leobabybear

Aku Pulang. —haidar dan marko.

what if, salah satu dari mereka pergi lebih dulu.

“Haidar, kalau nanti aku berpulang... Tolong bawa aku kembali pada rumahku, ya? Tolong bawa aku kembali pada rumahku yang sesungguhnya. Tolong bawa aku kembali pada Bandung.”

tw / major character death cw / mentioning death , hurt comfort , heavy angst

Song Recommendation: Lady Gaga, Bruno Mars – Die With A Smile


Dar, kamu suka penasaran nggak sih sama akhir cerita hidup ini? Kaya ... Nanti, aku bakal mati kaya gimana, ya? Apakah akhir ceritanya akan sama indahnya seperti waktu kita lahir ke bumi? Karena saat momen itulah yang ditunggu-tunggu banget sama orang tua kita. Gue sangat nunggu momen itu, Dar. Kalau nanti gue pergi, apa iya nanti orang yang gue tinggal bakal tetep hidup?

Tanya Marko, pada sebuah petang indah di kota Amsterdam yang semilir anginnya kini mendadak mengiris kulit. Peralihan musim panas ke musim gugur sudah mulai terasa. Membuat Haidar yang mendengar pertanyaan itu pun lantas menoleh ke arah Marko, sambil memberikan tatapan tak sukanya. “Ngomong apa sih, ngaco.” Ketusnya, yang kemudian dilanjut dengan sebuah kekehan ringan dari mulut Marko.

Mungkin sudah kodratnya sebagai seorang manusia biasa yang punya rasa penasaran berlebih, Haidar maklumi itu. Tapi kalau pertanyaannya sudah tentang, “Apa iya nanti orang yang gue tinggal bakal tetep hidup?” Oh, ayolah. Orang bodoh manapun juga tau jawabannya. Tentu saja tidak, Marko.

“Dar,”

Yang dipanggil diam, enggan menjawab.

“Haidar,”

“Ish, apa sih?”

“Kalau nanti aku berpulang, tolong bawa aku kembali pada rumahku, ya?” Mata itu memicing, memperhatikan Marko dengan matanya yang tunjukan rasa tak nyaman. Marko tersenyum, “Kalau nanti aku berpulang,” Ia genggam tangan mungil itu, kembali mengulangi kalimat sebelumnya. “Kalau nanti aku berpulang,” Ucapnya yang ketiga kali, “Tolong ... Tolong bawa aku pulang kembali pada rumahku. Tolong bawa aku pada rumahku yang sesungguhnya. Bawa aku pulang ke Bandung, ya?”

Haidar pening, ia tidak mampu menerka maksud kalimat itu.

“Aku nggak mau disini. Bawa aku pulang, ya?” Ia tersenyum, begitu tulus.

“Iya, nggak?”

Haidar masih tidak bergeming, matanya tetap memicing ke arah netra bersih Marko yang sore itu terlihat serius. Hatinya sakit, sungguhan.

“Iya. Nanti aku bawa raga kamu pulang ke Bandung. Akan aku kembalikan tubuh kamu kepada pemiliknya. Puas?”

Marko tersenyum. Hentakan kecil dari langkah kaki Haidar menjadi penutup percakapan mereka seraya langit berubah menjadi gelap.


“Arka, sarapan!” Panggil Haidar dari dapur. Ia tatap sarapan yang sudah tersaji rapi itu dihadapannya, dua piring berisikan telur kocok, sosis dan juga roti. Sungguh sebuah English Breakfast yang terlihat berantakan dan amatir untuk ukuran pria dengan usia kepala tiga seperti Marko, yang sejatinya sudah harus memiliki banyak pengalaman di dapur dan membuat banyak eksperimen cantik.

Good morning, Papa,” Sapa Arka, terlihat masih mengantuk. “Ayah kemana?”

“Kamu ini bangun-bangun yang dicari Ayah terus, padahal Papa nya ada di depan mata,” Ujarnya pedas, membuat Arka terkekeh. “Papa kenapa marah-marah terus, sih? Arka nggak akan ngerebut Ayah kok, Pa,” Balas putranya itu sambil mengambil sebotol susu segar dari kulkas yang tingginya sudah hampir menyamai tubuh bongsornya.

Haidar mendecih, padahal bukan itu maksudnya.

Arka menangkap raut wajah itu, lalu berjalan mendekat menuju Papanya yang terlihat kesal. “Arka juga sayang Papa, lebih dari Ayah,” Ia peluk tubuh Papanya itu, yang kini terlihat lebih kecil darinya.

