selamat tinggal, bumi pasundan. —haidar dan marko.
“Please, please. Angkat, Marko. Lo kemana, sih?!”
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
Tut tut tut
Gina mengacak-acak rambut panjangnya pertanda frustasi. Entah sudah yang keberapa kali ia mencoba untuk menghubungi nomor itu, tetapi hasilnya nihil. Marko tak kunjung mengangkat telfonnya.
Ia mencoba untuk tetap tenang di tengah segala ketidakjelasan ini, lalu bergegas mengenakan sepatu hitamnya ketika ojek online yang ia pesan tadi sudah sampai.
“Mas, tolong ngebut ya. Saya buru-buru,” Sahut perempuan itu pada supir ojek yang kini tengah memboncengnya dari Antapani menuju Dago.
Setelah duapuluh menit perjalanan, akhirnya Regina sampai di kediaman Marko. Rumah itu terlihat begitu sepi bak tanpa penghuni, seakan-akan sudah ditinggal pergi tuan rumah selama berminggu-minggu. Ia lihat sebuah mobil sedan terparkir disana, pertanda Pak Jefri—Dosen kampusnya sekalius Ayah Marko mungkin saja ada di dalam. Setelah memastikan dirinya untuk tidak panik, akhirnya ia memasuki pekarangan rumah tersebut.
Ding dong
“Assalamualaikum,”
Tok tok tok
Hening.
“Pak Jefri ngga ada dirumah kali, ya? Kalo gue teriak ngga bakalan kenapa-kenapa, 'kan?” Ucapnya pada diri sendiri kala ia mengintip area ruang tamu itu. Setelah celingak-celinguk sebentar—memastikan tidak ada satupun tetangga rumah Marko yang sedang lewat akhirnya ia pun kembali mengetuk pintu rumah tersebut.
“Marko!!! Marko!!! Ini gue!!!”
Tok tok tok
“Marko lo di dalem, 'kan? Buka!!!”
Tok tok tok
“Ih anjir ni anak kemanasih-”
Ceklek
Gina membulatkan kedua bola matanya ketika ia tak sengaja mendorong kenop pintu itu ke bawah. Anjir pintunya nggak di kunci?!?!?!? Kok bisa-bisanya?
“Assalamualaikum,”
Setelah melihat sekeliling akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu. Dilihatnya ruang tamu dan dapurnya gelap, pertanda tidak ada orang dirumah.
Tanpa menunggu lagi—karena ia sedang diburu waktu—akhirnya ia pun bergegas menuju kamar Marko. Dilihatnya pintu itu tertutup rapat, ia pun berinisiatif untuk mengetuknya. “Marko? Lo di dalem?”
Hening.
“Gue masuk ya,”
Ceklek
Ia putar kenop pintu itu. Gina menghela nafas lega ketika netranya menemukan sosok Marko disana, tengah duduk di lantai bersama dengan ponselnya yang tergeletak bebas di depannya.
“LO KEMANA AJA SIH, BEGO?! TELFON GUE NGGA DIANGKAT, LO TAU NGGAK KALO-”
“Teh,”
“LO NGAPAIN DUDUK DI LANTAI BEGINI?!” Ia akhirnya berlutut di samping Marko, menaruh tasnya cepat lalu membuka maskernya yang terasa begitu menyesakkan.
“TADI HAIDAR NGECHAT GUE, TERUS GAADA ANGIN GAADA HUJAN TIBA-TIBA NITIPIN LO KE GUE. DIA BILANG LAGI OTW BANDARA- INI MAKSUDNYA APA SIH KENAPA LO NGGA CERITA APA-APA KE GUE?!” Gina menggoyangkan tubuh Marko cukup kencang hingga akhirnya lelaki itu mengangkat wajahnya, menampakkan pemandangan yang mengerikan.
“Teh, gue takut.” Bulir peluh dan air mata yang memenuhi wajah itu seketika membuat Gina merapatkan bibirnya. Marko tatap kedua netra teman terdekatnya itu.
“Marko lo-” Ia tergagap.
