Pulang. —haidar dan marko.
“Sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih kepada para tamu undangan yang telah hadir pada malam hari ini di acara resepsi pernikahan antara sepasang adam dan hawa yang sebentar lagi akan memasuki ruangan, mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah bagi kedua pengantin!”
Riuh suara tepuk tangan dari segala penjuru ruangan menyambut kedua anak adam dan hawa itu di pintu masuk. Si anak adam yang tengah berdiri di sebelah kanan terlihat begitu rapih dengan setelan jas hitam legamnya—begitu cocok melekat di tubuh besar itu—sementara si anak hawa, yang berdiri di samping kirinya terihat begitu menawan dibalik gaun bernuansa Beige yang terlihat sangat cocok ketika menyatu dengan kulitnya. Tak lupa tangan kanan si hawa yang mengalun nyaman di tangan kiri si adam, seolah berkata pada alam semesta bahwa hari ini, mereka sudah resmi menjadi sepasang suami dan istri.
Keduanya berjalan dengan khidmat, menyapa ke samping kanan dan kiri mereka yang tengah dipenuhi oleh barisan kerabat serta keluarga mereka yang hadir malam itu. Disusul oleh rombongan tagoni—ralat, rombongan Groomsmen dan Bridesmaid di belakang mereka yang menjadi pelengkap acara. Mereka berjalan berpasang-pasangan, mengikuti si pengantin. Ada 5 pria dan 5 wanita disana.
Lelaki beralis camar itu memperhatikan dengan lamat rentetan kejadian yang kini tengah terjadi di hadapannya. Melihat bagaimana orang yang dikasihinya itu tengah mengawurkan kelopak bunga mawar putih dengan wajah sok bahagianya, ditemani sesosok wanita di sebelah kirinya yang sedari dulu tak pernah ia sukai. Dari ujung ruangan Marko tersenyum kecut, lalu kembali mengambil segelas minuman dingin yang ia harap bisa melegakan hatinya.
Acara inti pun selesai. Ketika satu per satu para tamu undangan melengang pergi meninggalkan ruangan resepsi, secara tiba-tiba tempat itu berubah menjadi sebuah kelab malam but make it halal version. Dalam artian, lagu yang diputar seketika berubah 180 derajat—dari yang tadinya hanya memutarkan lagu bertemakan pernikahan—sekarang menjadi lagu yang lebih up beat.
Haidar dengan jiwa extrovertednya tentu saja tidak bisa melewatkan hal ini. Dengan cepat ia naik ke atas panggung, mengambil alih acara seakan ini adalah resepsi pernikahannya sendiri. Seluruh temannya seketika menjadi sangat heboh, dengan cepat mengabadikan momen itu lalu ikut bernyanyi.
Sekali lagi lelaki di ujung ruangan itu hanya bisa tersenyum, kembali terpukau dengan kelakuan Haidar yang sampai detik ini pun masih berhasil membuatnya geleng-geleng. Tanpa ia sadari, arah pandang lelaki diatas panggung itu juga hanya tertuju padanya. Mengabaikan segala atensi yang diberikan teman-temannya, ia hanya peduli pada sosok di ujung sana.
“Udahan, udahan! Kacau si Haidar mah tong dibere panggung moal eureun!” Teriak mempelai pria dari pelaminan, membuat Haidar hanya mendecih lalu segera turun dari sana.
Artinya: Jangan dikasih kesempatan si Haidar mah, sekalinya dikasih pasti ngga akan berhenti.
“Fee gue mahal ya anjing!” Teriaknya.
Setelah menyalurkan bakat terpendamnya, ia pun kembali menghampiri kubu yang berisi teman-temannya itu. Dilihatnya ada sosok Jovan disana, tengah membawa dua gelas minuman yang dengan mudah Haidar asumsikan maksudnya apa. Ia pun terkekeh, lalu menghampirinya.
“Makasih loh, repot-repot.” Pedenya saat ia berdiri di depan Jovan. Ia segera mengambil minuman itu namun Jovan segera menarik tangannya.
“Buat istri gue ini. Ambil sendiri sana.” Sinisnya, membuat Haidar kembali mendecih untuk yang kesekian kali. “Harus banget ya istrinya ditekenin, Jov?”
Jovan terkekeh, namun tidak dengan Haidar. Ia memutar bola matanya pertanda kesal. “Becanda, Dar. Iya ini buat lo nih,” Ia kembali membawa gelas itu kehadapannya, namun sayang hal itu tidak diindahkan oleh sang lawan bicara.