“Papa sekarang kalah sama Arka, kok malah tinggian Arka?”

“Iya itu Papa sengaja sering kasih kamu susu biar kamu tingginya 180 cm dan bisa jagain Papa kalo ada apa-apa,”

“Emangnya aku ini apaan,” Ia mendecih, “Padahal kalo aku kecil terus juga bakal tetep jagain Papa kok,” Lanjutnya, membuat Haidar terdiam.

“Ayo, Pa, makan. Keburu dingin nggak enak,”

Keduanya menyarap dengan khidmat, hingga sarapan sederhana itu tandas dari pandangan keduanya. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, namun Marko tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Haidar dengan segera mengambil ponselnya di kamar, lalu menghubungi nomor suaminya itu.

Sepuluh detik, dua puluh detik. Panggilan itu terus tersambung, namun tak kunjung diangkat oleh sang empu.

Ia mulai gigit buku jarinya pertanda gelisah. “Kok nggak diangkat, sih?”

Arka yang tengah mencuci piring lantas menengok ke belakang, mendapati sang Papa yang terlihat gelisah. “Mungkin lagi antri bayar, Pa. HP-nya di silent jadi nggak kedengeran,” Ia kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya itu hingga selesai, lalu bergabung dengan sang Papa.

Abian, dimana? Cepet pulang, jangan kemana-mana lagi.

Satu pesan itu berhasil ia kirimkan kepada Marko, dengan harapan akan ada sebuah balasan dari sebrang sana.

“Ini dia sempet update dulu kok,” Ia perhatikan satu buah tweet pada laman twitter-nya, menunjukkan bahwa Marko sempat mengunggah sebuah foto bunga matahari yang sepertinya dia beli untuk... dirinya?

“Dasar bego, dia lupa ya gue tuh ngefollow akun private-nya? Nggak surprise dong,” Ia terkekeh, merasa konyol dengan tingkah lelakinya itu.

“Makna bunga matahari...” Monolognya, sambil menyelam safari dan mencari arti dari bunga yang nampaknya memang sengaja dibeli oleh Marko untuknya itu.

Kesetiaan yang berumur panjang... Cih,” Haidar tersenyum, hatinya menghangat untuk yang kesekian kali. “Setia... Satu.” Monolognya kembali.

Drt... drt

Ponsel itu bergetar, menandakan ada sebuah panggilan masuk.

Haidar tatap layar itu, lalu dahinya mengkerut. Ia perhatikan sebuah deretan nomor dengan tanpa nama itu, lalu terdiam sejenak. Entah mengapa ia merasa ragu untuk mengangkat panggilan itu.

*Drt... drt

“Pa, itu Ayah bukan?” Sahut Arka yang baru saja keluar dari kamar mandi, memperhatikan Papa nya yang malah terdiam ketika suara panggilan itu terus menggema di ruang keluarga mereka.

Haidar menggeleng, “Hallo?

Tut tut tut

Panggilan itu terputus.

Arka menaikkan alis kirinya pertanda curiga. “Iseng banget, siapa deh,”

Haidar masih tatap nomor asing itu, sebagian dari dirinya merasa ia harus menelfon sang pemilik nomor itu kembali, tetapi sebagian dari dirinya mengatakan sebaliknya.

Tok tok tok

Ketukan itu terdengar di indra milik mereka. Haidar dan Arka saling lempar tatapan, keduanya merasa was-was dan juga cemas.

“Itu bukan Ayah...” Bisik Arka pelan. Anak itu sangat mengenali gerak-gerik Marko, hingga ciri khas ketika sang Ayah pulang pun ia sudah hafal di luar kepala. Marko akan berkata “Ayah pulang...” terlebih dahulu sebelum akhirnya berjalan masuk ke rumah mereka. Marko tidak pernah mengetuk pintu sebelumnya. Itu... Bukan Marko.

Guten Morgen. Apakah ini dengan kediaman Bapak Marko?”

Nafas Haidar tercekat, ia dengar suara berat dari pria tua itu yang mungkin usianya sekitar 50 tahun ke atas. Haidar asumsikan, itu adalah suara dari tetangga sebrang mereka. Tapi seingatnya... Tetangga sekitar mereka lebih banyak berjenis kelamin perempuan.

Tok tok tok

Pintu diketuk lagi. Baik Haidar maupun Arka tidak terbiasa dengan suasana “digerebek” seperti ini. Biasanya akan selalu ada Marko yang menjadi tameng keduanya dan menghadapi siapapun orang yang bertamu ke rumah mereka.

