selamat ulang tahun. —haidar dan marko.
Tidak ada yang istimewa dari ulang tahun Egi kali ini. Biasanya, di waktu ini, kedua putranya akan sibuk mengurungnya dikamar sambil menutup kedua matanya dengan kain yang mereka ambil sembarang dari hasil jerih payah tumpukan setrikaan bajunya. Bising nyaring suara kekehan mereka biasanya menjadi hal yang paling wanita itu jengkelkan, namun hari ini, lagi-lagi, ia malah merindukan kehadiran suara itu.
“Amih, pokonya jangan dulu keluar!”
“Kalau ngintip nanti pantatnya kelap-kelip, ya!”
“Heh! Diajarin siapa kamu ngomong kaya gitu?!”
Dengan cepat wanita itu rengkuh tubuh kecil si bungsu, lalu mengelitikinya. “Ampun, Amih! Ampuuun! Ngga bukan ade yang ngomong itu si Aa yang ngajarin!!! Ade disuruh ngomong gitu!!! AAAAAA HAHAHAHA geliiii!!!”
Ketiganya tertawa lepas sampai-sampai sang kepala keluarga yang sedari tadi nyaman bersandar pada tembok dingin itu ikut mengembangkan senyumnya.
“Hey, boys. We're ready,”
Kedua bola mata mereka seketika melotot gemas, lalu beralih menatap netra Ibu mereka yang masih tertutup kain.
“Happy Birthday to you. Happy Birthday, to you. Happy Birhtday, Happy Birthday...”
Egi segera tersadar dari lamunannya kala satu suara lembut berhasil memasuki gendang telinganya. Ia lalu melirik kearah lilin yang tengah menyala tersebut, dan dilihatnya ada sang suami disana, tengah membawa kue tart kecil—masih lengkap dengan seragam kantornya dan juga masker yang menutupi area mulut dan hidungnya.
“Happy birthday to you...”
“Go wash yourself first, Jo.”
“Tapi ini udah nyala lilinnya, sayang.”
“Pft. Yaudah,”
“Make a wish, dong.”
“Aku udah tua, Jo,”
“But never too old to make a wish.“
Wanita itu terkekeh, lalu akhirnya memejamkan mata sambil berdoa. Setelah selesai, ia tatap netra suaminya sejenak yang kemudian langsung dibalas sebuah anggukan. Ia pun meniup lilin itu.
“I love you, honey. Can i get a kiss?“
“Nope. Mandi dulu,”
“Kamu kenapa? Is everything okay?” Joni taruh kue itu diatas meja pantry mereka.
“I'm okay. Just... kinda miss the old days?”
Joni mendecih, “kamu udah menopause ya?”
Mendengar itu Egi melotot, lalu memukul lengan Joni cukup keras. “Engga- BELUM?!?!?!”
“Tuh, terus kenapa sensi? Dan emosional banget?”
Setelah mencuci tangannya dengan bersih, lelaki itu kembali mendekati istrinya. “Sepi, ya? Karena cuma berdua?”
Egi cemberut.
“Kalau kangen tuh bilang, atau telfon kek anaknya. Nunggu ditelfon mah mana sempet, Gi.” Joni keluarkan ponsel miliknya dari saku celana, lalu dengan segera menelfon seseorang.
“Assalamualaikum,” Suara berat itu langsung terdengar di telinga keduanya.
“Waalaikumsalam. Baru bangun, de? Disana jam berapa?” Sahut Joni ketika penampakan putra bungsunya itu terpampang dilayar ponselnya.
“HEHEHE AMIHHH SELAMAT ULANG TAHUN MAAF TELAT NGUCAPIN!!!” Teriak Haidar saat netra mereka bertemu.
“Durhaka.”
“ASTAGFIRULLAH AMIH?!?!?!!?“
“Masa lupa Ibunya ulang tahun?” Ketusnya sambil melipat kedua tangan didepan dadanya.
“Engga lupa, Amih. Emang sengaja aja mau jadi yang terakhir ngucapin biar so sweet. Sekarang baru jam sepuluh, Paps,” Egi memutar bola matanya sebal.
“Jangan marah atuh, nanti cantiknya ilang.“
“Apakabar disana? Kamu betah?” Tanya Joni.
“Kuliah kamu lancar?” Lanjut Egi.
“Belum mulai, Mih. Ade masih kursus bahasa dulu, mulai kuliahnya masih lama. Betah, Paps! Ade kira Bandung adalah kota terdingin sedunia taunya masih kalah sama negara dengan iklim sub-tropis,” Jelasnya sambil kembali merapatkan selimut tebal yang tengah melilitnya.
“-8 SEKARANG MIH LIAT TUH SALJUUUU!!!” Haidar mengarahkan ponsel itu menuju jendela kamar sederhananya, menampakan hujan salju yang tengah terjadi di belahan dunia Eropa.