“Gausah, makasih.” Ketusnya.
“Dih gajelas lu. Gue becanda elah,” Ia terkekeh lagi, menampilkan eye smilenya yang tak pernah berubah walau kini keduanya sudah hampir menginjak usia kepala tiga.
“Jov, lo kenapa ngga bilang sama gue?” Tanpa menerima gelas berisi jus mangga itu, Haidar malah bertanya kepada Jovan yang tengah tersenyum.
“Ngga bilang apa?”
“Iya kalo lo udah nikah, sama cewe.”
“Ya karena peraturan disini kaya gitu, Haidar. Laki-laki itu pasangannya perempuan.” Dengan lembut Jovan menjawab, membuat Haidar naik pitam.
“Lo bohongin diri sendiri, Jov. Lo nyerah sama diri sendiri. Intinya itu. Kenapa lo nyerah anjir? Kenapa ngga nyoba merjuangin hak lo-”
“Ngga semua orang seberuntung lo, Haidar.” Potong Jovan cepat, membuat Haidar seketika bungkam.
“Lagian buat apa juga gue berjuang kalau orang yang mau gue perjuanginnya pun udah hidup bahagia sama pilihannya?”
“Jov anjing?”
Lelaki aries itu menahan tawanya kala umpatan itu menusuk indra pendengarannya—ralat, menusuk hatinya.
“Haha becanda. ‘Kan udah gue bilang, gausah dipikirin perasaan gue mah. Pikirin aja hidup lo sendiri, Dar. Gue nggapapa kok. Gue udah hidup bahagia sekarang.” Ia menoleh ke belakang sejenak, melihat dimana ada wanitanya disana bersama gadis kecil nan cantik tengah bercengkrama dengan mempelai wanita.
“Adanya Karin sama Kirana sekarang berhasil bikin gue lupain lo dan perasaan gue selama ini. Makanya, lo jangan perhatian gini lah sama gue, ya? Entar jadi sia-sia dong usaha gue dan keluarga selama ini. Mau lo tanggung jawab?”
Haidar menghela nafas, “Jadi ini salah gue ya, Jov?”
“No, no. Enggak anjir, ga gitu. Gue ikut bahagia dengan kehidupan lo dan Marko sekarang, yang udah berhasil merjuangin hak kalian semestinya.”
“Hak lo juga, Jov.”
“Haidar, udah. Jangan sedih sama keadaan gue. Entar berabe.” Ia menepuk pundak Haidar, lalu memberinya sebuah anggukan.
“Level tertinggi sayang sama orang itu ikhlas, Dar. Semua orang yang tau keadaan lo dan Marko sekarang itu udah ikhlas karena apa? Karena kita sayang sama lo. Termasuk gue, yang udah ikhlasin lo,”
Haidar sekali lagi berhasil dibuat bungkam oleh ucapan sahabatnya itu.
“Cakep ih anak lu.”
“Iyalah, bapaknya juga siapa.”
“Jadi kangen ‘kan sama anak gue. Sama anjir, Jov. Lagi gemes-gemesnya,” Kekeh Haidar yang tanpa sadar segera merubah arah pandangnya menuju satu sosok yang sedari tadi nyaman berdiri di pojok ruangan. Seperti sudah jodoh, kedua netra mereka sama-sama bertemu. Haidar tersenyum.
“Gua kesana dulu ya, Jov.” Seperti sudah paham, lelaki kelahiran april itu hanya tersenyum sambil mengangkat jempolnya. Haidar dengan cepat memunggungi Jovan, lalu segera berjalan menghampiri dunianya.
Sebenarnya Marko sudah mencuri perhatiannya sejak tadi. Padahal yang lelaki itu lakukan hanyalah diam, berdiri tegak dengan gagah dan percaya diri tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun—atau lebih tepatnya karena ia tengah sendirian, otomatis tidak ada yang mengajaknya untuk berbicara—namun sialnya, hebatnya, menariknya, hal itu membuat Haidar gila.
Tailah diem aja ganteng. Laki siapa sih.
Marko tengah memegang sebuah gelas berisi jus jambu kala Haidar berjalan mendekatinya. Tak ingin terlihat jelas bahwa ia sudah menantikan momen ini, ia pun meneguk jus berwarna merah muda itu. Berusaha keras menahan garis bibirnya agar tidak naik terlalu kentara.
“Apa kabar, Mas?”
Marko hampir tersedak ketika kalimat itu keluar dari mulut Haidar.