“Kami dari kepolisian.”

Mendengar itu, Haidar lantas memutar kenop pintu rumahnya. Ia mendapati dua sosok berlapiskan sutra dengan warna biru navy berdiri tegap di depannya. Ia langsung dapat mengenali siapa mereka, dengan sebuah topi dan lencara dari kepolisian itu memperjelas keadaannya. Ada apa ini? Mengapa polisi datang ke rumahnya?

Guten Morgen. Kami dari pihak kepolisian, ingin menginformasikan bahwa Bapak Marko baru saja dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan yang terjadi di dekat Noordermarkt.

Haidar, yang tengah memproses kalimat barusan hanya bisa mematung. “Kami mohon untuk ikut dengan kami segera,”

“Pa, Papa!” Teriak Arka dari sampingnya, yang berhasil menyadarkannya kembali. “PAPA, AYAH, PA!” Netra itu dengan segera penuh dengan air mata, ia menggenggam erat kaos hitam milik Haidar yang semakin kusut.

Ia menggelengkan kepalanya sebentar, Haidar terlalu sulit untuk mencerna semuanya. Ini hanya mimpi buruk, 'kan?

“PAPA! PLEASE, PA!” Lutut itu melemas. Ia coba tahan isakan itu sekuat tenaga, lalu membawa beberapa barang yang ia rasa diperlukan.

I am very sorry,” Ucap salah satu polisi yang sedari tadi diam, “*His condition might be—”

Please don't say anything until i see my husband with my own eyes.” Potong Haidar cepat, lalu bergegas masuk ke mobil polisi yang terparkir di depan pekarangan rumahnya itu.

Sepanjang jalan Arka hanya bisa menangis. Ia sangat ketakutan, ia takut terjadi hal buruk kepada Ayahnya itu. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya, membiarkan tetesan air mata itu jatuh di atas jaket adidas hitamnya.

Haidar menoleh, lantas meraih jemari Arka yang gemetar. Ia pegang jemari itu, ia usap hangat dengan jemarinya yang tak kalah gemetar. “Ayah will be fine, Arka. Trust me. He is gonna be okay.

Arka menggeleng. Ia tidak mau dengar apapun sekarang. Ia hanya ingin melihat Ayahnya.

Lima belas menit berselang, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Lelaki itu dengan segera keluar dari mobil, dan berlari menuju unit gawat darurat yang ada disana.

“*Excuse me, where's my—”

Mr. Marko, right?


Dingin. Badan itu terasa begitu sakit dan ngilu. Berapa kali pun Marko mencoba untuk bangun, rasanya seperti mustahil. Ia rasakan sekujur tubuhnya berdenyit, apa yang baru saja terjadi?

Ia buka matanya perlahan, mengengok ke arah kiri dan kanan yang terlihat begitu... Hampa? Kosong? Hening? Ia kebingungan, lalu kembali mencoba untuk bangun lalu berdiri.

Ia rasakan tubuhnya sangat sakit, kepalanya pening. Marko lihat sekitarnya, tempat itu didominasi dengan warna putih bersih. Rasanya ia baru pernah datang kesini.

Ia lihat kakinya yang ternyata tengah telanjang, tidak terbalut apapun. Kemana sepatu miliknya itu? Sepatu kesayangan pemberian dari—

Tunggu. Haidar. Ia harus segera pulang. Ia ingat Haidarnya tengah menunggu dirinya pulang.

Ia kembali celingak celinguk, melihat tempat itu bak anak kecil yang tersesat. Ia harus pulang. Tuhan, ia harus pulang. Tolong bawa Marko pulang kembali. Ia ingin pulang. Pulang kembali pada Haidarnya.

“Abang?”

Samar suara itu terdengar entah dari mana. Marko yang tengah kebingungan kembali berjalan menuju asal suara tersebut, “Abang,” Katanya lagi. Semakin ia berjalan, suara itu terdengar semakin jelas. Ia ingat suara itu. Ia ingat siapa pemilik dari suara lembut itu.

“Mama...?”

Sedetik kemudian, siluet Ibunya muncul dihadapannya. Bak malaikat yang turun dari langit. Ibunya terlihat sangat cantik, terbalut sebuah gaun panjang dari bahu hingga menutupi kakinya. Marko bahkan curiga, apakah Ibunya itu benar menapakkan kakinya di tanah atau.... Ia terbang?

“MAMA!!!” Panggil Marko kencang. Ia peluk raga itu, raga yang begitu ia rindukan sejak dahulu kala.

