Maafin Ade, Amih. —haidar dan marko.

Ada satu hal yang Haidar percayai selama hampir 25 tahun masa hidupnya di dunia. Bahwa yang namanya takdir, sejatinya adalah suatu peristiwa yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Yang Maha Esa. Dalam kamusnya, tidak ada yang namanya kebetulan. Ia percaya, segala hal yang telah terjadi dalam seperempat abad hidupnya ini adalah termasuk ke dalam takdir yang sudah Tuhan rencanakan. Dan salah satunya adalah bertemu dengan Abian Marko Pratama.

Bertemu dengan pria itu, yang Haidar percayai, bukanlah sebuah kebetulan semata. Ia tahu, bahwa ada alasan dibalik mengapa keduanya dipertemukan hingga akhirnya disatukan dalam ikatan perasaan.

Bertemu dengan Marko, yang ia tahu, jelas sebuah takdir yang Tuhan berikan untuknya. Orang bilang ini ujian, orang bilang ini cobaan. Tapi Haidar menolak keras itu semua dengan meyakinkan hatinya bahwa Marko adalah titipan.

Ia tahu bahwa Marko hadir untuk memberinya pelajaran hidup yang tak bisa ia dapatkan dimanapun. Bahwa ada baiknya kita memandang hal tersebut dari sisi positif, tapi mengapa orang terus melihat kaum seperti mereka dari sisi negatif?

Haidar tahu, bahwa ia akan punya garis takdir lain jika ia tidak memilih untuk mencari tahu lebih tentang Marko hari itu. Entah dimana dirinya sekarang, dengan siapa, sedang apa. Namun dengan ketetapannya hari itu, ia akhirnya bisa berdiri disini. Di rumah ini, dengan Marko.

Yang ia tahu dari kelas pelajaran Agama semasa SMA, disaat ia tengah nakal-nakalnya, bahwa ketika kita menolak menerima takdir yang sudah Tuhan tulis dan memilih pergi dengan pilihan sendiri, ia pasti akan bertemu takdir lainnya. Konsepnya seperti jodoh yang sudah bertemu, pasti akan dipisahkan oleh dua hal. Entah maut, atau keadaan.

Haidar jelas tahu di akalnya bahwa ia bukan jodoh Marko. Tapi takdir yang membawanya kesini, membuat ia pasti akan dipertemukan dengan takdir lain karena pilihannya.

Dan Haidar berharap, semoga hanya ada maut yang akan memisahkan mereka. Bukan keadaan, apalagi keluarga.


Haidar kembali mengeratkan pelukannya ketika mimpi buruk itu kembali mendatangi malam harinya. Yang dipeluk tentu saja terkejut, Marko yang segera menyadari hal itu langsung menepuk punggung Haidar perlahan, bermaksud menenangkannya. Setelah beberapa saat, ia melihat dahi mengkerut itu perlahan memudar, hingga akhirnya Marko pun kembali melanjutkan kegiatan tidurnya.

Jam di nakas menunjukkan pukul empat tepat ketika Marko rasakan kehampaan di samping kirinya. Ia meraba kasur itu, namun sosok Haidar tak dapat ditemukan. Ia sontak membulatkan matanya ketika menyadari bahwa ia sendirian disana. Jantungnya berdebar kencang—entah mengapa—lalu ia pun memilih untuk bangun dan keluar dari kamarnya.

Matanya menyipit kala sebuah cahaya tiba-tiba menusuk netranya. Ia pun menggosok netra kanannya, memakai kaca matanya dengan cepat lalu berjalan menuju ruang tamu dimana Haidar berada. Dilihatnya lelaki itu tengah menatap kosong tv yang menyala, membuat Marko kebingungan.

“Dar?”

Yang dipanggil menoleh. Dilihatnya lelaki kesayangannya itu sedang melamun, membuat yang lebih tua bernafas lega ketika mengetahui Haidar benar-benar ada disana.

Mimpi buruk lagi?

