rooftop fight. —haidar dan marko.
satu pesan yang berhasil membangunkan haidar dari rasa kantuknya.
skripsi gue ngulang.
dengan segera lelaki kelahiran juni itu tutup laptopnya, ia ambil jaket kulit hitam kebanggaannya dan tak lupa kunci mobil ayahnya, lalu bergegas pergi menuju kampusnya.
banyak hal yang terlintas di kepalanya. mengingat sebenarnya beberapa hari yang lalu ia baru saja selesai melaksanakan seminar proposal, dan akhirnya mendapatkan kelayakan untuk melakukan penelitian. baru saja satu anak tangga berhasil ia lewati—bersama marko tentunya—tapi hari ini entah mengapa ia seperti didorong kembali—secara kasar—oleh semesta. ia seperti dituntut untuk kembali menguatkan bahunya, sambil kembali mendaki tangga kehidupan—tak peduli ia harus terluka hingga langkahnya terpogoh-pogoh—ia hanya diminta lebih kuat kali ini. karena akal sehatnya tau, saat ini yang lebih membutuhkan sandaran bukan dirinya, melainkan marko.
ia bukan tipe yang bisa jadi comfort zone bagi orang-orang yang tengah putus asa. jadi wajar jika saat ini ia bingung—walau sudah enam tahun bersama—tetap saja, ia merasa marko adalah comfort zone-nya. bukan sebaliknya.
“masa gue beliin rokok satu slop anjing yang ada bocahnya malah kesenengan gua bebasin ngerokok.” rutuknya saat ia tengah berada di lampu merah.
“ah gatau lah,” pasrahnya, saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. ia kembali melanjutkan perjalanannya hingga akhirnya sampai di parkiran dekat fakultas bahasa dan sastra.
haidar pijit icon telepon, lalu segera menekan angka 1. ya, angka yang dibaliknya tersimpan nomor marko.
“assalamualaikum,”
“gue udah diparkiran ya bro,”
“jawab dulu bisa kali?”
“ish. waalaikumsalam,”
“kok terpaksa gitu sih? ngga susah padahal tinggal jawab waalaikumsalam doang. pahalanya juga bukan buat gue, tapi buat lo.”
dahi haidar mengkerut, “santai kali, marah-marahnya nanti aja jangan sekarang. kalo sekarang mah takut putus,” sompralnya.
“tuhkan. jaga mulut, haidar,”
“gimana mau dijaga kalo lu ngajak ciuman mulu,”
“uhuk, uhuk!”
terdengar suara batuk yang cukup kencang dari sebrang sana, membuat haidar tertawa hingga memukul-mukul pahanya.
“sempet-sempetnya minum si anjing,”
“gue abis sholat, jangan mancing amarah gue.”
“pantes sensi. yaudah buru sini,”
“ya.”
“assalamualaikum, ganteng.”
“waalaikumsalam, sayang.”
“BACOOOOOOOT,”
“hahahahaha, wait for me ya,”
tut.
haidar terkekeh, lalu segera mengalihkan perhatiannya pada kaca spion. dilihatnya kedua pipi yang bersemu merah, membuatnya geleng-geleng tak habis pikir.
“gila juga ya marko ngga ada abis-abisnya bikin gua jatuh cinta.”
tak butuh waktu lama akhirnya netra haidar menangkap figur yang tengah berjalan dengan tas jansport hitamnya, lengkap dengan topi dan kaca mata yang bertengger di hidungnya. sangat khas, sangat abian marko pratama.
marko akhirnya masuk ke kursi penumpang, melepas topi serta tasnya, lalu menoleh ke arah kanannya. ia tersenyum dibalik maskernya. walau tak tampak, haidar bisa dengan jelas rasakan aura kekecewaan marko sore itu.
“jalan dulu? atau cerita dulu?” tanya haidar berniat memecahkan keheningan diantara keduanya.
“kemana ya yang sepi,” marko menghela nafasnya, sudah cukup melelahkan baginya untuk lanjut memikirkan destinasi tempat untuk keduanya bebas tanpa dapatkan perhatian orang lain. ia memejamkan matanya.
haidar yang melihat itu hanya bisa menyampirkan senyum palsu, walau sebenarnya hatinya pilu. bukan salahnya—atau mungkin memang salahnya—melihat sikap marko barusan.
nentuin tempat doang, bi, dan lo se-putus asa itu? gumamnya dalam hati.