“Shut up.”
“Eh iya lupa. Suami.”
Marko mendecih, “Haidar.”
“Dih kok jadi lu yang takutan, Bi?” Ejeknya, membuat Marko menggaruk tengkuknya yang tentu saja tidak gatal.
Haidar segera mengambil satu gelas jus jambu yang ada di samping Marko. Ia tahu bahwa jus itu adalah miliknya, karena saat Jovan menawarkan minumannya tadi, ia melihat Marko segera mengambil gelas baru lalu menyimpannya disana.
Bangsat pengen teriak anjingggg.
“Cheers?” Haidar angkat gelas itu, yang kemudian disambut baik oleh Marko. Gelas keduanya berdenting mengeluarkan suara yang nyaring di telinga mereka, lalu dengan segera membuat mereka menghabiskannya.
“Bi tau nggak.”
“Hmmm,”
“Temen-temen gua pada berisik banget anjir ngebahas anak-anaknya. Bacot banget pokoknya, belum tau aja anak gue-”
“Anak kita.”
“Anak gue, lah? Gue yang ngurus.”
“Anak gue, lah? Gue yang nyari nafkah kerja sana sini beliin susu pampers-”
“Ya gua juga sama itu mah?”
“Yaudah anak kita.”
“Cih.”
Marko tertawa. Haidar pun ikut tertawa.
“Besok flight jam berapa?”
“Besok? Jam 11,”
“Oalah. Sama dong.”
“Tolol. Seat kita sebelahan.”
“Oh iya. Lu ‘kan suami gua.”
“Haidar.”
“HAHAHAHAHAHAHA BLUSHING BANGSAT!!!” Tawanya pecah kala melihat pipi kesayangannya itu bersemu merah semerah tomat ceri yang tadi ia makan.
“HAIDAR!”
“WOY DARRRRR!!!!” Teriak seseorang dari tengah venue, mengacaukan sesi obrolan mereka.
“SINI!!!! HAYU FOTO FOTO,” Lanjutnya, dengan segera membuat Marko menatap tajam mereka.
“Hadeh. Gapernah ngeri sama jalan pikiran orang-orang extroverts and all their gila foto habit,” Ia memutar bola matanya pertanda risih.
Haidar terkekeh sambil berjalan mundur membelakangi pemandangan teman-temannya yang tak henti menyuruhnya untuk datang lalu menatap Abian Marko Pratamanya sambil berkata, “Iya, Bi. Iya. Sabar, ya? Abis ini, kita pulang.” Ia mengedipkan mata kirinya, lalu segera berlari menghampiri kerumunan itu.
Marko yang melihat itu hanya bisa tertawa, sambil meneruskan kegiatan menganggumi dari jauh lalu mengisi ulang jus jambunya.
“Siapa tuh, Dar?” Sahut salah satu teman SMA-nya. Netranya bergerak menuju seorang pria yang ternyata adalah Marko yang tengah berjalan menuju stand minuman.
Haidar menoleh, “Oh itu. Si Marko,”
“Marko? Anak mana? Kok ngga pernah liat,” Sambung temannya yang lain, membuat keenam lelaki itu ikut fokus melihat sosok yang sedari tadi asyik mengobrol dengan Haidar.
Laki gue itu, jangan diliat-liat bangsat.
“Anak sini lah anjing. Mana mungkin dia dateng kalo bukan anak sini. Parah lu, padahal seangkatan,” Jelasnya, membuat teman satu SMA-nya itu hanya ber-oh ria karena nyatanya memang seorang Abian Marko Pratama tidak pernah ada dalam ingatan mereka.
“Selalu ada aja ya yang kaya begitu. Seangkatan, tapi kaga kenal.”
Haidar terkekeh kala memorinya seketika memutar masa-masa remajanya, “Emang ansos juga sih anaknya, tapi dia pinter. Langganan anak olim, cakep juga,” Ia tersenyum.
“Iya bener cakep. Pasti udah punya istri tuh, anaknya 2,”
Ngaco. Orang kaga punya istri dia mah, punyanya suami. Dan suaminya itu gue. Mau apa lo?
“Yu ah foto!”
Narendra hanya bisa tersenyum dari atas pelaminan. Ditemani sang istri, Asyifa, yang kini tengah duduk di sampingnya, lelaki itu tanpa sadar meneteskan air matanya.
“Kenapa nangis, ih?!?” Teriak Syifa dengan suara cemprengnya.