Ia menghampiri Haidar, lalu duduk disamping kirinya. Yang lebih muda mengangguk, lalu direngkuhnya raga kesayangannya itu cepat. Ia mengelus pucuk kepala Haidar lembut dan mengecupnya dalam.

It's okay, sayang. You'll be fine as long as i'm here with you.” Katanya, membuat Haidar yang tengah didekap erat itu memejamkan matanya lalu mengangguk.

“Mau tidur disini?” Marko melepaskan pelukan mereka, sambil menatap lelaki berkulit madu itu. Haidar tersenyum kecut sambil mengangguk. Matanya seakan meminta maaf padanya karena telah menyusahkannya lagi malam ini.

Okay. I'll make sure to hug you tight, so don't worry. You can go back to sleep now,” Marko pun merubah bentuk sofa mereka menjadi lebih lebar—yang sangat pas untuk ditempati berdua, lalu menepuknya.

Come here.” Tanpa banyak bicara, Haidar segera mencari posisi paling nyaman dipelukannya. Melihat itu Marko tersenyum getir, lalu mendekap lelaki itu cepat. Sekali lagi mengecup pucuk kepalanya hangat, lalu membiarkan Haidar kembali menyelami dunia mimpi walau satu jam kemudian tangannya terasa kebas luar biasa.


Minggu pagi selalu terasa begitu menyenangkan bagi siapapun di muka bumi. Mereka bisa terbebas sejenak dari banyaknya tuntutan dunia—entah pekerjaan, tugas, dan lain-lain—begitu juga dengan Haidar dan Marko.

Haidar baru saja pulang ketika Marko selesai mandi. Dilihatnya lelaki itu pulang dengan sekantung bunga di tangan kirinya, membuat lelaki beralis camar itu mengerutkan dahinya.

White tulips?” Tanya Marko ketika Haidar menaruh bunga itu di meja makan rumah mereka. “Tiba-tiba?”

“Hadiah buat Amih tahun ini,” Ia tersenyum.

“Iya, tau. Tapi kenapa tulip putih?”

Haidar terdiam sejenak, terlihat berfikir harus menjawab apa namun dengan cepat ia berkata, “Katanya yang lagi musim sekarang bunga tulip putih.”

Dahinya kembali menyatu, pertanda bingung.

“Semalem mimpi apa, Dar?” Tanya Marko ketika Haidar hendak mencuci tangannya. Yang ditanya mendadak kaku, kala pertanyaan itu dilemparkan kepadanya.

“Lo udah kaya gini sejak lama, dan gue ngga berani nanya karena lo terlihat ngga mau bahas itu. Tapi ngeliat keadaan lo yang kian hari kian memburuk—don’t get me wrong, because i’m just worried, you knowso, mind to tell me about it?” Suara lembutnya lagi-lagi berhasil merobohkan pertahanan dirinya.

“Kita udah janji, ‘kan? Untuk selalu cerita apapun, walau itu di hari terbaik atau terburuk?” Tambahnya lagi, membuat Haidar akhirnya tersenyum.

“Selama gue hidup, gapernah terbayangkan kalo ternyata mimpi terburuk gue adalah kehilangan lo, Bi.”

That’s the worst nightmare that i ever wanted to feel. Gue bahkan ngga bisa ngungkapin gimana perasaannya, di mimpi itu, saking buruknya,”

“Katanya mimpi buruk ngga boleh diceritain karena pasti kejadian. Tapi yaudahlah, kalaupun bakal kejadian, at least gue udah punya bayangan.” Jelasnya, lalu berjalan melewati Marko begitu saja tanpa mendengar tanggapan lelakinya.

Marko... Pria itu terlalu terkejut untuk sekedar memberi tanggapan. Maka dari itu ia tahan tangan Haidar, lalu berkata, “Itu cuma mimpi, sayang. Gue ngga akan ninggalin lo. Nih, guenya ada, ‘kan, disini?” Ia bawa tangan itu menuju wajahnya, membiarkan Haidar merasakan eksistensinya. Lelaki gemini itu tertawa.

