sudah tenang belum, hari ini? —haidar dan marko.

Terhitung sudah tiga minggu lamanya sejak terakhir kali marko menampakkan batang hidungnya di depan kediaman sang kekasih. Hari ini, sesuai ajakannya kemarin, ia dan haidar akan melakukan camping berkedok healing di Ranca Upas. Selain terkenal karena penangkaran rusanya, tempat itu juga terkenal akan alamnya yang asri dan sangat cocok untuk dijadikan tempat berkemah. Sudah lama sejak terakhir kali keduanya pergi camping bersama—well sebenarnya mereka terbiasa berkemah di kaki gunung—tapi karena keadaan yang kurang memungkinkan saat ini, akhirnya marko memilih untuk berkemah normal saja. Disebuah camping ground tengah hutan.

Saat marko tengah membawa mobilnya masuk menuju area rumah haidar, ponselnya berdering. Satu nama terpampang jelas disana, setelah tersenyum sebentar ia pun bergegas mengangkatnya.

“Gasabar banget sih anjing. Ini baru mau belok ke gang rumah lo, sabar—”

“Tunggu deket lapang aja, jangan kesini. Lagi banyak sodara,”

Dengan cepat lelaki itu injak pedal rem mobilnya. Untung saja dibelakangnya sedang tidak ada kendaraan lain. Mendengar itu marko hanya bisa tersenyum miris.

“Yaudah, gue mundur lagi.”

“Yang mundur motornya aja, jangan nyalinya.”

“Brengsek. Gue naik mobil,”

“Ohhh kirain naik motor,”

“Emang kalo naik mobil kenapa?”

“Kaga sosweet aja gitu, ngga bisa peluk-pelukan.”

“Halah kaya yang berani aja.” Sinis marko, membuat yang disebrang sana langsung diam.

“Yaudah buru, gue udah nyampe nih.”

Setelah menutup sambungan telepon itu, marko langsung memarkirkan mobilnya di pinggir lapangan besar tepat sebelum jalan masuk gang rumah haidar. Ia pun bergegas memakai maskernya, dan menunggu haidar diluar. Saat ia hendak membakar batang rokoknya netra marko menangkap figur haidar yang tengah berjalan menghampirinya. Lengkap dengan tas gunung—dibeli dari hasil menabung mereka semasa SMA—yang terlihat begitu penuh. Batinnya menertawai pemandangan itu. Padahal mereka hanya akan menginap satu malam, kenapa anak itu terlihat seperti sudah siap untuk pergi dari sini?

“Mas grab ya? Ranca Upas, 'kan?”

Marko mendecih, lalu dengan cepat lelaki itu tarik lengan kanan haidar dan mencium pipinya cepat—yang secara teknis tengah tertutup masker dua lapis—jadi artinya ia mencium masker kekasihnya, bukan pipinya.

“BANGSAT!” Refleks haidar berteriak dan dengan cepat ia dorong pipi itu.

“YANG BENER-BENER AJALAH ANJING KELAKUAN LO!” Marko terkekeh, rasa rindunya dengan cepat terobati. Belum juga semenit mereka bertemu, tapi telinganya sudah mau pecah rasanya.

“ANJING DASAR ANJING—”

“Sayang dasar sayang.”

“ANJING MARKO.”

“Iya sayang, iya.”

“LO KENAPA SIH IH RESE?!”

“Gue kangen, tolong dimengerti.”

Mendengar itu haidar yang tadinya ingin kembali mengomel mendadak berhenti.

“Stop ngomelnya, lo ngga kangen emang?”

“Ya—kangen mah kangen tapi maksud gue tuh tadi ngga usah pake nyosor segala lah 'kan tau ini dimana,” Ia tatap netra marko yang terlihat lelah itu.

“Iya, maaf.” Lelaki kelahiran agustus itu dengan segera menarik lembut tas haidar dan menggendongnya didepan badannya.

