisah cintanya dengan Haidar. Ia kembali melihat ke arah ponselnya, lalu membaca isi pesannya dengan sang kekasih. Ia tersenyum ketika membaca kalimat “Iya, nanti gue ke rumah bawain kopi.” Sungguh luar biasa, ya? Rasanya jatuh cinta itu? Perlakuan kecil yang bahkan mungkin orang lain sebut dengan bare minimum, sebenarnya berarti besar bagi orang lain—atau lebih tepatnya, orang sepertinya. Marko menatap ke arah langit-langit kamarnya yang putih bersih itu, lalu menghela nafas beratnya. Tuhan, apa boleh Marko sebahagia ini? Ia bahkan belum menikahi Haidar—tunggu, apakah boleh ia mengkhayal seperti ini? Tuhan, bahkan Marko rela mati bahagia sekarang.
Tok tok tok
Marko terperanjat, ia terbangun setelah mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. “Abang, kamu ketiduran ya? Ini udah jam 9 malem, pamali loh kamu tidur dari Maghrib tadi,” Sahut Jefri, membuat Marko yang mendengarnya lantas mengucek kedua matanya. Ia berkedip sebentar, kepalanya terasa pusing.
“Kalo laper langsung ke meja makan aja ya, Bang. Papa bawa sate anggrek,”
“Makasih, Pa,” Ia menyahut, lalu bergegas bangun dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan berganti baju.
Setelah merasa segar, Marko akhirnya menuju meja makan untuk makan malam. Ia melihat sate kacang kesukaannya itu tersaji disana, membuatnya langsung mengambil sepiring nasi dan segera melahapnya tanpa sisa. Sesekali ia melirik ke arah ponselnya yang tergeletak disampingnya, menunggu sebuah notifikasi yang tak kunjung hadir.
“Lama banget,” Ia bergumam di tengah heningnya malam dingin itu. Marko pun lantas menegak air putih di dalam gelas itu sekaligus, lalu mencuci piring dengan cepat dan berjalan menuju kamar sang Ayah.
“Good night, Pa. Thank you for the meal. Abang sayang Papa,“
Sebelas, dua belas. Jam di layar ponselnya bahkan sudah menunjukkan angka 00.00, hari pun sudah berganti. Namun presensi Haidar yang ia tunggu sedari tadi masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Ia mulai menggigit kukunya kasar, pertanda gelisah. Mungkin udah pulang, lupa ngabarin. Hp nya abis batre, terus dia ketiduran kali, ya? Batin Marko mencoba untuk terus berpikir positif.
00.30, atau tepatnya pukul setengah satu dini hari, sebuah notifikasi yang tidak pernah ia bayangkan akhirnya tiba. Sebuah sinyal SOS itu terpampang pada layar ponselnya, membuat jantungnya terasa terhenti untuk sepersekian detik. Ia mencoba untuk kembali sadar dengan apa yang tengah matanya lihat, namun pesan itu benar-benar nyata. Marko pejamkan matanya, lalu dengan cepat bulir air mata itu luruh di pipinya yang merah padam karena ketakutan sekaligus marah.
Ia menendang dipan kasurnya yang terbuat dari kayu itu, bermaksud melampiaskan apa yang tengah ia rasakan. Ia lantas berlari keluar dari kamarnya yang gelap menuju ruang keluarga, berniat mencari presensi kunci motornya yang ternyata hilang. Marko baru ingat, motornya tidak ada disini.
“GOBLOK, GUE LAGI BURU-BURU GINI SELALU ADA AJA HALANGANNYA, ANJING!” Pikirannya kalut, ia dengan cepat mengambil kunci mobil milik sang Ayah yang ada disana. Tanpa berpikir lebih lama, ia bergegas menuju Flyover Pasupati.
Air mata terus terjun dari matanya. Ia menggenggam setir mobil sekuat yang ia bisa, karena ia tahu, dalam keadaan seperti apapun jika hal itu menyangkut Haidar, Marko bahkan rela kehilangan dirinya sendiri asal lelakinya itu baik-baik saja.
