leobabybear

selamat ulang tahun. —haidar dan marko.

Tidak ada yang istimewa dari ulang tahun Egi kali ini. Biasanya, di waktu ini, kedua putranya akan sibuk mengurungnya dikamar sambil menutup kedua matanya dengan kain yang mereka ambil sembarang dari hasil jerih payah tumpukan setrikaan bajunya. Bising nyaring suara kekehan mereka biasanya menjadi hal yang paling wanita itu jengkelkan, namun hari ini, lagi-lagi, ia malah merindukan kehadiran suara itu.

Amih, pokonya jangan dulu keluar!

Kalau ngintip nanti pantatnya kelap-kelip, ya!

Heh! Diajarin siapa kamu ngomong kaya gitu?!

Dengan cepat wanita itu rengkuh tubuh kecil si bungsu, lalu mengelitikinya. “Ampun, Amih! Ampuuun! Ngga bukan ade yang ngomong itu si Aa yang ngajarin!!! Ade disuruh ngomong gitu!!! AAAAAA HAHAHAHA geliiii!!!

Ketiganya tertawa lepas sampai-sampai sang kepala keluarga yang sedari tadi nyaman bersandar pada tembok dingin itu ikut mengembangkan senyumnya.

Hey, boys. We're ready,

Kedua bola mata mereka seketika melotot gemas, lalu beralih menatap netra Ibu mereka yang masih tertutup kain.

Happy Birthday to you. Happy Birthday, to you. Happy Birhtday, Happy Birthday...

Egi segera tersadar dari lamunannya kala satu suara lembut berhasil memasuki gendang telinganya. Ia lalu melirik kearah lilin yang tengah menyala tersebut, dan dilihatnya ada sang suami disana, tengah membawa kue tart kecil—masih lengkap dengan seragam kantornya dan juga masker yang menutupi area mulut dan hidungnya.

Happy birthday to you...

Go wash yourself first, Jo.”

“Tapi ini udah nyala lilinnya, sayang.”

Pft. Yaudah,”

Make a wish, dong.”

“Aku udah tua, Jo,”

But never too old to make a wish.

Wanita itu terkekeh, lalu akhirnya memejamkan mata sambil berdoa. Setelah selesai, ia tatap netra suaminya sejenak yang kemudian langsung dibalas sebuah anggukan. Ia pun meniup lilin itu.

I love you, honey. Can i get a kiss?

“Nope. Mandi dulu,”

“Kamu kenapa? Is everything okay?” Joni taruh kue itu diatas meja pantry mereka.

I'm okay. Just... kinda miss the old days?”

Joni mendecih, “kamu udah menopause ya?”

Mendengar itu Egi melotot, lalu memukul lengan Joni cukup keras. “Engga- BELUM?!?!?!”

“Tuh, terus kenapa sensi? Dan emosional banget?”

Setelah mencuci tangannya dengan bersih, lelaki itu kembali mendekati istrinya. “Sepi, ya? Karena cuma berdua?”

Egi cemberut.

“Kalau kangen tuh bilang, atau telfon kek anaknya. Nunggu ditelfon mah mana sempet, Gi.” Joni keluarkan ponsel miliknya dari saku celana, lalu dengan segera menelfon seseorang.

Assalamualaikum,” Suara berat itu langsung terdengar di telinga keduanya.

“Waalaikumsalam. Baru bangun, de? Disana jam berapa?” Sahut Joni ketika penampakan putra bungsunya itu terpampang dilayar ponselnya.

HEHEHE AMIHHH SELAMAT ULANG TAHUN MAAF TELAT NGUCAPIN!!!” Teriak Haidar saat netra mereka bertemu.

“Durhaka.”

ASTAGFIRULLAH AMIH?!?!?!!?

“Masa lupa Ibunya ulang tahun?” Ketusnya sambil melipat kedua tangan didepan dadanya.

Engga lupa, Amih. Emang sengaja aja mau jadi yang terakhir ngucapin biar so sweet. Sekarang baru jam sepuluh, Paps,” Egi memutar bola matanya sebal.

Jangan marah atuh, nanti cantiknya ilang.

“Apakabar disana? Kamu betah?” Tanya Joni.

“Kuliah kamu lancar?” Lanjut Egi.

Belum mulai, Mih. Ade masih kursus bahasa dulu, mulai kuliahnya masih lama. Betah, Paps! Ade kira Bandung adalah kota terdingin sedunia taunya masih kalah sama negara dengan iklim sub-tropis,” Jelasnya sambil kembali merapatkan selimut tebal yang tengah melilitnya.

-8 SEKARANG MIH LIAT TUH SALJUUUU!!!” Haidar mengarahkan ponsel itu menuju jendela kamar sederhananya, menampakan hujan salju yang tengah terjadi di belahan dunia Eropa.

“Jaga diri baik-baik, Haidar.”

Hatinya seketika terenyuh.

Pasti atuh. Jangan khawatir, Mih.

“Udah ah, Jo, matiin-matiin!” Ketusnya saat kedua bola matanya terasa panas. “Mandi sama makan jangan lupa! MASKER INGET MASKER!”

BAWEEEEL IH KANGEN AMIH BAWEL IYAAAAAA!!!

“BELAJAR YANG BENER!!! BIAR PULANG-PULANG LANGSUNG NIKAH!!!”

Haidar diam. Joni bungkam.

Tut.


Dua cangkir teh hangat sore ini menjadi teman keduanya larut dalam keheningan masing-masing. Egi dan Joni kini tengah syahdu menikmati semilir angin yang melintasi pekarangan rumah mereka. Anehnya, mereka asing dengan keadaan seperti ini. Egi kembali jatuh pada kenangan masa lalunya, saat-saat dimana ia menghabiskan begitu banyak waktu bersama keluarga kecilnya disini.

“Sepi.” Lirihnya ketika Joni tengah menyesap teh hangat buatan istrinya.

“Kamu tau 'kan, Jo? Kalo aku paling ngga suka kesepian?” Ia menoleh kesamping kanan, lalu mempertemukan netranya dengan netra sang suami.

“Kamu ngga bakal kesepian, Egi. Kamu disini sama aku,”

“Tapi anak-anakku ngga ada disini,” Potongnya cepat, enggan mendengar pendapat suaminya itu lebih jauh. “Aku ada salah ya, Jo, sama mereka? Kenapa Hendri sama Haidar ngga ada yang mau nemenin aku disini?”

“Egi ...”

Ia menghela nafasnya.

“Mereka memang anak kita, tapi mereka punya jalan hidup masing-masing. Kamu mau sampai kapan kaya gini terus?”

Wanita itu terdiam. Egi memang dikenal memiliki watak yang cukup keras, ketika ia teguh pada pendiriannya. Sampai kapanpun ia akan terus berpegang pada prinsipnya sendiri, walau tanpa sadar ia menyakiti orang disekitarnya—termasuk anaknya sendiri.

“Jo, kamu tau 'kan si Ade punya pacar?”

Lelaki itu membeku.

“Katanya sih udah enam tahun, tapi kok ngga pernah dikenalin ke kita ya? Aku ngga sabar, Jo, pengen ketemu,” Wanita itu terlihat begitu sumringah membayangkan suatu hari nanti akhirnya ia bisa bertemu sosok yang selalu putra bungsunya sembunyikan.

“Dia siapa ya, Jo? Anaknya kaya gimana, secantik apa sampe-sampe ngga pernah dibawa kerumah. Atau malu kali, ya? Atau takut sama kita?”

Engga tahu, Gi. Aku engga mau tahu.

“Kemaren waktu di bandara perasaan pacar si Ade ngga ada, ya? Ngga dateng apa telat dateng, ya?” Ia kembali larut dalam rasa penasarannya akan sosok kekasih anak bungsunya itu.

“Aneh ngga sih, Jo? Bayangin misalnya kalo aku mau pergi jauh, kamu kira-kira bakal nyusulin ngga buat sebatas ketemu? Pastilah?! Jahat banget kalo ngga nyusulin,”

“Atau mereka udah putus kali, ya, Jo? Karena ngga bisa LDR? Ah, tapi ngga mungkin, kemarin pas cerita kayanya keliatan masih bareng-bareng mereka,”

Aku harap begitu, Gi. Aku harap begitu.


Sepulangnya dari bengkel, lelaki kelahiran agustus itu bergegas kembali menuju rumahnya. Jarak bengkel dan rumahnya terpaut cukup dekat, hanya butuh sepuluh menit bagi Marko hingga akhirnya ia sampai di pekarangan rumahnya. Hari ini adalah hari yang istimewa baginya. Karena hari ini adalah hari ulang tahun sang Ibunda. Ia dan Sang Ayah sudah membuat janji yaitu akan berkunjung ke tempat wanita yang paling mereka sayangi itu.

Sesampainya dirumah, ia bergegas memasuki kamarnya—entah apa yang membuatnya terburu-buru seperti itu—dengan cepat ia langsung membuka laptop berlogo apel miliknya, lalu menyalakannya cepat. Sambil menunggu, ia beralih pada sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya.

“Assalamualaikum,”

“Iya, sama-sama. Sorry ya gabisa lama tadi, gue ada acara lagi. Tapi aman ‘kan?”

“Alhamdullilah kalau gitu. Iya, gue fix lepas aja. Kalau lo kurang cocok sama harga yang gue kasih, obrolin lagi ya. Santai kok gue. Asal nggak yang jatoh banget, haha,”

“Ya jelas awet, namanya juga dirawat,”

“Haha oke oke, thanks ya sekali lagi semoga jodoh deh,”

“Okee, ditunggu kabar baiknya. Waalaikumsalam,”

Telepon pun terputus. Ia menghela nafas lega, kemudian tersenyum. Barusan itu adalah adik tingkatnya, ia baru kenal kali ini berkat Farhan—kekasih Regina yang kebetulan sama-sama menyukai vespa. Walau sempat ada ketegangan yang terjadi antara Farhan dan Marko akibat peristiwa kemarin, lelaki itu masih bersedia untuk membantu Marko dengan alasan urgent, kasian anaknya butuh uang.

Marko tengah dikejar waktu.

Urusan motor selesai, selanjutnya ia pun bergegas untuk membuka e-mail. Kali ini ia mencoba untuk menenangkan degup jantungnya yang begitu kacau. Mengapa? Karena hari ini adalah hari pengumuman beasiswa yang sudah ia ajukan beberapa waktu lalu. Semoga, ya. Semoga ada kabar baik lagi hari ini.

Dengan berat hati kami umumkan bahwa Saudara belum lolos dalam Program Beasiswa S2 Vrije University Amsterdam Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris bersama kami. Terima kasih karena telah berpartisipasi dalam kegiatan tahun ini, jangan pernah berhenti mencoba dan tetap semangat. Sampai bertemu tahun depan!

Marko tersenyum kecut, disusul suara tawa remehnya. “Tahun depan pala lu, haha,”

“Dar, setahun lagi katanya. Sanggup nggak?” Ia menatap langit-langit kamarnya yang kosong, bak pikirannya.

“Lo berharap apasih, sebenernya? Berharap semesta baik dengan cara ngasih kabar baik berturut-turut, gitu? Yakali. This world doesn’t revolve around you, Marko.” Monolognya, lalu segera keluar dari website tersebut.

Memejamkan kedua bola matanya yang terasa berat, ia pun larut dalam kerinduannya akan kehadiran sosok Haidar yang biasanya selalu bisa menghangatkan suasana kamar dingin ini.

Ik mis jou, mihn liefje.

“Jiakh cakep juga bahasa Belanda gue,”

Tok tok tok

“Dah siap?”

Suara berat Jefri menginterupsi sesi galau lelaki itu.

“Udah dong.”

“Mampir beli kue dulu ya, Bang.”


Setelah berkendara selama kurang lebih 40 menit, akhirnya Jefri dan Marko tiba di tempat yang paling membuat keduanya merasa hancur. Sebuah kue coklat hasil dibelinya tadi tengah Marko bawa dengan aman, sementara sang Ayah disamping kirinya membawa bucket bunga mawar segar yang sudah ia siapkan sebelumnya.

“Hai, Ca. Apa kabar?”

Sesampainya disana, hal yang pertama kali Jefri lakukan adalah menyapa belahan jiwanya. Tak terasa ternyata sudah belasan tahun silam sejak kepergian sang istri yang begitu ia sayangi itu. Namun hebatnya, luka yang ditimbulkan akibat kepergiannya itu sampai sekarang belum kering—tidak bisa kering.

“Mama... Abang kesini lagi,” Lelaki itu berjongkok di samping kanan pusara Ibunya, sambil kembali melakukan rutinitasnya yaitu membuat tempat istirahat Ibunya tetap cantik—bersih dari daun dan rerumputan kering yang mengganggu.

“Happy Birthday, Ca.” Jefri taruh bunga mawar cantik tersebut disampingnya, lalu ikut duduk disebelah Marko.

“Ayo tiup lilin, Pa,”

Marko keluarkan cricket miliknya dari saku celana, sementara Jefri di sebelahnya tengah menata lilin agar tersusun rapi diatas kue coklat lezat kesukaan Istrinya.

Setelah tiup lilin selesai, hanya ada hening yang mengelilingi mereka. Baik Jefri maupun Marko sepertinya saling enggan untuk bercerita pada Nesya—padahal biasanya, keduanya pasti akan saling ribut tentang siapa duluan yang akan menceritakan keseharian mereka pada wanita itu tiap kali berkunjung.

Mungkin, apa yang ingin didengar Nesya hari ini adalah hal yang tak ingin didengar baik oleh Jefri ataupun Marko.

“Pa, udah mau gelap. Ayo pulang?” Ajak Marko kala langit sore itu perlahan beranjak pergi membiarkan posisinya digantikan oleh gelapnya langit malam.

“Papa masih mau disini dulu sebentar. Kamu pulang duluan aja, Bang,”

“Naik apa? Kan kita satu mobil,”

“Ya kamu mau naik mobil silakan, nanti Papa gampang bisa pake gojek,” Ia terkekeh sambil kembali membersihkan rerumputan diatas pusara Istrinya.

“Mana tega Abang. Yaudah, hati-hati ya, Pa. Abang duluan,” Lelaki itu taruh kunci mobil disamping Papanya, lalu berjalan meninggalkan sosok orangtuanya.

Memperhatikan langkah sang putra yang kian lama kian menjauh, Jefri pun tersenyum pilu. “Anak kamu itu kelewat pengertian, Ca. Tau aja kalau ada banyak hal yang pengen aku obrolin sama kamu,”

Satu persatu pengunjung pemakaman umum itu menghilang dari pandangan Jefri, meninggalkan pria itu sendirian. Apakah Jefri takut? Tentu saja tidak.

“Selamat Ulang Tahun, Nesya. Cepet dateng lagi ke mimpiku, ya? Aku kangen banget,”

“Hmm? Kabarku? Baik. Abang juga baik, kok. Tenang aja, kita baik-baik aja disini. Kita berdua bahagia,”

“Ca, kamu kenapa cepet banget sih perginya?” Ia mengusap kepala pusara itu layaknya tengah mengusap kepala sang istri.

Anak kamu sekarang ancur, Ca,

“Kamu tau? Ketakutan terbesar aku sekarang akhirnya terjadi. Ketika dia mulai melakukan sesuatu diluar kendali aku, ketika dia benar-benar sudah menjadi manusia dewasa yang gegabah dalam mengambil sebuah keputusan, ketika dia benar-benar sudah menjadi manusia versi dirinya sendiri yang ngga butuh dampingan orangtua,” Suaranya serak, ia berdehem sejenak berusaha menahan isakannya.

“Ca, aku gamau.”

Abian gaboleh pergi, Ca.

“Anak itu ancur, Ca. Aku liat pake mata kepalaku sendiri. Anak itu beneran ancur. Aku bahkan ngga bisa lagi nyebut dia itu anak aku, Ca. Dia bukan anak aku,”

“Kamu tau sebingung apa aku waktu liat dia di bandara hari itu? Aku kira dia dateng kesana karena mau nyusulin Papanya, karena sehari sebelumnya Abang bener-bener ngga ngucapin apa-apa atau sekedar bilang safe flight—kamu tau, Ca? Kamu tau ngga apa yang anak itu lakuin? Dia nyusulin orang lain, dia nyusulin lelaki itu,

Tangisnya pecah. Satu bulan lebih ia tahan rasa takut itu sendirian di negeri orang, berharap waktu bisa dipercepat agar ia bisa segera pulang dan menumpahkan segala ketidak masuk akalan ini.

“Kalau hari itu aku samperin Abang dan nampar dia disana, menurut kamu sekarang dia bakalan jadi apa, Ca? Apakah keputusan aku untuk tetap diam adalah hal yang benar? Engga ‘kan, Ca?”

”Salah aku yang memulai terlalu tua, salah aku juga karena aku ngga bisa jaga dan rawat kamu sampe akhirnya kamu pergi. Aku udah tersiksa karena ngga punya banyak waktu sama kamu... Tapi apa ngga cukup, Ca? Dengan kamu pergi ninggalin aku... Apa ngga cukup? Sekarang aku harus relain juga anakku satu-satunya itu pergi?”

“Aku ngga punya banyak kenangan sama kamu, Ca. Begitu juga Abang. Dia satu-satunya yang aku punya sekarang, Ca. Aku harus relain, gitu? Jawab, Ca, hiks-”

“Aku gagal, Ca. Aku udah gagal jadi orangtua. Kalau ada kamu disini, mungkin Abang ngga akan jadi kaya gini, ‘kan?”

Belum, Jef. Kamu belum sepenuhnya gagal.

Ia bersimpuh diatas batu pusara itu, “Ca... Apa ngga boleh aku terus tutup mata selamanya? Aku udah berhasil selama ini, izinin aku untuk lanjutin hidup aku kaya gini, ya?”

“Aku bajingan? Emang, Ca. Maaf, tapi aku mau egois. Aku ngga bisa relain anakku pergi. Maaf aku ngga bisa nepatin janji kamu. Maaf, Ca,”

Jefri pun bangkit, mengusap sisa-sisa jejak air matanya. Sekali lagi memohon maaf dalam hatinya, lalu beranjak pergi dari tempat itu.

Jefri... Anak itu ngga butuh kamu. Demi Tuhan anak itu ngga butuh kamu di sisa hidupnya. Anak itu cuma butuh dunianya. Dan dunianya itu bukan kamu.

—leobabybear.🌹 ditulis hari minggu, pukul enam sore.

kunjungan singkat. —haidar dan marko.

Semilir angin sejuk sore itu menjadi teman Marko dalam perjalanannya menuju tempat peristirahatan terakhir sang Ibunda. Digenggamnya seikat mawar merah yang selalu ia bawa tiap kali mengunjungi tempat itu, dan juga beberapa bunga lain yang ia beli untuk mempercantik rumah Ibunya.