“Abang... Kamu kok udah gede aja, sih?” Wanita itu usap surai Marko lembut, membawa tangan miliknya menuju pipi sang putra yang terlihat begitu tampan.

“Abang, apa kabar, Nak?” Tanya Echa, sambil menatap netra putranya yang begitu mengingatkan dirinya pada sosok lain yang juga begitu ia rindukan. Jef, apa kabar?

“Mama... hiks, mama...” Rintih Marko terdengar begitu pilu. Mungkin itu adalah rintihan seorang anak berusia lima tahun yang begitu merindukan sosok Ibunya. “Mama... Abang... Kangen... Hiks,” Ia kembali merengkuh tubuh Ibunya.

“Mama... Ini Abang mimpi, ya? Kenapa rasanya nyata sekali...” Ia tatap wajah Ibunya yang tengah tersenyum.

“Hmmm... Mungkin? Kayaknya ini mimpi, tapi mungkin ini juga nyata,” Jawabnya.

“Ma, kita lagi ada dimana? Kok Abang baru pernah liat tempat ini?” Tanya Marko lagi.

Echa tersenyum, lalu mencubit hidung putranya gemas. “Abang, mau jalan-jalan sama Mama?” Ia ulurkan tangan itu, yang kemudian disambut hangat oleh Marko.

Keduanya berjalan disana, disebuah hamparan luas tak berpenghuni. Kalau boleh Marko asumsikan, tempat ini seperti stasiun kereta. Tetapi ia tidak melihat adanya rel yang tertancap di tanah ataupun suara kereta yang hendak lewat. Ia hanya bisa mendapati sebuah tempat perhentian yang berdiri disana, bak menunggu penumpang.

“Mama nggak nyangka kamu akan dateng secepat ini,” Ucap sang Ibunda, membuat Marko terkekeh. “Harusnya Abang yang heran, kok Mama nggak pernah main lagi ke mimpi Abang. Mama kemana aja? Mama udah nggak kangen ya, sama Abang?” Ia cemberut.

Echa tersenyum getir, “Abang...”

Marko menoleh, “Iya, Ma?”

“Waktu kamu sudah habis, Nak.”

Wanita itu menatap putranya dengan nanar. Mengapa... Kamu datang secepat ini menyusul Mama, Nak?

“Maksud Mama?”

“Kamu harus ikut Mama sekarang,” Ia berjongkok di hadapan tubuh putranya yang menjulang tinggi sekali. Yang terakhir kali ia ingat, dulu sekali, entah berapa tahun lalu, putranya itu masih setinggi pinggangnya. Tetapi sekarang, putranya itu sudah tumbuh dewasa sekali. Bahkan ia sudah bisa hidup mandiri dengan orang-orang yang paling ia sayangi.

“Abang—”

“Ma, Abang nggak bisa pergi kaya gini,” Lirihnya. Ia sadar, maksud dari kalimat Ibunya tadi. Tentang waktunya yang sudah habis, mungkin itu artinya... Ia harus pulang. Bukan pulang ke rumahnya yang hangat dengan Haidar dan Arka, tetapi... Pulang yang sesungguhnya.

Ia tidak menyangka, momen yang ia tunggu akan tiba secepat ini. Tapi mengapa kepergiaannya harus menjadi luka untuk Haidar dan Arka? Mengapa ia tidak bisa pergi dengan cara yang lebih indah?

“Ma, Abang boleh minta satu permintaan?” Ia tatap netra Ibunya. Air mata itu luruh, ia genggam erat kedua tangan Ibunya yang juga sedingin es.

“Ma, Abang harus pulang. Abang harus ketemu sama Haidar. Abang harus pamit sama dia,” Ucap Marko memohon.

“Abang harus pamit samat Haidar, Ma...” Ia terisak, kembali mengingat pesan yang ditinggalkannya sebelumnya bahwa ia berjanji akan pulang lima belas menit lagi. Ia tidak boleh membuat Haidar menunggu lebih lama.

“Abang, Mama nggak bisa—”

“Ma, Abang mohon. Tolong izinin Abang ketemu Haidar untuk terakhir kalinya. Sebentar aja, Ma. Abang janji. Setelah Abang ketemu Haidar, Abang janji akan ikut Mama. Abang janji akan ikut Mama, dan pulang dengan tenang.” Lelaki kelahiran Agustus itu tersenyum.