“kalau lo maunya disini gue ngga masalah.” bisiknya pelan, sangat pelan. “apa? ngga kedengeran,” sahut marko.
“gue pengen teriak.” lanjutnya. haidar menoleh, “gajelas banget sore-sore gini.”
marko mendecih, “ya terus gue harus apa disaat skripsi gue harus ngulang? seneng-seneng? yakali. stress,”
“ya iyalah harus seneng-seneng? abis itu kalo udah seger, badan dan otak lo udah ke refresh, ‘kan bisa mulai lagi dari awal. daripada teriak-teriak, sayang banget energi lo tersalurkan lewat angin doang. itu baru stress,” pembelaannya barusan membuat marko kembali memijat pelipisnya—ia pening, luar biasa pening.
oh ayolah, ia hanya ingin tenang. bukan adu argumen seperti ini.
“kenapa sama skripsi lo? masalahnya dimana?”
haidar nyalakan mesin mobilnya, lalu bergegas pergi meninggalkan parkiran itu. yang ditanya masih diam, enggan bersuara.
melihat itu haidar kembali bungkam, berinisiatif menyalakan radio sambil terus membawa mobilnya menuju satu-satunya rooftop yang hanya ia—dan marko—tahu di kampusnya.
hening. keduanya sibuk menikmati pemandangan kampus mereka dari atas sana. melihat sepinya tiap jalan itu, yang biasanya dipenuhi suara gelak tawa ataupun merdunya mahasiswa lain yang sibuk berkumpul di tiap gazebo fakultas masing-masing.
marko tengah asyik dengan batang rokoknya, sementara haidar sibuk dengan jemarinya.
“dar,” panggilnya.
“iya? gimana?” haidar geser dua langkah berniat mendekat pada lelaki itu. tak peduli dengan asapnya yang mungkin saja akan membuatnya kambuh, ia peluk erat bisep kanan marko.
marko terkekeh, “lo kenapa?”
haidar memutar bola matanya.
“perasaan, gue yang ngulang. kenapa lo yang seneng?”
ia tendang pelan bokong marko, “goblok. siapa juga yang seneng?!” teriaknya. ia langsung melotot ketika mendengar suaranya yang begitu lantang barusan.
“tuhkan. emang paling bener kalo lagi kaya gini tuh teriak-teriak,” katanya lagi, sambil kembali menghisap nikotin itu.
“gue harus ngulang, dar. gimana dong?” lirihnya terdengar begitu pahit di telinga haidar.
“ya ngga gimana-gimana. selesaiin aja sebisa lo, marko. gue ‘kan udah pernah bilang—”
“lo harus nunggu lagi. are you okay with that?”
dengan cepat yang lebih muda gulung bibir kecilnya itu. bibir yang baru saja begitu lantang keluarkan suaranya, seketika tertutup rapat karena pertanyaan barusan.
“lo udah cape, ‘kan?”
“no, i will never get tired of you—of us.”
“kalo... lo ninggalin gue gimana?”
“siapa sih yang bilang gitu? siapa, bi? gue ngga akan pernah ninggalin lo.” tekannya.
“i will not make it, haidar.”
“gausah banyak bacot, abian. kenapasih lo selalu aja takutin hal yang belum terjadi? ngga usah lah prediksi-prediksi kemungkinan yang belum jelas, yang penting lo usaha aja sekarang. kok lo jadi gini sih?” bukan hanya intonasinya barusan, tapi juga sarat mata indah haidar terlihat jelas bahwa ia tengah menunjukan perasaan kecewa.
“apa jangan-jangan lo emang udah ngga yakin, ya, bi? soal kita?” mendengar itu marko menunduk. ia lempar putung rokoknya yang masih menyala itu sembarang arah. ia berjongkok ditengah semilir angin dingin bumi pasundan itu.
“gue cape, haidar. gue cape. kenapa ngga ada yang berjalan sesuai keinginan gue, sih? mau segimana lagi dunia ini liat gue hancur? apa selama ini masih kurang?” ia kembali berdiri, lalu menghadap ke arah haidar yang tengah membeku.
“sebentar lagi, abian. sebentar lagi, ya? please, lo jangan kaya gini. lo pikir lo doang yang cape? gue juga sama, tapi gue ngga mau nyerah. kenapa? karena gue sayang sama lo,” ia genggam kedua tangan itu.
