Sampai Jumpa Lagi, Sayangku. —haidar dan marko.

what if, salah satu dari mereka pergi lebih dulu.

tw / major character death , hospital cw / hurt comfort , angst

Song Recommendation: d4vd – Here With Me


Sebentar lagi musim dingin akan datang. Pohon-pohon cantik yang tadinya penuh dengan warna merah, kini mulai gugur berjatuhan dengan kelopaknya yang kian berganti warna menjadi jingga kekuningan, nyaman sekali untuk dilihat. Semilir angin semakin sering menyapa permukaan kulit warga kota Amsterdam, seolah mengirim sinyal untuk segera rapatkan mantel tebal mereka yang sudah terlalu lama bersembunyi di lemari masing-masing.

Kulitnya sudah semakin keriput, makin peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi, juga makin rentan terkena beragam penyakit. Dasar orang tua tidak tahu diri.

Haidar, yang tengah duduk nyaman di kursi tua sebuah rumah sakit itu ada disana dengan setelan tidurnya. Masih lengkap dengan infus yang menancap di tangan kiri, dan juga canula—sebuah alat bantu untuk bernafas—tersenyum ketika melihat sebuah burung camar jatuh di hadapannya.

“Pa!”

Itu suara Arka, berlari dari arah kanan bersama dengan selimut tebal juga jaket di kedua tangannya. Anak itu ngos-ngosan, lelah karena sudah berlari sangat jauh.

“Dicariin dari tadi sama Ayah, malah diem disini ternyata,” Sahut Arka, lalu berjongkok di depan sang Papa yang tengah melamun. Memperhatikan burung camar yang sedari tadi tengah nyaman berjalan di area taman belakang rumah sakit tempatnya berdiam diri beberapa bulan terakhir.

“Ka,”

Ia mengadah sebentar, lalu membawa jaket serta selimut itu ke pundak sang Papa. “Iya, Pa?”

“Gimana ya, rasanya bisa terbang sebebas burung itu?” Tanya Haidar, masih belum juga mengalihkan pandangan dari sana. “Gimana rasanya ... Bisa hidup tanpa beban, terbang semaunya kesana kemari.”

“Gaenak, Pa. Jadi burung itu gak enak terlepas dia bisa terbang sebebas-bebasnya. Buat apa coba hidup bebas kalo nggak punya arah tujuan yang jelas, terus akhirnya malah nabrak?”

Arka, yang tengah mengaitkan kancing terakhir jaket itu akhirnya mendapatkan sebuah toyoran pelan di keningnya dari sang Papa. “Kamu ini, bisa lembut sedikit nggak kalau lagi ngomong sama Papanya? Jahat banget.”

“Itu bukan jahat, Pa. Itu namanya logis.”

Ia usap keningnya sebentar, lalu duduk disamping Haidar yang tengah cemberut. “Ayah kemana?”

“Tau tuh, tadi kita mencar nyariin Papa. Kenapa gamau diem banget sih, Pa? Kasian tau, Ayah jadi ikutan harus kesana kesini,” Arka dan mulutnya yang sedikit tajam, membuat Haidar sadar sekali lagi bahwa putranya ini benar-benar sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa seutuhnya.

Got you.

Keduanya serentak menoleh ketika mendengar satu suara yang sudah familiar di telinga mereka, “Kok nggak nelfon Ayah, Ka? Kalau Papa udah ketemu?”

“Hehe. Lupa,”

Marko, dari samping sana hanya menghela nafas lelahnya lalu kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kursi itu. Dilihatnya masih ada satu tempat kosong di samping kiri Haidar, membuatnya tanpa ragu langsung duduk disana.

You okay?

Haidar mengangguk.

“Kamu harusnya check up tadi, kenapa malah ngilang dari kamar?” Tanya Marko ketika ia sudah bisa mengontrol nafasnya. “Ya ... Untuk apa? Kita udah tau kok, sama jawabannya.”