“Kamu mah telat nangisnya, tadi pas akad malah cengengesan sekarang jol nangis. Gajelas!” Ia memukul bisep Narendra kesal, namun yang dipukul hanya bisa tertawa. Ia menghapus jejak air matanya, lalu menoleh ke arah sang istri.
“Gue bahagia banget, Syif. Bahagia banget.”
Seperti sudah paham, Asyifa langsung mengangguk, “Kamu hebat. Ayang aku hebat. Pasti berat juga ‘kan sebenernya buat kamu untuk ikhlasin semua ini? Tapi apa yang udah kamu lakuin adalah benar, Na. Kamu melakukan hal yang benar dan berkat kamu, Haidar bisa hidup bahagia sekarang sama pilihannya. Kalau bukan karena kamu, Haidar mungkin ngga akan bisa bertahan. Kalau bukan karena kamu, Haidar mungkin ngga akan ada disini.”
Narendra kembali menangis, padahal ini adalah hari bahagianya. Yang lebih konyol adalah ia menangis bukan karena akhirnya bisa melepas status lajangnya, tetapi karena ia bahagia bisa bertemu kembali dengan sahabatnya yang kini telah hidup bahagia.
“Haidar deserved it, right?”
“Of course. Udah cukup semua rasa pahit yang dia terima, sekarang waktunya untuk manen yang manis-manisnya.”
Narendra menggangguk, lalu menggenggam tangan istrinya erat. “Makasih karena udah nemenin aku selama ini, Syif.”
“To infinity and beyoondddd!“
Langit gelap dan udara dingin bumi pasundan mereka terobos dengan bebas, padahal jam sudah meunjukkan pukul setengah dua belas kala sepasang anak adam itu tengah nyaman duduk dan menautkan genggaman mereka diatas jok Vespa. Angkringan ITB mereka lewati, Jembatan Pasupati mereka lalui.
Haidar selalu merasa tidak adil ketika melihat tempat-tempat yang punya jutaan kenangan itu tak pernah berubah di makan waktu. Mana bisa hanya dirinya sendiri yang menua?
Marko tengah nyaman menyetir dengan satu tangan kala tangan lainnya di hak milik oleh seseorang di balik punggungnya. Tapi tenang, ia adalah pengendara taat aturan, kok. Tidak seperti Haidar yang sukanya ugal-ugalan.
Jalan-jalan tanpa arah adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan—walau sebenarnya mereka berniat untuk makan di angkringan tapi nyatanya tempat itu sudah tutup—akhirnya Haidar dan Marko memilih untuk memanfaatkan momen kepulangan mereka ini untuk mengingat kembali romansa masa muda.
“Lepasin tangan gue.” Sahutnya ketika mereka sampai di jalan Asia Afrika.
“Nggak.”
“Peluk aja, Dar. Motor orang ini kalo lecet tanggung jawab mau?”
“Biarin sih? Punya suami si teh gina ini, ‘kan?”
“Maksud lo apa?”
“Ya tinggal lo ganti aja.”
“Sinting!” Ia toyor kepala yang tengah nyaman menempel di bahunya itu kencang.
“EH ANJING BI LO JANGAN GITU NTAR JATOH!!!”
Tertawa lagi. Tertawa terus.
“Rooftop nggak, Dar?”
“GAS!!!!”
Dan disinilah mereka sekarang, rooftop kampus pukul dua belas kurang 15 menit. Kalau kalian tanya bagaimana bisa mereka masuk ke area kampus jam segini yang jelas-jelas seharusnya sudah ditutup rapat, well, silakan tanya Haidar dan pengalaman berorganisasinya selama tiga tahun yang harus bulak balik kampus – kost jovan saat masa-masa ospek berlangsung.
“Cakep.”
“Tolol anjing. Gelap gini cakep apanya?” Ketus Marko menyahuti ucapan itu.
“Elu cakep.”
“Sialan.”
Marko membuka bungkusan rokok kebanggaannya itu—yang sudah lama sekali tak ia rasakan kehadirannya di indra pengecapnya—mengambil satu batang dengan cepat lalu membakarnya.
“Bi.”
“Hmmm,”
“Gue kadang suka ngga abis pikir aja sama rencana semesta. Kayanya emang suka bercanda banget ya, dia?” Ia termenung sejenak memikirkan hal-hal yang tak masuk akal di nalarnya.
