monolog dini hari. —haidar dan marko.
cw // contain childhood trauma , mentioning blood , hospital
Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi saat marko kembali mengubah posisi tidurnya. Entah sudah yang keberapa kali lelaki itu sibuk dengan posisi tidurnya, ia tak kunjung menemukan posisi yang nyaman untuk menyelami dunia mimpi. Kedua bola matanya pun tampak tak menunjukan tanda-tanda lelah, sedari tadi kedua netranya itu masih sangat aktif menelusuri tiap petak sisi kamarnya—yang padahal tidak ada yang berubah sama sekali—entah mengapa ia terus melakukan hal itu.
Otaknya seakan memforsir dirinya untuk tetap terjaga. Sudah tiga hari ini marko tidak bisa tidur, tiap malam ia selalu terjaga bahkan hingga adzan subuh berkumandang. Ia kembali termenung, memikirkan apa yang salah dengan dirinya.
Semenjak kejadian kemarin, abian marko pratama tak kunjung temukan tenangnya. Setelah sesi “ceritanya” dengan sang ayah kemarin, bukan cahaya yang ia temukan—sebagai bentuk jawaban—tetapi lagi-lagi malah sebuah jalan buntu yang ia dapatkan. Ada dua hal yang paling marko benci di dunia ini. Seperti anak adam pada umumnya, pertama, ia benci ditinggalkan. Dan yang kedua, ia benci diberi penolakan. Marko yang kodratnya lahir ke bumi untuk menjadi seorang pria—yang tidak menerima kata tidak—tentu saja langsung menjadi payah saat ayahnya menolak permintaan “kepindahannya”. Jefri bilang, anak itu terlihat ragu.
Jefri bilang, putra kebanggaannya itu terlihat takut.
Sebenarnya tidak banyak yang ia bahas dengan ayahnya malam itu. Diawali dengan dirinya dan sang kepala keluarga yang membahas tentang pertandingan sepak bola euro malam itu yang tengah tayang di televisi. Mereka melakukan sebuah taruhan—untuk senang-senang—marko memilih Inggris, dan sang ayah memilih Italia. Yang timnya kalah, harus melakukan pekerjaan rumah seminggu penuh.
Dan, malam itu marko kalah. Italia menang lewat pertandingan final dengan penalty 3 – 2.
“Jadi?” Sang ayah buka suara saat dirinya menyajikan semangkuk indomie rasa kari ayam yang baru saja matang. Lengkap dengan telur rebus dan juga sayur. Melihat itu, marko tersenyum miris.
“Gimana kuliah? Aman?” Pertanyaan itu Jefri lempar pada sang putra yang tengah melamun. Menikmati kepulan asap yang keluar dari mie buatan ayahnya.
“Papa denger kamu ngga aktif organisasi, ya? Kamu ngga himpunan? Kenapa, Bang? Lumayan loh sertifikatnya, menuhin CV,” Sahut Jefri sambil menyesap teh hangatnya.
“Iyaa. Papa ‘kan tau dari dulu aku emang ngga suka gituan,” Lelaki itu menautkan kedua tangannya—gelisah. “Lagi juga pengalaman mah dari mana aja, ngga harus melulu ikutan himpunan.” Tambahnya.
“Lagi kangen mama, ya?” Mendegar itu lidah marko tercekat.
“Hehe, iyaa.”
Kalau boleh marko ceritakan sedikit tentang cinta pertamanya itu... Wanita itu, adalah wanita tercantik yang pernah marko temui. Tidak ada wanita lain yang bisa merebut degup jantungnya sebagaimana saat ia menatap netra serta senyuman sang ibunda. Senyum yang ingin ia jaga sampai bumi berhenti berputar itu sayangnya harus pergi lebih dulu saat usianya masih belia. Abian Marko Pratama harus rela mengikhlaskan kepergian sang ibunda saat usianya lima tahun. Nyawa sang ibunda tak tertolong saat sedang dilarikan menuju UGD Rumah Sakit Borromeus. Abian kecil yang saat itu masih belum mengerti hanya bisa diam didepan ruang UGD sendirian, menekuk kedua lututnya sambil menangis.