“Di mimpi itu lo gaada, Bi. Yang ada malah Amih disana. Amih dateng terus nyuruh gue pulang.

Tok tok tok

Deg

Jantung keduanya seketika terasa berhenti kala suara ketukan di pintu itu terdengar. Tunggu, ada yang aneh. Selama tiga tahun masa hidup mereka di tanah Amsterdam, tidak ada satupun orang ataupun tetangga yang pernah mengunjungi mereka. Netra kedua anak adam itu saling lempar tatapan, seolah bertanya cobaan apalagi yang kini akan menghampirinya.

Namun dengan cepat Marko lepaskan pegangan itu, lalu mencium pucuk kepala Haidar cepat. Menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu.

“Engga, Bi. Biar gue aja-”

“Haidar. Gue sayang lo. Inget itu.”

Marko tersenyum, lalu ia bawa langkah kakinya menuju pintu masuk rumahnya. Menarik nafas sebentar, lalu akhirnya ia putar kenop pintu itu.

Wie is dat?-

Bugh!

Ia kembali merasakan sebuah hantaman keras di belakang kepalanya. Pandangannya serasa kabur, menyesali perbuataannya sedetik lalu.

“A-amih?” Ia tergagap, terlalu gagap untuk memanggilnya Tante Egi. Sekujur tubuhnya merinding bukan main, berharap ini semua adalah bagian dari mimpi buruknya. Ia merapal doa dalam hatinya, berharap segera bisa terbangun dari peristiwa ini.

“O-om...” Lanjutnya, kala melihat sosok Om Joni di samping Egi, dengan raut wajah yang hingga kini tak dapat Marko jelaskan artinya.

“Haidar kemana?” Lututnya sungguh sangat lemas. Siapapun, tolong bangunkan Marko sekarang juga.

“M-maksud T-tante? S-saya sendiri disini-”

“Marko, cukup. Semuanya sudah selesai.”

Egi menghela nafas berat, seakan sudah lelah dengan segala skenario yang mereka perankan selama ini. Ia sungguhan lelah, sudah berapa tahun ia dibodoh-bodohi anaknya sendiri seperti ini? Diberi harapan akan bertemu kekasih anaknya yang berparas cantik, namun naas, ekspektasi Egi jelas terlalu melambung tinggi dari yang ia lihat sekarang.

“T-tante maaf, t-tapi-”

“Amih?” Haidar tercekat kala mendengar satu suara yang tak asing di pedengarannya. Ia dengan cepat berjalan maju, lalu menatap netra sang Ibunda yang ada disana.

Oh, ternyata udah waktunya ya mimpi gue jadi kenyataan? Batin itu berbisik kala seluruh atensi empat orang disana terpaku padanya.

“Ade...” Itu suara Hendri. Ia disana, berdiri paling belakang menahan isakannya. Oh, inikah saatnya bagi Haidar untuk mematahkan hati seluruh anggota keluarganya?

Egi pun bergegas masuk lalu menghampiri putra bungsunya itu, mengabaikan Marko yang tengah berdiri disana seakan lelaki itu tidak terlihat.

“Amih kok tau-”

PLAK!

“TANTE!” Teriak Marko kala tamparan itu lolos menyapa pipi kiri kekasihnya.

“Tante, tante, saya mohon. Jangan. Jangan,” Marko terengah, ia seketika kehabisan nafasnya kala merasa dejavu dengan pemandangan ini.

“Saya aja, ya? Jangan Haidar. Jangan, dia udah ngerasain banyak luka selama ini. Saya mohon. Saya aja, ya-”

“Abang.”

Satu suara itu berhasil menginterupsi sesi permohonan Marko kepada Egi. Jefri disana. Papanya. Dia ada disana.

Jefri menggeleng, “Abang, cukup ya?”

Entah sejak kapan air mata itu luruh di kedua kelopak matanya. “Pa-”

“Minggir.” Jelas Egi pada Marko yang kini tengah menjadi tameng bagi dunianya.