Marko dan Arka yang mendengar itu mendadak kelu lidahnya. Tenggorokan mereka sama-sama tercekat, air mata otomatis minta untuk dikeluarkan sekarang juga.

“Ka, dengerin Papa,” telapak tangan yang hangatnya tidak pernah berubah itu hinggap di tangannya.

“Jagain Ayah ya,” Ia menoleh pada putra satu-satunya itu.

Hangat. Tangan Papanya masih hangat. Papanya masih ada disini.

“Yang semangat kerjanya, jangan terlalu nyaman hidup sendiri. Kamu juga perlu teman hidup,”

Arka diam, bingung harus menjawab apa.

Haidar lepas tautan tangan bersama sang putra, lalu beralih kepada sang suami yang duduk di sebelah kiri. “Bi, dengerin gue,”

I love you.

Marko tersenyum, “I love you too. Sekarang, jangan dulu mikirin apa-apa dan tetep berusaha, ya? Kita hadepin sama-sama, just like the old times. Oke? Jangan dulu bilang yang nggak akan terjadi, it will not happen. You have me. You will be alright.

Ia cium punggung tangan itu sedalam-dalamnya, “Tenang, 'kan ada Marko.”


Ada rasa takut yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya ketika dokter yang menangani Haidar bilang bahwa hidup lelakinya itu sudah tidak lama lagi. Ia bingung luar biasa, harus bilang apa nanti kepada Papa Joni dan Amih Egi kalau tau Haidar disini tengah berjuang dengan hidupnya yang tidak lama lagi? Harus bilang apa nanti kepada A' Hendri kalau ia tahu adiknya tengah kesakitan? Harus bilang apa nanti kepada Narendra, kalau tahu sahabatnya tengah berada di persimpangan hidup dan mati? Harus bilang apa nanti kepada Arka, sang putra yang hidupnya selalu bergantung pada Haidar?

Harus bilang apa dia pada dirinya yang belum siap kehilangan?

Langkahnya semakin melamban ketika hampir sampai di depan ruang inap sang suami. Dari kaca panjang itu terlihat tubuh lemah cintanya, dunianya, hidupnya itu tengah terbaring dengan sisa nyawanya yang ada.

Ia geser pintu itu, lalu kembali menutupnya dengan satu gerakan cepat. Setelah menguncinya, ia tarik sebuah kursi dari sana lalu memindahkannya ke samping kiri Haidar. Ia duduk dengan mudah disana, menghalangi sinar matahari yang masuk lewat celah-celah jendela yang tertutup rapat. Haidar tidak boleh terkena udara dingin.

Ia menelusupkan tangan hangatnya menuju tangan kiri Haidar yang masih ditancapi infus. Melihat punggung tangan yang mulai keriput itu kini ditemani lebam kebiruan karena terlalu sering dipasang jarum suntik.

Hatinya sungguh diremat habis-habisan kala melihat kening itu sesekali mengkerut, seperti tengah menahan rasa sakit. Ia genggam tangannya erat, sambil memohon untuk dipindahkan saja segala rasa sakit yang meradang di tubuh Haidar itu ke tubuhnya.

“Jangan ditahan, Sayang. Kalau sakit bilang, aku disini.”

Marko dengan suara lembutnya itu berhasil membangunkan Haidar dari sesi tidurnya. “Hai,”

“Hai. Dimana yang sakit?”

Haidar kembali menggeleng, entah untuk yang ke berapa kali. “Enggak ada yang sakit, Abian.”

“Jangan bohong, Haidar.”

I'm not. 'Kan ada Marko.” Ia tarik garis bibir pucatnya itu cukup tinggi, “Gimana hasil check up kemarin?”

Marko mencoba untuk atur degup jantungnya yang makin berisik, ingin berteriak namun ia tahan sebisanya. “All good. Kamu bisa sembuh, Sayang.” Ia tersenyum.

Haidar terkekeh.

