sunrise. —haidar dan marko

kabut tebal menjadi pemandangan pertama yang haidar lihat tatkala lelaki itu menginjakkan kakinya keluar dari tenda kemahnya. dilihatnya camping ground itu kosong, pertanda tidak ada pengunjung lain yang menetap disini selain dirinya dan juga marko. ia bangun lebih awal pagi ini, karena ia berniat untuk melihat matahari terbit. dilihatnya marko dari luar tenda itu masih nyaman tidur, membuat haidar mengurungkan niatnya untuk membangunkan lelaki itu agar mereka bisa melihat sunrise bersama-sama—sebenarnya mereka sudah sepakat semalam untuk melihat sunrise—namun setelah kejadian semalam, ia pikir, marko benar-benar butuh istirahat. maka dari itu, ia memutuskan untuk melihat matahari terbit sendirian.

haidar biarkan langkah kaki itu berjalan semaunya. ia menoleh ke sebelah kiri, dimana tempat penangkaran rusa berada. dilihatnya para rusa itu yang juga masih nyaman terlelap. sebelum pulang nanti, ia dan marko akan mampir dulu kesana. belum lengkap rasanya jika berkunjung ke ranca upas tanpa mengunjungi penangkaran rusanya.

lelaki kelahiran juni itu kembali mengeratkan tiga lapis jaket yang tengah dikenakannya kala semilir angin dingin menerpa tubuhnya. pagi ini dingin sekali, sebelumnya ia sudah melihat perkiraan cuaca ciwidey pagi ini, dan katanya cuaca pagi ini diperkirakan sekitar 13 derajat. melihatnya saja membuat ia bergidik ngeri. karena nyatanya memang benar. udara pagi ini benar-benar menusuk tulangnya. bahkan menurutnya mungkin udara pagi ini hampir 11 derajat?

setelah berjalan selama kurang lebih lima menit, akhirnya lelaki itu sampai di depan sebuah danau yang disekelilingnya penuh oleh hutan lebat. menurut aplikasi cuaca yang ada di ponselnya, matahari akan terbit sekitar pukul 06.02 pagi. dan sekarang masih pukul 05.42. masih sekitar dua puluh menit lagi sampai akhirnya matahari akan terbit, sehingga haidar memilih untuk duduk di depan danau itu sambil melamun.

seraya dengan kabut yang beranjak turun menjauhi gunung, haidar kembali larut dalam lamunannya mengenai kejadian semalam. ia coba ingat lagi wajah marko yang dini hari tadi penuh dengan air mata. ia masih tak menyangka, lelakinya itu ternyata serapuh itu. dari luar, marko selalu terlihat kuat. melihatnya menangis saja terbilang bisa dihitung jari. saking jarangnya dan saking cerianya anak itu sampai-sampai haidar tidak tahu bahwa ada begitu banyak luka yang ia pendam lama hingga akhirnya membusuk. ada begitu banyak resah dan gelisah yang ia tahan sendiri, hingga akhirnya anak itu meledak.

tak terasa lima belas menit telah berlalu. akhirnya, yang dinanti pun tiba. perlahan sang fajar mulai naik, seraya dengan gerakan tangan haidar yang juga ikut bergerak—bermaksud mengabadikan momen itu. selebihnya, ia nikmati sendiri. tak lupa dengan ucapan syukur yang ia ucapkan dalam hati kepada Tuhan, karena sampai detik ini ia masih diberikan kesempatan untuk menikmati ciptaan-Nya yang begitu indah.

saat haidar tengah menarik nafasnya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang cukup berat jatuh di pundaknya. matanya melotot bersamaan dengan nafasnya yang juga ikut tercekat. astagfirullah, ini jurig ngga sih? tapi ini 'kan udah pagi... masa ada setan disini? yaAllah ini siapa plis yang nempel di pundak gue?! teriaknya dalam hati. lelaki itu enggan menengok ke arah kanannya, sampai akhirnya ada sebuah lengan besar yang melingkari perutnya.

good morning.” sapa marko dengan suara beratnya.

haidar dengan cepat menghela nafasnya lega, lalu segera menengok hingga netranya bisa menangkap figur marko yang tengah nyaman menjatuhkan wajahnya dipundak sempitnya itu, sambil memejamkan mata. tak lupa juga sambil tersenyum.