“Haidar pergi. Gue harus apa sekarang?” Lirihnya diiringi dengan tetesan air mata yang tiba-tiba menjadi deras.
“Terus kalo lo tau di mau pergi lo diem aja, gitu? Ya bangun lah bego. Susul sekarang sebelum semuanya terlambat!” Ia tarik kaus hitam polos yang tengah Marko kenakan itu, namun sang empu masih enggan beranjak dari tempatnya.
“Haidar ngga mau gue dateng, Gin. Ada Papa sama Amihnya disana,”
“For god sake, Marko?!?!?! Pacar lo pergi dan lo masih aja mikirin rasa takut lo? Yang bener ajalah?” Teriaknya frustasi.
“Gue ngga takut, tapi Haidar yang takut, Gina!”
“DIA CUMA GIMMICK, MARKO! GAMUNGKIN HAIDAR NGGA MAU KETEMU LO DULU SEBELUM PERGI?!” Gadis kelahiran Maret itu akhirnya ikut terduduk lemas di lantai dingin kamar Marko. Ia melirik jam digital diatas nakas, lalu menghela nafas.
“Lo kenal Haidar berapa lama, sih? Haidar cuman pernah sekali cerita sama gue tapi bisa dengan mudah gue simpulkan bahwa hidup dia tuh bergantung banget sama lo. Ibarat lo tuh bucin, dia lebih-lebih. Dia ngomong gitu karena dia juga sama kaya lo, sama-sama ngga sanggup. Makanya pertahanan diri dia kaya gitu, nyuruh lo untuk ngga nyusulin dia dengan alesan ada orang tuanya. Padahal alesan dia bisa ada disana sekarang kan, karena lo. Hidup dia itu lo, Marko. Masa lonya ngga ada disana?”
“Marko, kita ngga punya banyak waktu. Sekarang udah setengah enam, Soetta jauh banget. Lo beneran yakin ngga mau ketemu Haidar?”
“Gue sayang banget sama dia, Gina. Gue sayang banget sama Haidar sampe belom siap liat dia pergi,”
“Justru itu. Kalo ini pertemuan terakhir kalian gimana? Lo pasti nyesel seumur hidup, Marko,”
Mendengar itu, Marko terdiam. Engga, gue pasti bakal ketemu Haidar lagi. Kita pasti bisa ketemu lagi.
“Marko,”
Bugh
“ARGHHHHH!!!” Gina melotot.
“Lo ngapain?!?!?!!?”
“hiks- dar... jangan tinggalin gue... gue ngga punya siapa-siapa lagi di dunia ini...“
“MARKO LO JANGAN LINGLUNG KAYA GINI PLIS GUE MOHON??? GUE UDAH BINGUNG INI HARUS NGAPAIN LO NYA JANGAN TAMBAH BIKIN GUE BINGUNG!!!” Gina kembali berlutut di samping Marko, berusaha membujuk anak itu yang jiwanya tengah melayang entah kemana.
“Percuma lo sekarang nangis-nangis kaya gini, sayang tenaga. Mending sekarang lo simpen sisa tenaga itu buat nanti, ya? Plis, dengerin gue,” Ia berlutut untuk yang terakhir kali.
“Haidar itu sayang banget sama lo, Marko. Inget itu.”
“Gina... Gue harus ketemu Haidar,” Mendengar itu Gina tersenyum lega, lalu mengangguk. “Iya, lo harus. Sekarang ayo bangun, oke?”
“Ada yang belum gue sampein ke dia, Gina. Gue mau ketemu Haidar,” Lelaki itu akhirnya bangkit lalu bergegas mengambil jaketnya. Melihat itu Regina kembali tersenyum, lalu segera bangkit dan menyusul Marko keluar dari kamarnya.
“Lo tadi naik apa kesini?” Tanya Marko saat Gina sedang berjalan menuju dapur. Gadis itu tengah fokus pada sesuatu sampai-sampai ia tak mendengar pertanyaan Marko.
“Gina?” Yang dipanggil akhirnya menoleh, lalu tersenyum.