“Lo tau istrinya si Naren tadi? Itu Syifa, bendahara di himpunan gue. 3 tahun ngejabat di himpunan selalu berantem kaya tom and jerry tau-tau backstreet anjing. Sekarang nikah pula,”
“Terus si Jovan. Huft,”
“Kenapa lagi si Jovan?” Sinisnya.
“Masih buruk hati aja lo. Malu sama umur, inget anak dirumah.”
“Kangen.”
“Sama.”
“IH DENGERIN GUE DULU!”
“Hahaha iyaa, sayang. Jovan kenapa?” Sahut Marko sambil melepas jas hitam yang ia pakai lalu menaruhnya dipundak sang suami.
“Iyaa si Jovan yang dari dulu paling humble yang kerjaannya cuma hayu-hayu aja sekarang udah nikah. Nikahnya juga sama di Karin,” Ia bergidik ketika udara dingin behasil menembus tulang-tulangnya.
“Padahal katanya dia suka sama gue dari jaman maba, tapi sekarang malah milih untuk nyerah karena katanya ngga semua orang seberuntung kita. Jadi kasian ngga sih, Bi? Sama si Karin? Jatohnya rasa sayang si Jovan ke dia tuh ngga tulus selama ini.”
“Lo jangan sotau. Siapa tau Jovan emang beneran sayang sama istrinya,”
“Iya, sayang. Sayang karena kasian.” Timpalnya membuat Marko termenung. Ia terlihat berfikir sejenak, lalu memeluk Haidar dari belakang.
“Tapi menurut gue, kalo Jovan sayang sama Karin karena kasian—atau sebaliknya justru malah tulus tau, Dar, jatohnya.” Ia nyamankan dagunya disana, “Karena kalo lo sayang sama orang karena kasian, tandanya lo bener-bener nggak mikirin hal-hal yang lain, selain lo pengen ngelindungin dia. Dan juga, ngebantu dia untuk bangkit dari sesuatu yang mungkin lo ngga tau.”
Mendengar kalimat itu di telinganya membuat Haidar diam tanpa kata. Melihat Jovan—sahabatnya yang tidak bisa memperjuangkan haknya hanya membuatnya sedikit kesal dan sedih, mengingat bahwa dulu dialah yang memberinya dukungan sampai akhirnya ia berhasil.
“Yah. Sayang banget dong, ya, Bi? Gue tolak dia waktu itu.” Candanya, membuat Haidar sekali lagi mendapat toyoran ringan di kepalanya sebagai hadiah.
“Inget. Lo udah punya anak.”
“Kenapasih tiap gue ngomong selalu dibalik-balikin mulu tailah!” Ia mencubit pinggang itu, membuat sang empu segera melepaskan pelukannya lalu meringis kesakitan.
“Jelek mainan lu! Gausah sentuh-sentuh titik lemah gue!”
“Dih titik lemah titik lemah najis,” Kekehnya lagi, lalu beralih pada ponselnya dan bergegas membuka aplikasi Spotify.
“Bi, ayo dansa.” Ia mengulurkan tangannya.
“When we were young banget lagunya? Hahaha,” Marko tertawa remeh sebentar, lalu dengan senang hati menerima uluran itu. Dibawanya Haidar menuju tempat terhangat yang dimilikinya, dan perlahan, keduanya mulai tenggelam dalam alunan lagu Adele yang terputar.
Jam di lengan menunjukkan pukul dua belas tepat, alarm ponsel Marko berbunyi kala jam menunjukkan 00.00.
“Happy Anniversary, Sayang.”
Yang dipanggil memejamkan matanya, enggan untuk menumpahkan seluruh air matanya disana. Yang bisa ia lakukan hanya sekedar mengangguk, lalu mengeratkan pelukannya.
“Makasih karena ngga milih untuk nyerah dan tetap disini nungguin gue,”
“Iya, Bi.” Paraunya.
“Makasih karena udah milih gue, Haidar.”
“...”
“Makasih udah mau ngabisin waktu sama gue,”
“...”
“Besok kita pulang, ya?”
Haidar mengangguk. Wajahnya ditangkup dengan hangatnya tangan Marko, membiarkan air mata itu tumpah disana. “Makasih, ya, Bi. Karena udah bertahan sama gue, selama ini.”
Dibawah sinar rembulan kota Bandung, sekali lagi, mereka satukan rasa cinta dan lelah mereka jadi satu lewat pagutan paling manis yang pernah mereka rasakan. Disini, di bumi pasundan ini.
Haidar dan Marko, selesai.
—leobabybear🌹 ditulis di bandung, hari sabtu pukul tujuh malam.