Hening, hanya ada mata yang saling bicara pagi itu. Burung berkicau dengan merdu, menjadi teman mereka di hari yang berhasil membuat hati kedunya patah bersamaan. Yang satu karena harus siap ditinggalkan, yang satu karena harus siap meninggalkan.


Arka sampai dirumah setelah sang Ayah menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat sejenak karena kemarin ia sudah menjaga Haidar di rumah sakit. Walau hatinya terasa berat, enggan meninggalkan sang Papa sedetik pun, namun ketika ia tatap netra sang Ayah ... Ia langsung paham. Marko meminta satu hari untuk bersama Haidar sebelum waktunya tiba.

Rumah dengan dominansi warna putih itu terlihat suram, tidak seperti biasanya. Dulu, akan ada Haidar yang menyapanya di pintu ketika ia pulang sekolah. Akan ada Marko yang menyapanya dari meja makan, sambil memegang koran dan segelas teh hangat di sore hari.

Tapi hari ini, kedua sosok itu hilang dari pandangannya. Penyelamat hidupnya itu hilang dari sisinya.

Seharian ini Arka merasa linglung, selain faktor keadaan Papanya yang memburuk, ada juga faktor-faktor lain yang membuatnya lelah menjadi orang dewasa. Pekerjaan, tuntutan lingkungan untuk segera menikah dan punya anak, juga tuntutan untuk segera mapan, mencekiknya secara perlahan dan kini berada di puncaknya.

Ia tidak menyangka bahwa menjadi dewasa akan sesulit ini. Ia ingin kembali menjadi seorang Arkananta Baskara Putra yang selalu meminta es krim kepada sang Ayah, lalu berujung sakit batuk dan menangis kepada sang Papa. Ia tidak mau menjadi Arka yang ketika sakit harus berobat sendiri. Ia mau Papa dan Ayahnya. Ia mau hidupnya yang dulu.

Kakinya tanpa sadar membawa tubuh bongsor itu berdiri di depan kamar kedua orang tuanya. Dengan tangan gemetar, ia buka kenop pintu itu lalu masuk kesana. Kamarnya gelap, namun hangatnya masih tetap sama. Ia masih dan selalu ingat suasana ketika tidur semasa kecil, ia selalu merasa aman karena punya dua tameng yang bisa di andalkan di samping kiri dan kanannya. Ia tidak perlu merasa takut akan jatuh, karena ada Papa di kanannya, dan Ayah dikirinya.

Tapi, kalau sang Papa pergi dan Arka jatuh nanti ... Ia harus apa?

Lampu dinyalakan, memperlihatkan kamar milik Haidar dan Marko yang cukup berantakan karena sudah lama tidak disinggahi. Ia mendekat ke sebuah laci, itu tempat sakral milik sang Ayah.

Ia tarik lacinya, debu-debu halus pun langsung menyapa hidungnya tanpa izin. Membuat Arka bersin berkali-kali sampai pening. Ia ambil beberapa album foto dari sana, dan membukanya.

Marko adalah orang yang sangat apik dimata Arka. Ia bahkan memberikan nomor abjad dan tahun sesuai gambar itu diambil dan menaruhnya sesuai urutan. Dan apabila dirinya dan Haidar tidak kembali mengatur itu sesuai urutannya, Marko akan langsung marah dan itu adalah pemandangan yang disukai dirinya dan sang Papa.

Dari paling pojok ia lihat sebuah kotak kecil bersembunyi disana, terlihat jarang disentuh karena posisinya yang sangat jauh. Juga terlihat paling berharga.

“Yah, izin buka ya. Jangan ngambek,” Monolog Arka pada udara di ruangan itu, berharap angin bisa mengantarkan pesannya kepada telinga sang Ayah.

Resleting pun terbuka. Ketika ia menilik kembali isinya, ternyata itu adalah kumpulan beberapa flash disk dan sd card yang keberadaannya kini sudah jarang ditemukan. Ia bahkan tidak tahu cara memakainya bagaimana.