“ngagetin aja lo anjing. untung kaga jantungan,” sahutnya sambil kembali menatap matahari yang kian naik dari persembunyiannya.

“hm? tumben,” herannya.

“tumben apa?”

“tumben ngga marah gue peluk kaya gini,” seru marko sambil terus mengeratkan pelukannya pada haidar.

“gue pengen marah ini sebenernya, tapi dipeluk sama lo kaya gini bikin gue tenang banget. ya masa gue lepasin? kali ini, gue mau egois juga,” kekeh haidar sambil geleng-geleng atas jawabannya barusan. merasa heran.

marko diam. lelaki itu tidak menyahuti jawaban haidar.

“kok ga bangunin,” lemasnya. haidar terkekeh.

“heh, kebo,” ia goyangkan bahunya, berniat agar lelaki yang tengah tidur itu bisa terbangun.

“kalo ngantuk, tidur sono di tenda. ngapain tidur di bahu gue? berat,” cibirnya sambil kembali memfokuskan pandangannya pada danau didepannya.

“hmmm.”

“gemes banget, yaAllah.” bisik haidar pelan.

“makasih,”

“yeu bagian ini aja baru denger.” ia toyor kepala itu sampai akhirnya marko membuka matanya.

“udah kelar sunrise-nya, bangun. percuma lo kesini,” ketusnya saat lelaki itu tengah mengerjapkan matanya agar kesadarannya bisa kembali penuh. setelah meregangkan beberapa bagian tubuhnya, marko kembali melangkah maju menuju haidar yang masih berada diposisi yang sama. berdiri tegak, tak bergeming sedikitpun. dilihatnya orang yang paling ia sayang itu tengah menundukkan kepalanya, seperti tengah berdoa. marko peluk lagi kekasihnya itu, lalu bertanya.

“diem mulu, mikirin apa?”

“marko,”

“hmmm?”

“lo tau ngga kenapa gue pengen banget liat sunrise?”

“kenapa?”

“karena ngeliat matahari terbit itu, adalah sebuah anugerah. bisa ngeliat matahari terbit itu adalah sebuah kesempatan langka yang gak semua orang bisa dapetin. dan hari ini gue beruntung, karena bisa liat matahari terbit.” mendengar itu marko hanya ngangguk-ngangguk. merasa bodo amat dengan kalimat yang barusan haidar katakan, karena seperti biasa, ucapannya selalu terasa sulit untuk dicerna oleh otaknya—apalagi di pagi hari yang dingin ini.

“marko.”

“hmm?”

“padahal, hari ini lo dikasih kesempatan buat liat matahari terbit. tapi lo malah milih tidur di bahu gue.”

“hmm? terus emang kenapa kalau gue milih untuk ngga liat sunrise? lo marah?” lelaki itu mengerutkan dahinya pertanda bingung.

haidar terkekeh, “no, of course not.

“kesempatan itu dateng kaya matahari terbit, marko. kalau lo nunggu terlalu lama, lo pasti kelewatan.”

mendengar itu seketika tubuhnya membeku.

“kalau nanti kita dikasih kesempatan buat pergi dari sini, lo jangan milih untuk nunda, ya?” haidar berbalik menghadap ke arah marko yang tengah kaget luar biasa.

“kalau nanti, kita bener-bener punya kesempatan untuk memperjuangkan hak kita, jangan takut lagi, oke? nanti kita kelewatan, kaya lo yang hari ini ngelewatin matahari terbit.” senyum lelaki itu sambil mengelus pipinya yang tirus. bahkan senyum haidar pagi ini berhasil mengalahkan hangatnya matahari yang baru saja terbit.

“janji sama gue, untuk tetep kaya gini sampe kesempatan itu dateng. oke?”

bukan jawaban atau suara yang keluar dari mulut marko, melainkan setetes airmata dan juga anggukan penuh keyakinan dari hatinya.

haidar menghapus jejak airmata itu, lalu mengecup bibirnya.

“nanti lagi nangisnya. ayo, balik tenda.”

teruntuk semesta yang terhormat, masih tega anda memisahkan dua insan tulus seperti mereka?

—leobabybear. 🌹 ditulis hari minggu, pukul sebelas malam.