Selamat Hari Ayah! —haidar dan marko
Bocah kecil itu bingung, melihat sosok jangkung Sang Ayah yang biasanya selalu ceria dan penuh canda tawa itu kini mendadak sendu. Ia tengah menangis tersedu-sedu, padahal sepuluh menit sebelumnya Sang Ayah tengah mengajarinya kosa kata baru dalam bahasa ibunya.
Bocah kecil itu bingung, maka ia memilih untuk bangkit dari duduknya lalu menghampiri sosok Sang Ayah yang tengah menekuk kedua lututnya sambil menenggelamkan kepala besarnya disana. Ia miringkan kepala mungilnya ke kiri, sambil menaikan kedua alisnya.
“Yah ... Yah ...”
Panggilnya. Sang Ayah masih tak bergeming, namun suara tangis masih memenuhi gendang telinganya yang begitu kecil. Ia coba tepuk pundak itu pelan, namun suara tangis sang ayah malah semakin pecah.
“Yah ... Yah ...”
Suaranya mulai ikut bergetar. Ia takut, sungguh takut. Apa ayahnya itu tengah kesakitan? Atau ia baru saja membuat kesalahan hingga membuat Sang Ayah menangis?
Dengan susah payah kaki mungil itu berjalan menuju satu ruangan yang sebenarnya selalu Sang Papa larang untuk dimasukinya—mengingat kejadian tadi pagi, kata Papa hasil kerjanya jadi berantakan karena ia tak sengaja menumpahkan susunya—maka ia dengan sangat hati-hati mendorong pintu tersebut.
Dilihatnya ruangan itu gelap, namun netranya berhasil menemukan sosok Sang Papa yang juga tengah terduduk lemas di lantai dingin itu.
“Pa ... Pa ...”
Dengan setengah kalut bocah mungil itu coba panggil sosok yang ada di hadapannya. “Pa ... Yayah ... Pa ...”
Berbeda dari reaksi yang ditimbulkan Sang Ayah sebelumnya, kali ini Papanya dengan cepat mendongakan kepala dari kegiatan menunduk itu. Matanya membulat, lagi-lagi bocah itu bingung.
“Hmmm? Ayah kenapa, ka?”
Irisnya seketika memanas, bocah itu tidak tahu mengapa matanya panas. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menurunkan bibirnya sampai mau jatuh.
“Yayah ... Hiks,”
Haidar melotot, ia sungguhan panik sampai-sampai jantungnya mau copot. Dengan cepat ia gendong Arka kepelukannya, lalu berlari meninggalkan ruangan kerjanya yang gelap itu.
Jarak dari kamar ke ruang tengah sangatlah minim. Butuh kurang dari lima langkah untuk sampai, tapi keringat sudah turun tak tahu tempat. Mata sempabnya tak tahu malu terus turun ketika melihat Arka memanggil ayah sambil menangis.
“MARKO!”
Teriaknya saat ia melihat bahu sosok kesayangannya itu bergetar hebat. Kalau akalnya sedang tidak bekerja, ia bisa saja refleks menjatuhkan Arka dari gendongannya. Namun untung saja, Arka yang tengah kalut dan takut saat itu terus mencengkram kaos hitamnya. Membuat Haidar kembali sadar dan bergegas menghampiri Marko.
“Lo kenapa? Bi, kenapa? Ada apa? Kenapa Arka nangis gini? Lo apain dia? Arka jatoh? Hm? Kenapa, sayang? Bi, bangun,”
Jutaan tanda tanya itu keluar begitu saja tanpa tahu antrian. Haidar kelewat panik melihat Marko yang seperti ini. Selalu jadi mimpi buruk, karena baginya kehancuran Marko sama dengan kehancuran dirinya.
“Yah ... Yah ...”
Arka kesusahan memanggil sosok pahlawan hidupnya itu. Ada banyak yang ingin dia ucapkan, tapi lidahnya kelewat kelu untuk sekedar bilang Arka sayang Ayah.
“Selama Hari Ayah, Haidar ...”
Marko mendongak, menyatukan pandangan dirinya dengan dunianya itu. Satu tetes, dua tetes. Tanpa sadar ruang tamu itu sudah seperti Air Terjun Niagara, yang derasnya kalah melewati air mata keduanya.
“Lo kenapa, anjinggggg,”
Ia turunkan Arka, mendudukannya di karpet coklat ruang tamu mereka. Arka, maaf. Kedua orang tuamu lebih butuh satu sama lain sekarang, mohon pengertiannya, ya?
“Jangan ngomong kasar. Ada Arka,” Ia sesegukan, lalu menarik Haidar menuju pelukannya.