“Assalamualaikum, Mam.”

Marko tersenyum dibalik maskernya. Lelaki itu pun segera duduk di samping makam tersebut, lalu berdoa. Setelah selesai, ia pun mulai mencabuti rerumputan yang tersebar di atas batu nisan itu.

“Mam ini Abang lagi,” Sahutnya.

“Abang kesini karena diminta sama Papa, katanya suruh bilangin kalo Papa kangen. Ohiya, Papa lagi di Turki, loh, Ma. Udah mau sebulan Abang tinggal sendiri disini. Sekaligus ditinggalnya, Ma. Hahahaha. Ditinggal Papa, ditinggal Haidar,”

“Ma, masih inget Haidar, ‘kan? Yang sebulan lalu Abang bawa kesini, terus dia izin pamit karena mau pulang. Pulang ke rumah kita,” Ia tersenyum. “Anaknya berhasil, Ma. Haidar berhasil.”

“Haidar udah di Amsterdam sekarang, Ma. Keren, ya, pacar Abang? Hehe,” Ia menaburkan beberapa bunga diatasnya seusai tanah itu bersih dari rumput yang mengganggu.

“Tinggal Abang nih, Ma. Kira-kira Abang bisa nggak ya nyusul dia?” Ia melanjutkan kegiatannya dengan menyiram tanah dan juga batu nisan sang Ibunda dengan air.

“Ohiya, Ma! Inget Vera, ‘kan? Motor yang abang beli waktu SMA itu,” Riang lelaki itu saat kembali melanjutkan ceritanya. “Si Vera mau Abang jual, Ma, hehe. Sedih sih, Abang, cuma yaudahlah. Bukan cuman orang aja yang datang dan pergi, ‘kan, Ma? Barang juga sama,”

“Hehe kenapa Abang jual motor itu ... Karena lumayan, 'kan, Ma? Itung-itung buat nambahin biaya Abang berangkat. Jaga-jaga juga siapa tau Papa ngga mau biayain anaknya yang durhaka ini,”

“Kalau Mama masih ada, kira-kira Mama mau dukung Abang atau mau nahan Abang?”

“Nahan sih ya kayanya, Ma? Hahaha,”

“Ma,”

“Mama pasti bakal bosen sih denger ini, tapi Abang sayang banget sama Haidar. Sayang banget, Ma. Sesayang itu.” Ia terkekeh.

“Sampe kalo seorang Papa Jefri sekalipun bakal nahan atau ngelarang Abang buat merjuangin cinta abang yang sebesar ini, Abang ngga peduli, Ma. Dunianya Abang itu dia. Abang punya hak, ‘kan?”

“Walau Mama udah ngga disini, tapi Abang berdoa semoga Mama juga bantu doain Abang ya dari sana, ya? Hahaha, doa Ibu paling manjur soalnya, Ma. Jadi, ikhlasin dan doain Abang ya, Ma?”

“Huft- segitu dulu ya, Ma, hari ini. Padahal Abang kesini karena Papa, tapi lagi-lagi malah hidup Abang yang diceritain. Nanti kalo Papa pulang, pasti Papa yang lebih banyak cerita. Nanti jangan lupa bocorin ke Abang ya, Ma, si Papa cerita apa aja. I miss you so much, Mam. And i wish you were here too, with me. Yang tenang, ya, Ma. Abang pamit. Nanti abang kesini lagi pas Abang mau berangkat nyusul cintanya abang. Hehe, Assalamualaikum, Mam.”

—leobabybear🌹 ditulis hari minggu, pukul satu kurang lima belas dini hari.

selamat tinggal, bumi pasundan. —haidar dan marko.

Please, please. Angkat, Marko. Lo kemana, sih?!”

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

Tut tut tut

Gina mengacak-acak rambut panjangnya pertanda frustasi. Entah sudah yang keberapa kali ia mencoba untuk menghubungi nomor itu, tetapi hasilnya nihil. Marko tak kunjung mengangkat telfonnya.

Ia mencoba untuk tetap tenang di tengah segala ketidakjelasan ini, lalu bergegas mengenakan sepatu hitamnya ketika ojek online yang ia pesan tadi sudah sampai.

“Mas, tolong ngebut ya. Saya buru-buru,” Sahut perempuan itu pada supir ojek yang kini tengah memboncengnya dari Antapani menuju Dago.

Setelah duapuluh menit perjalanan, akhirnya Regina sampai di kediaman Marko. Rumah itu terlihat begitu sepi bak tanpa penghuni, seakan-akan sudah ditinggal pergi tuan rumah selama berminggu-minggu. Ia lihat sebuah mobil sedan terparkir disana, pertanda Pak Jefri—Dosen kampusnya sekalius Ayah Marko mungkin saja ada di dalam. Setelah memastikan dirinya untuk tidak panik, akhirnya ia memasuki pekarangan rumah tersebut.

Ding dong

“Assalamualaikum,”

Tok tok tok

Hening.

“Pak Jefri ngga ada dirumah kali, ya? Kalo gue teriak ngga bakalan kenapa-kenapa, 'kan?” Ucapnya pada diri sendiri kala ia mengintip area ruang tamu itu. Setelah celingak-celinguk sebentar—memastikan tidak ada satupun tetangga rumah Marko yang sedang lewat akhirnya ia pun kembali mengetuk pintu rumah tersebut.

“Marko!!! Marko!!! Ini gue!!!”

Tok tok tok

“Marko lo di dalem, 'kan? Buka!!!”

Tok tok tok

“Ih anjir ni anak kemanasih-”

Ceklek

Gina membulatkan kedua bola matanya ketika ia tak sengaja mendorong kenop pintu itu ke bawah. Anjir pintunya nggak di kunci?!?!?!? Kok bisa-bisanya?

“Assalamualaikum,”

Setelah melihat sekeliling akhirnya ia memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu. Dilihatnya ruang tamu dan dapurnya gelap, pertanda tidak ada orang dirumah.

Tanpa menunggu lagi—karena ia sedang diburu waktu—akhirnya ia pun bergegas menuju kamar Marko. Dilihatnya pintu itu tertutup rapat, ia pun berinisiatif untuk mengetuknya. “Marko? Lo di dalem?”

Hening.

“Gue masuk ya,”

Ceklek

Ia putar kenop pintu itu. Gina menghela nafas lega ketika netranya menemukan sosok Marko disana, tengah duduk di lantai bersama dengan ponselnya yang tergeletak bebas di depannya.

“LO KEMANA AJA SIH, BEGO?! TELFON GUE NGGA DIANGKAT, LO TAU NGGAK KALO-”

“Teh,”

“LO NGAPAIN DUDUK DI LANTAI BEGINI?!” Ia akhirnya berlutut di samping Marko, menaruh tasnya cepat lalu membuka maskernya yang terasa begitu menyesakkan.

“TADI HAIDAR NGECHAT GUE, TERUS GAADA ANGIN GAADA HUJAN TIBA-TIBA NITIPIN LO KE GUE. DIA BILANG LAGI OTW BANDARA- INI MAKSUDNYA APA SIH KENAPA LO NGGA CERITA APA-APA KE GUE?!” Gina menggoyangkan tubuh Marko cukup kencang hingga akhirnya lelaki itu mengangkat wajahnya, menampakkan pemandangan yang mengerikan.

“Teh, gue takut.” Bulir peluh dan air mata yang memenuhi wajah itu seketika membuat Gina merapatkan bibirnya. Marko tatap kedua netra teman terdekatnya itu.

“Marko lo-” Ia tergagap.

“Haidar pergi. Gue harus apa sekarang?” Lirihnya diiringi dengan tetesan air mata yang tiba-tiba menjadi deras.

“Terus kalo lo tau di mau pergi lo diem aja, gitu? Ya bangun lah bego. Susul sekarang sebelum semuanya terlambat!” Ia tarik kaus hitam polos yang tengah Marko kenakan itu, namun sang empu masih enggan beranjak dari tempatnya.

“Haidar ngga mau gue dateng, Gin. Ada Papa sama Amihnya disana,”

For god sake, Marko?!?!?! Pacar lo pergi dan lo masih aja mikirin rasa takut lo? Yang bener ajalah?” Teriaknya frustasi.

“Gue ngga takut, tapi Haidar yang takut, Gina!”

“DIA CUMA GIMMICK, MARKO! GAMUNGKIN HAIDAR NGGA MAU KETEMU LO DULU SEBELUM PERGI?!” Gadis kelahiran Maret itu akhirnya ikut terduduk lemas di lantai dingin kamar Marko. Ia melirik jam digital diatas nakas, lalu menghela nafas.

“Lo kenal Haidar berapa lama, sih? Haidar cuman pernah sekali cerita sama gue tapi bisa dengan mudah gue simpulkan bahwa hidup dia tuh bergantung banget sama lo. Ibarat lo tuh bucin, dia lebih-lebih. Dia ngomong gitu karena dia juga sama kaya lo, sama-sama ngga sanggup. Makanya pertahanan diri dia kaya gitu, nyuruh lo untuk ngga nyusulin dia dengan alesan ada orang tuanya. Padahal alesan dia bisa ada disana sekarang kan, karena lo. Hidup dia itu lo, Marko. Masa lonya ngga ada disana?”

“Marko, kita ngga punya banyak waktu. Sekarang udah setengah enam, Soetta jauh banget. Lo beneran yakin ngga mau ketemu Haidar?”

“Gue sayang banget sama dia, Gina. Gue sayang banget sama Haidar sampe belom siap liat dia pergi,”

“Justru itu. Kalo ini pertemuan terakhir kalian gimana? Lo pasti nyesel seumur hidup, Marko,”

Mendengar itu, Marko terdiam. Engga, gue pasti bakal ketemu Haidar lagi. Kita pasti bisa ketemu lagi.

“Marko,”

Bugh

ARGHHHHH!!!” Gina melotot.

“Lo ngapain?!?!?!!?”

hiks- dar... jangan tinggalin gue... gue ngga punya siapa-siapa lagi di dunia ini...

“MARKO LO JANGAN LINGLUNG KAYA GINI PLIS GUE MOHON??? GUE UDAH BINGUNG INI HARUS NGAPAIN LO NYA JANGAN TAMBAH BIKIN GUE BINGUNG!!!” Gina kembali berlutut di samping Marko, berusaha membujuk anak itu yang jiwanya tengah melayang entah kemana.

“Percuma lo sekarang nangis-nangis kaya gini, sayang tenaga. Mending sekarang lo simpen sisa tenaga itu buat nanti, ya? Plis, dengerin gue,” Ia berlutut untuk yang terakhir kali.

“Haidar itu sayang banget sama lo, Marko. Inget itu.”

“Gina... Gue harus ketemu Haidar,” Mendengar itu Gina tersenyum lega, lalu mengangguk. “Iya, lo harus. Sekarang ayo bangun, oke?”

“Ada yang belum gue sampein ke dia, Gina. Gue mau ketemu Haidar,” Lelaki itu akhirnya bangkit lalu bergegas mengambil jaketnya. Melihat itu Regina kembali tersenyum, lalu segera bangkit dan menyusul Marko keluar dari kamarnya.

“Lo tadi naik apa kesini?” Tanya Marko saat Gina sedang berjalan menuju dapur. Gadis itu tengah fokus pada sesuatu sampai-sampai ia tak mendengar pertanyaan Marko.

“Gina?” Yang dipanggil akhirnya menoleh, lalu tersenyum.

“Mana kunci mobil lo? Biar gue aja yang nyetir,”

“Engga, gue takut dibogem pacar lo kalo ketauan-”

Fuck it, lah. Bukan hubungan gue yang harusnya lo khawatirin sekarang. Pikirin dulu noh sana nasib lo sendiri,” Ketus Gina sambil memasukkan sesuatu ke dalam saku celananya. “Lo lagi kalut, gue lebih ngeri ngebayangin disetirin lo yang lagi kaya gini,”

Marko tersenyum pahit diantara pucatnya wajah itu, “Gue hutang banyak sama lo, Gina. Thank you,

“Sekali lagi lo ngomong hutang, gue beneran bakal nyuruh Haidar sebarin foto lo ke FBI biar jadi buronan.”


Langit senja sore itu dengan cepat menghilang kala mobil sedan milik ayahnya melaju cepat di jalan tol. Seperti kesepakatan tadi, hari ini Gina yang menyetir. Dengan percaya diri ia bawa mobil itu melaju pergi meninggalkan bumi pasundan. Mengabaikan rasa takutnya karena ini pertama kali gadis itu menyetir jauh, tanpa pantauan Ayah ataupun pacarnya.

Marko yang duduk disampingnya pun hanya banyak diam, sambil sesekali melihat ke arah luar jendela. Ia juga mengecek notifikasi ponselnya—berharap ada pesan yang masuk dari Haidar.

“Chat duluan aja kali. Kaya baru pacaran aja lo,”

“Dianya aja ngga ngabarin gue, ngapain gue chat duluan.”

“Hadeh, berasa ngasuh anak TK tau ngga gue tuh. Gengsian amat jadi orang, heran.” Cibirnya sambil terus fokus menyetir.

“Teh, nyetirnya—”

“Lo nyuruh gue lebih ngebut dari ini, gue turunin lo sekarang juga.” Potongnya cepat.


Setelah empat jam perjalanan yang terasa begitu menyiksa, akhirnya Regina dan Marko tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat. Dengan cepat Gina melajukan mobil milik dosennya ke area drop-off.

“Lo duluan, gue cari parkir.” Titah yang lebih tua pada Marko.

“Tapi gue ngga tau dia di gate bera-”

“YA TANYA LAH! BURUAN MARKO, LO NGGA PUNYA WAKTU LAGI!”

Marko diam sejenak, “MARKO BURUANNNNNN!!!!”

Dengan cepat lelaki itu akhirnya keluar dari mobil dan membanting pintunya kasar.

Setelah memastikan Marko benar-benar pergi, Gina mengeluarkan secarik kertas kusut yang sedari tadi nyaman bersembunyi di balik saku celananya. Membaca kembali frasa terakhir dengan lamat, lalu memejamkan matanya.

I'm Sorry and Good luck, Marko.”


Marko berlari dengan nafasnya yang sisa sedikit, ditemani kedua matanya yang sudah sembap tak tahu tempat. Ia sudah menelusuri sepuluh gate yang ada di Terminal 3—Terminal khusus keberangkatan Internasional, namun ia tak kunjung temukan Haidar.

Tempat itu terlalu luas untuk Marko jelajahi yang saat ini tengah diburu waktu. Ia kembali melihat sekelilingnya, berharap-harap cemas bahwa Haidar belum check-in.

Ia keluarkan ponselnya, lalu dengan cepat memanggil nomor Haidar.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

Fuck fuck fuck. Angkat, Haidar. Angkat.”

“Jangan dulu pergi, plis. Jangan dulu-”

“Woy bro.”

Badan tegap itu seketika kaku saat mendengar suara yang tak asing di indra pendengarannya. Lututnya lemas bukan main, jantungnya seakan berhenti sepersekian detik saat suara itu dengan sopan menembus gendang telinganya.

“Nyari siapa?” Sahutnya lagi.

Dengan cepat Marko berbalik, mempertemukan kedua netranya dengan netra orang paling dicintainya. Ia disana. Haidar disana. Lengkap dengan leather jacket hitam pemberiannya, dan juga celana jeans sobek lusuh kesukaannya.

“Kenapa nelfon? Gue disini,” Haidar angkat ponselnya itu, lalu menunjukkan tampilan dengan nama dirinya terpampang nyata disana. Matanya panas luar biasa, ia ingin berlari sekarang juga dan merengkuh raga itu. Tapi kakinya serasa dirantai, ia tak mampu bergerak dari tempatnya.

Satu langkah, dua langkah. Haidar dengan tampilan yang begitu memesona berjalan mendekati Marko yang tengah kacau luar biasa.

“Kok tau gue disini?”

“Dar...”

“Teh Gina cepu juga,” Lelaki kelahiran Juni itu terkekeh, lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.

“Haidar...” Tenggorokannya tercekat, ia tidak mampu lagi untuk melanjutkan kalimatnya.

“Iya, Abian. Haidar disini.” Lelaki itu tersenyum di balik maskernya. Haidar naikkan maskernya hingga menutupi bawah matanya—berniat menutupi bulir air matanya yang entah sejak kapan sudah mengalir.

Marko melangkah maju lebih dekat dari sebelumnya, “Huft... Hai,”

“Hahahaha, hai, Bi.” Haidar geleng-geleng.

“Huft... Wait, wait. I don't know what to say,” Ia mencoba menutupi wajahnya dengan menurunkan topinya. Menghapus jejak air matanya yang lagi-lagi jatuh.

It's okay. You can cry, Bi,

No, i will not cry.

“Yeh si anjing pacarnya mau pergi jauh masa kaga nangis lu? Nangis buruan,” Candanya membuat keduanya tertawa konyol. Haidar bisa mendengar suara sesegukan Marko, begitupun sebaliknya. Marko bisa dengan jelas mendengar suara rintihan Haidar.

“Bangsat,” Marko kalah telak hari ini. Ia berlutut malu dan memohon pada egonya sendiri untuk sebentar saja memeluk kekasihnya.

Ia tarik Haidar kepelukannya, membiarkan seluruh raga dan jiwanya mearasakan hangat tubuh itu untuk yang terakhir kalinya. Haidar juga kalah telak hari ini. Ia tak mau lagi menurut pada dunia dan segala peraturannya. Hari ini juga, ia memilih untuk menaruh dagunya di bahu milik Marko yang bergetar itu. Menerima rasa aman yang diberikan kekasihnya itu, yang entah kapan lagi bisa ia rasakan kehadirannya.

Marko peluk erat ceruk leher itu. Lalu memejamkan matanya kala Haidar membalas pelukannya. Ia menangis lebih kencang disana. Kala Haidar mengusap bahunya.

“Dar, sakit...”

“Sama, Bi,”

Ia kembali menangis saat merasakan pelukan Haidar kali ini berbeda dari pelukan-pelukan mereka lainnya. Haidar yang ia kenal selalu melingkarkan lengannya di pinggang lelaki itu. Tapi hari ini, Haidar memilih untuk menjatuhkan lengannya di bahu Marko.

Ini bukan Haidar. Ini bukan kekasihnya.

“Lo sakit?” Parau Haidar saat lehernya bersentuhan dengan leher Marko.

“Engga.”

“Kok demam gini? Kemaren ngga mandi, baliknya?”

“Menurut lo gue sempet mandi?” Sinisnya, lalu disambut tawa renyah Haidar.

Masih dalam pelukan hangat mereka, “Terus kemaren ngapain aja?”

“Nangis.”

“Lebay amat?”