Setelah mencari cara menggunakan benda itu di internet, akhirnya Arka bawa flash disk dan sd card itu ke ruang tengah. Ia dengan telaten memasangkannya ke kabel yang ada di tv mereka, lalu merasa bangga ketika ia berhasil mengakses isinya.

Itu adalah kumpulan video-video lama yang seperti sengaja dikumpulkan. Bentar, jangan bilang ini video jorok yang Papa suka bilang?!

Semakin penasaran dengan isinya, ia pun buka salah satu video dengan acak.

“Arka! Liat sini!”

Video dimulai. Itu adalah video ketika dirinya masih kecil, mungkin sekitar satu? Atau dua tahun? Entahlah, ia tidak ingat.

“Papa. Bilang, Papa.”

“Yah. Yah!”

“YES! DIA MANGGIL GUA DULUAN!!!! HAHAHAHAHA,”

“ISH TAI!”

Videonya berhenti. Arka terkekeh sebentar, lalu kembali memilih video-video lain untuk ia tonton.

“Arka sayang Papa atau Ayah?”

“Ayah.”

“Kalo Papa?”

“Engga.”

“Wah .. You hurt my feelings. Kenapa nggak sayang Papa?”

“Soalnya Papa pelit, nggak pernah ngasih Arka es krim.”

Video berhenti lagi. Matanya sudah berkaca-kaca. Ternyata, ia benar-benar sudah menjadi putra yang kasar kepada Papanya.

“Hai, Ka. Ini Papa.”

Setelah mendengar kalimat itu, ia meluruskan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ia menghentikan video itu sejenak, lalu melihat tanggal yang ada disana.

“How's life? Apa semesta baik-baik aja sama kamu? Semoga iya, hehe. Papa sayang banget sama kamu, Ka. Kamu itu anugerah buat Papa sama Ayah. Makasih ya, udah mau dateng di hidup kita yang nggak sempurna ini?”

“Papa sakit, Ka. Kamu kayanya udah tau ya? Sebenernya Papa udah sakit dari lama, cuma sengaja aja nggak pernah berobat karena Papa kira ... Penyakit ini nggak akan jahat sama Papa. Eh, ternyata Papa yang malah terlalu baik sama dia sampe malah dijahatin balik.”

“Kamu jangan sedih. Jagain Ayah, ya? Papa ngerasa bersalah harus ninggalin dia sendiri di dunia ini, padahal dulu janji bakal bareng terus sampe kapanpun. Tapi, karena sekarang udah ada Arka, rasa bersalah Papa berangsur ilang karena tau ... Ayah nggak akan sendirian lagi.”

“Gak tau deh gimana kalau dulu kita nggak ketemu ya, Ka?”

“Papa lagi apa sekarang, Ayah lagi apa, kamu juga lagi apa diluaran sana kalau kita nggak ketemu hari itu.”

“Makasih udah liat Papa sama Ayah. Maaf Papa masih belum bisa jadi orang tua yang baik buat Arka. Terlepas dari apapun yang udah semesta lakuin ke hidup Papa, Papa nggak akan berhenti ngucapin makasih karena mempertemukan Papa sama kamu.”

“Di kulkas ada banyak es krim, Ka. Boleh dimakan kalau kamu kangen Papa. Kalau habis, beli lagi ya. Penuhin lagi biar Papa seneng dan tenang, tau kalau kapanpun kamu sedih ada es krim di kulkas yang bakal nemenin. Tapi ya jangan keseringan juga, kalo nanti batuk nggak ada yang marahin lagi soalnya.”

“Arkananta Baskara Putra, putra Papa. I love you.”


Haidar kritis. Kini hanya tinggal doa yang bisa terucap dari mulut Marko dan kerabat lain. Papa Joni dan Amih Egi sudah sampai beberapa jam yang lalu, keduanya bahkan belum sempat istirahat padahal perjalanan mereka sangat melelahkan.

Papa Jefri juga ada disana.