“Ish—ya lo ngga salah juga kalo kangen, wajar, tapi maksud gue tuh posisinya—”

“Iya, haidar. Ini gue lagi mikir sekarang gimana caranya kita bisa cepet-cepet pergi dari sini biar perkara nyium doang ngga bikin kita berantem.” Finalnya, membuat haidar yang tengah berdiri itu mematung.

Haidar tahu, marko sudah berada di fase peduli amat kata orang, yang penting gue bahagia, sejak lama. Haidar tahu, tahu betul. Dan memang, setiap ada keadaan seperti ini selalau dirinya yang telihat payah. Haidar memang belum seberani itu. Marko juga tau.

Mereka punya dilema masing-masing.

Saat marko hendak membuka pintu mobilnya, “Ayo naik buruan, nunggu apa?”

Dilihatnya haidar yang tak bergeming dari tempatnya itu membuat marko lagi-lagi menghela nafas beratnya. Dan entah sejak kapan pula mata itu sudah berkaca-kaca.

“Anjir, dar. Jangan dulu kuras emosi gue, ya? Gue masih harus nyetir jauh. Nanti aja nangisnya, oke? Bantu gue, ya?” Marko berjalan menghampiri lelaki yang masih diam itu. Dengan segala keberaniannya ia genggam hangat jemari itu, “Yuk?” Ia hadirkan sebuah senyum disana, juga sebuah anggukan dari hati paling dalam. Seolah berkata, “We can through this, right? Lo percaya sama gue, ‘kan?

“Sayang...”

Lelaki kelahiran juni itu dengan segera mengangkat kepalanya, bermaksud “memasukkan” kembali air matanya agar tidak tumpah. Haidar tersenyum, lalu ikut mengangguk.

“Bumi itu luas, 'kan, bi?”


Tak butuh waktu lama bagi abian marko pratama untuk mengendarai mobilnya dari Sarijadi menuju Ranca Upas. Hanya butuh waktu satu jam dan satu kali istirahat, akhirnya kedua insan itu sampai di tempat wisata kemah Ranca Upas yang terletak di daerah Ciwidey. Tempat yang terkenal dengan udaranya yang sangat dingin, membuat marko akhirnya memutuskan untuk menjadikan kegiatan bucin mereka kali ini untuk menikmati sejuknya suasana ranca upas.

Setelah membayar parkir dan tiket masuk untuk dua hari, marko langsung memarkirkan mobil mereka di area kemah tersebut. Disamping mobil mereka sudah ada tempat yang mereka pilih untuk membangun tenda. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, kedua insan tersebut langsung sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Marko dengan peralatan tendanya, Haidar dengan barang bawaannya.

“Ini kita ngapain dulu? Kok gue lupa ya urutan camping ngapain dulu,” Haidar terengah saat dirinya baru saja menggelarkan sebuah tikar.

Marko terkekeh, “Bangun rumah dulu lah. Mau tidur dimana kalau ngga ada rumah?”

“Ada mobil sih santai.”

“Oh mau dimobil aja nih kita?” Ia pelototi lelaki yang tengah menyeringai jahil itu. Dasar mesum. Bisiknya dalam hati.

“Lo mau kemping atau kabur sih? Isinya apa aja coba,” Omel lelaki kelahiran agustus itu saat memindahkan tas gunung haidar.

“Isinya dosa.”

Ia pelototi balik lelaki yang tengah memakai kacamata hitamnya.

“Canda dosa. Bawa jaket lima lapis, lo lupa pacar lo ini bengekan alias asma alias bahaya kalau kambuh bro.”

Sekarang keduanya tengah hening, fokus merakit tenda yang akan dijadikan tempat tidur mereka malam ini. Layaknya seorang campers sejati, keduanya hanya butuh waktu tiga puluh menit sampai akhirnya tenda mereka selesai. Haidar tersenyum bangga saat melihat hasil karyanya itu.

“Woy!” Teriaknya pada seseorang yang tengah sibuk mengelilingi campground itu.