“Jaga diri baik-baik, Haidar.”
Hatinya seketika terenyuh.
“Pasti atuh. Jangan khawatir, Mih.“
“Udah ah, Jo, matiin-matiin!” Ketusnya saat kedua bola matanya terasa panas. “Mandi sama makan jangan lupa! MASKER INGET MASKER!”
“BAWEEEEL IH KANGEN AMIH BAWEL IYAAAAAA!!!“
“BELAJAR YANG BENER!!! BIAR PULANG-PULANG LANGSUNG NIKAH!!!”
Haidar diam. Joni bungkam.
Tut.
Dua cangkir teh hangat sore ini menjadi teman keduanya larut dalam keheningan masing-masing. Egi dan Joni kini tengah syahdu menikmati semilir angin yang melintasi pekarangan rumah mereka. Anehnya, mereka asing dengan keadaan seperti ini. Egi kembali jatuh pada kenangan masa lalunya, saat-saat dimana ia menghabiskan begitu banyak waktu bersama keluarga kecilnya disini.
“Sepi.” Lirihnya ketika Joni tengah menyesap teh hangat buatan istrinya.
“Kamu tau 'kan, Jo? Kalo aku paling ngga suka kesepian?” Ia menoleh kesamping kanan, lalu mempertemukan netranya dengan netra sang suami.
“Kamu ngga bakal kesepian, Egi. Kamu disini sama aku,”
“Tapi anak-anakku ngga ada disini,” Potongnya cepat, enggan mendengar pendapat suaminya itu lebih jauh. “Aku ada salah ya, Jo, sama mereka? Kenapa Hendri sama Haidar ngga ada yang mau nemenin aku disini?”
“Egi ...”
Ia menghela nafasnya.
“Mereka memang anak kita, tapi mereka punya jalan hidup masing-masing. Kamu mau sampai kapan kaya gini terus?”
Wanita itu terdiam. Egi memang dikenal memiliki watak yang cukup keras, ketika ia teguh pada pendiriannya. Sampai kapanpun ia akan terus berpegang pada prinsipnya sendiri, walau tanpa sadar ia menyakiti orang disekitarnya—termasuk anaknya sendiri.
“Jo, kamu tau 'kan si Ade punya pacar?”
Lelaki itu membeku.
“Katanya sih udah enam tahun, tapi kok ngga pernah dikenalin ke kita ya? Aku ngga sabar, Jo, pengen ketemu,” Wanita itu terlihat begitu sumringah membayangkan suatu hari nanti akhirnya ia bisa bertemu sosok yang selalu putra bungsunya sembunyikan.
“Dia siapa ya, Jo? Anaknya kaya gimana, secantik apa sampe-sampe ngga pernah dibawa kerumah. Atau malu kali, ya? Atau takut sama kita?”
Engga tahu, Gi. Aku engga mau tahu.
“Kemaren waktu di bandara perasaan pacar si Ade ngga ada, ya? Ngga dateng apa telat dateng, ya?” Ia kembali larut dalam rasa penasarannya akan sosok kekasih anak bungsunya itu.
“Aneh ngga sih, Jo? Bayangin misalnya kalo aku mau pergi jauh, kamu kira-kira bakal nyusulin ngga buat sebatas ketemu? Pastilah?! Jahat banget kalo ngga nyusulin,”
“Atau mereka udah putus kali, ya, Jo? Karena ngga bisa LDR? Ah, tapi ngga mungkin, kemarin pas cerita kayanya keliatan masih bareng-bareng mereka,”
Aku harap begitu, Gi. Aku harap begitu.
Sepulangnya dari bengkel, lelaki kelahiran agustus itu bergegas kembali menuju rumahnya. Jarak bengkel dan rumahnya terpaut cukup dekat, hanya butuh sepuluh menit bagi Marko hingga akhirnya ia sampai di pekarangan rumahnya. Hari ini adalah hari yang istimewa baginya. Karena hari ini adalah hari ulang tahun sang Ibunda. Ia dan Sang Ayah sudah membuat janji yaitu akan berkunjung ke tempat wanita yang paling mereka sayangi itu.
Sesampainya dirumah, ia bergegas memasuki kamarnya—entah apa yang membuatnya terburu-buru seperti itu—dengan cepat ia langsung membuka laptop berlogo apel miliknya, lalu menyalakannya cepat. Sambil menunggu, ia beralih pada sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya.
“Assalamualaikum,”
“Iya, sama-sama. Sorry ya gabisa lama tadi, gue ada acara lagi. Tapi aman ‘kan?”