Dokter bilang, kalau mereka sudah tidak bisa menolong Haidar dengan alasan resiko yang diambil terlalu besar. Mereka salah besar karena berbicara dengan seorang Abian Marko Pratama yang bahkan rela lakukan apapun demi cintanya kembali sehat. Namun, ia bukan Tuhan. Marko jelas tahu Haidar pun tidak suka kalau ia seperti itu.

Suster memberi tahu kepada pihak keluarga untuk memberikan ucapan terakhir sebelum ... Entahlah, telinga Marko berdenging sejak tadi. Ia seperti tengah disumpal banyak benda, benar-benar tidak bisa fokus untuk mendengarkan apapun.

Joni, Egi, Jefri, pun bergiliran masuk diikuti dengan Marko yang terakhir masuk. “Ade, ini Amih ...” Matanya sedikit terbuka, membuat sosok yang melahirkannya ke dunia itu akhirnya jatuh.

“Ade, Amih udah dateng. Maaf ya, lama ...” Ia bersimpuh di samping ranjang itu.

“Ade, bisa bangun sebentar? Lihat Amih, yuk, Nak. Amih disini ...”

Seperti keajaiban, mata Haidar terbuka dengan perlahan ketika mendengar satu suara yang sangat dirindukannya itu. “Ade, ini Amih. Mana yang sakit?”

Haidar dengan susah payah menggeleng untuk yang terakhir kalinya. Masih menjadi sosok pembohong hebat bahkan disaat-saat terakhirnya. Matanya mulai meneteskan air mata, kakinya mulai dingin.

“Ade, Papa disini ...” Joni, dengan tubuh kebanggaannya kembali roboh ketika melihat putra kesayangannya itu terbaring lemah tak berdaya disana.

Bibirnya bergetar, Haidar ingin katakan sesuatu tapi rasanya sulit. “Iya, Ade. Papa sayang Ade. Makasih sudah lahir jadi putra Papa. Papa sayang sekali sama Ade. Haidar Indra Atmajaya, putra Papa.”

Joni dan Egi bergantian cium kening putranya itu untuk yang terakhir kali, lalu mundur dua langkah dari sana. Egi peluk tubuh Joni, menenggelamkan wajahnya di dada sang suami lalu menangis kencang.

“Haidar, ini Papa Jefri ...”

Jefri tersenyum, bibirnya bergetar. “Papa minta maaf ya, kalau dulu pernah buat hatimu sakit. Papa minta maaf, Haidar,”

Haidar menggeleng lagi. Enggak, Pa. Jangan minta maaf.

“Terima kasih sudah mau temani hari-harinya Marko. Makasih, Nak ...” Ia menjatuhkan lututnya disana, ikut mengelus surai lembut itu lalu menciumnya.

Jefri lantas mundur, lalu memberikan sisa ruang kepada sang Putra yang masih enggan bergerak dari pintu. Ia hanya duduk disana, tak bersuara namun air matanya tak kunjung mereda.

“Abang, sini. Haidarnya nungguin,” Sahut Jefri pada Marko yang kian deras menangis. Ia takut. Ia sungguhan takut untuk sekedar melangkah maju.

“Abang,” Jefri akhirnya melangkah maju mendekati sang putra. Ia paham perasaannya. Ia yang paling tahu itu. Maka, Jefri dengan sigap menuntun langkah putranya menuju Haidar yang tengah menunggunya.

Marko tiba di sampingnya, menunduk sangat dalam. Yang ia lihat hanya sepasang sepatu kotor milliknya yang sudah tidak pernah dicuci lagi.

“Abang, ayo. Bilang apapun sama Haidar,”

Marko akhirnya mengadah, berlutut di samping ranjang itu dan menggenggam tangan Haidar erat.

“Maaf.”

“Maaf.”

“Maafin aku.”

Hanya itu yang terucap dari bibirnya.

“Maaf, Marko-nya nggak berguna.”