“Laper ngga?” Marko yang tengah asyik memunguti kayu-kayu besar untuk dijadikan api unggun nanti malam itu menggeleng.

“Kok gue laper ya,” Ia bongkar tas carrier-nya itu sambil berniat mengeluarkan segala bahan makanan yang sudah ia siapkan sejak semalam.

“Masih siang kali, udah makan aja lu,” Protes marko saat lelaki itu kembali dari kegiatan mencari harta karunnya. “Mending bantu gue cari kayu, biar nanti malem lo enak tidurnya.” Ia taruh kayu-kayu itu disamping jejeran sepatunya dan sepatu haidar, “Untuk apa api unggun kalau diriku punya dadamu.”

Mendengar itu marko mendecih, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar tadi.

Sorry, tapi kita tidur tepisah. Silahkan peluk sleeping bag anda sendiri kalau kedinginan, oke?”

“Marko,”

“Hmmm?”

“Apa kita tinggal dihutan aja ya dari pada jauh-jauh migrasi ke Eropa?”

Untung marko sabar. Ia hanya geleng-geleng dan lekas berdiri dari duduknya.

Marko cium pucuk kepala itu sebentar, lalu berjalan keluar meninggalkan tendanya. “Heh mau kemana?!”

“Nyari angin bentar. Makan aja gih!” Teriaknya lantang seraya sosoknya makin menjauh dari pandangan haidar. Lelaki itu hanya mengangkat bahunya tak perduli, dan dengan segera menyiapkan alat masaknya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Area kemah mulai kedatangan banyak pengunjung, dari yang berpasang-pasangan hingga satu keluarga. Haidar dan Marko yang tengah duduk nyaman di depan tendanya sambil menyesap kopi itu hanyut dalam lamunan mereka masing-masing.

It’s nice,” Gumam Marko di tengah lamunannya.

Imagine having a house like this, suasananya countryside.” Haidar menanggapi.

Just you and me.

Yeah, just both of us.

Mereka tertawa remeh, merasa mimpi keduanya itu sangat mustahil untuk bisa tercapai.

“Kalau gue ngga inget ada norma yang harus dipatuhi disini rasanya pengen deh narik lo sekarang juga untuk tidur sambil liat pemandangan. Tapi karena banyak orang disini, auto jadi fitnah nggasih, bi?” Sahut haidar saat netranya tengah memperhatikan anak-anak yang asyik bermain bola itu.

“Gue sih ngga masalah.” Ia menoleh sambil mengeluarkan kotak rokoknya. “Gue inimah gue. Gue yang masalah,”

“Dar, pernah bayangin nggasih kalau suatu saat nanti lo punya anak, gue punya anak, bakal jelasin kaya gimana kalau ternyata ayahnya beda?”

“Emang kita bisa punya anak?” Sangkalnya.

“Kalau, ‘kan. Kalau misalnya lo nikah sama siapa gitu, gue sama siapa. Tapi hatinya masih punya orang lain, lo bakal jelasin gimana?”

“Gue ngga tau maksud dan tujuan perbincangan lo ini mengarah kemana—tapi yang jelas—no gue ngga mau nikah sama siapa-siapa kecuali sama lo.” Jelasnya. “I love kids, but I love you more.” Tambahnya, sambil kembali menegak kopinya yang sisa sedikit.

“Lo kenapasih? Ada masalah apa?” Sahut haidar saat ia menoleh ke arah marko.

“Nanya doang, elah. Kok baper,”

“Gue tau lo brengsek, tapi seinget gue lo ngga pernah sebrengsek ini. Baper? Mikir ngga lo nanya begitu ke gue?” Emosinya entah mengapa tiba-tiba memuncak.

“Oke, stop. Kita kesini buat healing, ngga berantem.” Sahutnya sambil berdiri, lalu dengan segera memakai sendalnya.

“Mau kemana lagi?”

“Liat rusa, yuk?”