Satu jam lamanya ia menunggu, sampai akhirnya sosok sang ayah keluar dari sana. Abian kecil yang melihat itu bingung, karena saat mereka datang tadi sang ayah masuk bersama ibunya yang terkulai lemah di sebuah kasur bergerak. Tapi kenapa sekarang ia keluar sendirian? Kemana ibunya?
“Mama?”
Jefri muda tersenyum. Bahu yang biasanya terasa sangat kuat saat menggendongnya itu entah mengapa terasa berbeda saat si kecil merengkuh tubuh Papanya. Bahu itu...
“Mama sedang tidur. Jangan diganggu, ya?”
“Kenapa tidur disini? Kenapa tidak tidur dirumah, Pa?”
“Mama lebih tenang tidur disini.”
“Kalau dirumah memang tidak tenang?”
“Bukan, bukan begitu—bian,”
Lelaki kecil nan polos itu menatap netra sang ayah yang sudah banjir air mata.
“Mama sakit, ya, Pa? Mama sakit apa sampai harus tidur disini? Apa sakitnya parah?”
Jefri menggeleng, “Mama sudah tidak merasakan sakit lagi,”
“Terus kenapa Mama ngga ikut pulang?! Bian mau ketemu mama. Bian mau cerita soal—”
“Iya, boleh. Tapi sekarang mama sedang tidur. Bian ceritanya sambil sholat saja, ya?”
Dahinya mengkerut, “memang Mama bisa dengar?”
“Tentu bisa. Mama bisa dengar apapun yang kita bicarakan.”
“Bahkan sekarang pun mama bisa dengar?”
“Bisa.”
Anak itu terlihat berfikir sejenak, sampai akhirnya kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut kecil itu berhasil membuat Jefri kembali menangis.
“Mama, abian suka haidar.“
Marko tidak tahu, bahwa hari itu, ia telah kehilangan satu-satunya sosok penolong hidupnya.
Bugh!
“Heh, ngelamunin apa sih?” Omel sang ayah saat Marko tengah jatuh pada kenangan masa kecilnya. Ia meringis kesakitan, pukulan Papanya barusan sangat kuat sampai-sampai bahunya ngilu.
“Papa pensiun kapan?” Tidak ada angin, tidak ada hujan. Pertanyaan itu lolos secara tiba-tiba keluar dari mulutnya.
“Hmmm. Papa sekarang usia sudah 55 tahun, artinya—Ah masih lama, Bang. 10 tahun lagi,” Jefri terkekeh saat dirinya menyadari bahwa purnatugasnya masih panjang.
“Kok tumben, nanyain pensiunan. Ada apa?” Nada suara pria paruh baya namun masih tampan itu seketika berubah menjadi lebih serius. Marko yang sadar akan itu kembali menelan ludahnya kasar.
“Papa kalau aku tinggal sendirian disini, nggapapa?” Mendengar itu dahi Jefri mengkerut pertanda bingung. “Papa ‘kan punya kamu disini. Sampe kapanpun Papa ngga akan sendirian.” Tekannya di akhir kalimat membuat Marko kembali bungkam.
“Bian ada rencana ambil beasiswa ke luar. Papa keberatan, ngga?” Akhirnya inti permasalahan yang ingin ia angkat keluar juga. Bisa dibilang, “dalih” untuknya agar bisa pergi dari sini akhirnya terkuak juga.
“Oh ya? Kemana?” Mendengar itu marko kembali gugup.
“Eh-rencana sih ke Eropa, Pa,”
“Iya, kemana? Dimana? Eropa itu luas, apa nama kampusnya? Jurusan apa yang kamu ambil? Terus beasiswanya apa?” Saat pertanyaan itu dilontarkan oleh sang ayah, marko hanya bisa diam. Karena dirinya sendiri pun sebenarnya tidak tahu—ralat, belum tahu. Akalnya hanya terus berteriak—menekannya untuk berfikir keras—mencari cara bagaimana agar ia bisa segera membawa cinta dan bahagianya pergi dari sini. Persetan dengan melanjutkan kuliah, toh ia pun tidak benar-benar ingin mengambil S2. Yang ia inginkan hanyalah bisa menggenggam tangan haidar dengan segera tanpa perlu dapatkan atensi sekitar.
“Justru itu, belum tahu. ‘Kan baru rencana. Abang tanya dulu Papa, baiknya gimana,” Kali ini nada suaranya terdengar sedikit ragu. Jefri geleng-geleng.