“Emang. Pacar gue pergi ninggalin gue soalnya.”

“YaAllah, Bi...”

Haidar cemberut, Marko tertawa.

Cup

We're in danger, Abian. Let's end this,” Akhirnya Haidar tarik Marko dari dekapannya, mengakhiri nyaman dan aman mereka.

“Kesini sama siapa?”

“Sama Teh Gina,”

“Ih, anjing. Si Teh Gina menang banyak mulu dah. Apa di kehidupan selanjutnya gue minta lahir jadi dia aja kali, ya?” Celetuknya saat Marko tengah mengusap kasar air matanya.

“Emang yakin kalo lu lahir jadi Gina bakal ketemu gue?”

“Ya pasti ketemu lah. 'Kan kalo jodoh udah pasti ketemu,”

“Belom tentu. Orang jodoh gue mah Haidar, bukan Gina.” Jawabnya dengan enteng, membuat Haidar yang tengah berdiri di hadapannya hanya bisa mendecih. Tak percaya dengan ucapan Marko barusan.

“Makanya,” lanjut lelaki itu. “Di kehidupan selanjutnya minta lahir jadi Haidar lagi aja, biar bisa ketemu lagi sama gue,”

“Emang brengsek.”

“Iya, nggak?”

“Iya.”

“Gue sayang banget sama lo, Haidar.”

“Iya, Abian Marko Pratama jelek, bawel, cengeng. Gue juga sayang sama lo, melebihi Amih.” Suaranya bergetar.

“Parah si Amih di nomor duakan,” Ia toyor kepala itu pelan.

Keduanya larut dalam lautan netra masing-masing yang begitu jelas sarat kesedihannya. Mereka diam, menikmati presensi masing-masing di tengah riuh orang berlalu-lalang.

“Ini bukan akhir, 'kan?” Ia menatap kekasihnya itu sendu.

“Ini bukan terakhir kalinya gue bakal liat lo, 'kan?” Ia genggam jemari dingin Haidar.

“Tergantung. Lo mau nyusul gue, nggak?”

“Pasti. Gue pasti nyusul, Dar.”

“Lo harus.” Tekannya, lalu mengelus tangan Marko.

Safe flight, sayang. Tungguin gue disana, ya?”

“Huft... hiks-” Haidar menunduk, lalu mengangguk.

Look at me,” Marko pegang pipi itu, lalu mengelusnya. “You will be fine. Without me. Inget itu,” Haidar menggelengkan kepanya, pertanda tidak setuju dengan pernyataan Marko barusan.

“Jangan sotau. Yang jalanin gue, bukan lo,” Lelaki itu sesegukan.

“Gue juga jalanin kehidupan gue disini, tanpa lo. Kita sama, sayang. Jadi, jangan merasa paling tersiksa sendirian, ya? Kita lewatin ini bareng, oke?”

Haidar jabat tangan itu sekali lagi.

“Gue harus masuk sekarang,”

“Okey,”

Good bye, Abian,”

No, don't say it. Rather than good bye, let's say see you, okay?

See you very soon, duniaku.”

See you, semestaku.”

Genggaman mereka lepas, lalu Haidar berbalik dan mulai berjalan memasuki Gate. Meninggalkan Marko yang tetap tersenyum walau hatinya hancur.

Setelah memperlihatkan tiketnya, sekali lagi, Haidar berbalik untuk menatap Marko. Lelaki itu mengangguk, membuat Haidar kembali mengehla nafas beratnya—berniat meninggalkan segala rasa takutnya disini. Dan membiarkan mimpi serta harapan baru menemaninya untuk melangkah menuju tempat baru.

Ketika figurnya sudah tak terlihat lagi, Marko jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, bahwa ia akan melihat cintanya pergi. Enam tahun. Sudah terbiasa dengan kehadiran Haidar disisinya selama kurang lebih enam tahun, ia merasa dirinya tak akan pernah bisa terbiasa dengan keadaan ini. Apakah ia bisa melanjutkan hidupnya ketika dunianya saja telah pergi?

Malam itu, Jefri yang baru saja akan take off ke Turki mendadak mati rasa. Terutama, hatinya. Tidak menyangka bahwa ia akan menyaksikan seluruh rentetan kejadian ini di depan matanya sendiri. Tapi dasar dunia ini memang penuh panggung komedi.

Jangankan Uzbekistan, yang pria itu inginkan saat ini hanyalah pulang lalu menangis di hadapan pusara istrinya.

—leobabybear🌹 ditulis hari jum'at, pukul sebelas malam.

how does it feels? —haidar dan marko.

Malam ini, Bandung hujan lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, tetapi suara gemuruh hujan dan petir masih menjadi teman sepi perjalanan lelaki itu pulang menuju rumahnya.

Hari ini, seseorang baru saja mendapat gelar baru dalam hidupnya. Setelah tiga setengah tahun berlalu, akhirnya Haidar Indra Atmajaya resmi dinyatakan lulus sebagai Sarjana Lulusan Manajemen Bisnis dengan predikat Sangat Memuaskan. Walau tidak bisa menemaninya dari dekat—dan ia pun sudah terbiasa mendalami peran sebagai sosok pengagum rahasia—Marko berusaha untuk tetap berada tidak jauh dari pandangan Haidar. Ikut merasakan tiap momen yang terjadi dan tentunya akan ia simpan rapi di memorinya.

Lelaki itu tengah duduk di selasar FEB kala Haidar disambut secara antusias oleh kawan satu himpunannya. Awalnya ia tidak pernah bisa mengerti esensi dari adanya sebuah perayaan secara meriah, karena menurutnya hal itu sangat mengganggu.

Tapi setelah percakapannya kemarin perihal sang kekasih yang mengatakan bahwa ia tidak ingin pergi dari bumi pasundan... Sekarang ia paham, alasan lain di balik beratnya keputusan yang harus lelaki itu ambil.

Hangatnya pelukan yang diberikan seluruh teman-teman Haidar, sorak sorai ucapan selamat dan doa yang mereka panjatkan satu persatu padanya, membuat Marko tersadar bahwa di muka bumi ini, ada begitu banyak sosok yang lelaki itu sayangi.

Ia pikir, dunia Haidar hanya berputar di sekelilingnya. Tapi ia salah. Seratus persen salah. Karena jauh di balik itu semua, Haidar juga punya kebahagiaan tak terhingga lainnya selain genggaman hangat tangannya. Ia pikir, terlalu berat bagi kekasihnya itu untuk meninggalkannya. Tapi lebih dari itu, Haidar benar-benar tidak mau meninggalkan rumahnya.

Ia tidak mau meninggalkan Bandung beserta seluruh isinya.

Dengan langkah berat lelaki kelahiran agustus itu berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Ia terlihat sangat memprihatinkan malam ini. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, seluruh tubuhnya lembap karena diguyur hujan.

Ia bukannya lupa membawa jas hujan, ia hanya tidak punya cukup tenaga untuk sekedar berhenti dan memakai jas hujan.

Setelah menutup pintu dan melepas sepatunya, ia bergegas masuk menuju kamarnya tanpa menyadari kehadiran sang ayah yang tengah membuat teh hangat di dapur.

Brak!

Suara pintu yang di banting barusan berhasil membuat Jefri terkejut. Dilihatnya kamar anak sematawayangnya itu yang sudah kembali tertutup rapat, membuat dahinya pun ikut mengkerut keheranan.

“Abang?”

Hening.

Bugh bugh bugh!

Suara pukulan itu terdengar dikala Jefri tengah mengaduk tehnya yang ke 10x.

“ARGGHHHHHHH!!!!”

Bugh!

Suara pukulan itu kembali terdengar dikala Jefri tengah mengaduk tehnya yang ke 20x.

“Ngga bisa, ngga bisa... Sakit banget, yaAllah.”

Bugh! Bugh!

Tanpa menunggu skenario buruk dalam pikiran Jefri terjadi, akhirnya pria berusia setengah abad itu berjalan menghampiri kamar putranya.

“Bang? Suara apa itu?”

“hiks- hiks. don’t leave me again, please...

Tok tok tok

Diketuknya tiga kali pintu kayu itu, “Abang? Hey, kenapa?”

“Kenapa semua orang yang Bian sayang ninggalin Bian, Ma?” lirihnya begitu pelan, sampai Jefri bisa dengan jelas mendengarnya.

“Abian Marko Pratama.” tegasnya.

“Pa...”

“Pa, can you hear me?

“Iya, Bang. Papa denger,”

Lelaki itu sesegukan, “Pa, how does it feels?

Marko pandangi dua buah foto polaroid yang disana terpampang wajah orang yang dikasihinya.

“Waktu mama pergi, rasanya gimana, Pa?” Tanya putranya itu.

“Pa, jangan diem. Jawab abang, gimana rasanya?”

Jefri mungkin diam, tapi hatinya lebam.

“Gimana rasanya ditinggal sama belahan jiwa Papa?”

“Kamu lagi kangen Mama, Bang?”

Di balik pintu itu Marko menggeleng.

“Kaya gini ya, Pa, rasanya? Sesakit ini?”

Tok tok tok

“Bang, siapa yang pergi?”

Jefri kembali mengetuk pintu itu, kali ini dengan sedikit tenaga. Ia yakin ada yang tidak beres, karena sang putra tidak pernah menangis sehebat ini selain di pemakaman istrinya.

“Haidar, Pa. Haidar pergi. Dunia abang pergi.”


Haidar menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk coklat bergambar beruang miliknya. Handuk itu sudah ada sejak dirinya masih bayi, kalau kata Amih. Dan sampai sekarang handuk itu masih terlihat bagus karena selalu Sang Ibu jaga. Usianya kini sama dengan anak bungsunya. Setiap lelaki itu tanya, “kenapa sih, Mih, masih aja disimpen?”

Akan selalu mudah perempuan itu jawab dengan, “karena kamu ngga lahir dua kali.”

Setelah selesai dengan segala aktivitasnya seharian ini, akhirnya tubuh bongsor itu merebahkan dirinya diatas kasur. Baru saja ia akan menelepon seseorang, pintu kamarnya berbunyi.

Tok tok tok

“Siapa tuuuuuh?”

“De, Amih masuk, ya?”

“Oh, iya sini masuk,” Jawabnya.

Setelah mendapatkan izin dari yang punya ruangan, akhirnya Egi masuk dengan membawa bantal dan guling.

“Eits sebentar, mau apa nyonya kemari dengan bantal di tangan kanan dan guling di tangan kiri?” Ketusnya jahil saat sang Ibu mendekati kasurnya dengan wajah cemberut.

“Amih tidur disini malem ini.”

“Enggak.”

“Ade!”

“Amih ih!”

Mengingat sifat keduanya yang cukup keras kepala, akhirnya Egi naik ke kasur itu dan mencari posisi nyaman untuk menyelami dunia mimpi.

“Amih!!!!”

“Ade,” suara lembutnya menginterupsi amarah Haidar.

“Kamu yakin mau pergi?”

Dilihatnya tatapan sendu sang Ibu ketika pertanyaan itu dilontarkan sontak membuat hatinya tertegun. “Kamu bisa hidup sendirian disana, De? Tanpa Amih?”

Egi menghela nafasnya sejenak, lalu bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk. “Besok kamu berangkat, tapi kamu belom pamitan sama Amih.”

Haidar terkekeh, “ya ‘kan belom berangkat, masa tiba-tiba udah pamitan aja?”

“Bukan, bukan gitu. Maksud Amih tuh kita belum ngabisin banyak waktu bareng-bareng. Amih belom siap aja,” Wanita berusia kepala empat itu tersenyum miris.

“Terus kenapa Amih ngizinin ade daftar beasiswanya abang kalo gitu?” Ia tepuk-tepuk lututnya pertanda canggung.

“Karena Abang bilang ngga seharusnya rasa khawatir orangtua itu jadi penghalang atas rasa bahagia anaknya.”

“Amih langsung mikir, kalau nyatanya emang bener selama ini Amih jadi penghalang kamu untuk gapai kebahagiaan yang kamu cari... Ya berarti Amih yang salah dong, disini. Bukan kamu,”

“Amih selalu mikir, Amih tuh salah apa ya sampe anak-anak Amih pada pergi semua. Apa ada perkataan Amih yang pernah bikin mereka kecewa, atau ada perlakuan Amih yang sekaan membeda-bedakan kalian jadi kesannya kaya lebih condong sayang ke yang satu daripada yang lain, jadi ngga ada yang betah tinggal di rumah,”

“Emang. Amih ‘kan cuman sayang Aa.” Si Bungsu itu cemberut.

“Ya enggaklah. Yang ada juga Amih mah lebih sayang kamu daripada si Abang.” Ia mendekat ke arah anak bungsunya.

“Bohong banget dih.”

“Amih sebagai Ibu yang dari dulu rawat kamu, jaga kamu, bahkan saat masih diperut... Amih yang otomatis paling tau kamu, ngerasa kecewa berat waktu kamu bilang mau beasiswa ke luar. Kaya kok si Ade egois banget ya... Apa ngga mau jagain Amih dan nganter ke dokter kalau sakit, atau anter Amih jalan-jalan?”

Ibu dua anak itu menunduk sejenak, “Amih berharapnya anak-anak Amih tuh disini aja, pada di Bandung ngurusin Amih, ya kaya dulu aja kalian kecil. Ngga akan ada yang pisah.“

“Tapi kata Abangmu, kalo si Ade sampe berani kaya gini, ngejar beasiswa di luar ... Pasti ‘kan emang ada yang lagi kamu kejar. Mungkin dia pengen dapet kerjaan yang pantas dan layak hingga akhirnya bisa nabung—walaupun entah buat apa—mungkin nikah, atau buat istrinya, buat anak-anaknya nanti.”

Nikah, keluarga, anak...

“Semua yang dibilang Abangmu itu bener. Bukan kewajiban kalian untuk nemenin Amih sampe tua, toh ada Papa yang jelas-jelas suami Amih. Ya bisa apa coba Amih kalau udah gitu? Mau ngelarang lagi pake alesan apapun juga udah ngga rasional di otak,”

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak, kembali disadarkan pada kenyataan bahwa kedua putranya ternyata benar-benar sudah dewasa. Bukan lagi bocah ingusan yang minta disuapi tiap kali ingin makan. Bukan lagi bocah cengeng yang suka meraung kencang hingga membuatnya pening ketika tidak dapatkan mainan yang diinginkan. Kini bukan lagi kehendaknya untuk menentukan jalur hidup putranya. Haidar punya kendali penuh atas apapun pilihan hidup yang dipilihnya sekarang.

“Amih cuman takut kamu nyesel di akhir. Terus berujung kamu ngerasa kesepian. Kebayang kamu disana serba sendiri, apa ngga takut?” Egi menoleh pada Haidar yang tengah menggaruk-garuk sprei kasurnya.

Batin Haidar menggeleng kala pertanyaan itu terlontar dari mulut Ibunya. Ia tertawa miris, lalu hatinya berbisik, “Kenapa harus takut kalau selama ini aja Ade bisa nyembunyiin semuanya sendirian? Haidar udah terbiasa sendiri, Mih. Dari dulu. Bahkan sampe Haidar ngerasain kupu-kupu pertama kali pun Haidar simpen sendiri semuanya. Ade suka sama laki-laki, Ade telen sendiri kenyataan itu. Ade tau kalau seksualitas ade berbeda, juga disimpen sendirian. Bahkan ketika Marko nyatain perasaannya pun Ade ngga bagi sama siapapun. Ade pacaran enam tahun, sembunyi mati-matian karena takut ketauan sama Amih, Papa, Abang DAN kalau sampe kalian tau... kalian pasti kecewa. Ade lewatin itu sendirian. Apalagi yang harus ade takutin, Mih, kalau itu semua udah Ade rasain?

Ia menghela nafas. Batinnya kembali berkata, “Ngga ada yang lebih ade takutin sekarang selain kehilangan Marko, Mih.

“Hmm? Kamu ngomong apa?” Sahut Egi saat lelaki itu tengah bergumam.

Ia gigit bibir bawahnya pertanda panik. Hampir saja ia benar-benar mengatakan kalimatnya barusan.

Haidar menoleh ke arah Sang Ibu, lalu memeluknya erat sambil berkata, “Engga, Amih. Ade ngga takut. Jangan khawatir, Ade bisa kok hidup sendirian.”

“Amih lupa ya kalau Ade itu pernah jadi Ketua Himpunan?”

Ade ditempa sedemikian rupa supaya berani ambil resiko, Mih. Setiap jalan yang Ade pilih pada akhirnya akan menuntut Ade pada sebuah pertanggung jawaban. Dan apapun itu, Ade siap.” Haidar tersenyum kecut.

Enggak, Ade nggak siap, Mih.

Tenggorokan Egi tercekat kala ia mendengar jawaban itu. Kedua netranya dengan cepat terasa panas, tatkala merasakan tepukan hangat dipundaknya. Sebisa mungkin ia mencoba untuk menahan isakannya, lalu beralih membalas tepukan itu di kepala anak bungsunya yang mirip bola-bola coklat kesukaannya.

“De,” Suaranya bergetar.

“Jangan nangis, Amih.”

“Itu pacar kamu gimana kabarnya? Dia nggapapa ditinggalin kamu?”

Kini giliran lidah lelaki itu yang kelu. Bingung harus menjawab apa.

“Berapa tahun sih kalian sekarang? Lima?”

“Enam.”

“Tinggal nikah itu. Apa ngga mau dihalalin dulu?”

Haidar terkekeh, lalu kembali mengeratkan pelukannya seperti beruang. “Nikah kan perlu uang, Mih. Perlu banyak persiapan, ngga bisa semalem jadi. Ade aja sekarang baru mau lanjut kuliah, belom punya kerjaan. Ngga punya duit saya, Bos. Emang Amih mau biayain?”

“Ya mau lah! Gini-gini juga kamu masih tanggung jawab Amih sama Papa,”

“Nanti aja, nanti. Ya?”

“Keburu lari cewemu ntar. Gara-gara kelamaan nunggu kamu pulang,” Wanita itu melepaskan pelukan hangatnya, lalu terkekeh.

“Udah ah mau tidur,” Ia pun bangkit lalu kembali membawa bantal serta gulingnya.

“Lah ngga jadi tidur disini?”

“Nggak. Amih merelakan malam terakhir kamu disini buat quality time sama pacarmu. Tadi mau nelfon dia, 'kan?” Lelaki itu melotot, kala Ibunya itu menunjuk handphonenya yang berada di nakas.

Salam dari calon mertua, buat calon mantu.

Ceklek.

Egi Lutfia mungkin keliru tentang satu hal mengenai dirinya yang merasa paling tahu anaknya, karena sejatinya yang paling mengerti Haidar ialah dirinya sendiri.