“kemarin ‘kan kita udah sama-sama janji, pergi bareng atau ngga sama sekali. lo ngga lupa, ‘kan?” lirihnya ditengah air mata marko yang entah sejak kapan sudah membasahi pipi kurusnya.
“jujur gue daritadi kewalahan, bi. bingung harus gimana nenangin lo yang lagi kacau kaya gini. gue takut ada omongan gue yang malah bikin lo emosi dan malah mancing sesuatu yang ngga seharusnya terjadi, malah terjadi,”
“ada lo disini aja udah cukup buat gue, ngga perlu ngapa-ngapain, haidar,” marko terkekeh ditengah sesi sesegukannya.
“marko,”
“hmm?”
“gue udah pernah bilang belom sih kalo lo tuh ganteng banget?” ujarnya, tiba-tiba.
“lo selalu ngatain gue jelek.”
“emang. tapi sore ini lo ganteng banget. pacar gue ganteng banget.” kalau marko boleh jujur, ucapan kekasihnya barusan terdengar ambigu. karena baginya ucapan itu berarti dua makna, pertama, entah ia benar-benar tampan, atau yang kedua, haidar tengah mengejeknya.
“lo ngatain gue ‘kan, ini?” marko tarik pinggang haidar mendekat, kini keduanya terpaut jarak sangat tipis, sehingga hanya deru nafas keduanya yang menjadi pemisah antara kulit masing-masing.
“mentang-mentang kaga ada orang ye, bebas bener narik-narik gue. lo cakep, bukan ganteng. ralat. pacar gue cakep banget.” bisiknya.
keduanya terkekeh, lalu sedetik kemudian marko rengkuh tubuh itu, membawanya pada pelukannya. haidar tentu saja tidak bisa menolak.
“bi,”
“hmm,”
“lo ditanyain amih, loh,”
marko melotot, “lah? ditanyain gimana?”
“papa sih awalnya. kemarin pas gue beli jas buat sidang, si papa nyuruh bawa lo kerumah.” ditengah sesi saling mentransfer energi itu, keduanya terkekeh geli.
“ya... gue mah ayo aja sih. lo nya berani ngga?” tantang marko sambil mengecup pucuk kepala kekasihnya.
“berani.”
“bener?”
“berani kabur.” lanjutnya. mendengar itu marko memukul pelan bokong haidar.
“mesum lu anjing ngga usah pegang-pegang pantat gue!” haidar cubit pinggang kurus itu, titik kelemahan marko.
“fitnah mulu si anjing. mana ada pegang-pegang, ini mah namanya mukul. kalo pegang kaya gini—”
belum sampai tangannya mencapai bokong itu, sang empu segera melepaskan pelukan mereka dan menendang betis marko. yang ditendang segera jatuh, namun sedetik kemudian ia kembali berdiri—berniat lari dari amarah haidar.
“SEJAK KAPAN ADAB LU KAYA BEGINI HAH?! SINI LU SIAPA YANG NGAJARIN PEGANG-PEGANG BEGITU DASAR SETAN!!!” keduanya berlarian mengelilingi rooftop itu, ditemani angin dan matahari terbenam yang begitu indah.
“DAAAAR!!!!”
“APA?!!!!!”
“JANGAN TINGGALIN GUE!!!!” teriak marko.
“JANGAN TINGGALIN GUE, YA?!!!!!”
marko terus berlari, dan terus meneriakan frasa itu. sementara haidar dibelakangnya, hanya terus meneteskan airmata.
“DAAAAARRRR!!!”
“hiks– marko...”
“LO HARUS TAU, DUNIA GUE ITU CUMAN LO! MAU LO PERGI KEMANAPUN GUE BAKAL NYUSULIN LO, INGET ITU!!!”
satu hal yang haidar syukuri sore itu, adalah marko benar-benar menepati janjinya. janji dimana ia akan selalu pulang kepada dirinya—bahkan dihari terburuknya sekalipun. jika ditanya “sebenarnya apa sih, yang anak adam ini cari pada diri seorang abian marko pratama?” haidar akan dengan mudah menjawab, kesetiaan. dan marko berhasil berikan itu pada haidar secara cuma-cuma.
—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah sebelas malam.