Jalanan sepanjang Dago Atas itu terasa menyesakkan, Marko terus menambah kecepatan mobilnya melintasi pepohonan tinggi di area rumahnya yang terasa mencekam. Membuatnya semakin terasa gila karena ia tak kunjung sampai di Pasupati.
Ia akhirnya sampai di pangkalan stasiun Dago, lelaki itu akhirnya bisa melihat cahaya dari gedung-gedung dan juga rumah yang ada di sekelilingnya. Ia melihat jalanan begitu sepi, membuatnya semakin menambah kecepatan dengan harapan ia bisa segera sampai di tempat Haidar. Lelaki itu bahkan menghiraukan sebuah panggilan masuk yang sedari tadi muncul di layar ponselnya, ia tidak ingin terganggu oleh apapun. Marko hanya ingin cepat sampai di Flyover Pasupati sekarang juga.
Setelah menuruni jalanan panjang Dago itu, akhirnya Marko sampai di persimpangan lampu merah. Ia lihat lampu lalu lintas itu masih menyala dengan warna hijau, dan ketika ia akan menambah kecepatan lagi ia melihat layar ponselnya menampakkan nama Haidar. Ia dengan cepat mengambil ponsel itu, dan tanpa sadar kakinya yang masih menginjak pedal gas membuatnya melintas lampu lalu lintas yang ternyata sudah berganti warna menjadi merah.
BRAK!!!!
Kepala itu terbentur kaca di sampingnya dengan sangat kencang hingga membuat kaca tersebut pecah tak tersisa. Mobil sedan hitam itu dengan cepat terbalik dua kali hingga akhirnya mengenai beton jalanan yang membuat Marko terhimpit diantara reruntuhan mobil dan juga pembatas jalan. Ia menggenggam ponsel yang masih menyala itu dengan erat, sekuat yang ia bisa. Ia merasakan darah mengalir dari seluruh penjuru badannya, terutama di kepalanya. Ia merasakan darah itu terjun bebas menutupi pandangannya, yang perlahan membuatnya menyesali apa yang terjadi semenit lalu.
“Dar...”
Ia masih bisa melihat ponselnya itu terus menyala, masih menampakkan satu nama yang belum beranjak dari panggilan tersebut. Tangan kanannya tersangkut, ia bahkan tidak bisa untuk sekedar mengangkat tangannya. Ia tidak bisa merasakan apapun lagi di bawah sana.
“Dar...”
Marko terus menggumamkan satu nama itu, nama yang terus berputar di kepalanya sejak hari pertama mereka bertemu. Dengan susah payah Marko menggerakan tangan kirinya yang masih menggenggam erat ponsel itu, tapi ia tidak berhasil. Panggilannya terputus.
“AMBULANS!!! AMBULANS!!! TOLONG!!!! INI PERSIMPANGAN DAGO, DEKET MCD, ADA KECELAKAAN!!!!!” Samar-samar ia dengar sebuah suara dari luar sana.
“To-tolong....”
“AMBULANS!!!!!! TOLONG!!!!!!!”
Teriak orang itu histeris. Marko asumsikan keadaannya sekarang mungkin sangat teramat mengerikan. Ia berterima kasih kepada siapapun di luar sana yang masih berkeliaran di jam satu pagi seperti ini. Terima kasih sudah menyelamatkannya. Marko masih harus tetap hidup. Ia harus menyelamatkan Haidar. Ia harus memastikan Haidar tetap hidup dan baik-baik saja.
“Bi, tau gak?“
“Katanya, kalo nanti kita meninggal, ada waktu sekitar 7 menit sebelum waktunya otak kita berhenti bekerja. Dan katanya, di sisa waktu itu, kita bakal diliatin memori yang palingggg berkesan selama hidup sebelum akhirnya meninggal. Kok bisa keren gitu, ya?“
Rooftop kembali menjadi saksi bisu perbincangan kedua anak adam yang tengah nikmat berbaring itu. Tak ketinggalan ditemani sepoinya angin kota Bandung yang menerpa kulit keduanya, Haidar dan Marko tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
“*Keren maksudnya?”