“Abang mau kepergian Abang jadi kenangan yang indah, Ma. Abang nggak mau kalo nanti Haidar nangis dan inget Abang karena itu kenangan yang menyakitkan. Abang mau pergi dipelukan Haidar,”

Mendengar itu, sang Ibu hanya bisa menangis. Ia tak menyangka, putranya sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang begitu tulus mencintai seseorang. “Mama nggak bisa kasih waktu lama, Bang...”

“Enggak apa-apa, Ma. Asal Haidar ada disana, semuanya selesai.”


Sungguh tidur panjang nan melelahkan. Suara dari ventilator menjadi hal pertama yang Marko dengar setelah tujuh hari terlelap dalam tidurnya.

Jemari yang kaku itu ia coba gerakkan perlahan. Matanya yang terasa penuh dengan air mata itu akhirnya menetes sedikit demi sedikit, ia merasa sudah kehilangan begitu banyak tenaga hanya dengan terbangun sebentar.

“Ayah?” Merupakan hal kedua yang Marko dengar pagi itu.

“AYAH? AYAH INI ARKA, YAH!” Panggilnya membuat Haidar yang tengah terlelap di samping kirinya lantas bangun, lalu menatap ke arah lelakinya itu.

“Abian?” Sapanya terdengar serak, ia tersengal.

Nafas Marko terasa berat, ia melihat ke arah Haidar lalu menangis.

“Hey, kenapa, sayang? Ada yang sakit? Hm?” Ia tatap wajah pucat pasi milik Haidar itu. Pipi berisi nya hilang. Oh, apakah Marko sudah tertidur selama itu?

“Aku panggil dokter dulu ya, sebentar—”

“Biar Arka aja, Pa. Papa tunggu disini!” Ia bergegas lari keluar dari kamar itu, meninggalkan keduanya sendirian.

“Jangan dulu gerak ya, Abian. Kamu tidur hampir seminggu, pasti pusing banget, 'kan? Tunggu dokter, ya?” Ia usap pipi itu, lalu mengecupnya dalam. Haidar menangis, kembali menangis entah untuk yang ke berapa kalinya.

“Dar...”

“Kenapa lama banget tidurnya, Bi? Kamu nggak kangen aku apa? Aku kangen banget sama kamu disini. Rasanya hampir gila, ditinggal kamu sendirian. Aku nggak bisa, Bi... Jangan tinggalin aku, ya?” Ia genggam erat jemari Marko yang dingin. Ia kecup jemari itu, jemari yang selalu menjadi rumah paling hangat yang selalu menerimanya tanpa tapi.

“Abian... Sayangku...” Ia tersedu-sedu, “Kamu pergi, aku juga.”

“Kalo kamu pergi, aku juga pergi. Kamu alasan aku untuk hidup. Kalau kamu nggak ada, aku juga nggak mau hidup lagi. Kamu nggak boleh pergi.”

“Dar...”

Ia menggeleng, “Kamu udah berjuang keras untuk kembali setelah perjalanan panjang, terima kasih, ya. Makasih banyak udah kembali lagi, Abian. I love you so much, sayang. Please don't leave me again...

“Dar...” Marko susah payah tarik oksigen yang hinggap di hidungnya itu, “Dar... Inget janji kamu waktu itu?”

Marko tatap wajah kesayangannya itu, wajah yang akan sangat ia rindukan ketika sudah pergi jauh. “Kalau aku berpulang... Bawa aku pulang ke Bandung...” Ia kembali menggeram kesakitan, “Maaf, maaf...”

“Haidar... Maaf...”

“Enggak, Marko. Enggak akan gue maafin kalo lo pergi ninggalin gue.”

“Dar... Mama... Mama jemput...”

Mendengar itu, Haidar hanya bisa kembali terisak. “Jadi selama ini... Lo ketemu Mama, Bi?” Marko lantas mengangguk. Ia kembali meneteskan air mata, menyaratkan bahwa ia begitu bahagia bisa kembali bertemu dengan Ibunya itu.

“Jadi... Lo mau ikut Mama aja? Nggak mau sampai tua disini sama gue?” Haidar kembali menangis. “Gue udah janji, Haidar...”

“Makasih, Dar... Makasih ya, sayangku...” Ucapnya susah payah, Marko ucapkan dengan sisa tenaga yang dirinya punya. Agar Haidar tahu bahwa Marko akan selalu berterima kasih atas apapun yang Haidar lakukan untuknya.

“Jangan sedih-sedih, jangan nangis terus. Gue bakal baik-baik aja disana...” Ia usap netra yang basah dengan air mata itu, “I will always love you,

“Peluk gue, Dar...” Pinta Marko untuk yang terakhir kali. “Peluk gue yang erat, ya?”