“Mana kunci mobil lo? Biar gue aja yang nyetir,”
“Engga, gue takut dibogem pacar lo kalo ketauan-”
“Fuck it, lah. Bukan hubungan gue yang harusnya lo khawatirin sekarang. Pikirin dulu noh sana nasib lo sendiri,” Ketus Gina sambil memasukkan sesuatu ke dalam saku celananya. “Lo lagi kalut, gue lebih ngeri ngebayangin disetirin lo yang lagi kaya gini,”
Marko tersenyum pahit diantara pucatnya wajah itu, “Gue hutang banyak sama lo, Gina. Thank you,“
“Sekali lagi lo ngomong hutang, gue beneran bakal nyuruh Haidar sebarin foto lo ke FBI biar jadi buronan.”
Langit senja sore itu dengan cepat menghilang kala mobil sedan milik ayahnya melaju cepat di jalan tol. Seperti kesepakatan tadi, hari ini Gina yang menyetir. Dengan percaya diri ia bawa mobil itu melaju pergi meninggalkan bumi pasundan. Mengabaikan rasa takutnya karena ini pertama kali gadis itu menyetir jauh, tanpa pantauan Ayah ataupun pacarnya.
Marko yang duduk disampingnya pun hanya banyak diam, sambil sesekali melihat ke arah luar jendela. Ia juga mengecek notifikasi ponselnya—berharap ada pesan yang masuk dari Haidar.
“Chat duluan aja kali. Kaya baru pacaran aja lo,”
“Dianya aja ngga ngabarin gue, ngapain gue chat duluan.”
“Hadeh, berasa ngasuh anak TK tau ngga gue tuh. Gengsian amat jadi orang, heran.” Cibirnya sambil terus fokus menyetir.
“Teh, nyetirnya—”
“Lo nyuruh gue lebih ngebut dari ini, gue turunin lo sekarang juga.” Potongnya cepat.
Setelah empat jam perjalanan yang terasa begitu menyiksa, akhirnya Regina dan Marko tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat. Dengan cepat Gina melajukan mobil milik dosennya ke area drop-off.
“Lo duluan, gue cari parkir.” Titah yang lebih tua pada Marko.
“Tapi gue ngga tau dia di gate bera-”
“YA TANYA LAH! BURUAN MARKO, LO NGGA PUNYA WAKTU LAGI!”
Marko diam sejenak, “MARKO BURUANNNNNN!!!!”
Dengan cepat lelaki itu akhirnya keluar dari mobil dan membanting pintunya kasar.
Setelah memastikan Marko benar-benar pergi, Gina mengeluarkan secarik kertas kusut yang sedari tadi nyaman bersembunyi di balik saku celananya. Membaca kembali frasa terakhir dengan lamat, lalu memejamkan matanya.
“I'm Sorry and Good luck, Marko.”
Marko berlari dengan nafasnya yang sisa sedikit, ditemani kedua matanya yang sudah sembap tak tahu tempat. Ia sudah menelusuri sepuluh gate yang ada di Terminal 3—Terminal khusus keberangkatan Internasional, namun ia tak kunjung temukan Haidar.
Tempat itu terlalu luas untuk Marko jelajahi yang saat ini tengah diburu waktu. Ia kembali melihat sekelilingnya, berharap-harap cemas bahwa Haidar belum check-in.
Ia keluarkan ponselnya, lalu dengan cepat memanggil nomor Haidar.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
“Fuck fuck fuck. Angkat, Haidar. Angkat.”
“Jangan dulu pergi, plis. Jangan dulu-”
“Woy bro.”
Badan tegap itu seketika kaku saat mendengar suara yang tak asing di indra pendengarannya. Lututnya lemas bukan main, jantungnya seakan berhenti sepersekian detik saat suara itu dengan sopan menembus gendang telinganya.
“Nyari siapa?” Sahutnya lagi.
Dengan cepat Marko berbalik, mempertemukan kedua netranya dengan netra orang paling dicintainya. Ia disana. Haidar disana. Lengkap dengan leather jacket hitam pemberiannya, dan juga celana jeans sobek lusuh kesukaannya.