“Iya, keren. Bahkan dalam keadaan hidup dan mati pun, kita masih dikasih kesempatan buat kembali mengingat memori paling berkesan yang pernah terjadi dalam hidup kita. Sebegitu baiknya Tuhan ngerangkai cara kerja hidup kita, sampe organ tubuh yang ada di dalem tubuh kita pun dikasih tugas terakhirnya sebelum kita bener-bener pergi. Padahal kan kematian itu mengerikan—tapi mungkin karena Tuhan tau kematian itu mengerikan—dia menyiapkan momen terakhir buat kita untuk mengingat bahwa hidup itu sebenarnya indah. Semuanya indah, dan kita nggak perlu pergi dengan mengingat apa yang tertinggal, tapi kita hanya perlu mengingat apa yang paling bikin kita bahagia.“
Marko menoleh ke arah Haidar, lalu terkekeh saat melihat lelaki itu meracau. “Menurut lo, nanti kalo kita meninggal, memori yang bakal keputer tuh apa, ya?” Lelaki itu ikut menoleh ke arah Marko yang telah menatapnya sedari tadi.
“Ini.” Marko dengan cepat mendekat ke arah Haidar, lalu mengecup bibirnya. Yang dicium melotot, lalu menjauhkan bibir itu dari bibirnya. “LO GILA YA?!?”
Marko terkekeh, “Ya bener kok, ini. Yang bakal gue inget pasti cuma lo. Dimana gue cium bibir lo, atau saat meluk lo, atau pas bonceng lo, atau pas tidur bareng sama lo sambil nangis. Ya apalagi kalo bukan tentang lo?”
Haidar membeku, ia melipat bibirnya lalu mengalihkan pandangan dari lelaki menyebalkan itu. “DUNIA LO NGGAK GUE DOANG KALI!” Ia cemberut, “Dunia gue itu lo. Cuma lo.”
“Cih,” Haidar mendecih, lalu berbalik dengan maksud memunggungi Marko. “Gak usah salting, lo jelek.” Ejek Marko.
“SIALAN LO DIEM GAK!!!!!” Haidar bangkit dari tidurnya, lalu menendang bokong itu. Ia lantas berdiri dan berlari dari sana karena perasaan di hatinya yang terlalu membuncah. Ia tidak bisa. Tidak akan pernah biasa dengan semua ini.
Marko yang melihat itu pun ikut bangkit dan segera berlari menyusul Haidar, lalu menarik tangannya untuk ikut berlari-lari di atas rooftop kosong tersebut. “I LOVE YOU HAIDAAAAR!!!!”
Haidar yang tengah ikut berlari bak anak anjing itu hanya bisa menahan tawanya, “I HATE YOU MARKOOOOO!!!!”
Demi tuhan, Jefri tidak tahu dosa apa yang pernah ia perbuat di masa lalu sampai-sampai ia harus kembali merasakan dejavu seperti ini. Ia tidak pernah menyangka akan berdiri kembali di depan ruangan UGD yang membuatnya trauma luar biasa. Ia masih ingat disforia ini, ingatan belasan tahun silam dimana ia kehilangan istrinya kembali terputar dibenaknya. Ia tidak ingin mengulangi kejadian itu. Tuhan, tolong. Dimana putranya sekarang?
“Bapak Jefri?” Satu suara itu berhasil membangunkannya dari lamunan buruk itu. “Saya dari kepolisian Coblong, mendapatkan informasi bahwa mobil Bapak baru saja mengalami tabrakan di persimpangan Dago.”
Jefri pejamkan kedua matanya, berusaha untuk tidak bergetar hebat dengan terus mencengram jemarinya. “Mobil Bapak masih ada di TKP bersama dengan tersangka, untuk korban yang ada di dalam mobil Bapak sudah kami serahkan kepada pihak rumah sakit. Kami akan selidiki kecelakaan ini apakah—”
“Anak saya... Dimana anak saya?”
“WALI ATAS NAMA PASIEN ABIAN MARKO PRATAMA, SEKALI LAGI PANGGILAN KEPADA WALI ATAS NAMA PASIEN ABIAN MARKO PRATAMA!” Suster di ruang UGD itu tengah mencari keberadaannya, membuat Jefri berlari kesana. “Anak saya... Anak saya...”