Haidar lantas duduk disampingnya, memeluk erat Marko seperti ini terakhir kalinya. Atau ini... Memang yang terakhir?

“Maaf, Haidar...”

“Iya, Abian. Gue nggak apa-apa. Gue akan baik-baik aja sama Arka disini.” Ia peluk erat raga itu, “Gue takut... Gue takut. Gue takut nggak bisa ketemu lo lagi,”

“Kita pasti ketemu lagi,” Ucap Marko, lalu tersenyum. Ia lihat bayangan Mamanya sudah tiba di depannya.

“Good bye, Haidar.” Satu pelukan hangat terakhir yang bisa Marko berikan kepada Haidar yang harus bertahan hidup di dunia sendirian. Haidar berteriak kencang, seakan hari ini adalah hari kiamat. Hari kiamat untuk dirinya yang kehilangan Marko. Abian Marko Pratama-nya.

“MARKO!!!!!!!!! MARKO BANGUN, PLIS. BANGUN, SAYANG!!!!” Ia kembali mengaum bak kesurupan, ia rengkuh tubuh itu sangat kencang. Haidar terlalu takut untuk melepaskan tubuh itu.

“Papa... Ayah udah pergi dengan tenang. Ikhlasin ya, Pa?”

Arka muncul dari belakangnya, ia mendengar semua percakapan orang tuanya itu. Ia menangis kencang ketika melihat kedua bola mata teduh milik Ayahnya itu telah tertutup rapat.

“Ayah, terima kasih sudah menjadi Ayah terbaik untuk Arka. Jangan khawatirin Papa, ya? Ada Arka disini yang akan jagain Papa.” Ia ikut rengkuh tubuh Marko yang sudah tak bernyawa itu, lalu kembali terisak kencang bersama Haidar.

Tuhan, dari banyaknya kemungkinan yang ada, apakah cinta mereka bisa menyatu kembali tanpa perlu dipisahkan oleh maut?


—leobabybear 🌹 ditulis hari minggu, pukul setengah sebelas malam.

I'm Sorry. —haidar dan marko.

what if, they didn't make it. an alternative ending.

tw / major character death cw / car crash , blood 4300++ words. enjoy :)

Song Recommendation: Crush – Love You With All My Heart


Makasih sayangku. Cintaku. Duniaku. Semestaku. Belahan jiwaku. Hidup dan matiku.

Marko kembali melihat pesan yang baru saja dikirimnya kepada Haidar itu. Kalau dipikir-pikir lucu juga, hatinya cepat sekali berdebar hanya karena hal sepele seperti ini. Dulu, ia bahkan tidak pernah merasakan hal yang orang bilang “itu namanya jatuh cinta.” Jatuh cinta itu apa sih, lebih tepatnya? Memang ada yang namanya jatuh lalu tumbuh rasa cinta? Bukannya setiap kita terjatuh yang kita bisa rasakan hanyalah rasa sakit dan juga air mata? Tetapi mengapa jatuhnya kali ini terasa begitu... Indah? Apa ini yang orang bilang jatuh cinta pada orang yang tepat?

Haidar Indra Atmajaya—begitulah orang tuanya menamainya—adalah orang yang telah menemani Abian Marko Pratama selama kurang lebih 5 tahun terakhir. Tanpa keduanya tahu, dulu, dulu sekali. Jeratan takdir sudah mengikat keduanya untuk menjadi milik satu sama lain. Jeratan merah yang melingkar pada kelingking keduanya, tampak tak kasat mata bagi orang awam. Namun bagi kedua anak adam itu, mereka bisa merasakan bahwa mereka lahir memang untuk saling menemani satu sama lain.

Lelaki kelahiran Agustus itu lantas bergegas menuju Vespa Merahnya, lalu berjalan turun menuruni jalan Dago Atas yang sejuk. Ia tersenyum di sepanjang jalanan itu, memikirkan masa depan yang fana namun terasa sangat nyata. Pikirannya melayang membayangkan akan seperti apa kehidupan keduanya jika bumi dan seisinya bisa lebih berbaik hati kepada mahluk kecil sepertinya dan Haidar. Apakah semuanya akan jadi lebih baik apabila mereka pergi dari sini? Apakah semuanya akan berjalan sesuai keinginan mereka? Apakah mereka bisa dengan bebas menjadi diri sendiri tanpa perlu merasa takut lagi?