“Engga, Tante. Saya mohon-”

“Bi, gapapa. Udah saatnya gue jelasin tentang kita sama mereka. Gue gapapa,” Marko menoleh ke belakang, menatap dunia yang ia jaga mati-matian itu dengan sarat kecewa.

“Dar-”

Jefri melangkah maju, lekas menarik lengan putranya. “Abang, ayo,”

“PA! ENGGA PA!”

“Abang, udah. Cukup tiga tahun, ya?”

Mendengar itu kepala Haidar mendadak pening luar biasa. Air matanya turun deras sekali, semakin deras kala dunianya dibawa pergi.

“PA! PAPA! HAIDAR-”

Pintu dibanting, meninggalkan Marko sendirian di dunia luar yang begitu mengerikan.

“Abang, hey, lihat Papa.” Mereka hanya berjarak ratusan meter dari rumahnya, “Udah saatnya bagi mereka untuk meluruskan apa yang perlu diluruskan. Papa dan kamu mungkin udah berdamai, tapi tidak dengan mereka,”

“Selama ini kamu hidup dengan bahagia, 'kan, Bang?”

Marko mengangguk. Ia mengangguk dengan sangat tulus dari palung terdalam hatinya.

“Banget, Pa. Abang bahagia banget...”

Tangisnya kembali melebur, lalu Jefri bawa putra kebanggaannya itu menuju pelukannya. “Abang, kamu hebat. Abang, anak Papa paling kuat.”

“Haidar, Pa... Hiks-”


Keluarga utuh itu kini tengah duduk dengan tatapan kosong mereka masing-masing di rumah sederhana milik Haidar dan Marko. Tidak ada yang sanggup untuk memulai percakapan, bahkan Haidar sendiri. Ia terlalu takut untuk menceritakan semuanya.

“Kenapa kamu ngga pernah jujur sama Amih?” Akhirnya Egi buka suara terlebih dahulu. Membuat Haidar yang seketika menjadi atensi seluruh keluarganya mendadak kaku.

“Kenapa, Ade? Kenapa?” Ia mulai meneteskan air matanya lagi. Hendri dan Joni di depan mereka hanya bisa diam.

Mengabaikan pertanyaan tersebut, akhirnya Haidar memilih untuk berlutut di kaki Ibunya.

“Kamu pikir kamu lahir dari mana? Kenapa kamu berlutut kaya gini? Kamu ngaku kalau kamu salah? BANGUN, ADE!” Emosi yang sedari tadi sudah diredamnya akhirnya tumpah juga. Hendri dengan cepat menahan sang Ibunda agar tidak bertindak lebih jauh. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Egi pernah dalam fase terburuknya kala pertama kali ia mendengar kabar bahwa alasan dibalik kepergian anaknya menuju tanah Amsterdam itu bukan karena mencari ilmu, melainkan mencari validasi.

“Amih, kita udah janji ‘kan? Untuk nyelesaiin semuanya baik-baik? Karena ade juga udah jadi anak baik selama ini-”

“ANAK BAIK APA MAKSUD KAMU?!”

Joni yang seharusnya turun tangan di kala seperti ini, lagi-lagi memilih untuk diam karena jauh di lubuk hatinya ia tetap kecewa.

“Amih, amih...” Panggil Haidar.

“Amih, ade suka Abian dari pertama kali ketemu... Abian itu rumah Ade, cuma dia yang mau nerima Ade tanpa tapi...” Ia terisak kala memegang kedua kaki Ibunya.

Definisi rumah yang Haidar tau hingga detik ini adalah sebuah tempat dimana ia diterima tanpa tapi. Sebuah naungan yang akan menerima segala baik dan buruknya.

“Amih, kenapa Ade sampe berani bohong dan bela-belain pindah kesini... Cuma semata-mata karena Ade butuh rumah yang nerima orang seperti Ade tanpa dipandang buruk. Dan Amsterdam berhasil kasih itu buat Ade,”

“Kalau kamu bilang dari awal, kalau kamu jujur, mungkin kita bisa ngusahain, De. Tapi kenapa kamu malah milih untuk bertindak sejauh ini?”