“Bapak mohon maaf, apakah Bapak wali dari—”
“Abang... Abian... Ini Papa...”
Suster yang mendengar itu lantas mengulum bibirnya, dan membawa Jefri yang sudah kehilangan akalnya menuju ruang tindakan.
“ADA PASIEN BARU KECELAKAAN DI FLYOVER, PATAH TANGAN DAN LUKA MAJOR DI KAKI KEADAANNYA MASIH SADAR ADA YANG BISA BANTU?!??!” Satu suara lain yang terdengar dari luar sana, membuat sang suster terlihat sangat kewalahan.
“Bapak, mohon tunggu disini. Kami sedang berusaha sebaik mungkin,” Suster itu mencoba menenangkan Jefri yang sudah jatuh terduduk di depan ruangan di mana putranya tengah berjuang hidup dan mati.
“SUSTER, DIMANA ANAK SAYA? SUSTER, TOLONG. ANAK SAYA YANG BERNAMA HAIDAR DIMANA?”
“Saat ini kami baru saja menerima dua pasien kecelakaan. Akan kami informasikan kembali apabila kami sudah bisa mengidentifikasi pasien,” Dengan cepat suster lain yang baru saja bergabung itu menenangkan pasangan lain yang baru saja datang.
“ANAK SAYA YANG KECELAKAAN DI FLYOVER, SUSTER... DIMANA ANAK SAYA?” Suster itu kembali menuntun Egi menuju ruang tunggu, “Anak Ibu akan baik-baik saja. Dokter sedang menangani anak Ibu disana, anak Ibu akan baik-baik saja,” Ucapnya kembali.
“Egi, Haidar baik-baik aja... Tenang, ya?” Joni disampingnya dengan cepat membawanya ke pelukan.
“DEFIBRILLATOR!!! DENYUT JANTUNGNYA HILANG!!!” Mendengar itu Jefri berdiri, lalu bergegas masuk menuju tempat putranya terbaring.
“BAPAK, DIMOHON MENUNGGU DI LUAR—”
“Abang, ini Papa... Abang, kamu bisa denger suara Papa?” Lelaki paruh baya itu dengan cepat menggenggam tangan putranya yang sudah dingin, “Abang, jangan tinggalin Papa. Abang, tolong. Papa belum siap, Bang. Ayo bangun, ya? Abian Marko Pratama...”
Ia menatap kedua mata yang tertutup rapat itu, lalu mengusapnya lembut. “Abang, kenapa... hiks...” Tangis lelaki itu pecah kembali hingga akhirnya ia ditarik untuk menjauh dari sana, membuat dokter yang sedang menangani kembali memberi kejut jantung pada Marko yang sudah terbaring tak bernyawa.
“ABANG!!!!!!!!!!!” Jefri kembali berteriak histeris. Monitor pada layar telah menunjukkan garis lurus, Jefri kini sendirian.
Egi serta Joni yang melihat itu lantas ikut menangis, mereka berdua tahu siapa yang ada di balik ruangan itu. “Jo, Marko...” Egi menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu kembali menangis kencang.
“Mohon maaf, dikarenakan pendaharan hebat yang terjadi di dalam perut dan juga kepala... Pasien tidak selamat.”
Hancur. Bumi ini memang pantas Jefri hancurkan.
Suara cicitan burung mungkin adalah hal pertama yang Haidar dengar setelah ia bangun dari tidurnya. Ia merasakan ada sebuah tangan hangat yang tengah menggenggamnya, apakah itu Marko? Dalam hati ia berharap bahwa yang tengah tertidur disampingnya ini adalah kekasihnya. Berharap hal pertama yang dapat ia dengar dari mulutnya itu adalah kalimat manis dimana ia begitu khawatir setelah melihat keadaan dirinya saat ini. Haidar dengan sengaja enggan membuka matanya yang masih sedikit kabur, lalu tersadar ketika tangan tersebut terasa sedikit lebih lembut.
