kusut. —haidar dan marko.
cw // rokok , cigarettes , suicidal thought.
“Assalamualaikum,” Haidar mengetuk pintu ruang jurusannya.
“Waalaikumsalam-eh, siapa ini?” Sahut Ibu Yuli riang. Beliau adalah sekretaris jurusan manajemen bisnis sekaligus sosok yang cukup dekat dengan Haidar.
“Hehe buyul apa kabar?” Sapanya sambil mencari posisi yang nyaman kala ia duduk di sofa yang ada disana.
“Alhamdullilah, kamu gimana? Kesini mau ngambill sesuatu, ya?” Ibu Yuli melirik jahil seperti tengah mengusilinya. Haidar dengan wajah tengilnya menjawab, “aduh, maaf ya Bu. Saya duluan,” Ia membawa beberapa persyaratan administrasi yang diperlukan untuk mengambil toga.
“Sebel ah, sombong kieu.” Cibirnya. Haidar terkekeh, “Naon ih ai Ibu, sombong apanya, memang nyatanya gitu, saya wisuda duluan dari yang lain.”
“Meni semangat banget ngambil toga, baru kamu loh yang ngambil di gelombang pertama. Yang lain mah belom pada kesini,”
“Masih pada betah kali Bu disini,”
“Lah emang kamu udah ngga betah?” Mendengar itu Haidar terdiam sejenak. “Hehe, ya ngga atuh. Betah pisan malah. Tapi ada yang harus dikejar, Bu,”
Mendengar itu Bu Yuli hanya ngangguk-ngangguk, “iya sok, apapun itu yang lagi kamu kejar Ibu doain semoga bisa cepet sampe ya, Haidar. Larinya hati-hati, awas ntar kesandung,” Selanjutnya ia menyerahkan bungkus plastik berisikan toga yang sudah ia siapkan sebelumnya.
“Ukuran badan kamu teh L, 'kan? Sok dicoba dulu,”
“Ih, Ibu, kegedean!”
“Belom ge dicoba. Sok cobain,”
“Masa disini gantinya? Di depan Ibu?”
Sebuah pukulan ringan jatuh di lengan kanan Haidar, “angger si banyak bercanda, ya di wc atuh sana!”
Haidar terkekeh, “nanti aja ketang Bu, saya buru-buru ada acara.”
“Si paling sibuk dari jaman maba. Yaudah sana, sekali lagi selamat dan sukses, ya, Haidar.” Ibu Yuli tersenyum, lalu memberikan pelukan hangat sejenak kepada mahasiswa yang paling dekat dengannya itu.
Sudah pukul dua siang namun presensi Marko masih tak bisa Haidar rasakan di rooftop itu. Tadi pagi, keduanya sudah berjanji untuk bertemu di FEB-fakultas Haidar-pukul 12 siang. Marko bilang ia akan berangkat setelah shalat dzuhur, tapi hingga saat ini lelaki itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Itulah mengapa akhirnya ia memilih untuk mengambil toga sendirian. Seperti memang semesta tidak ingin membuatnya kesulitan lebih jauh, hanya karena takut dicurigai sesuatu karena anak adam mengantar anak adam lainnya untuk mengambil toga. Tapi, memang apa yang salah dari itu?
Ia biarkan toga yang diambilnya tadi tergeletak sembarangan, tertiup angin sana-sini. Haidar menopang dagunya diatas pagar pembatas itu, lalu membiarkan semilir angin membawa seluruh laranya tanpa arah. Disamping kirinya, ada satu kotak rokok yang begitu familiar di memorinya. Berry Pop versi mini seharga enam belas ribu rupiah baru saja dibelinya tadi saat tak sengaja melewati salah satu toko swalayan yang ada di sebrang kampusnya.
Setelah selesai dengan sesi melamunnya, ia segera membuka plastik bungkus rokok tersebut dan mengeluarkan satu batang dengan cepat. Tanpa menunggu lagi, ia segera membakar nikotin itu.
Haidar dan segala kebiasaannya yang segera lari kepada rokok saat segala sesuatu tengah tidak baik-baik saja, bisa dengan mudah Marko tangkap sesaat setelah ia sampai di tempat itu.
Marko sebenarnya enggan mengganggu kegiatan membakar uang kekasihnya itu, tapi ketika Haidar tengah membakar rokoknya yang keempat, lelaki itu segera maju mendekatinya.