“Besok aja, sekarang banyak orang.”

Marko kembali menghela nafasnya.

“Makan, sini. Lo belum makan apa-apa dari tadi,”

“Nanti aja, gue belum laper.” Akhirnya Marko memilih untuk kembali memutari area kemah itu sendirian. Bersama dengan sebatang rokok yang bertengger diantara mulut dan giginya.


Tak terasa malam pun tiba. Area camping ground malam ini terlihat sengang, hanya ada tenda milik kedua anak adam itu dan tenda lainnya di blok sebelah. Marko kini tengah sibuk dengan kegiatan bermain apinya, alias menyalakan api unggun. Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan sampai saat inipun usaha haidar untuk membujuk lelaki itu untuk makan masih gagal.

“Lo kesini tuh mau ngapain sih sebenernya? Mau bucin sama gue, apa mau me time sama diri lo sendiri?” Cibirnya saat marko masih nyaman berjongkok di depan api unggun.

“Gue balik ah,”

“Ish-iya, iya. Gue kesini karena kangen sama lo, kangen bucin. Jangan marah, atuh,” Sahutnya cepat saat haidar tiba-tiba mengemasi barang bawaannya. Lelaki yang tengah nyaman duduk di dalam tenda itu cemberut.

“Makan, abian. Lo jangan kaya gini,” Mohonnya dengan wajah khawatir itu. “Terlepas dari apa yang lagi lo hadapi, ada gue disini. Tenang. Lo ngga sendirian, marko. Terserah beban lo itu mau lo bagi ke gue, mau diceritain apa engga, tapi jangan kaya gini. Gue ngga suka,” Jelasnya panjang lebar.

“Iya, iya. Gue makan.” Ia segera membuka kemasan Pop Mie yang haidar bawa.

“Udah diem disini, gue masakin air panasnya dulu,” Suara lembut itu entah mengapa berhasil meruntuhkan pertahanan hati marko yang sedari tadi ia bangun tinggi-tinggi.

“Diluar dingin, ntar lo kambuh.”

“Tenang, ‘kan ada marko.” Haidar tersenyum dibalik hoodie tebalnya. Marko tidak bisa bertindak lebih lanjut kalau haidar sudah begitu.

Kegiatan makan pagi-siang-malam itu akhirnya selesai kala Marko menghabiskan suapan terakhirnya. Setelah mencuci bekasnya, ia kembali masuk ke tendanya.

“Ngantuk,” Sahut lelaki yang lebih tua itu. Haidar menoleh, menatapnya bingung.

“Gue belom tidur tiga hari, jangan marah—AW!”

Marko meringis saat sleeping bag itu berhasil mengenai lengan kanannya. “GUE BILANG ‘KAN JANGAN MARAH-“

“TIDUR SANA! DASAR ANAK SETAN SUSAH BANGET DIKASIH TAU-“

“HEH BANGKE JANGAN SOMPRAL LO LUPA KITA LAGI DIMANA?!”

“YA ELO SIH BIKIN GUE EMOSI MULU- UDAHLAH SANA BURU TIDUR!”

Haidar yang seharian ini begitu naik turun akhirnya memilih untuk keluar dari tenda meninggalkan marko sendirian yang masih mengusap lengannya.

“Dar! Mau kemana?!”

“Gakusah kepo! Lo juga dari tadi jalan-jalan mulu gue ngga kepo, ‘kan?!”

“Ya tapi ini udah gelap?????”

“TIDUR, ABIAN MARKO PRATAMA!” Teriaknya membuat marko akhirnya bungkam. Haidar segera kembali ke tenda—bukan untuk ikut tidur—melainkan menutup resleting tenda itu.

“Si anjing gue beneran ditinggalin,”


Hening. Hanya ada suara burung hantu yang menemani mereka tidur malam itu. Keduanya saling memunggungi—entah mengapa—padahal keduanya sama-sama kedinginan. Manusia mana pun tau seharusnya momen ini dimanfaatakan untuk saling modus alias cuddle. Mengingat cuaca dan hawa yang sangat mendukung. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku bagi mereka yang seharian ini banyak berdebat.