Karena Haidar tahu bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan pernah merasa sendirian selama tinggal di tanah Amsterdam. Karena ia tahu, Marko tidak akan membiarkannya hidup kesepian.

Ia percaya, Marko akan datang untuk menyusulnya. Ia pasti pulang, 'kan?

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah delapan malam.

kusut. —haidar dan marko.

cw // rokok , cigarettes , suicidal thought.

“Assalamualaikum,” Haidar mengetuk pintu ruang jurusannya.

“Waalaikumsalam-eh, siapa ini?” Sahut Ibu Yuli riang. Beliau adalah sekretaris jurusan manajemen bisnis sekaligus sosok yang cukup dekat dengan Haidar.

“Hehe buyul apa kabar?” Sapanya sambil mencari posisi yang nyaman kala ia duduk di sofa yang ada disana.

“Alhamdullilah, kamu gimana? Kesini mau ngambill sesuatu, ya?” Ibu Yuli melirik jahil seperti tengah mengusilinya. Haidar dengan wajah tengilnya menjawab, “aduh, maaf ya Bu. Saya duluan,” Ia membawa beberapa persyaratan administrasi yang diperlukan untuk mengambil toga.

“Sebel ah, sombong kieu.” Cibirnya. Haidar terkekeh, “Naon ih ai Ibu, sombong apanya, memang nyatanya gitu, saya wisuda duluan dari yang lain.”

“Meni semangat banget ngambil toga, baru kamu loh yang ngambil di gelombang pertama. Yang lain mah belom pada kesini,”

“Masih pada betah kali Bu disini,”

“Lah emang kamu udah ngga betah?” Mendengar itu Haidar terdiam sejenak. “Hehe, ya ngga atuh. Betah pisan malah. Tapi ada yang harus dikejar, Bu,”

Mendengar itu Bu Yuli hanya ngangguk-ngangguk, “iya sok, apapun itu yang lagi kamu kejar Ibu doain semoga bisa cepet sampe ya, Haidar. Larinya hati-hati, awas ntar kesandung,” Selanjutnya ia menyerahkan bungkus plastik berisikan toga yang sudah ia siapkan sebelumnya.

“Ukuran badan kamu teh L, 'kan? Sok dicoba dulu,”

“Ih, Ibu, kegedean!”

“Belom ge dicoba. Sok cobain,”

“Masa disini gantinya? Di depan Ibu?”

Sebuah pukulan ringan jatuh di lengan kanan Haidar, “angger si banyak bercanda, ya di wc atuh sana!”

Haidar terkekeh, “nanti aja ketang Bu, saya buru-buru ada acara.”

“Si paling sibuk dari jaman maba. Yaudah sana, sekali lagi selamat dan sukses, ya, Haidar.” Ibu Yuli tersenyum, lalu memberikan pelukan hangat sejenak kepada mahasiswa yang paling dekat dengannya itu.


Sudah pukul dua siang namun presensi Marko masih tak bisa Haidar rasakan di rooftop itu. Tadi pagi, keduanya sudah berjanji untuk bertemu di FEB-fakultas Haidar-pukul 12 siang. Marko bilang ia akan berangkat setelah shalat dzuhur, tapi hingga saat ini lelaki itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

Itulah mengapa akhirnya ia memilih untuk mengambil toga sendirian. Seperti memang semesta tidak ingin membuatnya kesulitan lebih jauh, hanya karena takut dicurigai sesuatu karena anak adam mengantar anak adam lainnya untuk mengambil toga. Tapi, memang apa yang salah dari itu?

Ia biarkan toga yang diambilnya tadi tergeletak sembarangan, tertiup angin sana-sini. Haidar menopang dagunya diatas pagar pembatas itu, lalu membiarkan semilir angin membawa seluruh laranya tanpa arah. Disamping kirinya, ada satu kotak rokok yang begitu familiar di memorinya. Berry Pop versi mini seharga enam belas ribu rupiah baru saja dibelinya tadi saat tak sengaja melewati salah satu toko swalayan yang ada di sebrang kampusnya.

Setelah selesai dengan sesi melamunnya, ia segera membuka plastik bungkus rokok tersebut dan mengeluarkan satu batang dengan cepat. Tanpa menunggu lagi, ia segera membakar nikotin itu.

Haidar dan segala kebiasaannya yang segera lari kepada rokok saat segala sesuatu tengah tidak baik-baik saja, bisa dengan mudah Marko tangkap sesaat setelah ia sampai di tempat itu.

Marko sebenarnya enggan mengganggu kegiatan membakar uang kekasihnya itu, tapi ketika Haidar tengah membakar rokoknya yang keempat, lelaki itu segera maju mendekatinya.

“Lah udah diambil ternyata toganya?” Marko sedikit terkejut saat melihat kehadiran toga yang tengah tergeletak itu. “Katanya minta temenin, gimana sih,” lanjutnya, sambil mengambil kotak rokok yang ada dihadapannya.

Belum sampai ia mengeluarkan rokoknya, dengan cepat Haidar rebut kembali rokok miliknya. “Sejak kapan lu sering nyolong rokok gue gini?” Sinisnya.

Marko mendecih, “sejak kapan lu jadi rajin ngerokok gini?”

Keduanya diam, enggan menjawab pertanyaan yang saling mereka lontarkan. “Nggak sopan banget.” Sinisnya lagi, lalu menyimpan rokok berharganya di kantung celana.

“Pelit anjing berry pop doang,” tidak mau kalah, akhirnya lelaki kelahiran agustus itu keluarkan kotak rokok mahal kebanggannya; marlboro.

“Mau ngomong apa?” Sahutnya ditengah kegiatan mengapit rokok dengan bibirnya. Setelah racun itu terbakar, Haidar matikan rokok miliknya yang sisa setengah.

“Gajadi. Udah keburu males,”

“Brengsek.”

“Harusnya gue ngga sih yang bilang gitu?”

“Lo tau 'kan gue paling ngga suka kalo ada orang mau ngomong tapi ngga jadi?”

“Lo juga tau 'kan kalo gue paling ngga suka sama orang yang ngaret?”

Keduanya kembali bungkam.

“Gue tadi-”

“Bi,”

Marko kembali menggulung bibirnya.

“Kalo gue loncat dari sini, bakal langsung mati gak, ya?” Haidar menengok area parkiran kampusnya itu sejenak.

“Ngga tau, belum pernah nyoba.” Ketusnya. Oh ayolah, siapapun yang berfikir dengan rasional akan langsung mengerti tanpa perlu ditanya seperti itu. Sudah jelas jika seseorang melompat dari lantai 15, ia akan langsung mati.

“Waktu gue kecelakaan di fly over kemarin, jujur...” ia menghela nafasnya sejenak.

“Jujur gue udah berharap mati aja waktu itu,” ia tersenyum miris, “tapi disaat lagi pasrah-pasrahnya gue sama hidup, disaat nyawa gue lagi diujung tanduk, disaat tinggal satu detik lagi nyawa gue dicabut...” lelaki itu menoleh, “gue keinget eskosu titipan lo.”

“Gue keinget eskosu titipan lo malem itu yang isinya udah bocor. Gue langsung sadar kalo gue harus gantiin tu kopi, kalo engga lo pasti ngambek,” mendengar itu Marko hanya bisa memijat pelipisnya lalu geleng-geleng.

“Gue masih inget alasan gue buat hidup, Bi. Cuma lo alesan gue tetep hidup sampe hari ini,” Haidar kembali hembuskan nafas beratnya.

“Malem itu gue mikir... kayanya kalo gue mati, semua masalah bisa ikut sama gue. Ngga ada lagi yang perlu ditakutin,” ia remas buku-buku jari kecilnya sebentar, “tapi nyatanya gue ngga seberani itu untuk ketemu malaikat izrail. Gue masih lebih takut ngga bisa ketemu lagi sama lo dari pada beliau,”

Tak bisa lagi menahan kekesalan yang dirasakannya, Marko akhirnya menendang betis Haidar. “Beliau beliau pala lo anjing.” Kasarnya.

Haidar terkekeh puas, tapi tidak dengan Marko.

“Lo inget ngga pas di rumah sakit gue bilang kalau kecelakaan udah jadi bagian dari takdir gue?” Haidar kembali menoleh kearah kekasihnya. “Setelah gue pikir lagi, ternyata mati juga bukan bagian dari takdir gue malem itu. Artinya, emang masih ada hal yang harus gue perjuangin ngga sih, bi, makanya gue masih dikasih kesempatan buat hidup? Ya selain gantiin eskosu lo,” ia terkekeh lagi.

Disaat lelaki itu tengah membersihakan celananya, netranya tak sengaja melihat sebuah paper bag salah satu toko baju terkenal yang biasa teman-teman hawanya bawa kesana-kemari.

“Abis dari PVJ lu tadi? Bawa apaan tuh?” Sahut Haidar sedikit geer. Ia sedikit percaya diri isinya adalah hadiah kelulusan yang pacarnya beli untuk dirinya.

“Kenapa lagi kali ini, Dar?” Potong lelaki itu to the point. Belum satu menit senyum manis Haidar mengembang, ia langsung menurunkan lengkung bibirnya.

Marko yang sedari tadi diam sebenarnya sudah menangkap aura kurang mengenakan karena Haidar mengoceh tentang hal yang tidak masuk akal.

Haidar segera mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, lalu memberikan secarik kertas kusut padanya. “Nih,”

Dengan berat hati, ia pun mengambil kertas itu dan segera memperhatikan apa yang tengah bocah itu ingin perlihatkan.

“Gue dapet beasiswa dari perusahaannya abang, Bi.”


Tak terasa sudah tiga bulan berlalu semenjak skripsinya selesai. Jika ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan laki-laki kelahiran enam juni itu saat ini adalah pengangguran. Karena nyatanya memang benar, anak itu benar-benar sedang menganggur. Tidak ada alasan khusus yang mendasari anak adam itu memilih untuk membuang waktunya sia-sia daripada menjelajah kanal Linkedin. “Belom dapet gelar, ah, santai.” Katanya. Gelar cumlaude yang ia dapat kemarin-dan akan selalu diembannya-tidak membuat Haidar terlalu bersemangat untuk menyelami dunia kerja.

Tak terasa juga sudah satu bulan berlalu sejak sang kakak—Hendri—kembali menghangatkan suasana rumah mereka yang biasanya hanya dipenuhi oleh suara denting garpu dan sendok beradu di jam makan malam. Kehadiran kakaknya sekali lagi berhasil membuat suasana rumah mereka benar-benar disebut “rumah”.

Tok tok tok

“Ade,” Suara itu samar terdengar di telinga Haidar yang tengah nyaman rebahan.

“Apaaaaa,” Malasnya.

“Abang katanya mau ngomong, ayo keluar,” Sahut Amih lembut, membuat lelaki itu mengerutkan dahinya. Tanpa memikirkan topik apa yang kiranya akan sang kakak angkat, akhirnya ia bangkit dari sesi me time-nya lalu bergegas menuju ruang tamu dimana sang ayah dan kakaknya tengah duduk bersama secangkir teh hangat dan juga kudapan lainnya.

Kunaon euy,” Sahutnya sambil menyenggol bahu sempit kakaknya.

“Amih, sini.” Panggil Hendri pada ibundanya. Melihat itu telapak tangan Haidar dengan cepat dipenuhi keringat. Suhu ruangan itu mendadak dingin.

“Apaan sih anjir, a? Sok serius gini,” Walau dari gaya bicaranya terdengar biasa saja, tetapi jantung anak bungsu itu berdegup dengan begitu kencang.

“Mih, Pa, minggu depan Hendri udah harus balik ke Kalimantan.” Sahutnya begitu sang Ibu kembali dari dapur sembari membawakan secangkir teh hangat untuk anak bungsunya.

“Yes, baguslah. Jadi sepi lagi rumah,” Celetuk Haidar sambil mengambil kue bolu pisang kesukaannya.

“Gimana S2 kamu? Jadi, ngga?” Mendengar ucapan kakaknya barusan membuat Haidar yang tengah nikmat mengunyah bolu pisang tersebut mendadak tercekat hingga tersedak.

“Ade, ih! Pelan-pelan aja kenapa, sih? Ada banyak tuh, banyak, ngga akan ada yang makan bolunya buat kamu semua,” Egi segera menepuk punggung putranya itu.

Hendri sodorkan sebuah amplop berwarna coklat ke hadapan adiknya, “sok, dibaca dulu.”

Setelah melirik ke arah Ayah dan Ibunya, akhirnya ia membuka amplop tersebut. “Perusahaan aa punya program beasiswa ke luar, berangkat bulan depan tapi harus wawancara dulu langsung di Kalimantan. Kamu mau coba?”

Demi semesta dan seluruh isinya, apa maksudnya-

“Papa sama Amih udah ngga keberatan karena kamu dibawah pengawasan aa langsung,” Hendri mendaratkan kepalanya di kepala sofa, lalu memijatnya sebentar. “They said as long as it makes you happy, then go for it.


“Gue udah ke Kalimantan kemarin, dan gue lolos. Gue berangkat dua hari lagi,” ia menautkan kedua tangannya di pagar pembatas itu lagi, lalu menundukkan kepalanya lelah.

“Visa, pasport, tiket, baju, semua perlengakapan gue buat S2 udah siap. Gue beneran tinggal berangkat,” Marko masih tak bergeming, ia tatap lekat-lekat formulir pendaftaran beasiswa yang penuh dengan coretan kekasihnya itu.

“Gue terima aja tanpa mikirin hal yang lain. Iseng berangkat ke Kalimantan sekalian ketemu ponakan-ponakan gue yang gemesnya naudzubillah,”

“Dan juga karena gue tau, kalau gue tolak kesempatan ini, entah kapan lagi gue bisa berangkat ke Amsterdam.”

“Tapi kayanya gue ngga akan berangkat-”

“Kenapa?” Potongnya.

“Serius lo masih nanya kenapa?”

“Iyalah. Gue ngga paham poin lo kali ini nolak karena apa. Kalo misalnya lo nolak karena kehalang sama gue yang masa depannya ini masih belom jelas, then it's a loss for you.” Marko lipat rapi kertas yang sudah kusut tak beraturan itu, lalu menyimpannya.

“Gue ngga mau ninggalin Bandung.” Bisiknya disela helaan nafasnya.

“Dar,”

“GUE NGGA MAU NINGGALIN RUMAH GUE, MARKO!”

Beratnya beban yang ia tanggung selama ini akhirnya tumpah ruah lewat airmatanya. Dan lagi-lagi, ia kembali meluapkan semuanya dihadapan Abian Marko Pratama.

Haidar memukul pagar pembatas itu hingga bunyi dentingnya terdengar. Ia lalu menjambak rambutnya kasar, “Bi, gue ngga mau ninggalin Bandung... Gue ngga mau ninggalin rumah gue...”

“Tapi Bandung bukan rumah kita,” Marko peluk raga itu, bermaksud untuk menenangkannya. Haidar kembali terisak kencang saat hangatnya tubuh Marko berhasil menenangkan kalut dalam dadanya.

“Hey, sayang... Look at me,” Lelaki kelahiran agustus itu tangkup wajah kekasihnya, “haidar, sayang...”

Kedua netra mereka bertemu. Marko tersenyum, “Pergi, ya?”

Haidar menggeleng, “Ngga mau, Marko. Ngga mau kalo engga sama lo,” lelaki itu kembali terisak.

“Yang punya kesempatan sekarang cuman lo, Haidar. Lo bisa pergi dari sini,”

“Gue bilang pergi bareng, atau ngga sama sekali, Bi. Gue ngga mau pergi sendirian! Gue ngga mau misah kaya gini!” Teriaknya, yang sekali lagin berhasil membuat hati Marko ngilu.

“TAPI KESEMPATANNYA CUMA ADA BUAT LO, DAR! BUKAN BUAT GUE!”

Haidar lepas tangkupan wajah itu, lalu berdiri memunggungi Marko yang juga tengah kalut. “Lo bisa nunggu gue disana-”

“Sampe kapan, hah? Sampe kapan lagi gue harus nunggu? Jawab gue!”

Marko kembali mengacak-acak rambutnya frustasi, “jadi lo milih nyerah, Dar? Lo nyerah buat kita berdua?”

Haidar kembali menggeleng, ia segera berjalan mendekat ke arah kekasihnya itu lalu mencengkram kedua tangannya yang dingin. “Ini bukan soal menyerah, Marko. Tapi ini perihal mengakui sama satu dunia kalo kita emang kalah.

“Demi Allah, Marko, gue ngga mau ninggalin tempat gue bisa kenal sama lo. Gue ngga mau ninggalin tempat yang punya banyak rahasia yang cuman kita berdua tau. Demi Allah, Marko, gue ngga mau. Gue ngga mau ninggalin angkringan ITB yang pernah jadi saksi takutnya gue kalo dipeluk sama lo, gue ngga mau ninggalin ruang tamu rumah gue yang sering jadi saksi ciuman kita, gue ngga mau ninggalin sekolah dan kampus, gue ngga mau...”

“Bandung memang istimewa karena disini gue bisa ketemu lo, tapi ini bukan rumah kita, Haidar. Bandung cuman tempat landasan pacu kita untuk terbang lebih jauh. Ke tempat yang seharusnya. Bandung beruntung punya lo-punya kita, Dar. Tapi disini bukan rumah kita. Cepat atau lambat kita harus pergi dari sini, sayang...”

Haidar menghela nafas kesalnya, “kalo taunya nanti lo malah nikah sama cewe gimana? Lo tega ninggalin gue jadi kakek-kakek tua bangka disana sendirian?” Ia tatap netra Marko yang tak sedikit pun meneteskan air mata.

“Cewe siapa, sih, sayang? Hmm? Siapa> Coba bilang,” Suara lembutnya barusan berhasil membuat lelaki itu kembali menangis. Marko dengan telaten menghapus jejak air mata berharga itu.

“Haidar, maaf ya?”

“Maaf untuk?”

“Maaf kalo selama ini gue cuman bisa bikin lo nangis,” ia kembali mengelus pipi penuh air mata itu. “Maaf kalo selama ini gue ngabisin waktu lo,”

“Marko...”

“Maaf karena gue sayang sama lo.”

Tak sanggup lagi mendengar kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan lelaki itu, akhirnya Haidar bawa Marko pada pelukannya.

“Marko, stop. Gue yang harusnya minta maaf... Maaf karena gue ngga bisa jadi kaya orang lain,”

“Haidar...”

“Maafin gue yang egois karena pengen milikin lo seutuhnya, selamanya,”

“Stop.”

“Maafin karena gue Haidar, Bi,”

Marko berjanji tidak akan menangis hari ini, tapi sepertinya ia kembali melanggar janjinya. Ia tidak pernah mengira bahwa menyukai sesama jenis akan jadi setabu ini. Lagipula, apa yang salah dari mencintai sesama? Toh perasaan mereka murni adanya.