“Kenapa nelfon? Gue disini,” Haidar angkat ponselnya itu, lalu menunjukkan tampilan dengan nama dirinya terpampang nyata disana. Matanya panas luar biasa, ia ingin berlari sekarang juga dan merengkuh raga itu. Tapi kakinya serasa dirantai, ia tak mampu bergerak dari tempatnya.
Satu langkah, dua langkah. Haidar dengan tampilan yang begitu memesona berjalan mendekati Marko yang tengah kacau luar biasa.
“Kok tau gue disini?”
“Dar...”
“Teh Gina cepu juga,” Lelaki kelahiran Juni itu terkekeh, lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
“Haidar...” Tenggorokannya tercekat, ia tidak mampu lagi untuk melanjutkan kalimatnya.
“Iya, Abian. Haidar disini.” Lelaki itu tersenyum di balik maskernya. Haidar naikkan maskernya hingga menutupi bawah matanya—berniat menutupi bulir air matanya yang entah sejak kapan sudah mengalir.
Marko melangkah maju lebih dekat dari sebelumnya, “Huft... Hai,”
“Hahahaha, hai, Bi.” Haidar geleng-geleng.
“Huft... Wait, wait. I don't know what to say,” Ia mencoba menutupi wajahnya dengan menurunkan topinya. Menghapus jejak air matanya yang lagi-lagi jatuh.
“It's okay. You can cry, Bi,“
“No, i will not cry.“
“Yeh si anjing pacarnya mau pergi jauh masa kaga nangis lu? Nangis buruan,” Candanya membuat keduanya tertawa konyol. Haidar bisa mendengar suara sesegukan Marko, begitupun sebaliknya. Marko bisa dengan jelas mendengar suara rintihan Haidar.
“Bangsat,” Marko kalah telak hari ini. Ia berlutut malu dan memohon pada egonya sendiri untuk sebentar saja memeluk kekasihnya.
Ia tarik Haidar kepelukannya, membiarkan seluruh raga dan jiwanya mearasakan hangat tubuh itu untuk yang terakhir kalinya. Haidar juga kalah telak hari ini. Ia tak mau lagi menurut pada dunia dan segala peraturannya. Hari ini juga, ia memilih untuk menaruh dagunya di bahu milik Marko yang bergetar itu. Menerima rasa aman yang diberikan kekasihnya itu, yang entah kapan lagi bisa ia rasakan kehadirannya.
Marko peluk erat ceruk leher itu. Lalu memejamkan matanya kala Haidar membalas pelukannya. Ia menangis lebih kencang disana. Kala Haidar mengusap bahunya.
“Dar, sakit...”
“Sama, Bi,”
Ia kembali menangis saat merasakan pelukan Haidar kali ini berbeda dari pelukan-pelukan mereka lainnya. Haidar yang ia kenal selalu melingkarkan lengannya di pinggang lelaki itu. Tapi hari ini, Haidar memilih untuk menjatuhkan lengannya di bahu Marko.
Ini bukan Haidar. Ini bukan kekasihnya.
“Lo sakit?” Parau Haidar saat lehernya bersentuhan dengan leher Marko.
“Engga.”
“Kok demam gini? Kemaren ngga mandi, baliknya?”
“Menurut lo gue sempet mandi?” Sinisnya, lalu disambut tawa renyah Haidar.
Masih dalam pelukan hangat mereka, “Terus kemaren ngapain aja?”
“Nangis.”
“Lebay amat?”
“Emang. Pacar gue pergi ninggalin gue soalnya.”
“YaAllah, Bi...”
Haidar cemberut, Marko tertawa.
Cup
“We're in danger, Abian. Let's end this,” Akhirnya Haidar tarik Marko dari dekapannya, mengakhiri nyaman dan aman mereka.
“Kesini sama siapa?”
“Sama Teh Gina,”
“Ih, anjing. Si Teh Gina menang banyak mulu dah. Apa di kehidupan selanjutnya gue minta lahir jadi dia aja kali, ya?” Celetuknya saat Marko tengah mengusap kasar air matanya.