Selagi pertanyaan semu itu menggantung dikepalanya, tanpa sadar ia sudah sampai di Sansco, tempat Haidar tengah menunggu sendirian untuk rapat himpunan. Panggil Marko lelaki acts of service atau apapun itu, ia tahu sebenarnya Haidar akan sangat marah jika mata bulat itu melihatnya berdiri disini. Tapi hati kecilnya juga tahu, bahwa lelakinya itu akan kelewat senang melihat dirinya disini.

Marko lantas terkekeh, lalu melepas helm itu dari kepalanya dan berjalan masuk menuju area kafe. Ia berjinjit dari pintu masuk, membuat pegawai yang tengah berdiri di depan kasir pun terheran. “Selamat dat—” Marko menaruh telunjuknya itu di depan bibir, memberi isyarat kepada pegawai Sansco tersebut untuk tidak bersuara. Yang diberi perintah pun menurut, lalu menyampirkan sebuah senyuman kepada Marko.

Lelaki itu kembali melanjutkan sesi berjinjitnya hingga sampai di area working space yang tengah sepi. Ia mengintip dari dinding yang ada, lalu mendapati Haidar tengah duduk sambil menatap layar ponselnya. Lelaki itu dengan cepat menahan tawanya ketika melihat Haidar menaruh tangan kanannya di kedua pipi yang tengah kemerahan itu.

“Apaan sih nyuruh gue cuci muka mulu, gak jelas.” Ketusnya, membuat Marko tanpa sadar tertawa.

Pft.

Ia melotot, lalu menatap lurus ke depan di mana netra mereka akhirnya bertemu. “MARKO BANGSAT!”

Setelah mendengar itu, Marko lantas bergegas lari dari sana menuju gang sempit tempat khusus area masuk pegawai Sansco. Ia bersembunyi disana sambil mengintip, lalu melihat Haidar celingak celinguk di depan parkiran mencari presensi dirinya. Ia terkekeh, lalu kembali bersembunyi.

Matanya terus terkunci pada satu sosok yang tengah berdiri itu. Bak adegan dari drama-drama Korea, potongan kejadian sore itu terputar dengan sangat lambat di mata juga pikirannya. Ia melihat Haidar, lelakinya itu terlihat sangat menawan padahal dahinya tengah mengkerut akibat rasa kesal. Ia kembali berterima kasih kepada bumi dan juga matahari yang sudah begitu berbaik hati sore ini, karena memancarkan cahayanya yang begitu hangat sehingga membuat Haidar terlihat seratus kali—bahkan seribu kali lebih tampan. Rambutnya yang berantakan, rasa-rasanya membuat Marko ingin menelusupkan jemarinya disana dan menyisirnya hingga dahi itu terpampang dan tidak mengerut kesal lagi. Ia ingin meredakan kekesalan itu dengan sebuah kecupan disana, yang ia percaya akan membuat Haidar salah tingkah untuk kesekian kalinya.

Ia pegang jantungnya yang berdegup sangat kencang, lalu tersadar ketika melihat Haidar akhirnya berniat masuk kembali ke area kafe. Marko lantas keluar dari sana, lalu menarik lengan itu untuk ikut dengannya.

“Marko, sakit! Lepas!” Rintihan kecil itu terdengar, “Hehe, I'm sorry,

“Lo ngapain disini?!” Haidar berbisik, membuat Marko yang melihat itu memajukan bibirnya. Memang jarak keduanya kini tengah terpaut sangat dekat, mungkin akan membuat siapapun yang melihat mereka langsung berpikiran buruk dan memaki keduanya. Tapi, Marko mana peduli?

“Mau pegang pipi lo.” Ia cubit pipi yang kemerahannya terlihat memudar, membuat Haidar yang merasakan afeksi itu langsung mendecih. Marko lantas mengusapnya lembut, merasakan pipi gemas itu di seluruh permukaan kulitnya. Oh, Tuhan. Apa boleh Marko gigit pipi itu sekarang juga?

“Lo ngapain kesini, Abian?” tanya kekasihnya itu lagi, dengan nada yang dipertegas. “Iseng aja.” Marko menjawab rasa penasaran itu sambil membawa jemarinya menuju surai lembut Haidar yang terlihat berantakan. Ia usap-usap kepala itu, lalu menyingkirkan rambut itu hingga dahinya terlihat jelas. Tanpa menunggu lama, ia langsung menjatuhkan sebuah kecupan hangat nan dalam disana.

Yang lebih muda tentu bingung luar biasa, ia kembali mengerutkan dahinya karena perlakuan kekasihnya yang begitu tiba-tiba. “Abian, kenapa?”