“Lah udah diambil ternyata toganya?” Marko sedikit terkejut saat melihat kehadiran toga yang tengah tergeletak itu. “Katanya minta temenin, gimana sih,” lanjutnya, sambil mengambil kotak rokok yang ada dihadapannya.
Belum sampai ia mengeluarkan rokoknya, dengan cepat Haidar rebut kembali rokok miliknya. “Sejak kapan lu sering nyolong rokok gue gini?” Sinisnya.
Marko mendecih, “sejak kapan lu jadi rajin ngerokok gini?”
Keduanya diam, enggan menjawab pertanyaan yang saling mereka lontarkan. “Nggak sopan banget.” Sinisnya lagi, lalu menyimpan rokok berharganya di kantung celana.
“Pelit anjing berry pop doang,” tidak mau kalah, akhirnya lelaki kelahiran agustus itu keluarkan kotak rokok mahal kebanggannya; marlboro.
“Mau ngomong apa?” Sahutnya ditengah kegiatan mengapit rokok dengan bibirnya. Setelah racun itu terbakar, Haidar matikan rokok miliknya yang sisa setengah.
“Gajadi. Udah keburu males,”
“Brengsek.”
“Harusnya gue ngga sih yang bilang gitu?”
“Lo tau 'kan gue paling ngga suka kalo ada orang mau ngomong tapi ngga jadi?”
“Lo juga tau 'kan kalo gue paling ngga suka sama orang yang ngaret?”
Keduanya kembali bungkam.
“Gue tadi-”
“Bi,”
Marko kembali menggulung bibirnya.
“Kalo gue loncat dari sini, bakal langsung mati gak, ya?” Haidar menengok area parkiran kampusnya itu sejenak.
“Ngga tau, belum pernah nyoba.” Ketusnya. Oh ayolah, siapapun yang berfikir dengan rasional akan langsung mengerti tanpa perlu ditanya seperti itu. Sudah jelas jika seseorang melompat dari lantai 15, ia akan langsung mati.
“Waktu gue kecelakaan di fly over kemarin, jujur...” ia menghela nafasnya sejenak.
“Jujur gue udah berharap mati aja waktu itu,” ia tersenyum miris, “tapi disaat lagi pasrah-pasrahnya gue sama hidup, disaat nyawa gue lagi diujung tanduk, disaat tinggal satu detik lagi nyawa gue dicabut...” lelaki itu menoleh, “gue keinget eskosu titipan lo.”
“Gue keinget eskosu titipan lo malem itu yang isinya udah bocor. Gue langsung sadar kalo gue harus gantiin tu kopi, kalo engga lo pasti ngambek,” mendengar itu Marko hanya bisa memijat pelipisnya lalu geleng-geleng.
“Gue masih inget alasan gue buat hidup, Bi. Cuma lo alesan gue tetep hidup sampe hari ini,” Haidar kembali hembuskan nafas beratnya.
“Malem itu gue mikir... kayanya kalo gue mati, semua masalah bisa ikut sama gue. Ngga ada lagi yang perlu ditakutin,” ia remas buku-buku jari kecilnya sebentar, “tapi nyatanya gue ngga seberani itu untuk ketemu malaikat izrail. Gue masih lebih takut ngga bisa ketemu lagi sama lo dari pada beliau,”
Tak bisa lagi menahan kekesalan yang dirasakannya, Marko akhirnya menendang betis Haidar. “Beliau beliau pala lo anjing.” Kasarnya.
Haidar terkekeh puas, tapi tidak dengan Marko.
“Lo inget ngga pas di rumah sakit gue bilang kalau kecelakaan udah jadi bagian dari takdir gue?” Haidar kembali menoleh kearah kekasihnya. “Setelah gue pikir lagi, ternyata mati juga bukan bagian dari takdir gue malem itu. Artinya, emang masih ada hal yang harus gue perjuangin ngga sih, bi, makanya gue masih dikasih kesempatan buat hidup? Ya selain gantiin eskosu lo,” ia terkekeh lagi.
Disaat lelaki itu tengah membersihakan celananya, netranya tak sengaja melihat sebuah paper bag salah satu toko baju terkenal yang biasa teman-teman hawanya bawa kesana-kemari.