“Alhamdullilah kalau gitu. Iya, gue fix lepas aja. Kalau lo kurang cocok sama harga yang gue kasih, obrolin lagi ya. Santai kok gue. Asal nggak yang jatoh banget, haha,”
“Ya jelas awet, namanya juga dirawat,”
“Haha oke oke, thanks ya sekali lagi semoga jodoh deh,”
“Okee, ditunggu kabar baiknya. Waalaikumsalam,”
Telepon pun terputus. Ia menghela nafas lega, kemudian tersenyum. Barusan itu adalah adik tingkatnya, ia baru kenal kali ini berkat Farhan—kekasih Regina yang kebetulan sama-sama menyukai vespa. Walau sempat ada ketegangan yang terjadi antara Farhan dan Marko akibat peristiwa kemarin, lelaki itu masih bersedia untuk membantu Marko dengan alasan urgent, kasian anaknya butuh uang.
Marko tengah dikejar waktu.
Urusan motor selesai, selanjutnya ia pun bergegas untuk membuka e-mail. Kali ini ia mencoba untuk menenangkan degup jantungnya yang begitu kacau. Mengapa? Karena hari ini adalah hari pengumuman beasiswa yang sudah ia ajukan beberapa waktu lalu. Semoga, ya. Semoga ada kabar baik lagi hari ini.
“Dengan berat hati kami umumkan bahwa Saudara belum lolos dalam Program Beasiswa S2 Vrije University Amsterdam Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris bersama kami. Terima kasih karena telah berpartisipasi dalam kegiatan tahun ini, jangan pernah berhenti mencoba dan tetap semangat. Sampai bertemu tahun depan!”
Marko tersenyum kecut, disusul suara tawa remehnya. “Tahun depan pala lu, haha,”
“Dar, setahun lagi katanya. Sanggup nggak?” Ia menatap langit-langit kamarnya yang kosong, bak pikirannya.
“Lo berharap apasih, sebenernya? Berharap semesta baik dengan cara ngasih kabar baik berturut-turut, gitu? Yakali. This world doesn’t revolve around you, Marko.” Monolognya, lalu segera keluar dari website tersebut.
Memejamkan kedua bola matanya yang terasa berat, ia pun larut dalam kerinduannya akan kehadiran sosok Haidar yang biasanya selalu bisa menghangatkan suasana kamar dingin ini.
“Ik mis jou, mihn liefje.”
“Jiakh cakep juga bahasa Belanda gue,”
Tok tok tok
“Dah siap?”
Suara berat Jefri menginterupsi sesi galau lelaki itu.
“Udah dong.”
“Mampir beli kue dulu ya, Bang.”
Setelah berkendara selama kurang lebih 40 menit, akhirnya Jefri dan Marko tiba di tempat yang paling membuat keduanya merasa hancur. Sebuah kue coklat hasil dibelinya tadi tengah Marko bawa dengan aman, sementara sang Ayah disamping kirinya membawa bucket bunga mawar segar yang sudah ia siapkan sebelumnya.
“Hai, Ca. Apa kabar?”
Sesampainya disana, hal yang pertama kali Jefri lakukan adalah menyapa belahan jiwanya. Tak terasa ternyata sudah belasan tahun silam sejak kepergian sang istri yang begitu ia sayangi itu. Namun hebatnya, luka yang ditimbulkan akibat kepergiannya itu sampai sekarang belum kering—tidak bisa kering.
“Mama... Abang kesini lagi,” Lelaki itu berjongkok di samping kanan pusara Ibunya, sambil kembali melakukan rutinitasnya yaitu membuat tempat istirahat Ibunya tetap cantik—bersih dari daun dan rerumputan kering yang mengganggu.
“Happy Birthday, Ca.” Jefri taruh bunga mawar cantik tersebut disampingnya, lalu ikut duduk disebelah Marko.
“Ayo tiup lilin, Pa,”
Marko keluarkan cricket miliknya dari saku celana, sementara Jefri di sebelahnya tengah menata lilin agar tersusun rapi diatas kue coklat lezat kesukaan Istrinya.
Setelah tiup lilin selesai, hanya ada hening yang mengelilingi mereka. Baik Jefri maupun Marko sepertinya saling enggan untuk bercerita pada Nesya—padahal biasanya, keduanya pasti akan saling ribut tentang siapa duluan yang akan menceritakan keseharian mereka pada wanita itu tiap kali berkunjung.
Mungkin, apa yang ingin didengar Nesya hari ini adalah hal yang tak ingin didengar baik oleh Jefri ataupun Marko.
“Pa, udah mau gelap. Ayo pulang?” Ajak Marko kala langit sore itu perlahan beranjak pergi membiarkan posisinya digantikan oleh gelapnya langit malam.