Haidar terbangun karena merasa tidak nyaman, ada sesuatu yang terus menerus bergerak di belakangnya. Yakali ada hewan masuk kesini, ngga mungkin ‘kan? Batinnya.

Setelah memberanikan diri akhirnya haidar mengendurkan resleting kantung tidurnya, lalu beralih melihat sosok marko yang ternyata tengah mengganti posisi tidurnya—ke kanan dan ke kiri—tak henti.

Is he having a bad dreams?

“Marko, marko,”

“Hmmm,”

“Lo kenapa? Gamau diem banget sih,”

Marko mengerjapkan matanya beberapa kali sampai akhirnya netranya bisa menangkap figur haidar yang tengah mengantuk.

“Eh lo kebangun ya? Sorry sorry,” Lelaki itu bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk. Ia segera menggaruk-garuk rambutnya—bukan gatal—tapi ia mencoba menenangkan pikirannya.

“Jam berapa, Dar?”

Haidar raih ponsel yang terletak disampingnya, “Jam 2,”

“Huft,”

“Hey,” Ujar yang lebih muda saat ia usap bahu kekasihnya itu.

“Mau denger gue cerita, ngga?” Lanjutnya saat ia tautkan kedua jemari mereka.

Sure. Go ahead,” Jawab Marko sambil mengeratkan genggaman itu.

“Dulu waktu semester tiga apa empat ya gue lupa. Gue sempet studi banding sama jurusan psikologi. Studi banding himpunan gitu, isi acaranya kaya brainstorming, FGD, terus ya saling cerita soal kegiatan masing-masing,”

“Mau tau hal yang menariknya apa?”

“Gue dikasih tau langsung sama anak-anak psikologi waktu itu, tentang gimana cara menanggulangi orang-orang tertutup—yang konteksnya disini itu—ngga mau cerita permasalahan atau kendalanya selama di himpunan. Soalnya suka gitu, bi, di himpunan tuh. Ada yang awalnya bahagia banget, tiap proker semangat, tapi makin sini tiba-tiba jadi beda,”

“Katanya, kalau suatu hari nanti nemu yang kaya gitu, tolong, untuk dibantu. Dibantu disini maksudnya ya ditanya, diajak cerita. Tapi jangan maksa juga, tapi jangan di diemin juga—ngerti ngga sih, hahaha,” Haidar menoleh ke arah Marko yang tengah fokus mendengar sesi ceritanya. Ah, tatapan itu.

“Sebisanya, dipancing. Jadi kita bisa tau akar masalahnya kenapa. Karena biasanya yang kaya gitu bakal ngaruh ke kinerja dia. Karena biasanya, orang yang kaya gitu tuh emang lagi di posisi terendahnya dan kebetulan, saat itu ngga ada yang bisa dijadiin tempat dia untuk bersandar—untuk sekedar istirahat,”

“Paham sampai disini?” Tanya haidar. Marko terkekeh, lalu menggeleng. Haidar mendorong bahu itu pelan.

“Lo punya gue, Marko. Lo punya gue untuk lo jadikan sandaran dikala lo cape. Dikala lo ngga tau harus pulang kemana. Lo punya gue,” Haidar elus perlahan tangan itu.

“Kalau lo kaya gini terus—diem, ngehindar, ngga mau ngomong atau cerita—kedepannya pasti hubungan kita yang jadi taruhan.” Mendengar itu Marko mematung.

“Memang sudah jadi hak lo untuk ngga ngomong, silakan. Tapi ini udah jadi kewajiban gue untuk nanya,”

“Terserah mau lo cerita apa engga—kalau cerita lebih bagus karena gua yakin yang lo pikirin itu menyangkut gue—but at least, gue udah nanya.” Haidar bawa punggung tangan itu menuju bibirnya. Ia kecup berkali-kali hingga sang empu menutup bibirnya.