“Abis dari PVJ lu tadi? Bawa apaan tuh?” Sahut Haidar sedikit geer. Ia sedikit percaya diri isinya adalah hadiah kelulusan yang pacarnya beli untuk dirinya.
“Kenapa lagi kali ini, Dar?” Potong lelaki itu to the point. Belum satu menit senyum manis Haidar mengembang, ia langsung menurunkan lengkung bibirnya.
Marko yang sedari tadi diam sebenarnya sudah menangkap aura kurang mengenakan karena Haidar mengoceh tentang hal yang tidak masuk akal.
Haidar segera mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, lalu memberikan secarik kertas kusut padanya. “Nih,”
Dengan berat hati, ia pun mengambil kertas itu dan segera memperhatikan apa yang tengah bocah itu ingin perlihatkan.
“Gue dapet beasiswa dari perusahaannya abang, Bi.”
Tak terasa sudah tiga bulan berlalu semenjak skripsinya selesai. Jika ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan laki-laki kelahiran enam juni itu saat ini adalah pengangguran. Karena nyatanya memang benar, anak itu benar-benar sedang menganggur. Tidak ada alasan khusus yang mendasari anak adam itu memilih untuk membuang waktunya sia-sia daripada menjelajah kanal Linkedin. “Belom dapet gelar, ah, santai.” Katanya. Gelar cumlaude yang ia dapat kemarin-dan akan selalu diembannya-tidak membuat Haidar terlalu bersemangat untuk menyelami dunia kerja.
Tak terasa juga sudah satu bulan berlalu sejak sang kakak—Hendri—kembali menghangatkan suasana rumah mereka yang biasanya hanya dipenuhi oleh suara denting garpu dan sendok beradu di jam makan malam. Kehadiran kakaknya sekali lagi berhasil membuat suasana rumah mereka benar-benar disebut “rumah”.
Tok tok tok
“Ade,” Suara itu samar terdengar di telinga Haidar yang tengah nyaman rebahan.
“Apaaaaa,” Malasnya.
“Abang katanya mau ngomong, ayo keluar,” Sahut Amih lembut, membuat lelaki itu mengerutkan dahinya. Tanpa memikirkan topik apa yang kiranya akan sang kakak angkat, akhirnya ia bangkit dari sesi me time-nya lalu bergegas menuju ruang tamu dimana sang ayah dan kakaknya tengah duduk bersama secangkir teh hangat dan juga kudapan lainnya.
“Kunaon euy,” Sahutnya sambil menyenggol bahu sempit kakaknya.
“Amih, sini.” Panggil Hendri pada ibundanya. Melihat itu telapak tangan Haidar dengan cepat dipenuhi keringat. Suhu ruangan itu mendadak dingin.
“Apaan sih anjir, a? Sok serius gini,” Walau dari gaya bicaranya terdengar biasa saja, tetapi jantung anak bungsu itu berdegup dengan begitu kencang.
“Mih, Pa, minggu depan Hendri udah harus balik ke Kalimantan.” Sahutnya begitu sang Ibu kembali dari dapur sembari membawakan secangkir teh hangat untuk anak bungsunya.
“Yes, baguslah. Jadi sepi lagi rumah,” Celetuk Haidar sambil mengambil kue bolu pisang kesukaannya.
“Gimana S2 kamu? Jadi, ngga?” Mendengar ucapan kakaknya barusan membuat Haidar yang tengah nikmat mengunyah bolu pisang tersebut mendadak tercekat hingga tersedak.
“Ade, ih! Pelan-pelan aja kenapa, sih? Ada banyak tuh, banyak, ngga akan ada yang makan bolunya buat kamu semua,” Egi segera menepuk punggung putranya itu.
Hendri sodorkan sebuah amplop berwarna coklat ke hadapan adiknya, “sok, dibaca dulu.”
Setelah melirik ke arah Ayah dan Ibunya, akhirnya ia membuka amplop tersebut. “Perusahaan aa punya program beasiswa ke luar, berangkat bulan depan tapi harus wawancara dulu langsung di Kalimantan. Kamu mau coba?”
Demi semesta dan seluruh isinya, apa maksudnya-
“Papa sama Amih udah ngga keberatan karena kamu dibawah pengawasan aa langsung,” Hendri mendaratkan kepalanya di kepala sofa, lalu memijatnya sebentar. “They said as long as it makes you happy, then go for it.“
“Gue udah ke Kalimantan kemarin, dan gue lolos. Gue berangkat dua hari lagi,” ia menautkan kedua tangannya di pagar pembatas itu lagi, lalu menundukkan kepalanya lelah.