“Omong kosong, Mih. Yang ada juga pasti Amih bakal ngatain Ade kurang iman, ‘kan? Sama kaya orang-orang diluaran sana,”

“Mau segimana Ade berusaha dapetin apa yang Ade dan Abian mau, tetap, Mih. Bandung dan isinya ngga pernah bisa ngasih rasa aman dan nyaman buat orang seperti kita.” Kalimat itu berhasil menampar ketiganya kembali pada kenyataan yang terjadi.

“Ade salah apa sih, Mih? Abian salah apa coba? Kenapa orang-orang sejahat itu sampe ngasih tatapan super hina hanya karena kita jalan bareng? Kenapa orang-orang setega itu sampe berani ngatain kita ngga pantes untuk hidup hanya karena pegangan tangan di jalanan?”

“Apa yang pernah kita lakuin ke mereka sampe mereka nyakitin perasaan Ade dan Abian? Kita ngga pernah ngusik kehidupan mereka, tapi kenapa kata-kata mereka nyakitin banget?”

“Apa menurut Amih, Ade dan Abian masih sanggup untuk bertahan hidup disana? Dengan lingkungan yang kaya gitu?”

Egi menatap putranya itu begitu kecewa. Dari mana anak itu belajar bermain kata-kata dengannya?

“Liat? Amih aja sekarang ngeliat Ade kaya gini. Menurut Amih apakah Ade ngga sakit hati? Padahal Ade ngga pernah jahatin Amih,”

“Haidar.” Panggil Joni membuatnya seketika menghentikan bicaranya.

Ia bangun dari duduknya, lalu menarik putranya dari lantai yang dingin untuk berdiri.

“Sudah sepantasnya Papa dan Amih kecewa. Karena selama ini, apa yang diharapkan kita berdua—terutama Amih, ternyata berhasil membuat kita jatuh terpuruk sangat dalam, sampai-sampai hanya waktu yang bisa menyembuhkan.”

“Kedatangan Papa, Amih, dan Aa disini bukan untuk membawa kamu pulang ke Indonesia, apalagi memisahkan kalian.

Joni kalah telak, gelar manusia kuat yang diembannya selama ini runtuh seketika karena hari ini, ia sudah ikhlas.

“Kita hanya butuh semuanya dijelaskan. Bukan tugas kamu untuk mengerti perasaan Papa dan Amih. Karena selama ini kamu juga ngga minta untuk dingertiin, ‘kan?” Mendengar itu Haidar hanya bisa menunduk.

“Maafin Papa karena udah bikin kamu ngelaluin semua ini sendirian, Nak.” Ia memeluk putranya erat, membawa anak kesayangannya itu pada bahunya yang hari ini dibiarkan roboh.

“Papa cuma minta satu hal,” Lirihnya.

“Jangan tinggalin shalat, ya?”

“Terlepas dari dosa apapun yang udah kita lakuin di dunia, harus inget bahwa Tuhan itu maha memaafkan.” Ia tepuk bahu putranya itu.

“Egi, udah, ya? Ayo,” Egi menggeleng.

“Egi, sayang. Kita udah janji, kesini bukan untuk bawa Haidar pulang. Tapi untuk menyelesaikan semuanya. Dan semuanya sudah selesai.”

“Amih, ayo?” Hendri ajak sang Ibu untuk bangun.

“Amih, maafin Ade, ya?” Haidar berjalan mendekat ke arah wanita kesayangannya itu.

Ade boleh peluk Amih, ngga?” Tanya lelaki itu untuk terakhir kalinya. Egi yang sudah hancur sehancur-hancurnya jelas tidak punya daya untuk menolak. Sebagai lelaki yang punya inisiatif tinggi, Haidar merengkuh Ibunya lalu menangis disana.

“Ampunin Ade, Amih. Maafin Ade...”