“Ya kalau gitu persiapkan aja dulu, ngga usah repot-repot izin. Kalau masih rencana, belum tahu, kenapa rurusuhan? Tenang aja, Bang. Santai,” Jawaban itu membuatnya ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya dan segera menelfon Haidar, lalu berkata “Dar, kayanya semesta emang ngga restuin kita.”
“See? Kamu aja masih ragu sama diri kamu sendiri, gimana mau bisa ambil keputusan sebesar itu?” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di gendang telinga marko. Bahkan hingga hari ini.
“Disini ajalah, Bang, lanjutinnya. Sambil temenin Papa. Lagian disini juga banyak kok kampus yang ngga kalah bagus sama kampus luar,” Ia tersenyum sambil menatap anaknya yang terlihat sedang berfikir. Sedetik kemudian, marko mengangguk.
“Maaf, ya, Bang. Papa keberatan.” Finalnya. Jefri akhirnya bangkit dari duduknya, lalu pamit terlebih dahulu kepada putranya itu untuk tidur. Meninggalkan marko dan juga semangkuk mie yang sudah dingin.
Marko kembali pada kenyataan saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia lihat ada notifikasi pesan dari Haidar yang mengatakan bahwa barang-barang apa saja yang kiranya perlu disiapkan untuk acara Camping hari ini. Astaga, bahkan ia hampir lupa kalau hari ini ia punya rencana dengan kekasihnya. Setelah membalas pesan itu, Marko bergegas membuka aplikasi Spotify dan memutar lagu yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya.
Ia kembali larut dengan angannya, membayangkan saat-saat bahagia dimana Ibunya masih hidup. Marko memang tidak punya banyak kenangan bersama Ibunya, yang ia ingat adalah ia sering sekali memergoki sang Ibu mengeluarkan darah dari hidungnya. Saat abian kecil berlari menghampiri Ibunya dengan tatapan khawatir, dengan suara lembutnya sang Ibu selalu berkata “Mommy is okay, Little Boy. Abang punya cerita apa hari ini buat Mama?
Sebagai seorang anak kecil saat itu Abian tentu saja jadi lupa akan rasa khawatirnya. Maka ia memilih untuk naik ke pangkuan sang Ibu, dan kembali bercerita tentang cinta pertamanya. Haidar Indra Atmajaya.
“Mam, i really wish you were here,” Ia coba tahan sesak yang menjalar di dadanya.
“Bian cape, Ma. Disini ngga ada yang bisa ngertiin abang. Disini ngga ada yang bisa paham perasaan abang karena cuman abang yang rasain. Abang udah ngga kuat harus kaya gini terus, abang pengen bahagia sama Haidar…” Lirihnya di sela-sela alunan lagu Tenang itu.
“I want to sleep, Ma. Abang pengen tidur tapi ngga bisa. Tiap abang tidur, yang ada di bayangan abang itu cuman dua. Raut wajah kecewanya Papa dan sumber bahagianya Abang. Abang musti gimana, Ma?” Ia larut dalam monolognya sendiri. Dibalik dinginnya udara dini hari Dago malam itu, marko kembali mendeklarasikan pada semesta bahwa ia telah menyerah.
“Abang pengen istirahat aja kok kayanya susah, saking banyaknya yang abang pikirin. Abian sayang banget sama Haidar, Mama tau itu ‘kan?”
“Emang salah ya, Ma, kalau abang sayang sama Haidar?” Ia taruh kedua tangannya sebagai bantalan kepala.
“Abang juga pengen liat Haidar narik tangan abang tanpa takut dipandang aneh sama orang. Abang pengen ngerasain dipeluk sama dia kalau hari abang lagi ngga baik-baik aja. Abang pengen ngerasain itu,” Helaan nafas beratnya menjadi sebuah penanda bahwa lelaki itu tengah berada di ambang batasnya.
“Abang ngga takut, Ma. Tapi, Haidar?”
Abian, kamu itu takut. Kamu takut kalau semua angan kamu hancur. Kamu takut kalau suatu saat haidar hidup dengan orang lain. Kamu takut. Tapi kamu tidak mau mengakuinya.
—leobabybear. 🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah dua belas malam.