“Ade? Ade udah sadar?” Itu bukan suara Marko. Itu bukan suara lelakinya. Kenapa ada Amih disini? Bukannya semalam yang ia hubungi adalah Marko? Kenapa malah ada Amihnya disini?
“Amih...?” Haidar betulan terkejut, ia belum menyiapkan skenario apapun untuk membela diri di depan sang Ibu. “Amih, ade bisa jelasin—”
“Gapapa, Ade. Amih nggak akan nanya apapun,” Wanita itu tersenyum, membuat Haidar keheranan.
“Amih... Nggak penasaran kenapa Ade celaka?”
Egi kembali mendekat, lalu mengelus pipi putranya. Mengusap luka-luka yang masih basah itu, lalu menangis. “Yang penting kamu masih disini. Itu yang paling penting buat Amih. Itu udah cukup.” Mendengar ucapan itu, dahinya mengkerut. “Amih ngomong gitu kaya Ade bakal meninggal aja.”
“Itu mimpi buruk semua orang tua, De. Kehilangan anak mereka bahkan sebelum waktunya mereka pergi.“
Haidar tekekeh, “Ade baik-baik aja, Amih. Udah jangan nangis,” Ia melepas tautan jemari sang Ibu lalu bergegas menghapus jejak air matanya.
“Tapi, perasaan semalem Ade nelfon—”
“Hmm?”
“Eh? Enggak Mih, hehe.” Ia tersenyum. Melihat itu Egi hanya bisa tersenyum getir, lalu kembali mengelus jemari putranya. “Ade, Amih nggak tau harus bilang ini sama kamu sekarang atau engga, tapi—”
“Mih, hp Ade mana?” Tanya sang putra, membuat kalimatnya terputus. “Ade laper, Mih. Mau makan,” Egi dengan cepat mengangguk, “Tunggu ya, Amih mintain dulu sarapan ke suster.” Ia dengan cepat bangkit lalu berjalan keluar kamar, lalu kembali lagi dengan ponsel putranya.
“Jangan dulu main hp kalo bisa, kamu baru bangun nanti pusing,” Titahnya, membuat Haidar mendecih. “Emangnya Ade anak kecil?”
Setelah sang Ibu pergi, Haidar bergegas membuka ponselnya. Ia melihat dengan jelas dan seksama, memastikan sekali lagi bahwa ia sudah mengirim pesan SOS kepada Marko.
“Marko kemana, sih? Kok nggak ada disini,”
Haidar cemberut, “Dasar cowok nggak jelas. Katanya bakal langsung muncul kalo gue kenapa-kenapa, mana buktinya? Emang omongan cowok nggak ada yang bisa dipercaya.”
“Argh!” Rintihnya saat lengan yang tengah digips itu tersenggol. “Sialan, sakit banget lagi.” Haidar mencoba untuk turun dari kasurnya, lalu berjalan keluar meninggalkan kamarnya.
“Amih mana sih...” Lelaki itu terus berjalan hingga sampai di depan ruang UGD. Ia masih ingat kejadian semalam dengan sangat jelas, dimana ia dibawa oleh ambulans dan terbaring disini. Seluruh badannya dibalur dengan betadine hingga ia menjerit kesakitan, dan setelah itu gelap. Ia tidak ingat apa-apa lagi.
Haidar melihat ke sekeliling ruangan yang terlihat hening itu, “ADE!” Panggil Egi dari belakangnya, membuat Haidar terperanjat kaget.
“Amih, ih! Jangan teriak-teriak, ini UGD,” Dilihatnya raut khawatir muncul dari wajah Ibunya, membuat Haidar kembali mengerutkan dahinya. “Amih kenapa, sih?”
“Kamu nggak ada di kamar, Amih panik. Kamu ngapain disini, Nak? Jangan bikin Amih takut, tolong...” Egi taruh kedua tangannya di atas pundak sang putra, lalu membawanya ke pelukan. “Amih lama, jadi Ade—”
Kalimatnya terputus saat kedua netranya melihat satu sosok yang tak asing di depannya. “Papa Jefri?”