“Emang yakin kalo lu lahir jadi Gina bakal ketemu gue?”
“Ya pasti ketemu lah. 'Kan kalo jodoh udah pasti ketemu,”
“Belom tentu. Orang jodoh gue mah Haidar, bukan Gina.” Jawabnya dengan enteng, membuat Haidar yang tengah berdiri di hadapannya hanya bisa mendecih. Tak percaya dengan ucapan Marko barusan.
“Makanya,” lanjut lelaki itu. “Di kehidupan selanjutnya minta lahir jadi Haidar lagi aja, biar bisa ketemu lagi sama gue,”
“Emang brengsek.”
“Iya, nggak?”
“Iya.”
“Gue sayang banget sama lo, Haidar.”
“Iya, Abian Marko Pratama jelek, bawel, cengeng. Gue juga sayang sama lo, melebihi Amih.” Suaranya bergetar.
“Parah si Amih di nomor duakan,” Ia toyor kepala itu pelan.
Keduanya larut dalam lautan netra masing-masing yang begitu jelas sarat kesedihannya. Mereka diam, menikmati presensi masing-masing di tengah riuh orang berlalu-lalang.
“Ini bukan akhir, 'kan?” Ia menatap kekasihnya itu sendu.
“Ini bukan terakhir kalinya gue bakal liat lo, 'kan?” Ia genggam jemari dingin Haidar.
“Tergantung. Lo mau nyusul gue, nggak?”
“Pasti. Gue pasti nyusul, Dar.”
“Lo harus.” Tekannya, lalu mengelus tangan Marko.
“Safe flight, sayang. Tungguin gue disana, ya?”
“Huft... hiks-” Haidar menunduk, lalu mengangguk.
“Look at me,” Marko pegang pipi itu, lalu mengelusnya. “You will be fine. Without me. Inget itu,” Haidar menggelengkan kepanya, pertanda tidak setuju dengan pernyataan Marko barusan.
“Jangan sotau. Yang jalanin gue, bukan lo,” Lelaki itu sesegukan.
“Gue juga jalanin kehidupan gue disini, tanpa lo. Kita sama, sayang. Jadi, jangan merasa paling tersiksa sendirian, ya? Kita lewatin ini bareng, oke?”
Haidar jabat tangan itu sekali lagi.
“Gue harus masuk sekarang,”
“Okey,”
“Good bye, Abian,”
“No, don't say it. Rather than good bye, let's say see you, okay?“
“See you very soon, duniaku.”
“See you, semestaku.”
Genggaman mereka lepas, lalu Haidar berbalik dan mulai berjalan memasuki Gate. Meninggalkan Marko yang tetap tersenyum walau hatinya hancur.
Setelah memperlihatkan tiketnya, sekali lagi, Haidar berbalik untuk menatap Marko. Lelaki itu mengangguk, membuat Haidar kembali mengehla nafas beratnya—berniat meninggalkan segala rasa takutnya disini. Dan membiarkan mimpi serta harapan baru menemaninya untuk melangkah menuju tempat baru.
Ketika figurnya sudah tak terlihat lagi, Marko jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, bahwa ia akan melihat cintanya pergi. Enam tahun. Sudah terbiasa dengan kehadiran Haidar disisinya selama kurang lebih enam tahun, ia merasa dirinya tak akan pernah bisa terbiasa dengan keadaan ini. Apakah ia bisa melanjutkan hidupnya ketika dunianya saja telah pergi?
Malam itu, Jefri yang baru saja akan take off ke Turki mendadak mati rasa. Terutama, hatinya. Tidak menyangka bahwa ia akan menyaksikan seluruh rentetan kejadian ini di depan matanya sendiri. Tapi dasar dunia ini memang penuh panggung komedi.
Jangankan Uzbekistan, yang pria itu inginkan saat ini hanyalah pulang lalu menangis di hadapan pusara istrinya.
—leobabybear🌹 ditulis hari jum'at, pukul sebelas malam.