Kamu boleh pergi.” Susah payah ia ucapkan kalimat itu, namun akhirnya keluar juga.

“Kamu udah ketemu Amih, yang selalu kamu kangenin tiap hari. Kamu udah ketemu Papa, yang selalu kamu kangenin juga. Kamu udah ketemu Papa Jef, dan disini juga ada aku ...”

“Kita semua udah kumpul disini. Jadi, tolong pergi dengan tenang tanpa meninggalkan beban apapun, ya?” Ia tatap netra yang sudah hampir tertutup itu. Marko usap pipi sang suami yang baru saja menitikan air mata.

Aku enggak apa-apa, Haidar. Aku bisa.

“Walau nggak janji hidupku akan tetap baik-baik aja, tapi ... Aku beneran enggak apa-apa.”

Kamu itu duniaku. Dan akan selalu begitu.

“Terima kasih sudah jadi Haidar Indra Atmajaya yang penuhi hari-hari seorang Abian Marko Pratama. Makasih udah mau ketemu sama aku. Makasih udah milih aku. Makasih, Sayang.”

Ia menunduk diatas punggung tangan yang kian dingin. Hangatnya mulai hilang seraya matahari sore itu tenggelam.

Pintu dibuka, Arka ada disana. Dengan bajunya yang banjir keringat, begitu pula pipinya.

“Papa, ini Arka ...”

Ia ikut bersimpuh disamping kanan, meraup tangan kanan Haidar yang sudah dingin. Arka pegang leher sang Papa, masih hangat. Papanya masih disana.

“Pa, ini Arka ...hiks,

“Pa, kalau Papa denger ini Arka cuma mau bilang makasih. Makasih ya, Pa? Makasih. Arka sayang banget sama Papa lebih dari Arka sayang Ayah. Papa itu segalanya buat Arka. Papa yang selalu ada buat Arka kalau lagi kesusahan. Papa, terima kasih ... -hiks,” Ia runtuh, menjatuhkan kepala beratnya diatas tangan yang sudah dingin. Papanya sudah tidak disini.

Langit sore pun berganti menjadi langit malam yang gelap. Genggaman tangan mereka terlepas, Haidar telah pergi.


Sudah satu minggu sejak kepergiannya, dan Marko masih tetap menjadi dirinya. Hanya saja, terlihat sedikit kehilangan arah.

Ada satu surat yang ia temukan di nakas kamarnya. Ia tahu itu dari Haidar. Susah payah ia tahan rasa rindunya dengan menolak menyentuh surat itu, namun akhirnya ia rampas juga. Menyobek sisi amplopnya dengan rapi, lalu mengeluarkan suratnya dengan cepat.

Abian. Cintaku. Hidupku. Duniaku. Sayangku. Maaf ingkar janji untuk selamanya ada disisi lo. Padahal mimpi kita masih banyak, ya? Gimana dong? Hahaha. Jadi makin berat mau ninggalin. Bercanda, kalau udah waktunya ... Ikhlasin aja, ya?

Setiap masa itu ada orang, dan setiap orang pasti ada masanya, Bi. Inget itu. Masa gue berhenti sampai disini. Tapi lo enggak. Jadi, tetap hidup ya?

Gak tau harus percaya sama kehidupan selanjutnya apa enggak, tapi ... God, i hope it's real. Gue mau mengulangi semuanya sama lo. Apapun itu, walau kaya baca buku dua kali alias udah tau endingnya gimana ... Gue nggak peduli. As long as i'm with you, Marko. Kalau ada Marko, semuanya aman.

So, sampai bertemu lagi?

P.s: Gue nulis ini banjir banget anjing tai apaansih najis banget. Tapi ya gimana ya, nulisnya dari hati soalnya jadi sedih.

Your Beloved Husband, —Haidar Indra Atmajaya.

“Sampai jumpa lagi, Sayangku,”

—leobabybear 🌹 ditulis hari jum'at pukul setengah dua belas malam.