“Maafin lo harus ketemu cowo kaya gue ya, Dar.”

“Stop minta maaf, Bi-”

“Tapi maaf, gue ngga bisa gitu aja lepasin lo, lepasin enam tahun kita,”

”...karena gue sayang sama lo. Dan gue akan perjuangin lo, seberat apapun lawannya sekalipun itu dunia.”

Haidar tersenyum lalu mengangguk. “Gue juga sayang banget sama lo, Abian.”

Marko rapikan rambut-rambut kekasihnya itu, lalu berbisik, “mau foto, ngga?”

“Foto apaan anjing lo liat muka gue lah, jangan tolol.” Haidar mengeratkan pelukannya dipinggang ramping Marko.

“Foto pake toga, lo 'kan dua hari lagi berangkat.”

Marko lepaskan pelukan hangat mereka, lalu beralih pada tas belanja yang ia bawa.

“Lah? Itu isinya...”

Belum sempat Haidar selesaikan kalimatnya, dengan cepat Marko keluarkan sebuah toga dari sana. “Tadi gue lama karena ke rumah gina dulu, tadinya mau minjem toga. Tapi pas nyampe sana gue dikatain tolol, karena toga mah sifatnya dipinjemin, bukan dikasih satu per satu,” lelaki itu garuk tengkuknya yang tak gatal pertanda malu.

“Jadi gue buru-buru kesini deh, minta tolong orang dalem alias Bapak Jefri yang terhormat untuk minjem toga dari fakultas bentaran, demi foto sama yang mau wisuda besok,” ia terkekeh bak anak kecil sambil memakai toganya.

“Tau dari mana gue besok wisuda?” Goda Haidar sambil matanya kembali panas karena air mata yang memaksa untuk keluar.

“Ya kata Papa, lah. Bodoh,” ia segera memakai topi toganya, lalu berputar layaknya model.

“Demi apapun ya sumpah, abian marko pratama.”

“Apa anjir?”

Effort lo, anjing banget. Gue mana bisa nyari yang lain kalo kaya gini?”

“Ya jangan nyari yang lain lah? Buru pake toga lo, langitnya mumpung cakep.”

“Iya cakep, gue nya jelek banget tai.”

“Lo emang dan selalu jelek.”

“NGOMONG SEKALI LAGI ATAU GUE NGGA JADI BERANGKAT KE AMSTERDAM!!!!”

panjang umur, haidar marko. hidupnya, cintanya, dan bahagianya.

—leobabybear 🌹 ditulis hari minggu, pukul sebelas malam.

rooftop fight. —haidar dan marko.

satu pesan yang berhasil membangunkan haidar dari rasa kantuknya.

skripsi gue ngulang.

dengan segera lelaki kelahiran juni itu tutup laptopnya, ia ambil jaket kulit hitam kebanggaannya dan tak lupa kunci mobil ayahnya, lalu bergegas pergi menuju kampusnya.

banyak hal yang terlintas di kepalanya. mengingat sebenarnya beberapa hari yang lalu ia baru saja selesai melaksanakan seminar proposal, dan akhirnya mendapatkan kelayakan untuk melakukan penelitian. baru saja satu anak tangga berhasil ia lewati—bersama marko tentunya—tapi hari ini entah mengapa ia seperti didorong kembali—secara kasar—oleh semesta. ia seperti dituntut untuk kembali menguatkan bahunya, sambil kembali mendaki tangga kehidupan—tak peduli ia harus terluka hingga langkahnya terpogoh-pogoh—ia hanya diminta lebih kuat kali ini. karena akal sehatnya tau, saat ini yang lebih membutuhkan sandaran bukan dirinya, melainkan marko.

ia bukan tipe yang bisa jadi comfort zone bagi orang-orang yang tengah putus asa. jadi wajar jika saat ini ia bingung—walau sudah enam tahun bersama—tetap saja, ia merasa marko adalah comfort zone-nya. bukan sebaliknya.

“masa gue beliin rokok satu slop anjing yang ada bocahnya malah kesenengan gua bebasin ngerokok.” rutuknya saat ia tengah berada di lampu merah.

“ah gatau lah,” pasrahnya, saat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. ia kembali melanjutkan perjalanannya hingga akhirnya sampai di parkiran dekat fakultas bahasa dan sastra.

haidar pijit icon telepon, lalu segera menekan angka 1. ya, angka yang dibaliknya tersimpan nomor marko.

assalamualaikum,

“gue udah diparkiran ya bro,”

jawab dulu bisa kali?

“ish. waalaikumsalam,”

kok terpaksa gitu sih? ngga susah padahal tinggal jawab waalaikumsalam doang. pahalanya juga bukan buat gue, tapi buat lo.

dahi haidar mengkerut, “santai kali, marah-marahnya nanti aja jangan sekarang. kalo sekarang mah takut putus,” sompralnya.

tuhkan. jaga mulut, haidar,

“gimana mau dijaga kalo lu ngajak ciuman mulu,”

uhuk, uhuk!

terdengar suara batuk yang cukup kencang dari sebrang sana, membuat haidar tertawa hingga memukul-mukul pahanya.

“sempet-sempetnya minum si anjing,”

gue abis sholat, jangan mancing amarah gue.

“pantes sensi. yaudah buru sini,”

ya.

“assalamualaikum, ganteng.”

waalaikumsalam, sayang.

“BACOOOOOOOT,”

hahahahaha, wait for me ya,

tut.

haidar terkekeh, lalu segera mengalihkan perhatiannya pada kaca spion. dilihatnya kedua pipi yang bersemu merah, membuatnya geleng-geleng tak habis pikir.

“gila juga ya marko ngga ada abis-abisnya bikin gua jatuh cinta.”

tak butuh waktu lama akhirnya netra haidar menangkap figur yang tengah berjalan dengan tas jansport hitamnya, lengkap dengan topi dan kaca mata yang bertengger di hidungnya. sangat khas, sangat abian marko pratama.

marko akhirnya masuk ke kursi penumpang, melepas topi serta tasnya, lalu menoleh ke arah kanannya. ia tersenyum dibalik maskernya. walau tak tampak, haidar bisa dengan jelas rasakan aura kekecewaan marko sore itu.

“jalan dulu? atau cerita dulu?” tanya haidar berniat memecahkan keheningan diantara keduanya.

“kemana ya yang sepi,” marko menghela nafasnya, sudah cukup melelahkan baginya untuk lanjut memikirkan destinasi tempat untuk keduanya bebas tanpa dapatkan perhatian orang lain. ia memejamkan matanya.

haidar yang melihat itu hanya bisa menyampirkan senyum palsu, walau sebenarnya hatinya pilu. bukan salahnya—atau mungkin memang salahnya—melihat sikap marko barusan.

nentuin tempat doang, bi, dan lo se-putus asa itu? gumamnya dalam hati.

“kalau lo maunya disini gue ngga masalah.” bisiknya pelan, sangat pelan. “apa? ngga kedengeran,” sahut marko.

“gue pengen teriak.” lanjutnya. haidar menoleh, “gajelas banget sore-sore gini.”

marko mendecih, “ya terus gue harus apa disaat skripsi gue harus ngulang? seneng-seneng? yakali. stress,”

“ya iyalah harus seneng-seneng? abis itu kalo udah seger, badan dan otak lo udah ke refresh, ‘kan bisa mulai lagi dari awal. daripada teriak-teriak, sayang banget energi lo tersalurkan lewat angin doang. itu baru stress,” pembelaannya barusan membuat marko kembali memijat pelipisnya—ia pening, luar biasa pening.

oh ayolah, ia hanya ingin tenang. bukan adu argumen seperti ini.

“kenapa sama skripsi lo? masalahnya dimana?”

haidar nyalakan mesin mobilnya, lalu bergegas pergi meninggalkan parkiran itu. yang ditanya masih diam, enggan bersuara.

melihat itu haidar kembali bungkam, berinisiatif menyalakan radio sambil terus membawa mobilnya menuju satu-satunya rooftop yang hanya ia—dan marko—tahu di kampusnya.

hening. keduanya sibuk menikmati pemandangan kampus mereka dari atas sana. melihat sepinya tiap jalan itu, yang biasanya dipenuhi suara gelak tawa ataupun merdunya mahasiswa lain yang sibuk berkumpul di tiap gazebo fakultas masing-masing.

marko tengah asyik dengan batang rokoknya, sementara haidar sibuk dengan jemarinya.

“dar,” panggilnya.

“iya? gimana?” haidar geser dua langkah berniat mendekat pada lelaki itu. tak peduli dengan asapnya yang mungkin saja akan membuatnya kambuh, ia peluk erat bisep kanan marko.

marko terkekeh, “lo kenapa?”

haidar memutar bola matanya.

“perasaan, gue yang ngulang. kenapa lo yang seneng?”

ia tendang pelan bokong marko, “goblok. siapa juga yang seneng?!” teriaknya. ia langsung melotot ketika mendengar suaranya yang begitu lantang barusan.

“tuhkan. emang paling bener kalo lagi kaya gini tuh teriak-teriak,” katanya lagi, sambil kembali menghisap nikotin itu.

“gue harus ngulang, dar. gimana dong?” lirihnya terdengar begitu pahit di telinga haidar.

“ya ngga gimana-gimana. selesaiin aja sebisa lo, marko. gue ‘kan udah pernah bilang—”

“lo harus nunggu lagi. are you okay with that?

dengan cepat yang lebih muda gulung bibir kecilnya itu. bibir yang baru saja begitu lantang keluarkan suaranya, seketika tertutup rapat karena pertanyaan barusan.

“lo udah cape, ‘kan?”

no, i will never get tired of you—of us.

“kalo... lo ninggalin gue gimana?”

“siapa sih yang bilang gitu? siapa, bi? gue ngga akan pernah ninggalin lo.” tekannya.

i will not make it, haidar.”

“gausah banyak bacot, abian. kenapasih lo selalu aja takutin hal yang belum terjadi? ngga usah lah prediksi-prediksi kemungkinan yang belum jelas, yang penting lo usaha aja sekarang. kok lo jadi gini sih?” bukan hanya intonasinya barusan, tapi juga sarat mata indah haidar terlihat jelas bahwa ia tengah menunjukan perasaan kecewa.

“apa jangan-jangan lo emang udah ngga yakin, ya, bi? soal kita?” mendengar itu marko menunduk. ia lempar putung rokoknya yang masih menyala itu sembarang arah. ia berjongkok ditengah semilir angin dingin bumi pasundan itu.

“gue cape, haidar. gue cape. kenapa ngga ada yang berjalan sesuai keinginan gue, sih? mau segimana lagi dunia ini liat gue hancur? apa selama ini masih kurang?” ia kembali berdiri, lalu menghadap ke arah haidar yang tengah membeku.

“sebentar lagi, abian. sebentar lagi, ya? please, lo jangan kaya gini. lo pikir lo doang yang cape? gue juga sama, tapi gue ngga mau nyerah. kenapa? karena gue sayang sama lo,” ia genggam kedua tangan itu.

“kemarin ‘kan kita udah sama-sama janji, pergi bareng atau ngga sama sekali. lo ngga lupa, ‘kan?” lirihnya ditengah air mata marko yang entah sejak kapan sudah membasahi pipi kurusnya.

“jujur gue daritadi kewalahan, bi. bingung harus gimana nenangin lo yang lagi kacau kaya gini. gue takut ada omongan gue yang malah bikin lo emosi dan malah mancing sesuatu yang ngga seharusnya terjadi, malah terjadi,”

“ada lo disini aja udah cukup buat gue, ngga perlu ngapa-ngapain, haidar,” marko terkekeh ditengah sesi sesegukannya.

“marko,”

“hmm?”

“gue udah pernah bilang belom sih kalo lo tuh ganteng banget?” ujarnya, tiba-tiba.

“lo selalu ngatain gue jelek.”

“emang. tapi sore ini lo ganteng banget. pacar gue ganteng banget.” kalau marko boleh jujur, ucapan kekasihnya barusan terdengar ambigu. karena baginya ucapan itu berarti dua makna, pertama, entah ia benar-benar tampan, atau yang kedua, haidar tengah mengejeknya.

“lo ngatain gue ‘kan, ini?” marko tarik pinggang haidar mendekat, kini keduanya terpaut jarak sangat tipis, sehingga hanya deru nafas keduanya yang menjadi pemisah antara kulit masing-masing.

“mentang-mentang kaga ada orang ye, bebas bener narik-narik gue. lo cakep, bukan ganteng. ralat. pacar gue cakep banget.” bisiknya.

keduanya terkekeh, lalu sedetik kemudian marko rengkuh tubuh itu, membawanya pada pelukannya. haidar tentu saja tidak bisa menolak.

“bi,”

“hmm,”

“lo ditanyain amih, loh,”

marko melotot, “lah? ditanyain gimana?”

“papa sih awalnya. kemarin pas gue beli jas buat sidang, si papa nyuruh bawa lo kerumah.” ditengah sesi saling mentransfer energi itu, keduanya terkekeh geli.

“ya... gue mah ayo aja sih. lo nya berani ngga?” tantang marko sambil mengecup pucuk kepala kekasihnya.

“berani.”

“bener?”

“berani kabur.” lanjutnya. mendengar itu marko memukul pelan bokong haidar.

“mesum lu anjing ngga usah pegang-pegang pantat gue!” haidar cubit pinggang kurus itu, titik kelemahan marko.

“fitnah mulu si anjing. mana ada pegang-pegang, ini mah namanya mukul. kalo pegang kaya gini—”

belum sampai tangannya mencapai bokong itu, sang empu segera melepaskan pelukan mereka dan menendang betis marko. yang ditendang segera jatuh, namun sedetik kemudian ia kembali berdiri—berniat lari dari amarah haidar.

“SEJAK KAPAN ADAB LU KAYA BEGINI HAH?! SINI LU SIAPA YANG NGAJARIN PEGANG-PEGANG BEGITU DASAR SETAN!!!” keduanya berlarian mengelilingi rooftop itu, ditemani angin dan matahari terbenam yang begitu indah.

“DAAAAR!!!!”

“APA?!!!!!”

“JANGAN TINGGALIN GUE!!!!” teriak marko.

“JANGAN TINGGALIN GUE, YA?!!!!!”

marko terus berlari, dan terus meneriakan frasa itu. sementara haidar dibelakangnya, hanya terus meneteskan airmata.

“DAAAAARRRR!!!”

hiks– marko...”

“LO HARUS TAU, DUNIA GUE ITU CUMAN LO! MAU LO PERGI KEMANAPUN GUE BAKAL NYUSULIN LO, INGET ITU!!!”

satu hal yang haidar syukuri sore itu, adalah marko benar-benar menepati janjinya. janji dimana ia akan selalu pulang kepada dirinya—bahkan dihari terburuknya sekalipun. jika ditanya “sebenarnya apa sih, yang anak adam ini cari pada diri seorang abian marko pratama?” haidar akan dengan mudah menjawab, kesetiaan. dan marko berhasil berikan itu pada haidar secara cuma-cuma.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah sebelas malam.

monolog dini hari. —haidar dan marko.

cw // contain childhood trauma , mentioning blood , hospital

Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi saat marko kembali mengubah posisi tidurnya. Entah sudah yang keberapa kali lelaki itu sibuk dengan posisi tidurnya, ia tak kunjung menemukan posisi yang nyaman untuk menyelami dunia mimpi. Kedua bola matanya pun tampak tak menunjukan tanda-tanda lelah, sedari tadi kedua netranya itu masih sangat aktif menelusuri tiap petak sisi kamarnya—yang padahal tidak ada yang berubah sama sekali—entah mengapa ia terus melakukan hal itu.

Otaknya seakan memforsir dirinya untuk tetap terjaga. Sudah tiga hari ini marko tidak bisa tidur, tiap malam ia selalu terjaga bahkan hingga adzan subuh berkumandang. Ia kembali termenung, memikirkan apa yang salah dengan dirinya.

Semenjak kejadian kemarin, abian marko pratama tak kunjung temukan tenangnya. Setelah sesi “ceritanya” dengan sang ayah kemarin, bukan cahaya yang ia temukan—sebagai bentuk jawaban—tetapi lagi-lagi malah sebuah jalan buntu yang ia dapatkan. Ada dua hal yang paling marko benci di dunia ini. Seperti anak adam pada umumnya, pertama, ia benci ditinggalkan. Dan yang kedua, ia benci diberi penolakan. Marko yang kodratnya lahir ke bumi untuk menjadi seorang pria—yang tidak menerima kata tidak—tentu saja langsung menjadi payah saat ayahnya menolak permintaan “kepindahannya”. Jefri bilang, anak itu terlihat ragu.

Jefri bilang, putra kebanggaannya itu terlihat takut.

Sebenarnya tidak banyak yang ia bahas dengan ayahnya malam itu. Diawali dengan dirinya dan sang kepala keluarga yang membahas tentang pertandingan sepak bola euro malam itu yang tengah tayang di televisi. Mereka melakukan sebuah taruhan—untuk senang-senang—marko memilih Inggris, dan sang ayah memilih Italia. Yang timnya kalah, harus melakukan pekerjaan rumah seminggu penuh.

Dan, malam itu marko kalah. Italia menang lewat pertandingan final dengan penalty 3 – 2.

“Jadi?” Sang ayah buka suara saat dirinya menyajikan semangkuk indomie rasa kari ayam yang baru saja matang. Lengkap dengan telur rebus dan juga sayur. Melihat itu, marko tersenyum miris.

“Gimana kuliah? Aman?” Pertanyaan itu Jefri lempar pada sang putra yang tengah melamun. Menikmati kepulan asap yang keluar dari mie buatan ayahnya.

“Papa denger kamu ngga aktif organisasi, ya? Kamu ngga himpunan? Kenapa, Bang? Lumayan loh sertifikatnya, menuhin CV,” Sahut Jefri sambil menyesap teh hangatnya.

“Iyaa. Papa ‘kan tau dari dulu aku emang ngga suka gituan,” Lelaki itu menautkan kedua tangannya—gelisah. “Lagi juga pengalaman mah dari mana aja, ngga harus melulu ikutan himpunan.” Tambahnya.

“Lagi kangen mama, ya?” Mendegar itu lidah marko tercekat.

“Hehe, iyaa.”

Kalau boleh marko ceritakan sedikit tentang cinta pertamanya itu... Wanita itu, adalah wanita tercantik yang pernah marko temui. Tidak ada wanita lain yang bisa merebut degup jantungnya sebagaimana saat ia menatap netra serta senyuman sang ibunda. Senyum yang ingin ia jaga sampai bumi berhenti berputar itu sayangnya harus pergi lebih dulu saat usianya masih belia. Abian Marko Pratama harus rela mengikhlaskan kepergian sang ibunda saat usianya lima tahun. Nyawa sang ibunda tak tertolong saat sedang dilarikan menuju UGD Rumah Sakit Borromeus. Abian kecil yang saat itu masih belum mengerti hanya bisa diam didepan ruang UGD sendirian, menekuk kedua lututnya sambil menangis.