Egi melepas pelukannya, lalu ikut melihat ke arah pandang sang putra. Ia terkejut, lalu menghalangi tubuh putranya itu. “Ade, kamu laper 'kan? Ayo balik ke kamar, kita sarapan,”
“Sebentar Amih, Ade mau ke— Om Jefri!”
Lelaki itu menoleh, lalu mendapati seorang Haidar yang tengah mendorong infus di tangan kirinya itu berjalan mendekat ke arahnya. “Assalamualaikum, Om. Saya Haidar, temennya Marko,” Ia tersenyum, lalu membungkuk karena tidak bisa memberikan tangan kanannya untuk sekedar salam.
“Haidar?” Ia tersenyum getir.
“Om mungkin nggak kenal sama saya, karena belum pernah ketemu. Hehe. Saya temen SMA dan kuliahnya Marko, Om,”
Oh, i've been knowing you since day 1, Haidar.
“Om lagi apa disini? Om sakit?” Mendengar itu senyum Jefri lantas memudar. Mata lelahnya cukup membuat Haidar untuk menarik kesimpulan bahwa Ayah Marko itu sedang tidak baik-baik saja. “Om nggak sakit, tapi—”
“Om sendirian? Markonya kemana? Kok nggak ditemenin? Jahat banget ya diamah, bikin Om sendirian ke rumah sakit,” Ia kembali terkekeh, membuat Jefri kembali berkaca-kaca. “Iya, Marko jahat, Nak...”
Melihat itu Haidar berhenti terkekeh, ia merasa sadar diri ketika melihat Papa Jefri menangis. “Eh, Om... Maaf, Haidar nggak maksud gitu, Haidar bercanda—”
“Marko udah nggak ada, Haidar,”
Sesaat setelah kalimat itu keluar dari mulut Jefri, telinga Haidar mendadak ngilu. Gendang telinganya berdenging sangat nyaring sampai-sampai membuatnya pening luar biasa. Ia memiringkan kepalanya sejenak, berniat menghilangkan suara yang membuatnya tak nyaman itu.
“Gimana, Om? Nggak ada maksudnya—”
“Marko meninggal semalam karena kecelakaan mobil di perempatan Dago, Haidar. Dia kebut-kebutan dari arah atas, dan dari arah Dipatiukur ada yang lagi ngebut juga. Lampu lalu lintas sudah berganti jadi merah tapi Marko masih dalam kecepatan tinggi, dan disitu dia kecelakaan sampe mobilnya terbalik. Kepalanya pendarahan hebat, Marko ninggalin saya sendirian, Haidar...”
Egi di belakangnya hanya bisa menahan tangis, ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang Jefri yang harus kehilangan anaknya dalam waktu satu malam. Ia tidak bisa membayangkan apabila dirinya yang ada disana sekarang, harus melihat Haidar terbujur kaku tak bernyawa— tidak, Egi tidak akan pernah bisa.
“Om minta maaf atas nama Marko—”
“Dimana dia sekarang?”
“Haidar, keadaannya sudah nggak—”
“Om,” Haidar telan ludahnya mati-matian, “Dimana, Om? Dimana Marko?” Air mata itu luruh juga, masa bodoh dengan Jefri yang akan menganggapnya aneh atau apa. Ia tidak peduli. Ia hanya butuh Marko. Marko-nya.
Jefri menoleh ke arah kanan, ke arah sebuah ruangan yang semalam menjadi tempat terakhir Marko menghembuskan nafasnya. Dengan cepat Haidar melepas infus yang tertancap di tangannya itu, lalu berjalan masuk kesana.
Pemandangan yang Haidar lihat pertama kali adalah sebuah kain putih yang sudah menutupi satu sosok di bawahnya. Apapun itu, Haidar masih enggan menerima bahwa itu adalah Marko. Walaupun ia sudah membaca nama yang tertera pada kasur ruangan itu sebagai Marko, ia masih perlu membuktikan dengan kedua mata kepalanya sendiri.
Seluruh badannya bergetar hebat, langkahnya terasa begitu berat. Dengan susah payah dan sisa keberanian yang tersisa, ia akhirnya menyampirkan kain putih yang menutupi tubuh itu. Tangisnya dengan segera pecah, Haidar terjatuh.