“Jahat banget gue dibekep,”

Marko hening sejenak, “Dar, lo tau ‘kan rumah gue itu lo since day 1?

Yang dipanggil menoleh, lalu mengangguk.

“Gue bukan ngga mau cerita, lo jangan salah paham. Gue cuman takut waktunya ngga pas aja untuk nyeritain semuanya. Tapi setelah dipikir, ngga bakal ada yang berubah sih kalau gue cerita sekarang ataupun nanti.” Kini giliran punggung tangan Haidar yang ia kecup. Kali ini lama, berbeda dengan yang sebelumnya Haidar lakukan.

“Gue ngga bisa tenang akhir-akhir ini. Banyak banget yang ganggu pikiran, kaya kuliah, skripsian, papa, masa depan gue,” Marko tepis jarak diantara mereka berdua, ia mengeratkan haidar pada pelukannya. Takut orang kesayangannya itu kambuh.

“Masa depan lo siapa?” Godanya.

“Masih nanya?”

Keduanya tertawa.

“Itu jadi dilemma tersendiri bagi gue. Kaya haruskah gue egois karena pengen hidup bahagia sama orang yang gue sayang… atau lagi-lagi mengalah karena ngga mau ngecewain banyak orang dengan keputusan yang gue ambil.”

“Dan juga… it’s really hurt my feelings when—” kalimatnya terputus.

“Gue sakit hati banget tiap lo kaya gitu, dar.”

Siapapun tolong cari jantung haidar sekarang juga. Karena sedetik yang lalu rasanya jantung itu baru saja copot, entah pergi kemana. “Gitu gimana?” Ia mencoba tenang.

“Iya. tiap lo nolak afeksi yang gue kasih—gue tau, ada norma sama budaya yang jadi penghalang kita disini. Gue paham betul ketakutan lo, tapi apa ngga boleh? Sebentar doang, gue ngga minta lebih padahal,” Ia menatap nanar tautan jemari mereka.

“Gue beneran kecewa, dar. Bukan sama lo, tapi sama keadaan.”

“Gue rasanya pengen nyerah tiap harus ngadepin norma yang ada disini. Jujur gue ngga kuat, gue pengen come out. Tapi lo—”

“Gue juga ngga boleh egois. Hubungan ini ‘kan perihal dua arah. Kalau guenya ngebet tapi lonya masih ketakutan masa iya harus gue paksa?”

“Gue ngga bisa, Haidar. Sumpah gue gabisa kalau harus gini terus.”

Oh, siapapun. tolong tarik Haidar dari sana sekarang juga.

“Marko,” Yang dipanggil diam.

“Lo tau ‘kan, kalau kita akhirnya memutuskan untuk pindah dan mulai hidup baru di negeri orang itu bukan berarti kita bebas?” Kini mereka saling berhadapan. Menatap netra satu sama lain.

“Mungkin iya, kita bebas. Tapi tetap, marko. Disana mereka juga tetap punya norma, budaya, dan agama yang kulturnya belum kita tau bakal seperti apa. Dengan kita pindah kesana belum tentu juga kita bisa dapetin validasi yang selalu kita dambakan,” Lanjutnya.

At least, Dar, disana udah jadi budaya walau tetep bakal dapet tatapan yang ngga mengenakan dari orang. Dan, yang paling terpenting, no one would recognize us there. Mau kita pegangan tangan dijalanan atau ciuman pun, walau mereka ngga suka, tetep, mereka ngga kenal kita.”

“Gue pernah bilang ‘kan kalau gue ngga sanggup lawan semesta sendirian?”

“Lo ngga sendirian, lo punya-“

“Gue tau, gue tau. Lo juga bakal lawan semesta brengsek ini. Bukan itu maksud gue.”

“Papa ngga ngasih izin, Dar.”