Satu jam lamanya ia menunggu, sampai akhirnya sosok sang ayah keluar dari sana. Abian kecil yang melihat itu bingung, karena saat mereka datang tadi sang ayah masuk bersama ibunya yang terkulai lemah di sebuah kasur bergerak. Tapi kenapa sekarang ia keluar sendirian? Kemana ibunya?

“Mama?”

Jefri muda tersenyum. Bahu yang biasanya terasa sangat kuat saat menggendongnya itu entah mengapa terasa berbeda saat si kecil merengkuh tubuh Papanya. Bahu itu...

“Mama sedang tidur. Jangan diganggu, ya?”

“Kenapa tidur disini? Kenapa tidak tidur dirumah, Pa?”

“Mama lebih tenang tidur disini.”

“Kalau dirumah memang tidak tenang?”

“Bukan, bukan begitu—bian,”

Lelaki kecil nan polos itu menatap netra sang ayah yang sudah banjir air mata.

“Mama sakit, ya, Pa? Mama sakit apa sampai harus tidur disini? Apa sakitnya parah?”

Jefri menggeleng, “Mama sudah tidak merasakan sakit lagi,”

“Terus kenapa Mama ngga ikut pulang?! Bian mau ketemu mama. Bian mau cerita soal—”

“Iya, boleh. Tapi sekarang mama sedang tidur. Bian ceritanya sambil sholat saja, ya?”

Dahinya mengkerut, “memang Mama bisa dengar?”

“Tentu bisa. Mama bisa dengar apapun yang kita bicarakan.”

“Bahkan sekarang pun mama bisa dengar?”

“Bisa.”

Anak itu terlihat berfikir sejenak, sampai akhirnya kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut kecil itu berhasil membuat Jefri kembali menangis.

Mama, abian suka haidar.

Marko tidak tahu, bahwa hari itu, ia telah kehilangan satu-satunya sosok penolong hidupnya.

Bugh!

“Heh, ngelamunin apa sih?” Omel sang ayah saat Marko tengah jatuh pada kenangan masa kecilnya. Ia meringis kesakitan, pukulan Papanya barusan sangat kuat sampai-sampai bahunya ngilu.

“Papa pensiun kapan?” Tidak ada angin, tidak ada hujan. Pertanyaan itu lolos secara tiba-tiba keluar dari mulutnya.

“Hmmm. Papa sekarang usia sudah 55 tahun, artinya—Ah masih lama, Bang. 10 tahun lagi,” Jefri terkekeh saat dirinya menyadari bahwa purnatugasnya masih panjang.

“Kok tumben, nanyain pensiunan. Ada apa?” Nada suara pria paruh baya namun masih tampan itu seketika berubah menjadi lebih serius. Marko yang sadar akan itu kembali menelan ludahnya kasar.

“Papa kalau aku tinggal sendirian disini, nggapapa?” Mendengar itu dahi Jefri mengkerut pertanda bingung. “Papa ‘kan punya kamu disini. Sampe kapanpun Papa ngga akan sendirian.” Tekannya di akhir kalimat membuat Marko kembali bungkam.

“Bian ada rencana ambil beasiswa ke luar. Papa keberatan, ngga?” Akhirnya inti permasalahan yang ingin ia angkat keluar juga. Bisa dibilang, “dalih” untuknya agar bisa pergi dari sini akhirnya terkuak juga.

“Oh ya? Kemana?” Mendengar itu marko kembali gugup.

“Eh-rencana sih ke Eropa, Pa,”

“Iya, kemana? Dimana? Eropa itu luas, apa nama kampusnya? Jurusan apa yang kamu ambil? Terus beasiswanya apa?” Saat pertanyaan itu dilontarkan oleh sang ayah, marko hanya bisa diam. Karena dirinya sendiri pun sebenarnya tidak tahu—ralat, belum tahu. Akalnya hanya terus berteriak—menekannya untuk berfikir keras—mencari cara bagaimana agar ia bisa segera membawa cinta dan bahagianya pergi dari sini. Persetan dengan melanjutkan kuliah, toh ia pun tidak benar-benar ingin mengambil S2. Yang ia inginkan hanyalah bisa menggenggam tangan haidar dengan segera tanpa perlu dapatkan atensi sekitar.

“Justru itu, belum tahu. ‘Kan baru rencana. Abang tanya dulu Papa, baiknya gimana,” Kali ini nada suaranya terdengar sedikit ragu. Jefri geleng-geleng.

“Ya kalau gitu persiapkan aja dulu, ngga usah repot-repot izin. Kalau masih rencana, belum tahu, kenapa rurusuhan? Tenang aja, Bang. Santai,” Jawaban itu membuatnya ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya dan segera menelfon Haidar, lalu berkata “Dar, kayanya semesta emang ngga restuin kita.

See? Kamu aja masih ragu sama diri kamu sendiri, gimana mau bisa ambil keputusan sebesar itu?” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di gendang telinga marko. Bahkan hingga hari ini.

“Disini ajalah, Bang, lanjutinnya. Sambil temenin Papa. Lagian disini juga banyak kok kampus yang ngga kalah bagus sama kampus luar,” Ia tersenyum sambil menatap anaknya yang terlihat sedang berfikir. Sedetik kemudian, marko mengangguk.

“Maaf, ya, Bang. Papa keberatan.” Finalnya. Jefri akhirnya bangkit dari duduknya, lalu pamit terlebih dahulu kepada putranya itu untuk tidur. Meninggalkan marko dan juga semangkuk mie yang sudah dingin.

Marko kembali pada kenyataan saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia lihat ada notifikasi pesan dari Haidar yang mengatakan bahwa barang-barang apa saja yang kiranya perlu disiapkan untuk acara Camping hari ini. Astaga, bahkan ia hampir lupa kalau hari ini ia punya rencana dengan kekasihnya. Setelah membalas pesan itu, Marko bergegas membuka aplikasi Spotify dan memutar lagu yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya.

Ia kembali larut dengan angannya, membayangkan saat-saat bahagia dimana Ibunya masih hidup. Marko memang tidak punya banyak kenangan bersama Ibunya, yang ia ingat adalah ia sering sekali memergoki sang Ibu mengeluarkan darah dari hidungnya. Saat abian kecil berlari menghampiri Ibunya dengan tatapan khawatir, dengan suara lembutnya sang Ibu selalu berkata “Mommy is okay, Little Boy. Abang punya cerita apa hari ini buat Mama?

Sebagai seorang anak kecil saat itu Abian tentu saja jadi lupa akan rasa khawatirnya. Maka ia memilih untuk naik ke pangkuan sang Ibu, dan kembali bercerita tentang cinta pertamanya. Haidar Indra Atmajaya.

Mam, i really wish you were here,” Ia coba tahan sesak yang menjalar di dadanya.

“Bian cape, Ma. Disini ngga ada yang bisa ngertiin abang. Disini ngga ada yang bisa paham perasaan abang karena cuman abang yang rasain. Abang udah ngga kuat harus kaya gini terus, abang pengen bahagia sama Haidar…” Lirihnya di sela-sela alunan lagu Tenang itu.

I want to sleep, Ma. Abang pengen tidur tapi ngga bisa. Tiap abang tidur, yang ada di bayangan abang itu cuman dua. Raut wajah kecewanya Papa dan sumber bahagianya Abang. Abang musti gimana, Ma?” Ia larut dalam monolognya sendiri. Dibalik dinginnya udara dini hari Dago malam itu, marko kembali mendeklarasikan pada semesta bahwa ia telah menyerah.

“Abang pengen istirahat aja kok kayanya susah, saking banyaknya yang abang pikirin. Abian sayang banget sama Haidar, Mama tau itu ‘kan?”

“Emang salah ya, Ma, kalau abang sayang sama Haidar?” Ia taruh kedua tangannya sebagai bantalan kepala.

“Abang juga pengen liat Haidar narik tangan abang tanpa takut dipandang aneh sama orang. Abang pengen ngerasain dipeluk sama dia kalau hari abang lagi ngga baik-baik aja. Abang pengen ngerasain itu,” Helaan nafas beratnya menjadi sebuah penanda bahwa lelaki itu tengah berada di ambang batasnya.

“Abang ngga takut, Ma. Tapi, Haidar?”

Abian, kamu itu takut. Kamu takut kalau semua angan kamu hancur. Kamu takut kalau suatu saat haidar hidup dengan orang lain. Kamu takut. Tapi kamu tidak mau mengakuinya.

—leobabybear. 🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah dua belas malam.

sunrise. —haidar dan marko

kabut tebal menjadi pemandangan pertama yang haidar lihat tatkala lelaki itu menginjakkan kakinya keluar dari tenda kemahnya. dilihatnya camping ground itu kosong, pertanda tidak ada pengunjung lain yang menetap disini selain dirinya dan juga marko. ia bangun lebih awal pagi ini, karena ia berniat untuk melihat matahari terbit. dilihatnya marko dari luar tenda itu masih nyaman tidur, membuat haidar mengurungkan niatnya untuk membangunkan lelaki itu agar mereka bisa melihat sunrise bersama-sama—sebenarnya mereka sudah sepakat semalam untuk melihat sunrise—namun setelah kejadian semalam, ia pikir, marko benar-benar butuh istirahat. maka dari itu, ia memutuskan untuk melihat matahari terbit sendirian.

haidar biarkan langkah kaki itu berjalan semaunya. ia menoleh ke sebelah kiri, dimana tempat penangkaran rusa berada. dilihatnya para rusa itu yang juga masih nyaman terlelap. sebelum pulang nanti, ia dan marko akan mampir dulu kesana. belum lengkap rasanya jika berkunjung ke ranca upas tanpa mengunjungi penangkaran rusanya.

lelaki kelahiran juni itu kembali mengeratkan tiga lapis jaket yang tengah dikenakannya kala semilir angin dingin menerpa tubuhnya. pagi ini dingin sekali, sebelumnya ia sudah melihat perkiraan cuaca ciwidey pagi ini, dan katanya cuaca pagi ini diperkirakan sekitar 13 derajat. melihatnya saja membuat ia bergidik ngeri. karena nyatanya memang benar. udara pagi ini benar-benar menusuk tulangnya. bahkan menurutnya mungkin udara pagi ini hampir 11 derajat?

setelah berjalan selama kurang lebih lima menit, akhirnya lelaki itu sampai di depan sebuah danau yang disekelilingnya penuh oleh hutan lebat. menurut aplikasi cuaca yang ada di ponselnya, matahari akan terbit sekitar pukul 06.02 pagi. dan sekarang masih pukul 05.42. masih sekitar dua puluh menit lagi sampai akhirnya matahari akan terbit, sehingga haidar memilih untuk duduk di depan danau itu sambil melamun.

seraya dengan kabut yang beranjak turun menjauhi gunung, haidar kembali larut dalam lamunannya mengenai kejadian semalam. ia coba ingat lagi wajah marko yang dini hari tadi penuh dengan air mata. ia masih tak menyangka, lelakinya itu ternyata serapuh itu. dari luar, marko selalu terlihat kuat. melihatnya menangis saja terbilang bisa dihitung jari. saking jarangnya dan saking cerianya anak itu sampai-sampai haidar tidak tahu bahwa ada begitu banyak luka yang ia pendam lama hingga akhirnya membusuk. ada begitu banyak resah dan gelisah yang ia tahan sendiri, hingga akhirnya anak itu meledak.

tak terasa lima belas menit telah berlalu. akhirnya, yang dinanti pun tiba. perlahan sang fajar mulai naik, seraya dengan gerakan tangan haidar yang juga ikut bergerak—bermaksud mengabadikan momen itu. selebihnya, ia nikmati sendiri. tak lupa dengan ucapan syukur yang ia ucapkan dalam hati kepada Tuhan, karena sampai detik ini ia masih diberikan kesempatan untuk menikmati ciptaan-Nya yang begitu indah.

saat haidar tengah menarik nafasnya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang cukup berat jatuh di pundaknya. matanya melotot bersamaan dengan nafasnya yang juga ikut tercekat. astagfirullah, ini jurig ngga sih? tapi ini 'kan udah pagi... masa ada setan disini? yaAllah ini siapa plis yang nempel di pundak gue?! teriaknya dalam hati. lelaki itu enggan menengok ke arah kanannya, sampai akhirnya ada sebuah lengan besar yang melingkari perutnya.

good morning.” sapa marko dengan suara beratnya.

haidar dengan cepat menghela nafasnya lega, lalu segera menengok hingga netranya bisa menangkap figur marko yang tengah nyaman menjatuhkan wajahnya dipundak sempitnya itu, sambil memejamkan mata. tak lupa juga sambil tersenyum.

“ngagetin aja lo anjing. untung kaga jantungan,” sahutnya sambil kembali menatap matahari yang kian naik dari persembunyiannya.

“hm? tumben,” herannya.

“tumben apa?”

“tumben ngga marah gue peluk kaya gini,” seru marko sambil terus mengeratkan pelukannya pada haidar.

“gue pengen marah ini sebenernya, tapi dipeluk sama lo kaya gini bikin gue tenang banget. ya masa gue lepasin? kali ini, gue mau egois juga,” kekeh haidar sambil geleng-geleng atas jawabannya barusan. merasa heran.

marko diam. lelaki itu tidak menyahuti jawaban haidar.

“kok ga bangunin,” lemasnya. haidar terkekeh.

“heh, kebo,” ia goyangkan bahunya, berniat agar lelaki yang tengah tidur itu bisa terbangun.

“kalo ngantuk, tidur sono di tenda. ngapain tidur di bahu gue? berat,” cibirnya sambil kembali memfokuskan pandangannya pada danau didepannya.

“hmmm.”

“gemes banget, yaAllah.” bisik haidar pelan.

“makasih,”

“yeu bagian ini aja baru denger.” ia toyor kepala itu sampai akhirnya marko membuka matanya.

“udah kelar sunrise-nya, bangun. percuma lo kesini,” ketusnya saat lelaki itu tengah mengerjapkan matanya agar kesadarannya bisa kembali penuh. setelah meregangkan beberapa bagian tubuhnya, marko kembali melangkah maju menuju haidar yang masih berada diposisi yang sama. berdiri tegak, tak bergeming sedikitpun. dilihatnya orang yang paling ia sayang itu tengah menundukkan kepalanya, seperti tengah berdoa. marko peluk lagi kekasihnya itu, lalu bertanya.

“diem mulu, mikirin apa?”

“marko,”

“hmmm?”

“lo tau ngga kenapa gue pengen banget liat sunrise?”

“kenapa?”

“karena ngeliat matahari terbit itu, adalah sebuah anugerah. bisa ngeliat matahari terbit itu adalah sebuah kesempatan langka yang gak semua orang bisa dapetin. dan hari ini gue beruntung, karena bisa liat matahari terbit.” mendengar itu marko hanya ngangguk-ngangguk. merasa bodo amat dengan kalimat yang barusan haidar katakan, karena seperti biasa, ucapannya selalu terasa sulit untuk dicerna oleh otaknya—apalagi di pagi hari yang dingin ini.

“marko.”

“hmm?”

“padahal, hari ini lo dikasih kesempatan buat liat matahari terbit. tapi lo malah milih tidur di bahu gue.”

“hmm? terus emang kenapa kalau gue milih untuk ngga liat sunrise? lo marah?” lelaki itu mengerutkan dahinya pertanda bingung.

haidar terkekeh, “no, of course not.

“kesempatan itu dateng kaya matahari terbit, marko. kalau lo nunggu terlalu lama, lo pasti kelewatan.”

mendengar itu seketika tubuhnya membeku.

“kalau nanti kita dikasih kesempatan buat pergi dari sini, lo jangan milih untuk nunda, ya?” haidar berbalik menghadap ke arah marko yang tengah kaget luar biasa.

“kalau nanti, kita bener-bener punya kesempatan untuk memperjuangkan hak kita, jangan takut lagi, oke? nanti kita kelewatan, kaya lo yang hari ini ngelewatin matahari terbit.” senyum lelaki itu sambil mengelus pipinya yang tirus. bahkan senyum haidar pagi ini berhasil mengalahkan hangatnya matahari yang baru saja terbit.

“janji sama gue, untuk tetep kaya gini sampe kesempatan itu dateng. oke?”

bukan jawaban atau suara yang keluar dari mulut marko, melainkan setetes airmata dan juga anggukan penuh keyakinan dari hatinya.

haidar menghapus jejak airmata itu, lalu mengecup bibirnya.

“nanti lagi nangisnya. ayo, balik tenda.”

teruntuk semesta yang terhormat, masih tega anda memisahkan dua insan tulus seperti mereka?

—leobabybear. 🌹 ditulis hari minggu, pukul sebelas malam.

sudah tenang belum, hari ini? —haidar dan marko.

Terhitung sudah tiga minggu lamanya sejak terakhir kali marko menampakkan batang hidungnya di depan kediaman sang kekasih. Hari ini, sesuai ajakannya kemarin, ia dan haidar akan melakukan camping berkedok healing di Ranca Upas. Selain terkenal karena penangkaran rusanya, tempat itu juga terkenal akan alamnya yang asri dan sangat cocok untuk dijadikan tempat berkemah. Sudah lama sejak terakhir kali keduanya pergi camping bersama—well sebenarnya mereka terbiasa berkemah di kaki gunung—tapi karena keadaan yang kurang memungkinkan saat ini, akhirnya marko memilih untuk berkemah normal saja. Disebuah camping ground tengah hutan.

Saat marko tengah membawa mobilnya masuk menuju area rumah haidar, ponselnya berdering. Satu nama terpampang jelas disana, setelah tersenyum sebentar ia pun bergegas mengangkatnya.

“Gasabar banget sih anjing. Ini baru mau belok ke gang rumah lo, sabar—”

“Tunggu deket lapang aja, jangan kesini. Lagi banyak sodara,”

Dengan cepat lelaki itu injak pedal rem mobilnya. Untung saja dibelakangnya sedang tidak ada kendaraan lain. Mendengar itu marko hanya bisa tersenyum miris.

“Yaudah, gue mundur lagi.”

“Yang mundur motornya aja, jangan nyalinya.”

“Brengsek. Gue naik mobil,”

“Ohhh kirain naik motor,”

“Emang kalo naik mobil kenapa?”

“Kaga sosweet aja gitu, ngga bisa peluk-pelukan.”

“Halah kaya yang berani aja.” Sinis marko, membuat yang disebrang sana langsung diam.