Ia berteriak, memanggil satu nama yang hanya ada dikepalanya. “MARKO! MARKO!!!! MARKO BANGUN!!!!! BANGSAT, BANGUN SIALAN!!!!!“
Mendengar itu Jefri bergegas menyusulnya, dan membantu Haidar yang sedang berusaha untuk kembali berdiri. “Haidar, sudah ya—”
“MARKO, INI GUE, HAIDAR. MARKO, BANGUN, PLIS...” Isaknya begitu kencang, membuat siapapun yang mendengarnya ikut merasa pilu.
“Marko, marko... Marko...”
“Sayang... Ini gue, Haidar... Marko... Kenapa... Lo disini... Lo harusnya—” Ia tercekat, kembali menangis sekencang-kencangnya. “Marko, marko...” Haidar melepas pegangan erat dari Jefri, “Marko, kenapa muka lo pucet banget? Hmm?” Ia usap wajah yang sudah pucat pasi itu, kulitnya dingin. Ini bukan Marko. Ini bukan kekasihnya yang memeluk dengan hangat kemarin. Kemana Marko miliknya?
“Sayang... Marko... Hey, bangun. Hmm? Ini gue, gue disini. Gue baik-baik aja. Kenapa malah lo yang ninggalin gue?” Ia terduduk disamping ranjang itu, “Marko... Marko... Marko...” Ia terus memanggil nama itu, berharap yang dipanggil akan kembali membuka matanya dan memeluknya. Berharap nama yang dipanggil akan kembali tersenyum dan berkata, “It's a prank, sayang. Jangan nangis,“
Kalau saja Marko mengangkat telfonnya semalam, Marko tidak akan terbaring disini. Marko pasti akan duduk disampingnya sambil mengenggam tangannya sekarang.
“Mana janji lo? Katanya nggak akan pergi ninggalin gue sendirian, lo bohong. Kenapa lo bohong?”
“Marko bangun...”
Ia kembali mendekat, menaruh kedua tangannya di pipi yang dingin itu. “Kenapa nggak angkat telfon gue semalem, Bi? Kenapa... KENAPA?!”
“Marko... Ini nggak adil, lo nggak boleh pergi... Lo nggak boleh ninggalin gue, lo nggak boleh pergi sialan. Bangun, plis? Ayo bangun, sayang...” Haidar menggoyangkan tubuh kaku itu, lalu kembali menangis.
“Marko, kenapa badan lo dingin banget? Lo nggak pake jaket ya semalem, hmm? Marko, bangun... Jawab gue, plis?” Ia remat kain putih itu, “Marko... Bangun... Lo belum pamitan sama gue, gue nggak akan relain lo pergi sampe kapanpun. Lo nggak boleh pergi tanpa seizin gue. Bangun, Abian. BANGUN!!!!” Haidar pukul dada itu berkali-kali hingga akhirnya dihentikan oleh Jefri.
“Haidar, sudah. Marko sudah pergi dengan tenang. Biarin dia pergi, ya?”
“ABIAN MARKO PRATAMA!!!!!!!”
Ia terus memanggil nama itu hingga semuanya gelap. Tidak ada yang tersisa selain rasa takut yang menggerogoti jiwa Haidar. Membayangkan ia harus tetap hidup di dunia yang kelam ini, membuat lelaki itu terus menangis dalam tidurnya selama beberapa hari. Ia sendirian sekarang. Ia sudah tidak punya alasan untuk hidup. Ia ingin Marko kembali.
Atau kini, sudah waktunya bagi Haidar untuk menyusulnya?
Dar, lo tau nggak? Gue selalu berdoa agar lo dijauhkan dari segala hal buruk yang ada di bumi. Ngeliat gimana sekarang guenya yang dijauhin dari hidup lo, mungkin hal buruk yang selama ini gue takutin adalah diri gue sendiri? Gue nggak mau jadi hal buruk itu, Dar. Dan Tuhan udah jawab semuanya sekarang. Maafin gue, Haidar.
—leobabybear 🌹 ditulis hari selasa, pukul dua dini hari.