“Lo kenapa, ngapain nangis gini? Ada apa, Bi?” Haidar jatuhkan dagunya di bahu lebar itu. Kembali menangis karena masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Engga ada apa-apa, sayang. Tadi abis ngucapin selamat hari ayah ke Papa, terus dapet ucapan manis yang bikin gue sadar kalo perjuangin lo itu bukan sebuah kesalahan. Kata Papa, cantiknya mereka kalah sama cantiknya ketawa lo. Kata Papa, pesona mereka kalah sama wibawa lo. Kata Papa, baiknya mereka kalah sama apa adanya lo. Haidar, lo pantes diperjuangin. Lo pantes ditungguin, lo pantes dicintai. Lo pantes bahagia.”
Tanpa jeda Marko ucapkan semua perasaan yang sedari tadi minta untuk dimuntahkan. Rasanya kalau ia harus ceritakan semuanya di depan Arka, akan jadi berbeda karena Arka belum paham. Ia jelas butuh Haidar. Ia jelas butuh Haidar untuk bisa bertahan. Tentu, Arka juga. Tapi lebih dari itu, ia hanya butuh Haidar di hidupnya yang penuh luka ini.
“Dar, kalo nanti Arka ninggalin kita ... Lo bakal tetep disini ‘kan, sama gue? Lo bakal nemenin gue sampe nanti, ‘kan? Haidar, gue takut ... Gue takut Arka pergi, lo pergi ...”
Haidar pening, sungguhan. Suaminya ini tengah mengoceh soal apa, sih, sebenarnya? Siapa juga yang mau pergi?
“Lo ngomong apasih, brengsek,” Haidar dan rasa kesalnya terasa kurang lengkap kalau tidak ditemani kalimat umpatan. Walaupun begitu, umpatan barusan terdengar manis ditelinga Marko karena brengsek kali ini terdengar tanpa penegasan. Tidak ada tanda seru yang menandakan amarah, atau tanda titik yang menandakan penyelesaian.
Kekehan terdengar jelas setelahnya, dan tanpa sadar Marko juga ikut tertawa konyol karena merasa geli dengan ucapan sebelumnya. Haidar jelas sudah lelah dengan ketakutan dirinya akan hal yang belum pasti—atau jelas tidak mungkin terjadi—tapi tolong, biarkan saja dirinya yang seperti ini terus begini. Agar Haidar tau, paham, sadar, mengerti, bahwa ia sungguhan takut kalau dunianya pergi.
“Selamat Hari Ayah juga, Ayah.”
Haidar lepaskan pelukan mereka kala ingat ada manusia lain yang jelas tengah bingung melihat tingkah kedua ayah anehnya, lalu menoleh sebentar menuju Arka yang tengah menuliskan tanda tanya besar di matanya.
“Tadi Arka nepukin bahu gue, Dar. Kacau anjing berasa dejavu dulu pernah kaya gitu juga ke Papa,” Mata bengkaknya ikut melirik ke Arah putra kecilnya itu.
“Padahal gue mau musuhan sama Arka satu minggu soalnya udah ngancurin final report gue, tapi mana bisa kalau udah kaya begini,” Ia rengkuh tubuh kecil Arka sambil menciumi pucuk kepalanya yang begitu harum.
“Arka, sayangnya Papa... Arka, kalau mau ninggalin kita bilang-bilang, ya? Biar kita siap,”
Kening itu mengkerut lucu, membuat kedua ayahnya tertawa kencang. Serasa tengah diceramahi putra sendiri dengan kalimat, “Siapa juga yang mau pergi, Yah, Pa?!?!?!!”
“Ada kamu disini kaya mimpi, Arka. Makasih ya, udah mau mampir. Mampir yang lama, janji? Sampe Ayah kamu bosen beliin eskrim, sampe Papa bosen marahin kamu yang sukanya gangguin kalo lagi kerja. Sampe kamu sadar kalo di luar sana nggak ada yang lebih besar dari pada kasih sayang kami untuk kamu.”
Haidar ini katanya anak manajemen bisnis, tapi mulutnya kenapa pandai betul bermain kata.
“Paps tadi bilang, bahagianya kita itu ya cuman bertiga, Bi. Jadi, ayo terus bahagia kaya gini, ya? Lo, gue, dan Arka. Mungkin benar di luar sana juga ada sumber bahagia kita yang lain, tapi semuanya jelas kalah sama bahagia yang kita timbulkan kalau lagi bertiga.”
Marko tersenyum, lalu mendekat kepada dua sosok paling paling paling berharga dihidupnya. Dipeluknya Haidar dan Arka sekuat yang ia bisa, dan kembali menjadi Marko yang siap menjadi tameng demi melindungi keluarga kecilnya itu.
“Yah ... Yah ... Uhuk-“
“ANAK LU SESEK WOY BI!!!!”
“Arka, Ayah sayang kamu.”
“Guenya?”
“Bodo.”
“SI GOBLOKKKKKK????”
“PERATURAN NOMOR SATU DI KELUARGA INI DILARANG NGOMONG KASAR, DAR!!!!!”
“ABISAN LU BRENGSEK???????”
“Ya.”
Panjang umur, Haidar dan Marko. Juga Arka.
—leobabybear🌹 ditulis di bandung, pukul sepuluh malam.