Maafin Abang, Pa. —haidar dan marko.
Abian Marko Pratama, S.S.
Selendang hitam yang begitu khas selalu diberikan kepada para mahasiswa yang baru saja berhasil menyelesaikan sidang itu tergeletak sembarang diatas kasur dingin kamarnya. Tipikal seorang Abian Marko Pratama, yang tidak begitu antusias ketika diberikan sebuah apresiasi atas pencapaiannya. Ia memilih untuk menyimpan selendang itu ketimbang menyombongkannya dengan cara memakainya kesana kemari seharian, atau sekedar mengambil banyak foto layaknya yang dilakukan Haidar semester lalu.
Walaupun begitu, tentu saja ia tidak lupa untuk berterima kasih kepada Gina. Perempuan yang nampak lebih antusias saat berhasil membobol pintu rumahnya itu baru saja pulang setelah memberikan sebuah kue dan hadiah lainnya sebagai bentuk ucapan selamat karena sahabatnya telah berhasil lulus. Mungkin kalau Haidar yang memberinya kejutan, akan jadi lain cerita. Pasti mereka berdua sedang menghabiskan banyak waktu sekarang—entah dengan cara mengambil foto, atau mengejek satu sama lain perihal siapa yang paling keren karena lulus lebih dahulu.
Ia bukan mahasiswa istimewa seperti kekasihnya yang memiliki track record mengesankan selama menjalani pendidikan di kampus. Ia hanya mahasiswa kupu-kupu biasa, sudah lebih dari cukup baginya untuk sekedar lulus. Tidak ada gelar Cumlaude pun, tidak masalah. Yang terpenting adalah ia lulus tepat waktu, dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa sebagaimana mestinya dengan cara menyelesaikan tuntas skripsinya. Dan juga, membuat Papanya bangga. Reputasi, bro. Bahaya juga kalau gue macem-macem, kasian Papa. Bisiknya dalam hati.
“And what's next?” Hela lelaki itu saat ia menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke bantalan kursi belajarnya.
Tok tok tok
Lelaki itu terperanjat kaget. Buset, baru aja ngomong.
“Bang?”
“Iyaa Pa,”
“Beres?”
“Beres.”
“Papa masuk, ya?” Ucapnya, lantas membuat Marko segera bangkit dan membuka pintu kamarnya.
Jefri yang tengah mengenakan pakaian lengkap—setelan kemeja khas seperti seorang Dosen yang akan mengajar—akhirnya masuk ketika pintunya terbuka. Pria berusia setengah abad itu tersenyum tatkala pandangannya melihat skripsi sang putra yang tersimpan di atas mejanya.
“Tadi siapa yang nguji?” Tanyanya sembari menarik sebuah kursi lipat di dekat lemari kamar putranya. Ia bergegas mengenakan kaca matanya, lalu membuka skripsi tebal itu.
“Kaprodi, Pak Yosef, sama Bu Intan. Intens banget, gila, Pa. Berasa lagi dihakimi,” Ia geleng-geleng, sambil terkekeh karena tidak percaya bahwa ia baru saja diuji oleh 3 Dosen yang paling terkenal menyeramkan di Fakultas Sastra dan Bahasa.
Jefri tersenyum bangga tatkala melihat nilai yang terpampang disana, “Keren judul kamu, Bang,”
Anak itu terpaku sesaat ketika sang Ayah memuji judul skripsinya. Ia menggaruk tengkuknya sebentar, “Hehe, lebih universal aja sih, Pa, dari yang sebelumnya ditolak. Makanya berhasil tembus,” Ia tersenyum kaku sambil menatap figur Ayahnya.
Jefri melepaskan kaca matanya, “Bang,”
“Hmmm?” Marko bergerak canggung, berusaha mengalihkan pandangannya dari netra sang Ayah yang mendadak auranya menjadi sedikit menyeramkan. Ia melipat lengan kemejanya hingga keatas siku, “Kenapa, Pa?”
Sang Ayah terlihat menelan ludahnya sejenak ketika Marko melemparkan pertanyaan itu. Lalu tersenyum.
“Masih ada wacana untuk ambil kuliah di Eropa, Bang?”
Bugh
Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang menghantam belakang kepala lelaki itu kala sang Ayah menyinggung sesuatu yang sensitif baginya.
“Masih. Kemaren baru aja Abang daftar beasiswa. Tapi gagal, Pa. Jadi harus nyoba lagi tahun depan-”
“Abang,”
Lelaki itu menatap sang Ayah tanpa melanjutkan kembali kalimatnya.