“Visa, pasport, tiket, baju, semua perlengakapan gue buat S2 udah siap. Gue beneran tinggal berangkat,” Marko masih tak bergeming, ia tatap lekat-lekat formulir pendaftaran beasiswa yang penuh dengan coretan kekasihnya itu.
“Gue terima aja tanpa mikirin hal yang lain. Iseng berangkat ke Kalimantan sekalian ketemu ponakan-ponakan gue yang gemesnya naudzubillah,”
“Dan juga karena gue tau, kalau gue tolak kesempatan ini, entah kapan lagi gue bisa berangkat ke Amsterdam.”
“Tapi kayanya gue ngga akan berangkat-”
“Kenapa?” Potongnya.
“Serius lo masih nanya kenapa?”
“Iyalah. Gue ngga paham poin lo kali ini nolak karena apa. Kalo misalnya lo nolak karena kehalang sama gue yang masa depannya ini masih belom jelas, then it's a loss for you.” Marko lipat rapi kertas yang sudah kusut tak beraturan itu, lalu menyimpannya.
“Gue ngga mau ninggalin Bandung.” Bisiknya disela helaan nafasnya.
“Dar,”
“GUE NGGA MAU NINGGALIN RUMAH GUE, MARKO!”
Beratnya beban yang ia tanggung selama ini akhirnya tumpah ruah lewat airmatanya. Dan lagi-lagi, ia kembali meluapkan semuanya dihadapan Abian Marko Pratama.
Haidar memukul pagar pembatas itu hingga bunyi dentingnya terdengar. Ia lalu menjambak rambutnya kasar, “Bi, gue ngga mau ninggalin Bandung... Gue ngga mau ninggalin rumah gue...”
“Tapi Bandung bukan rumah kita,” Marko peluk raga itu, bermaksud untuk menenangkannya. Haidar kembali terisak kencang saat hangatnya tubuh Marko berhasil menenangkan kalut dalam dadanya.
“Hey, sayang... Look at me,” Lelaki kelahiran agustus itu tangkup wajah kekasihnya, “haidar, sayang...”
Kedua netra mereka bertemu. Marko tersenyum, “Pergi, ya?”
Haidar menggeleng, “Ngga mau, Marko. Ngga mau kalo engga sama lo,” lelaki itu kembali terisak.
“Yang punya kesempatan sekarang cuman lo, Haidar. Lo bisa pergi dari sini,”
“Gue bilang pergi bareng, atau ngga sama sekali, Bi. Gue ngga mau pergi sendirian! Gue ngga mau misah kaya gini!” Teriaknya, yang sekali lagin berhasil membuat hati Marko ngilu.
“TAPI KESEMPATANNYA CUMA ADA BUAT LO, DAR! BUKAN BUAT GUE!”
Haidar lepas tangkupan wajah itu, lalu berdiri memunggungi Marko yang juga tengah kalut. “Lo bisa nunggu gue disana-”
“Sampe kapan, hah? Sampe kapan lagi gue harus nunggu? Jawab gue!”
Marko kembali mengacak-acak rambutnya frustasi, “jadi lo milih nyerah, Dar? Lo nyerah buat kita berdua?”
Haidar kembali menggeleng, ia segera berjalan mendekat ke arah kekasihnya itu lalu mencengkram kedua tangannya yang dingin. “Ini bukan soal menyerah, Marko. Tapi ini perihal mengakui sama satu dunia kalo kita emang kalah.“
“Demi Allah, Marko, gue ngga mau ninggalin tempat gue bisa kenal sama lo. Gue ngga mau ninggalin tempat yang punya banyak rahasia yang cuman kita berdua tau. Demi Allah, Marko, gue ngga mau. Gue ngga mau ninggalin angkringan ITB yang pernah jadi saksi takutnya gue kalo dipeluk sama lo, gue ngga mau ninggalin ruang tamu rumah gue yang sering jadi saksi ciuman kita, gue ngga mau ninggalin sekolah dan kampus, gue ngga mau...”