Konon katanya, waktu akan sembuhkan. Semoga lekas membaik, Keluarga Atmajaya.


Haidar menatap kosong sebuah surat yang dibawa oleh sang kakak jauh-jauh dari kampung halamannya. Amplopnya masih tertutup rapat, namun dari tulisannya saja, ia langsung tahu siapa pengirimnya.

Matanya sungguh lelah. Ia sudah tidak punya energi untuk kembali meluapkan emosinya. Namun ketika Hendri berkata, “Narendra nitipin ini ketika dia sebenernya bisa ikut sama Abang untuk ngomong empat mata sama kamu. Artinya, dia beneran ngga mampu untuk sekedar ngobrol dan ketemu karena dia beneran nyesel. Jangan lupa hubungin anaknya, ya?”

Bisa apa lagi anak itu selain menyobek bungkus amplop tersebut? Setelahnya, ia membaca dengan lamat rentetan kalimat panjang itu, hingga akhirnya hanya ada suara tangis yang terdengar di seluruh penjuru ruangan.

Halo, Dar. Gimana kabar lo? Baik-baik aja, ‘kan? Si Marko jagain lo, ‘kan? Awas aja kalo engga gua pukul.

Dar, kalo surat ini udah lo baca artinya lo udah berhasil ya? Selamat. Maafin gue yang ngga guna ini ya selama jadi sahabat lo.

Dar, semenjak kejadian di sansco gue jadi banyak mikir. Selama ini gue tuh beneran sahabat lo bukan, sih? Kok kayanya dari semua cerita dan pengalaman hidup yang udah pernah lo ceritain dan bagiin ke gue, kayanya itu hal kaga penting semua ya kayanya? WKWKWKWK kok gue bisa-bisanya ngga tau soal lo suka cowok.

Dar, setelah kejadian itu gue jadi sering menyendiri. Mikirin kalo gue udah tau dari awal, kira-kira tindakan apa ya yang bakal gue lakuin? Apakah bakal nyuruh lo tobat dan tetap pada keyakinan gue tentang hal ini tuh sebenernya lebih baik ngga pernah ada (perasaan lo) atau bakal jadi orang pertama yang nyuruh lo untuk kabur dari sini?

It quite taking some times but finally i found my answer, Dar. Gue memutuskan untuk jadi orang pertama yang bakal nyuruh lo untuk kabur dari sini. Tapi gue terlalu takut untuk ngedukung lo setelah kita adu jotos. Jadi, gue kasih tau semuanya ke si Aa Hendri. Maaf ya, Dar, bantuan gue emang ga seberapa tapi seengganya lo udah berhasil ngejar kebahagiaan yang selama ini lo mau.

Gue bukan cepu, gue hanya memberi kesempatan. TOLONG GARIS BAWAHI.

Jangan pulang ya, Dar. Awas aja kalo balik anjing gua pukul. Susah payah gua ngomong ke si Aa kalo lu tau-tau pulang karena iseng gua beneran bakal tonjok lo. Orang-orang disini pada jahat, Dar. Makanya, gausah pulang. Anak-anak malah ngga ada yang nyadar kalo lo pergi, wkwkwk.

Maafin semua kesalahan gue ya, Dar? Maafin sahabat lo yang brengsek ini. Bahkan saat-saat keberangkatan lo aja gue masih terlalu gengsi untuk dateng dan meluk lo untuk terakhir kali. Tapi yaudahlah, udah tiga tahun lalu juga.

Ada satu video dari TikTok yang berhasil nampar gue, Dar. Katanya, “kalo sahabat lo buat kesalahan, kasih tau dia. Tonjok kalo perlu. Tapi jangan pernah lo tinggalin sahabat lo.” gitu. Gue udah ngelakuin semuanya, Dar. Ngasih tau udah, nonjok udah. Ngga ninggalin lo juga udah. Jadi jangan ngerasa kaya gitu lah anjing nambah-nambahin dosa gue aja.

Till we meet again, Idar. From your beloved bestfriend, Narendra Bagaskara.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.