“Motor kamu kemana?”
Mampus skakmat.
Ia menggigit bibir bawahnya pertanda gugup lalu terkekeh, “Lagi di bengkel. Biasa lah, Pa. Gasnya kosong jadi ngga enak pas dipake-”
“Papa serius, Bang. Motor kamu kemana?”
“Di bengkel, Pa. Lagi di service–”
“Abian Marko Pratama.”
Ia mengatupkan bibirnya cepat kala sang Ayah berhasil mengucapkan mantra paling mematikan di muka bumi.
“Jujur sama Papa. Apa yang bikin kamu bertindak sampe sejauh ini.”
“Bertindak apa sih, Pa? Emang Abang ngapain-”
“Apa yang lagi kamu kejar, Bang? Kamu nyari apa sampe harus pergi jauh-jauh ninggalin Papa?”
Marko menghela nafas, lalu menganggukan kepalanya sambil tersenyum getir.
“Papa yakin udah siap untuk dengerin semua penjelasan Abang?”
“Tentu-”
“I might hurt you, Pa,”
Well, boy, you're already hurt his feelings since a long time ago.
Jefri masih tak bergeming ketika mendengar peringatan yang diberikan putranya itu.
“Abang mau ngejar dunia Abang, Pa.”
Dahinya mengkerut pertanda bingung. “Maksud kamu apa?”
“Haidar.”
“Siapa Haidar?”
Hatinya menghangat, senyumnya mengembang. “Pacar Abang. Kita udah jalan enam tahun,”
Jefri tak pernah menyangka bahwa hal ini akan tetap membuatnya diam seribu bahasa walau ia sudah pernah melihatnya langsung dengan mata kepalanya sendiri. Ia tak pernah menyangka bahwa akan terasa lebih menyakitkan ketika putranya sendiri yang membenarkan bahwa apa yang ia lihat malam itu adalah benar—ada sesuatu yang terjadi antara dua anak adam ini.
“Maksud kamu?”
“Abang ngga suka perempuan, Pa.”
PLAK!
Satu tamparan keras mendarat dengan sempurna di pipi kiri Marko. Ia memejamkan matanya kala merasakan rasa sakit yang langsung menjalar menuju ubun-ubun kepalanya.
“Vespa kamu kemana, Bang?!”
“ABANG JUAL, PA! ABANG JUAL MOTOR KESAYANGAN ABANG DEMI BISA BERANGKAT NYUSULIN HAIDAR!” Suaranya lantang menyerukan kebenaran yang selama ini tak ingin ia beritahukan kepada sang ayah. Kedua telinga Jefri seakan dijejal banyak kapas—berdenging, kepalanya pening.
“Pa, Haidar sendirian disana... Dia nungguin Abang, Pa. Kita hampir berhasil, sedikit lagi—”
PLAK!
Tamparan kedua kembali mendarat di pipi kirinya.
“Apa kamu bilang? Berhasil? BERHASIL APA, BANG?!” Jefri terengah-engah, melihat dengan hina putra satu-satunya itu. Air mata lelaki itu refleks jatuh tanpa izin. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar jawaban anak itu.
“Berhasil mematahkan ekspektasi orang tua maksud kamu? Kalau gitu kamu berhasil—kalian berhasil.”
Jefri pun bangkit dari kursinya, lalu segera memunggungi putra kebanggaannya itu.
Satu detik kemudian, Marko dengan cepat berlutut di kaki itu. Ia pegang kedua kaki sang ayah, lalu merintih dengan sisa tenaganya. “Pa- hiks,”
“Papa yang paling tau gimana rasanya kehilangan sosok yang paling Papa sayang. Papa yang paling tau itu. Abang ngga bisa kehilangan dia, Pa. Haidar ... Dia itu dunia Abang,”
“Ditinggal Haidar pergi rasanya ngga pernah semenyakitkan ini, Pa. Ditambah sekarang ngga ada jaminan apakah Abang bisa nyusulin dia atau engga. Abang ngga mau bikin dia nunggu terlalu lama, Pa. Abang ngga mau bikin dia hidup sendirian di dunia yang jahat ini ...”
“Maafin Abang, Pa... Abang ngga bisa nemenin Papa disini. Ada yang harus Abang perjuangin, Pa. Ada yang harus Abang kejar—Please, ikhlasin Abang pergi ya, Pa?”
“Tolong izinin Abang untuk nyusulin dia, ya, Pa-”
“Bangun.”