Sesaat setelah kalimat itu keluar dari mulut marko, genggaman jemari mereka dibawah sana seketika mengendur. Marko yang merasakan hal itu dengan cepat menarik jemari haidar—menggenggamnya erat.

“Plis, plis. Jangan. Jangan puter balik. Plis.” Suaranya mulai bergetar.

“Ngga bisa, Marko. Kalau udah gini-“

“Bisa, Dar. Plis lo jangan ngomong kaya gitu. Plis ngertiin gue, ya? Ngga ada lagi yang bisa ngertiin keadaan gue selain lo,”

“Ini emang salah gue karena gue ngobrol sama beliau dengan keadaan yang belum menyiapkan apa-apa. Gue keliatan ragu malem itu, jadi wajar kalau Papa ngga ngasih izin. Dia bilang gue harus persiapin aja dulu semuanya, baru izin.”

We still have a chance, Haidar. Mungkin emang ngga deket-deket ini. Lo sanggup ‘kan?”

Haidar yang kepalanya sudah pening luar biasa hanya bisa menghela nafasnya. Lelaki itu kira setidaknya Papa Jefri bisa jadi harapan untuk keduanya, tapi nihil. Baik Papa Jef dan Amihnya ternyata masih sama.

“Gue pengen pergi sama lo, tapi keadaan kok kayanya menyulitkan banget?”

“Marko,” lelaki itu menoleh. “Gue ngga nyangka ternyata lo mendem semua ini sendirian. Dan sebagian besar keresahan lo itu adalah karena gue. Gue minta maaf, ya?”

“Gue ngga mau kalau dengan berjalananya hubungan kita ini malah jadi beban pikiran buat lo. Sekarang, kalau emang ada kesempatan untuk kita—walau butuh waktu yang lama—kita harus sepakat dulu. Pergi, atau engga sama sekali.”

“Pergi berdua, atau bertahan disini masing-masing. Apapun keputusannya, harus siap. Kalau kita pergi, ada banyak orang yang kita kecewain. Kalau kita tetap bertahan disini, perasaan yang harus dikorbanin. Sampai sini, sepakat, ngga?” Marko ingin sekali menolak, tapi hatinya tidak bisa untuk tidak mengangguk.

“Buang rasa takut lo. Gue ngga akan kemana-mana, kalau lo khawatirin itu. Tenang,” Lelaki itu tersenyum.

“Padahal, kita di bumi ini cuma singgah. Tapi kok panjang banget ya perjalanannya?” Ia usap sorai Marko yang terlihat sangat kelelahan. Ia tersenyum, seakan berterima kasih kepadanya atas segala kesulitan yang telah ia hadapi sendirian.

“Tiap orang punya kurang dan lebihnya masing-masing. Tujuan kita lahir ke bumi pun sama, ya ‘kan? Sama sama selamat sampai akhirat.”

“Tapi kok rasanya berat banget ya saat kodratnya manusia itu untuk saling bahu membahu, tapi mereka lebih milih untuk gak mau tahu. Padahal kalau mereka bisa sedikit ngurangin beban kita, pasti lawan dunia dan semesta ngga akan terasa seberat ini.”

Marko mengangguk setuju, “Waktu di ancol gue pernah bilang kalau lawan semesta berdua rasanya mungkin ngga akan terlalu berat. Nyatanya sama aja, dar. Masih terlalu berat untuk ditanggung berdua,” Satu tetes, dua tetes. Air mata itu lolos keluar dari kelopak mata indah sosok abian marko pratama.

“Kalau aja orang terdekat kita bisa sedikit membantu meringankan beban kita, pasti kita berhasil jadi orang paling berani di muka bumi ini. Sayangnya gue cuman punya lo, dar.”

Malam itu mereka kembali sadar, bahwa untuk memperjuangkan hak mereka bukan sekedar keberanian yang dibutuhkan. Melainkan dukungan dan juga keikhlasan dari orang-orang sekitar.

—leobabybear. 🌹 ditulis hari minggu, pukul setengah sebelas malam.