“Yaudah buru, gue udah nyampe nih.”

Setelah menutup sambungan telepon itu, marko langsung memarkirkan mobilnya di pinggir lapangan besar tepat sebelum jalan masuk gang rumah haidar. Ia pun bergegas memakai maskernya, dan menunggu haidar diluar. Saat ia hendak membakar batang rokoknya netra marko menangkap figur haidar yang tengah berjalan menghampirinya. Lengkap dengan tas gunung—dibeli dari hasil menabung mereka semasa SMA—yang terlihat begitu penuh. Batinnya menertawai pemandangan itu. Padahal mereka hanya akan menginap satu malam, kenapa anak itu terlihat seperti sudah siap untuk pergi dari sini?

“Mas grab ya? Ranca Upas, 'kan?”

Marko mendecih, lalu dengan cepat lelaki itu tarik lengan kanan haidar dan mencium pipinya cepat—yang secara teknis tengah tertutup masker dua lapis—jadi artinya ia mencium masker kekasihnya, bukan pipinya.

“BANGSAT!” Refleks haidar berteriak dan dengan cepat ia dorong pipi itu.

“YANG BENER-BENER AJALAH ANJING KELAKUAN LO!” Marko terkekeh, rasa rindunya dengan cepat terobati. Belum juga semenit mereka bertemu, tapi telinganya sudah mau pecah rasanya.

“ANJING DASAR ANJING—”

“Sayang dasar sayang.”

“ANJING MARKO.”

“Iya sayang, iya.”

“LO KENAPA SIH IH RESE?!”

“Gue kangen, tolong dimengerti.”

Mendengar itu haidar yang tadinya ingin kembali mengomel mendadak berhenti.

“Stop ngomelnya, lo ngga kangen emang?”

“Ya—kangen mah kangen tapi maksud gue tuh tadi ngga usah pake nyosor segala lah 'kan tau ini dimana,” Ia tatap netra marko yang terlihat lelah itu.

“Iya, maaf.” Lelaki kelahiran agustus itu dengan segera menarik lembut tas haidar dan menggendongnya didepan badannya.

“Ish—ya lo ngga salah juga kalo kangen, wajar, tapi maksud gue tuh posisinya—”

“Iya, haidar. Ini gue lagi mikir sekarang gimana caranya kita bisa cepet-cepet pergi dari sini biar perkara nyium doang ngga bikin kita berantem.” Finalnya, membuat haidar yang tengah berdiri itu mematung.

Haidar tahu, marko sudah berada di fase peduli amat kata orang, yang penting gue bahagia, sejak lama. Haidar tahu, tahu betul. Dan memang, setiap ada keadaan seperti ini selalau dirinya yang telihat payah. Haidar memang belum seberani itu. Marko juga tau.

Mereka punya dilema masing-masing.

Saat marko hendak membuka pintu mobilnya, “Ayo naik buruan, nunggu apa?”

Dilihatnya haidar yang tak bergeming dari tempatnya itu membuat marko lagi-lagi menghela nafas beratnya. Dan entah sejak kapan pula mata itu sudah berkaca-kaca.

“Anjir, dar. Jangan dulu kuras emosi gue, ya? Gue masih harus nyetir jauh. Nanti aja nangisnya, oke? Bantu gue, ya?” Marko berjalan menghampiri lelaki yang masih diam itu. Dengan segala keberaniannya ia genggam hangat jemari itu, “Yuk?” Ia hadirkan sebuah senyum disana, juga sebuah anggukan dari hati paling dalam. Seolah berkata, “We can through this, right? Lo percaya sama gue, ‘kan?

“Sayang...”

Lelaki kelahiran juni itu dengan segera mengangkat kepalanya, bermaksud “memasukkan” kembali air matanya agar tidak tumpah. Haidar tersenyum, lalu ikut mengangguk.

“Bumi itu luas, 'kan, bi?”


Tak butuh waktu lama bagi abian marko pratama untuk mengendarai mobilnya dari Sarijadi menuju Ranca Upas. Hanya butuh waktu satu jam dan satu kali istirahat, akhirnya kedua insan itu sampai di tempat wisata kemah Ranca Upas yang terletak di daerah Ciwidey. Tempat yang terkenal dengan udaranya yang sangat dingin, membuat marko akhirnya memutuskan untuk menjadikan kegiatan bucin mereka kali ini untuk menikmati sejuknya suasana ranca upas.

Setelah membayar parkir dan tiket masuk untuk dua hari, marko langsung memarkirkan mobil mereka di area kemah tersebut. Disamping mobil mereka sudah ada tempat yang mereka pilih untuk membangun tenda. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, kedua insan tersebut langsung sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Marko dengan peralatan tendanya, Haidar dengan barang bawaannya.

“Ini kita ngapain dulu? Kok gue lupa ya urutan camping ngapain dulu,” Haidar terengah saat dirinya baru saja menggelarkan sebuah tikar.

Marko terkekeh, “Bangun rumah dulu lah. Mau tidur dimana kalau ngga ada rumah?”

“Ada mobil sih santai.”

“Oh mau dimobil aja nih kita?” Ia pelototi lelaki yang tengah menyeringai jahil itu. Dasar mesum. Bisiknya dalam hati.

“Lo mau kemping atau kabur sih? Isinya apa aja coba,” Omel lelaki kelahiran agustus itu saat memindahkan tas gunung haidar.

“Isinya dosa.”

Ia pelototi balik lelaki yang tengah memakai kacamata hitamnya.

“Canda dosa. Bawa jaket lima lapis, lo lupa pacar lo ini bengekan alias asma alias bahaya kalau kambuh bro.”

Sekarang keduanya tengah hening, fokus merakit tenda yang akan dijadikan tempat tidur mereka malam ini. Layaknya seorang campers sejati, keduanya hanya butuh waktu tiga puluh menit sampai akhirnya tenda mereka selesai. Haidar tersenyum bangga saat melihat hasil karyanya itu.

“Woy!” Teriaknya pada seseorang yang tengah sibuk mengelilingi campground itu.

“Laper ngga?” Marko yang tengah asyik memunguti kayu-kayu besar untuk dijadikan api unggun nanti malam itu menggeleng.

“Kok gue laper ya,” Ia bongkar tas carrier-nya itu sambil berniat mengeluarkan segala bahan makanan yang sudah ia siapkan sejak semalam.

“Masih siang kali, udah makan aja lu,” Protes marko saat lelaki itu kembali dari kegiatan mencari harta karunnya. “Mending bantu gue cari kayu, biar nanti malem lo enak tidurnya.” Ia taruh kayu-kayu itu disamping jejeran sepatunya dan sepatu haidar, “Untuk apa api unggun kalau diriku punya dadamu.”

Mendengar itu marko mendecih, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar tadi.

Sorry, tapi kita tidur tepisah. Silahkan peluk sleeping bag anda sendiri kalau kedinginan, oke?”

“Marko,”

“Hmmm?”

“Apa kita tinggal dihutan aja ya dari pada jauh-jauh migrasi ke Eropa?”

Untung marko sabar. Ia hanya geleng-geleng dan lekas berdiri dari duduknya.

Marko cium pucuk kepala itu sebentar, lalu berjalan keluar meninggalkan tendanya. “Heh mau kemana?!”

“Nyari angin bentar. Makan aja gih!” Teriaknya lantang seraya sosoknya makin menjauh dari pandangan haidar. Lelaki itu hanya mengangkat bahunya tak perduli, dan dengan segera menyiapkan alat masaknya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Area kemah mulai kedatangan banyak pengunjung, dari yang berpasang-pasangan hingga satu keluarga. Haidar dan Marko yang tengah duduk nyaman di depan tendanya sambil menyesap kopi itu hanyut dalam lamunan mereka masing-masing.

It’s nice,” Gumam Marko di tengah lamunannya.

Imagine having a house like this, suasananya countryside.” Haidar menanggapi.

Just you and me.

Yeah, just both of us.

Mereka tertawa remeh, merasa mimpi keduanya itu sangat mustahil untuk bisa tercapai.

“Kalau gue ngga inget ada norma yang harus dipatuhi disini rasanya pengen deh narik lo sekarang juga untuk tidur sambil liat pemandangan. Tapi karena banyak orang disini, auto jadi fitnah nggasih, bi?” Sahut haidar saat netranya tengah memperhatikan anak-anak yang asyik bermain bola itu.

“Gue sih ngga masalah.” Ia menoleh sambil mengeluarkan kotak rokoknya. “Gue inimah gue. Gue yang masalah,”

“Dar, pernah bayangin nggasih kalau suatu saat nanti lo punya anak, gue punya anak, bakal jelasin kaya gimana kalau ternyata ayahnya beda?”

“Emang kita bisa punya anak?” Sangkalnya.

“Kalau, ‘kan. Kalau misalnya lo nikah sama siapa gitu, gue sama siapa. Tapi hatinya masih punya orang lain, lo bakal jelasin gimana?”

“Gue ngga tau maksud dan tujuan perbincangan lo ini mengarah kemana—tapi yang jelas—no gue ngga mau nikah sama siapa-siapa kecuali sama lo.” Jelasnya. “I love kids, but I love you more.” Tambahnya, sambil kembali menegak kopinya yang sisa sedikit.

“Lo kenapasih? Ada masalah apa?” Sahut haidar saat ia menoleh ke arah marko.

“Nanya doang, elah. Kok baper,”

“Gue tau lo brengsek, tapi seinget gue lo ngga pernah sebrengsek ini. Baper? Mikir ngga lo nanya begitu ke gue?” Emosinya entah mengapa tiba-tiba memuncak.

“Oke, stop. Kita kesini buat healing, ngga berantem.” Sahutnya sambil berdiri, lalu dengan segera memakai sendalnya.

“Mau kemana lagi?”

“Liat rusa, yuk?”

“Besok aja, sekarang banyak orang.”

Marko kembali menghela nafasnya.

“Makan, sini. Lo belum makan apa-apa dari tadi,”

“Nanti aja, gue belum laper.” Akhirnya Marko memilih untuk kembali memutari area kemah itu sendirian. Bersama dengan sebatang rokok yang bertengger diantara mulut dan giginya.


Tak terasa malam pun tiba. Area camping ground malam ini terlihat sengang, hanya ada tenda milik kedua anak adam itu dan tenda lainnya di blok sebelah. Marko kini tengah sibuk dengan kegiatan bermain apinya, alias menyalakan api unggun. Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan sampai saat inipun usaha haidar untuk membujuk lelaki itu untuk makan masih gagal.

“Lo kesini tuh mau ngapain sih sebenernya? Mau bucin sama gue, apa mau me time sama diri lo sendiri?” Cibirnya saat marko masih nyaman berjongkok di depan api unggun.

“Gue balik ah,”

“Ish-iya, iya. Gue kesini karena kangen sama lo, kangen bucin. Jangan marah, atuh,” Sahutnya cepat saat haidar tiba-tiba mengemasi barang bawaannya. Lelaki yang tengah nyaman duduk di dalam tenda itu cemberut.

“Makan, abian. Lo jangan kaya gini,” Mohonnya dengan wajah khawatir itu. “Terlepas dari apa yang lagi lo hadapi, ada gue disini. Tenang. Lo ngga sendirian, marko. Terserah beban lo itu mau lo bagi ke gue, mau diceritain apa engga, tapi jangan kaya gini. Gue ngga suka,” Jelasnya panjang lebar.

“Iya, iya. Gue makan.” Ia segera membuka kemasan Pop Mie yang haidar bawa.

“Udah diem disini, gue masakin air panasnya dulu,” Suara lembut itu entah mengapa berhasil meruntuhkan pertahanan hati marko yang sedari tadi ia bangun tinggi-tinggi.

“Diluar dingin, ntar lo kambuh.”

“Tenang, ‘kan ada marko.” Haidar tersenyum dibalik hoodie tebalnya. Marko tidak bisa bertindak lebih lanjut kalau haidar sudah begitu.

Kegiatan makan pagi-siang-malam itu akhirnya selesai kala Marko menghabiskan suapan terakhirnya. Setelah mencuci bekasnya, ia kembali masuk ke tendanya.

“Ngantuk,” Sahut lelaki yang lebih tua itu. Haidar menoleh, menatapnya bingung.

“Gue belom tidur tiga hari, jangan marah—AW!”

Marko meringis saat sleeping bag itu berhasil mengenai lengan kanannya. “GUE BILANG ‘KAN JANGAN MARAH-“

“TIDUR SANA! DASAR ANAK SETAN SUSAH BANGET DIKASIH TAU-“

“HEH BANGKE JANGAN SOMPRAL LO LUPA KITA LAGI DIMANA?!”

“YA ELO SIH BIKIN GUE EMOSI MULU- UDAHLAH SANA BURU TIDUR!”

Haidar yang seharian ini begitu naik turun akhirnya memilih untuk keluar dari tenda meninggalkan marko sendirian yang masih mengusap lengannya.

“Dar! Mau kemana?!”

“Gakusah kepo! Lo juga dari tadi jalan-jalan mulu gue ngga kepo, ‘kan?!”

“Ya tapi ini udah gelap?????”

“TIDUR, ABIAN MARKO PRATAMA!” Teriaknya membuat marko akhirnya bungkam. Haidar segera kembali ke tenda—bukan untuk ikut tidur—melainkan menutup resleting tenda itu.

“Si anjing gue beneran ditinggalin,”


Hening. Hanya ada suara burung hantu yang menemani mereka tidur malam itu. Keduanya saling memunggungi—entah mengapa—padahal keduanya sama-sama kedinginan. Manusia mana pun tau seharusnya momen ini dimanfaatakan untuk saling modus alias cuddle. Mengingat cuaca dan hawa yang sangat mendukung. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku bagi mereka yang seharian ini banyak berdebat.

Haidar terbangun karena merasa tidak nyaman, ada sesuatu yang terus menerus bergerak di belakangnya. Yakali ada hewan masuk kesini, ngga mungkin ‘kan? Batinnya.

Setelah memberanikan diri akhirnya haidar mengendurkan resleting kantung tidurnya, lalu beralih melihat sosok marko yang ternyata tengah mengganti posisi tidurnya—ke kanan dan ke kiri—tak henti.

Is he having a bad dreams?

“Marko, marko,”

“Hmmm,”

“Lo kenapa? Gamau diem banget sih,”

Marko mengerjapkan matanya beberapa kali sampai akhirnya netranya bisa menangkap figur haidar yang tengah mengantuk.

“Eh lo kebangun ya? Sorry sorry,” Lelaki itu bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk. Ia segera menggaruk-garuk rambutnya—bukan gatal—tapi ia mencoba menenangkan pikirannya.

“Jam berapa, Dar?”

Haidar raih ponsel yang terletak disampingnya, “Jam 2,”

“Huft,”

“Hey,” Ujar yang lebih muda saat ia usap bahu kekasihnya itu.

“Mau denger gue cerita, ngga?” Lanjutnya saat ia tautkan kedua jemari mereka.

Sure. Go ahead,” Jawab Marko sambil mengeratkan genggaman itu.

“Dulu waktu semester tiga apa empat ya gue lupa. Gue sempet studi banding sama jurusan psikologi. Studi banding himpunan gitu, isi acaranya kaya brainstorming, FGD, terus ya saling cerita soal kegiatan masing-masing,”

“Mau tau hal yang menariknya apa?”

“Gue dikasih tau langsung sama anak-anak psikologi waktu itu, tentang gimana cara menanggulangi orang-orang tertutup—yang konteksnya disini itu—ngga mau cerita permasalahan atau kendalanya selama di himpunan. Soalnya suka gitu, bi, di himpunan tuh. Ada yang awalnya bahagia banget, tiap proker semangat, tapi makin sini tiba-tiba jadi beda,”

“Katanya, kalau suatu hari nanti nemu yang kaya gitu, tolong, untuk dibantu. Dibantu disini maksudnya ya ditanya, diajak cerita. Tapi jangan maksa juga, tapi jangan di diemin juga—ngerti ngga sih, hahaha,” Haidar menoleh ke arah Marko yang tengah fokus mendengar sesi ceritanya. Ah, tatapan itu.

“Sebisanya, dipancing. Jadi kita bisa tau akar masalahnya kenapa. Karena biasanya yang kaya gitu bakal ngaruh ke kinerja dia. Karena biasanya, orang yang kaya gitu tuh emang lagi di posisi terendahnya dan kebetulan, saat itu ngga ada yang bisa dijadiin tempat dia untuk bersandar—untuk sekedar istirahat,”

“Paham sampai disini?” Tanya haidar. Marko terkekeh, lalu menggeleng. Haidar mendorong bahu itu pelan.

“Lo punya gue, Marko. Lo punya gue untuk lo jadikan sandaran dikala lo cape. Dikala lo ngga tau harus pulang kemana. Lo punya gue,” Haidar elus perlahan tangan itu.

“Kalau lo kaya gini terus—diem, ngehindar, ngga mau ngomong atau cerita—kedepannya pasti hubungan kita yang jadi taruhan.” Mendengar itu Marko mematung.

“Memang sudah jadi hak lo untuk ngga ngomong, silakan. Tapi ini udah jadi kewajiban gue untuk nanya,”

“Terserah mau lo cerita apa engga—kalau cerita lebih bagus karena gua yakin yang lo pikirin itu menyangkut gue—but at least, gue udah nanya.” Haidar bawa punggung tangan itu menuju bibirnya. Ia kecup berkali-kali hingga sang empu menutup bibirnya.

“Jahat banget gue dibekep,”

Marko hening sejenak, “Dar, lo tau ‘kan rumah gue itu lo since day 1?

Yang dipanggil menoleh, lalu mengangguk.

“Gue bukan ngga mau cerita, lo jangan salah paham. Gue cuman takut waktunya ngga pas aja untuk nyeritain semuanya. Tapi setelah dipikir, ngga bakal ada yang berubah sih kalau gue cerita sekarang ataupun nanti.” Kini giliran punggung tangan Haidar yang ia kecup. Kali ini lama, berbeda dengan yang sebelumnya Haidar lakukan.

“Gue ngga bisa tenang akhir-akhir ini. Banyak banget yang ganggu pikiran, kaya kuliah, skripsian, papa, masa depan gue,” Marko tepis jarak diantara mereka berdua, ia mengeratkan haidar pada pelukannya. Takut orang kesayangannya itu kambuh.

“Masa depan lo siapa?” Godanya.

“Masih nanya?”

Keduanya tertawa.

“Itu jadi dilemma tersendiri bagi gue. Kaya haruskah gue egois karena pengen hidup bahagia sama orang yang gue sayang… atau lagi-lagi mengalah karena ngga mau ngecewain banyak orang dengan keputusan yang gue ambil.”

“Dan juga… it’s really hurt my feelings when—” kalimatnya terputus.