“Engga. Sebelum Papa bilang iya-”
“BANGUN, BANG!”
Marko menyerah, akhirnya ia pun memilih untuk bangkit.
PLAK!!!
Ia kembali merasakan tamparan itu di pipi kirinya. Perih, sungguh. Demi Tuhan. Tapi ini tak seberapa dengan tamparan yang diberikan semesta. Ia kuat. Haidar kuat. Mereka sama-sama kuat, karena sudah terbiasa ditampar realita.
Tangan Jefri gemetar. Entah dosa apa yang akan ia terima nanti karena perbuatannya ini. Tapi satu hal yang pasti, putranya itu memang pantas untuk mendapatkan tamparan darinya.
Sang kepala keluarga meninggalkan kamar yang terasa sesak itu sebentar, lalu ia kembali dengan sebuah amplop coklat di tangan kanannya.
“Papa akan beri kamu dua pilihan. Pertama, kamu tetap disini, hidup sama Papa dan melupakan semua yang udah kamu bilang barusan seakan-akan hal tersebut tidak pernah terjadi—ATAU,“
Ia berikan amplop tersebut kepada sang putra, “Kamu pergi dari sini.”
Netra Marko mebelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
“Ini apa?” Tanya Marko saat ia pegang amplop tersebut.
“Papa menawarkan kesempatan.”
Kedua netra Marko menatap sang ayah bingung, seakan melontarkan pertanyaan maksud dari semua ini.
“Kamu punya satu kesempatan untuk pergi tanpa kembali lagi kesini,” Seraknya, lalu memejamkan kedua matanya.
“Kamu masih punya kesempatan untuk milih, Bang. Kamu pilih untuk tetap disini sama Papa, atau nyusulin dunia kamu?”
Panggil Jefri bodoh, karena tanpa berfikir panjang pun Marko sudah punya jawabannya. Tentu saja ia akan memilih untuk meninggalkan Papanya dan mengejar kebahagiannya.
Panggil Jefri bodoh, karena ada satu orang yang pernah mengajarkan putranya itu ketika sebuah kesempatan datang kepadanya, ia diberi tahu agar tidak melewatkannya.
Dan orang itu adalah Haidar, Jef.
“Maafin Abang, Pa-”
“Oke.”
“Kamu nggak main-main ya Bang, ternyata?” Ia tersenyum getir.
Tentu saja.
“Papa mungkin kecewa, tapi Papa lebih ngga sanggup kalau harus liat kamu tersiksa. Sampai kapanpun, kamu akan tetap seperti ini, 'kan, Bang?”
“Papa udah nahan kamu selama ini, berharap semuanya bisa berubah. Tapi nihil. Ngga ada lagi yang bisa Papa usahain selain relain kamu pergi.”
“Pa-”
“Bilang terima kasih sama Mama. Papa hanya menjalankan amanat terakhir Mama kamu.”
“Maaf karena Papa terlambat, Bang. Papa terlalu berharap sama kamu. Kamu berhasil mematahkan harapan Papa yang seharusnya ngga pernah Papa bangun sejak lama karena kenyataannya kamu memang berbeda,“
“Ca, kamu liat?” Kepalanya mengadah keatas, menatap langit-langit kamar putranya itu.
“Aku udah ngelakuin apa yang kamu minta. Aku udah nepatin janji untuk jadi orang yang akan ngedukung Abang kalau suatu saat dia minta izin untuk pergi,” Air matanya mengalir luar biasa deras. Ia pun terjatuh, namun dengan cepat Marko tahan beban berat Ayahnya itu.
“Papa seneng kalau selama ini kamu bisa menghabiskan waktu sama orang yang kamu sayang, Bang. Karena Papa tau gimana rasanya ngga bisa menghabiskan waktu dengan belahan jiwa Papa, maka dari itu Papa ngga mau hal itu terulang lagi,”
“Papa ikhlas, Bang. Kamu berhak untuk bahagia. Jangan pikirin Papa, ya? Bukan kewajiban kamu untuk nemenin masa tua Papa, karena teman hidup Papa pun sudah dipanggil Tuhan. Tapi kamu-” Ia mengangguk yakin, menatap netra putranya sekali lagi dengan penuh rasa bangga.
“Kamu harus bahagia. Bersama pilihan kamu.”
“Pa... Jadi selama ini kalian udah tau?”
“Since the very first time we met him, Bang. Sejak hari itu.”
Haidar, lelakimu sudah berhasil. Ia berhasil pulang.
—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.