“Papa masih mau disini dulu sebentar. Kamu pulang duluan aja, Bang,”
“Naik apa? Kan kita satu mobil,”
“Ya kamu mau naik mobil silakan, nanti Papa gampang bisa pake gojek,” Ia terkekeh sambil kembali membersihkan rerumputan diatas pusara Istrinya.
“Mana tega Abang. Yaudah, hati-hati ya, Pa. Abang duluan,” Lelaki itu taruh kunci mobil disamping Papanya, lalu berjalan meninggalkan sosok orangtuanya.
Memperhatikan langkah sang putra yang kian lama kian menjauh, Jefri pun tersenyum pilu. “Anak kamu itu kelewat pengertian, Ca. Tau aja kalau ada banyak hal yang pengen aku obrolin sama kamu,”
Satu persatu pengunjung pemakaman umum itu menghilang dari pandangan Jefri, meninggalkan pria itu sendirian. Apakah Jefri takut? Tentu saja tidak.
“Selamat Ulang Tahun, Nesya. Cepet dateng lagi ke mimpiku, ya? Aku kangen banget,”
“Hmm? Kabarku? Baik. Abang juga baik, kok. Tenang aja, kita baik-baik aja disini. Kita berdua bahagia,”
“Ca, kamu kenapa cepet banget sih perginya?” Ia mengusap kepala pusara itu layaknya tengah mengusap kepala sang istri.
“Anak kamu sekarang ancur, Ca,”
“Kamu tau? Ketakutan terbesar aku sekarang akhirnya terjadi. Ketika dia mulai melakukan sesuatu diluar kendali aku, ketika dia benar-benar sudah menjadi manusia dewasa yang gegabah dalam mengambil sebuah keputusan, ketika dia benar-benar sudah menjadi manusia versi dirinya sendiri yang ngga butuh dampingan orangtua,” Suaranya serak, ia berdehem sejenak berusaha menahan isakannya.
“Ca, aku gamau.”
“Abian gaboleh pergi, Ca.”
“Anak itu ancur, Ca. Aku liat pake mata kepalaku sendiri. Anak itu beneran ancur. Aku bahkan ngga bisa lagi nyebut dia itu anak aku, Ca. Dia bukan anak aku,”
“Kamu tau sebingung apa aku waktu liat dia di bandara hari itu? Aku kira dia dateng kesana karena mau nyusulin Papanya, karena sehari sebelumnya Abang bener-bener ngga ngucapin apa-apa atau sekedar bilang safe flight—kamu tau, Ca? Kamu tau ngga apa yang anak itu lakuin? Dia nyusulin orang lain, dia nyusulin lelaki itu,”
Tangisnya pecah. Satu bulan lebih ia tahan rasa takut itu sendirian di negeri orang, berharap waktu bisa dipercepat agar ia bisa segera pulang dan menumpahkan segala ketidak masuk akalan ini.
“Kalau hari itu aku samperin Abang dan nampar dia disana, menurut kamu sekarang dia bakalan jadi apa, Ca? Apakah keputusan aku untuk tetap diam adalah hal yang benar? Engga ‘kan, Ca?”
”Salah aku yang memulai terlalu tua, salah aku juga karena aku ngga bisa jaga dan rawat kamu sampe akhirnya kamu pergi. Aku udah tersiksa karena ngga punya banyak waktu sama kamu... Tapi apa ngga cukup, Ca? Dengan kamu pergi ninggalin aku... Apa ngga cukup? Sekarang aku harus relain juga anakku satu-satunya itu pergi?”
“Aku ngga punya banyak kenangan sama kamu, Ca. Begitu juga Abang. Dia satu-satunya yang aku punya sekarang, Ca. Aku harus relain, gitu? Jawab, Ca, hiks-”
“Aku gagal, Ca. Aku udah gagal jadi orangtua. Kalau ada kamu disini, mungkin Abang ngga akan jadi kaya gini, ‘kan?”
Belum, Jef. Kamu belum sepenuhnya gagal.
Ia bersimpuh diatas batu pusara itu, “Ca... Apa ngga boleh aku terus tutup mata selamanya? Aku udah berhasil selama ini, izinin aku untuk lanjutin hidup aku kaya gini, ya?”
“Aku bajingan? Emang, Ca. Maaf, tapi aku mau egois. Aku ngga bisa relain anakku pergi. Maaf aku ngga bisa nepatin janji kamu. Maaf, Ca,”
Jefri pun bangkit, mengusap sisa-sisa jejak air matanya. Sekali lagi memohon maaf dalam hatinya, lalu beranjak pergi dari tempat itu.
Jefri... Anak itu ngga butuh kamu. Demi Tuhan anak itu ngga butuh kamu di sisa hidupnya. Anak itu cuma butuh dunianya. Dan dunianya itu bukan kamu.
—leobabybear.🌹 ditulis hari minggu, pukul enam sore.