“Gue sakit hati banget tiap lo kaya gitu, dar.”

Siapapun tolong cari jantung haidar sekarang juga. Karena sedetik yang lalu rasanya jantung itu baru saja copot, entah pergi kemana. “Gitu gimana?” Ia mencoba tenang.

“Iya. tiap lo nolak afeksi yang gue kasih—gue tau, ada norma sama budaya yang jadi penghalang kita disini. Gue paham betul ketakutan lo, tapi apa ngga boleh? Sebentar doang, gue ngga minta lebih padahal,” Ia menatap nanar tautan jemari mereka.

“Gue beneran kecewa, dar. Bukan sama lo, tapi sama keadaan.”

“Gue rasanya pengen nyerah tiap harus ngadepin norma yang ada disini. Jujur gue ngga kuat, gue pengen come out. Tapi lo—”

“Gue juga ngga boleh egois. Hubungan ini ‘kan perihal dua arah. Kalau guenya ngebet tapi lonya masih ketakutan masa iya harus gue paksa?”

“Gue ngga bisa, Haidar. Sumpah gue gabisa kalau harus gini terus.”

Oh, siapapun. tolong tarik Haidar dari sana sekarang juga.

“Marko,” Yang dipanggil diam.

“Lo tau ‘kan, kalau kita akhirnya memutuskan untuk pindah dan mulai hidup baru di negeri orang itu bukan berarti kita bebas?” Kini mereka saling berhadapan. Menatap netra satu sama lain.

“Mungkin iya, kita bebas. Tapi tetap, marko. Disana mereka juga tetap punya norma, budaya, dan agama yang kulturnya belum kita tau bakal seperti apa. Dengan kita pindah kesana belum tentu juga kita bisa dapetin validasi yang selalu kita dambakan,” Lanjutnya.

At least, Dar, disana udah jadi budaya walau tetep bakal dapet tatapan yang ngga mengenakan dari orang. Dan, yang paling terpenting, no one would recognize us there. Mau kita pegangan tangan dijalanan atau ciuman pun, walau mereka ngga suka, tetep, mereka ngga kenal kita.”

“Gue pernah bilang ‘kan kalau gue ngga sanggup lawan semesta sendirian?”

“Lo ngga sendirian, lo punya-“

“Gue tau, gue tau. Lo juga bakal lawan semesta brengsek ini. Bukan itu maksud gue.”

“Papa ngga ngasih izin, Dar.”

Sesaat setelah kalimat itu keluar dari mulut marko, genggaman jemari mereka dibawah sana seketika mengendur. Marko yang merasakan hal itu dengan cepat menarik jemari haidar—menggenggamnya erat.

“Plis, plis. Jangan. Jangan puter balik. Plis.” Suaranya mulai bergetar.

“Ngga bisa, Marko. Kalau udah gini-“

“Bisa, Dar. Plis lo jangan ngomong kaya gitu. Plis ngertiin gue, ya? Ngga ada lagi yang bisa ngertiin keadaan gue selain lo,”

“Ini emang salah gue karena gue ngobrol sama beliau dengan keadaan yang belum menyiapkan apa-apa. Gue keliatan ragu malem itu, jadi wajar kalau Papa ngga ngasih izin. Dia bilang gue harus persiapin aja dulu semuanya, baru izin.”

We still have a chance, Haidar. Mungkin emang ngga deket-deket ini. Lo sanggup ‘kan?”

Haidar yang kepalanya sudah pening luar biasa hanya bisa menghela nafasnya. Lelaki itu kira setidaknya Papa Jefri bisa jadi harapan untuk keduanya, tapi nihil. Baik Papa Jef dan Amihnya ternyata masih sama.

“Gue pengen pergi sama lo, tapi keadaan kok kayanya menyulitkan banget?”

“Marko,” lelaki itu menoleh. “Gue ngga nyangka ternyata lo mendem semua ini sendirian. Dan sebagian besar keresahan lo itu adalah karena gue. Gue minta maaf, ya?”

“Gue ngga mau kalau dengan berjalananya hubungan kita ini malah jadi beban pikiran buat lo. Sekarang, kalau emang ada kesempatan untuk kita—walau butuh waktu yang lama—kita harus sepakat dulu. Pergi, atau engga sama sekali.”

“Pergi berdua, atau bertahan disini masing-masing. Apapun keputusannya, harus siap. Kalau kita pergi, ada banyak orang yang kita kecewain. Kalau kita tetap bertahan disini, perasaan yang harus dikorbanin. Sampai sini, sepakat, ngga?” Marko ingin sekali menolak, tapi hatinya tidak bisa untuk tidak mengangguk.

“Buang rasa takut lo. Gue ngga akan kemana-mana, kalau lo khawatirin itu. Tenang,” Lelaki itu tersenyum.

“Padahal, kita di bumi ini cuma singgah. Tapi kok panjang banget ya perjalanannya?” Ia usap sorai Marko yang terlihat sangat kelelahan. Ia tersenyum, seakan berterima kasih kepadanya atas segala kesulitan yang telah ia hadapi sendirian.

“Tiap orang punya kurang dan lebihnya masing-masing. Tujuan kita lahir ke bumi pun sama, ya ‘kan? Sama sama selamat sampai akhirat.”

“Tapi kok rasanya berat banget ya saat kodratnya manusia itu untuk saling bahu membahu, tapi mereka lebih milih untuk gak mau tahu. Padahal kalau mereka bisa sedikit ngurangin beban kita, pasti lawan dunia dan semesta ngga akan terasa seberat ini.”

Marko mengangguk setuju, “Waktu di ancol gue pernah bilang kalau lawan semesta berdua rasanya mungkin ngga akan terlalu berat. Nyatanya sama aja, dar. Masih terlalu berat untuk ditanggung berdua,” Satu tetes, dua tetes. Air mata itu lolos keluar dari kelopak mata indah sosok abian marko pratama.

“Kalau aja orang terdekat kita bisa sedikit membantu meringankan beban kita, pasti kita berhasil jadi orang paling berani di muka bumi ini. Sayangnya gue cuman punya lo, dar.”

Malam itu mereka kembali sadar, bahwa untuk memperjuangkan hak mereka bukan sekedar keberanian yang dibutuhkan. Melainkan dukungan dan juga keikhlasan dari orang-orang sekitar.

—leobabybear. 🌹 ditulis hari minggu, pukul setengah sebelas malam.

monolog dini hari. —haidar dan marko.

cw // contain childhood trauma , mentioning blood , hospital

Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi saat marko kembali mengubah posisi tidurnya. Entah sudah yang keberapa kali lelaki itu sibuk dengan posisi tidurnya, ia tak kunjung menemukan posisi yang nyaman untuk menyelami dunia mimpi. Kedua bola matanya pun tampak tak menunjukan tanda-tanda lelah, sedari tadi kedua netranya itu masih sangat aktif menelusuri tiap petak sisi kamarnya—yang padahal tidak ada yang berubah sama sekali—entah mengapa ia terus melakukan hal itu.

Otaknya seakan memforsir dirinya untuk tetap terjaga. Sudah tiga hari ini marko tidak bisa tidur, tiap malam ia selalu terjaga bahkan hingga adzan subuh berkumandang. Ia kembali termenung, memikirkan apa yang salah dengan dirinya.

Semenjak kejadian kemarin, abian marko pratama tak kunjung temukan tenangnya. Setelah sesi “ceritanya” dengan sang ayah kemarin, bukan cahaya yang ia temukan—sebagai bentuk jawaban—tetapi lagi-lagi malah sebuah jalan buntu yang ia dapatkan. Ada dua hal yang paling marko benci di dunia ini. Seperti anak adam pada umumnya, pertama, ia benci ditinggalkan. Dan yang kedua, ia benci diberi penolakan. Marko yang kodratnya lahir ke bumi untuk menjadi seorang pria—yang tidak menerima kata tidak—tentu saja langsung menjadi payah saat ayahnya menolak permintaan “kepindahannya”. Jefri bilang, anak itu terlihat ragu.

Jefri bilang, putra kebanggaannya itu terlihat takut.

Sebenarnya tidak banyak yang ia bahas dengan ayahnya malam itu. Diawali dengan dirinya dan sang kepala keluarga yang membahas tentang pertandingan sepak bola euro malam itu yang tengah tayang di televisi. Mereka melakukan sebuah taruhan—untuk senang-senang—marko memilih Inggris, dan sang ayah memilih Italia. Yang timnya kalah, harus melakukan pekerjaan rumah seminggu penuh.

Dan, malam itu marko kalah. Italia menang lewat pertandingan final dengan penalty 3 – 2.

“Jadi?” Sang ayah buka suara saat dirinya menyajikan semangkuk indomie rasa kari ayam yang baru saja matang. Lengkap dengan telur rebus dan juga sayur. Melihat itu, marko tersenyum miris.

“Gimana kuliah? Aman?” Pertanyaan itu Jefri lempar pada sang putra yang tengah melamun. Menikmati kepulan asap yang keluar dari mie buatan ayahnya.

“Papa denger kamu ngga aktif organisasi, ya? Kamu ngga himpunan? Kenapa, Bang? Lumayan loh sertifikatnya, menuhin CV,” Sahut Jefri sambil menyesap teh hangatnya.

“Iyaa. Papa ‘kan tau dari dulu aku emang ngga suka gituan,” Lelaki itu menautkan kedua tangannya—gelisah. “Lagi juga pengalaman mah dari mana aja, ngga harus melulu ikutan himpunan.” Tambahnya.

“Lagi kangen mama, ya?” Mendegar itu lidah marko tercekat.

“Hehe, iyaa.”

Kalau boleh marko ceritakan sedikit tentang cinta pertamanya itu... Wanita itu, adalah wanita tercantik yang pernah marko temui. Tidak ada wanita lain yang bisa merebut degup jantungnya sebagaimana saat ia menatap netra serta senyuman sang ibunda. Senyum yang ingin ia jaga sampai bumi berhenti berputar itu sayangnya harus pergi lebih dulu saat usianya masih belia. Abian Marko Pratama harus rela mengikhlaskan kepergian sang ibunda saat usianya lima tahun. Nyawa sang ibunda tak tertolong saat sedang dilarikan menuju UGD Rumah Sakit Borromeus. Abian kecil yang saat itu masih belum mengerti hanya bisa diam didepan ruang UGD sendirian, menekuk kedua lututnya sambil menangis.

Satu jam lamanya ia menunggu, sampai akhirnya sosok sang ayah keluar dari sana. Abian kecil yang melihat itu bingung, karena saat mereka datang tadi sang ayah masuk bersama ibunya yang terkulai lemah di sebuah kasur bergerak. Tapi kenapa sekarang ia keluar sendirian? Kemana ibunya?

“Mama?”

Jefri muda tersenyum. Bahu yang biasanya terasa sangat kuat saat menggendongnya itu entah mengapa terasa berbeda saat si kecil merengkuh tubuh Papanya. Bahu itu...

“Mama sedang tidur. Jangan diganggu, ya?”

“Kenapa tidur disini? Kenapa tidak tidur dirumah, Pa?”

“Mama lebih tenang tidur disini.”

“Kalau dirumah memang tidak tenang?”

“Bukan, bukan begitu—bian,”

Lelaki kecil nan polos itu menatap netra sang ayah yang sudah banjir air mata.

“Mama sakit, ya, Pa? Mama sakit apa sampai harus tidur disini? Apa sakitnya parah?”

Jefri menggeleng, “Mama sudah tidak merasakan sakit lagi,”

“Terus kenapa Mama ngga ikut pulang?! Bian mau ketemu mama. Bian mau cerita soal—”

“Iya, boleh. Tapi sekarang mama sedang tidur. Bian ceritanya sambil sholat saja, ya?”

Dahinya mengkerut, “memang Mama bisa dengar?”

“Tentu bisa. Mama bisa dengar apapun yang kita bicarakan.”

“Bahkan sekarang pun mama bisa dengar?”

“Bisa.”

Anak itu terlihat berfikir sejenak, sampai akhirnya kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut kecil itu berhasil membuat Jefri kembali menangis.

Mama, abian suka haidar.

Marko tidak tahu, bahwa hari itu, ia telah kehilangan satu-satunya sosok penolong hidupnya.

Bugh!

“Heh, ngelamunin apa sih?” Omel sang ayah saat Marko tengah jatuh pada kenangan masa kecilnya. Ia meringis kesakitan, pukulan Papanya barusan sangat kuat sampai-sampai bahunya ngilu.

“Papa pensiun kapan?” Tidak ada angin, tidak ada hujan. Pertanyaan itu lolos secara tiba-tiba keluar dari mulutnya.

“Hmmm. Papa sekarang usia sudah 55 tahun, artinya—Ah masih lama, Bang. 10 tahun lagi,” Jefri terkekeh saat dirinya menyadari bahwa purnatugasnya masih panjang.

“Kok tumben, nanyain pensiunan. Ada apa?” Nada suara pria paruh baya namun masih tampan itu seketika berubah menjadi lebih serius. Marko yang sadar akan itu kembali menelan ludahnya kasar.

“Papa kalau aku tinggal sendirian disini, nggapapa?” Mendengar itu dahi Jefri mengkerut pertanda bingung. “Papa ‘kan punya kamu disini. Sampe kapanpun Papa ngga akan sendirian.” Tekannya di akhir kalimat membuat Marko kembali bungkam.

“Bian ada rencana ambil beasiswa ke luar. Papa keberatan, ngga?” Akhirnya inti permasalahan yang ingin ia angkat keluar juga. Bisa dibilang, “dalih” untuknya agar bisa pergi dari sini akhirnya terkuak juga.

“Oh ya? Kemana?” Mendengar itu marko kembali gugup.

“Eh-rencana sih ke Eropa, Pa,”

“Iya, kemana? Dimana? Eropa itu luas, apa nama kampusnya? Jurusan apa yang kamu ambil? Terus beasiswanya apa?” Saat pertanyaan itu dilontarkan oleh sang ayah, marko hanya bisa diam. Karena dirinya sendiri pun sebenarnya tidak tahu—ralat, belum tahu. Akalnya hanya terus berteriak—menekannya untuk berfikir keras—mencari cara bagaimana agar ia bisa segera membawa cinta dan bahagianya pergi dari sini. Persetan dengan melanjutkan kuliah, toh ia pun tidak benar-benar ingin mengambil S2. Yang ia inginkan hanyalah bisa menggenggam tangan haidar dengan segera tanpa perlu dapatkan atensi sekitar.

“Justru itu, belum tahu. ‘Kan baru rencana. Abang tanya dulu Papa, baiknya gimana,” Kali ini nada suaranya terdengar sedikit ragu. Jefri geleng-geleng.

“Ya kalau gitu persiapkan aja dulu, ngga usah repot-repot izin. Kalau masih rencana, belum tahu, kenapa rurusuhan? Tenang aja, Bang. Santai,” Jawaban itu membuatnya ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya dan segera menelfon Haidar, lalu berkata “Dar, kayanya semesta emang ngga restuin kita.

See? Kamu aja masih ragu sama diri kamu sendiri, gimana mau bisa ambil keputusan sebesar itu?” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di gendang telinga marko. Bahkan hingga hari ini.

“Disini ajalah, Bang, lanjutinnya. Sambil temenin Papa. Lagian disini juga banyak kok kampus yang ngga kalah bagus sama kampus luar,” Ia tersenyum sambil menatap anaknya yang terlihat sedang berfikir. Sedetik kemudian, marko mengangguk.

“Maaf, ya, Bang. Papa keberatan.” Finalnya. Jefri akhirnya bangkit dari duduknya, lalu pamit terlebih dahulu kepada putranya itu untuk tidur. Meninggalkan marko dan juga semangkuk mie yang sudah dingin.

Marko kembali pada kenyataan saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia lihat ada notifikasi pesan dari Haidar yang mengatakan bahwa barang-barang apa saja yang kiranya perlu disiapkan untuk acara Camping hari ini. Astaga, bahkan ia hampir lupa kalau hari ini ia punya rencana dengan kekasihnya. Setelah membalas pesan itu, Marko bergegas membuka aplikasi Spotify dan memutar lagu yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya.

Ia kembali larut dengan angannya, membayangkan saat-saat bahagia dimana Ibunya masih hidup. Marko memang tidak punya banyak kenangan bersama Ibunya, yang ia ingat adalah ia sering sekali memergoki sang Ibu mengeluarkan darah dari hidungnya. Saat abian kecil berlari menghampiri Ibunya dengan tatapan khawatir, dengan suara lembutnya sang Ibu selalu berkata “Mommy is okay, Little Boy. Abang punya cerita apa hari ini buat Mama?

Sebagai seorang anak kecil saat itu Abian tentu saja jadi lupa akan rasa khawatirnya. Maka ia memilih untuk naik ke pangkuan sang Ibu, dan kembali bercerita tentang cinta pertamanya. Haidar Indra Atmajaya.

Mam, i really wish you were here,” Ia coba tahan sesak yang menjalar di dadanya.

“Bian cape, Ma. Disini ngga ada yang bisa ngertiin abang. Disini ngga ada yang bisa paham perasaan abang karena cuman abang yang rasain. Abang udah ngga kuat harus kaya gini terus, abang pengen bahagia sama Haidar…” Lirihnya di sela-sela alunan lagu Tenang itu.

I want to sleep, Ma. Abang pengen tidur tapi ngga bisa. Tiap abang tidur, yang ada di bayangan abang itu cuman dua. Raut wajah kecewanya Papa dan sumber bahagianya Abang. Abang musti gimana, Ma?” Ia larut dalam monolognya sendiri. Dibalik dinginnya udara dini hari Dago malam itu, marko kembali mendeklarasikan pada semesta bahwa ia telah menyerah.

“Abang pengen istirahat aja kok kayanya susah, saking banyaknya yang abang pikirin. Abian sayang banget sama Haidar, Mama tau itu ‘kan?”

“Emang salah ya, Ma, kalau abang sayang sama Haidar?” Ia taruh kedua tangannya sebagai bantalan kepala.

“Abang juga pengen liat Haidar narik tangan abang tanpa takut dipandang aneh sama orang. Abang pengen ngerasain dipeluk sama dia kalau hari abang lagi ngga baik-baik aja. Abang pengen ngerasain itu,” Helaan nafas beratnya menjadi sebuah penanda bahwa lelaki itu tengah berada di ambang batasnya.

“Abang ngga takut, Ma. Tapi, Haidar?”

Abian, kamu itu takut. Kamu takut kalau semua angan kamu hancur. Kamu takut kalau suatu saat haidar hidup dengan orang lain. Kamu takut. Tapi kamu tidak mau mengakuinya.

—leobabybear. 🌹 ditulis hari sabtu, pukul setengah dua belas malam.