“Bandung memang istimewa karena disini gue bisa ketemu lo, tapi ini bukan rumah kita, Haidar. Bandung cuman tempat landasan pacu kita untuk terbang lebih jauh. Ke tempat yang seharusnya. Bandung beruntung punya lo-punya kita, Dar. Tapi disini bukan rumah kita. Cepat atau lambat kita harus pergi dari sini, sayang...”
Haidar menghela nafas kesalnya, “kalo taunya nanti lo malah nikah sama cewe gimana? Lo tega ninggalin gue jadi kakek-kakek tua bangka disana sendirian?” Ia tatap netra Marko yang tak sedikit pun meneteskan air mata.
“Cewe siapa, sih, sayang? Hmm? Siapa> Coba bilang,” Suara lembutnya barusan berhasil membuat lelaki itu kembali menangis. Marko dengan telaten menghapus jejak air mata berharga itu.
“Haidar, maaf ya?”
“Maaf untuk?”
“Maaf kalo selama ini gue cuman bisa bikin lo nangis,” ia kembali mengelus pipi penuh air mata itu. “Maaf kalo selama ini gue ngabisin waktu lo,”
“Marko...”
“Maaf karena gue sayang sama lo.”
Tak sanggup lagi mendengar kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan lelaki itu, akhirnya Haidar bawa Marko pada pelukannya.
“Marko, stop. Gue yang harusnya minta maaf... Maaf karena gue ngga bisa jadi kaya orang lain,”
“Haidar...”
“Maafin gue yang egois karena pengen milikin lo seutuhnya, selamanya,”
“Stop.”
“Maafin karena gue Haidar, Bi,”
Marko berjanji tidak akan menangis hari ini, tapi sepertinya ia kembali melanggar janjinya. Ia tidak pernah mengira bahwa menyukai sesama jenis akan jadi setabu ini. Lagipula, apa yang salah dari mencintai sesama? Toh perasaan mereka murni adanya.
“Maafin lo harus ketemu cowo kaya gue ya, Dar.”
“Stop minta maaf, Bi-”
“Tapi maaf, gue ngga bisa gitu aja lepasin lo, lepasin enam tahun kita,”
”...karena gue sayang sama lo. Dan gue akan perjuangin lo, seberat apapun lawannya sekalipun itu dunia.”
Haidar tersenyum lalu mengangguk. “Gue juga sayang banget sama lo, Abian.”
Marko rapikan rambut-rambut kekasihnya itu, lalu berbisik, “mau foto, ngga?”
“Foto apaan anjing lo liat muka gue lah, jangan tolol.” Haidar mengeratkan pelukannya dipinggang ramping Marko.
“Foto pake toga, lo 'kan dua hari lagi berangkat.”
Marko lepaskan pelukan hangat mereka, lalu beralih pada tas belanja yang ia bawa.
“Lah? Itu isinya...”
Belum sempat Haidar selesaikan kalimatnya, dengan cepat Marko keluarkan sebuah toga dari sana. “Tadi gue lama karena ke rumah gina dulu, tadinya mau minjem toga. Tapi pas nyampe sana gue dikatain tolol, karena toga mah sifatnya dipinjemin, bukan dikasih satu per satu,” lelaki itu garuk tengkuknya yang tak gatal pertanda malu.
“Jadi gue buru-buru kesini deh, minta tolong orang dalem alias Bapak Jefri yang terhormat untuk minjem toga dari fakultas bentaran, demi foto sama yang mau wisuda besok,” ia terkekeh bak anak kecil sambil memakai toganya.
“Tau dari mana gue besok wisuda?” Goda Haidar sambil matanya kembali panas karena air mata yang memaksa untuk keluar.
“Ya kata Papa, lah. Bodoh,” ia segera memakai topi toganya, lalu berputar layaknya model.
“Demi apapun ya sumpah, abian marko pratama.”
“Apa anjir?”
“Effort lo, anjing banget. Gue mana bisa nyari yang lain kalo kaya gini?”
“Ya jangan nyari yang lain lah? Buru pake toga lo, langitnya mumpung cakep.”
“Iya cakep, gue nya jelek banget tai.”
“Lo emang dan selalu jelek.”
“NGOMONG SEKALI LAGI ATAU GUE NGGA JADI BERANGKAT KE AMSTERDAM!!!!”
panjang umur, haidar marko. hidupnya, cintanya, dan bahagianya.
—leobabybear 🌹 ditulis hari minggu, pukul sebelas malam.