“Kenapa apanya?” Ia tangkup wajah berisi milik Haidar, lalu kembali mengusapnya.

“Lo aneh. Ada apa? Jangan bikin gue takut.”

“Aneh apanya, anjir? Orang gue nyium doang, emang nggak boleh?” Ia menatap Haidar, lalu tenggelam dalam netra coklatnya yang begitu indah. Haidar masih curiga, mau apa sebenarnya lelaki ini?

Marko yang menangkap sarat tersebut terkekeh lalu kembali mengangguk, memberikan pertanda bahwa semuanya baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja, 'kan?

Marko kembali membawa tubuh Haidar ke pelukannya, memberinya hangat dan juga rasa aman. Walau mereka tengah dalam bahaya karena mungkin saja akan ada yang memergoki kejadian ini, tapi Marko tidak peduli. Ia hanya ingin menghargai momen masa kini yang tengah berlangsung. Dimana hanya ada dirinya, dan juga Haidar serta rasa cinta keduanya yang begitu besar.

Tuhan, tolong lindungi Haidar dari apapun hal buruk yang ada di bumi. Tapi tolong, jangan jauhkan Haidar dari dirinya satu senti pun. Marko tidak akan sanggup. Ia tidak akan pernah bisa.

“Marko,” Panggil Haidar, membuat pelukan keduanya terlepas. Lelaki itu menatapnya dengan makna yang tersirat, “Hm?” Ia berdehem, bermaksud menutupi suaranya yang sudah bergetar.

“Kalau ada apa-apa, langsung kabarin gue, ya?” Ia tersenyum dengan teduh, “Mau itu hari tersedih, terbahagia, terburuk, atau bahkan terbete sekalipun. Lo harus lari ke gue, oke?”

Marko terkekeh, dan mengangguk setelahnya. “Pasti. Kapan sih gue lari tanpa ajak lo?”


Marko sampai di rumah setelah menitipkan Vespa Merah di bengkel langganannya untuk di service. Ia melihat ke arah jam, sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia memijat bahunya yang terasa berat, lalu bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat.

Ia merebahkan tubuh besarnya itu di atas kasur yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan kisah cintanya dengan Haidar. Ia kembali melihat ke arah ponselnya, lalu membaca isi pesannya dengan sang kekasih. Ia tersenyum ketika membaca kalimat “Iya, nanti gue ke rumah bawain kopi.” Sungguh luar biasa, ya? Rasanya jatuh cinta itu? Perlakuan kecil yang bahkan mungkin orang lain sebut dengan bare minimum, sebenarnya berarti besar bagi orang lain—atau lebih tepatnya, orang sepertinya. Marko menatap ke arah langit-langit kamarnya yang putih bersih itu, lalu menghela nafas beratnya. Tuhan, apa boleh Marko sebahagia ini? Ia bahkan belum menikahi Haidar—tunggu, apakah boleh ia mengkhayal seperti ini? Tuhan, bahkan Marko rela mati bahagia sekarang.

Tok tok tok

Marko terperanjat, ia terbangun setelah mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. “Abang, kamu ketiduran ya? Ini udah jam 9 malem, pamali loh kamu tidur dari Maghrib tadi,” Sahut Jefri, membuat Marko yang mendengarnya lantas mengucek kedua matanya. Ia berkedip sebentar, kepalanya terasa pusing.

“Kalo laper langsung ke meja makan aja ya, Bang. Papa bawa sate anggrek,”

“Makasih, Pa,” Ia menyahut, lalu bergegas bangun dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan berganti baju.

Setelah merasa segar, Marko akhirnya menuju meja makan untuk makan malam. Ia melihat sate kacang kesukaannya itu tersaji disana, membuatnya langsung mengambil sepiring nasi dan segera melahapnya tanpa sisa. Sesekali ia melirik ke arah ponselnya yang tergeletak disampingnya, menunggu sebuah notifikasi yang tak kunjung hadir.

“Lama banget,” Ia bergumam di tengah heningnya malam dingin itu. Marko pun lantas menegak air putih di dalam gelas itu sekaligus, lalu mencuci piring dengan cepat dan berjalan menuju kamar sang Ayah.

Good night, Pa. Thank you for the meal. Abang sayang Papa,

Sebelas, dua belas. Jam di layar ponselnya bahkan sudah menunjukkan angka 00.00, hari pun sudah berganti. Namun presensi Haidar yang ia tunggu sedari tadi masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Ia mulai menggigit kukunya kasar, pertanda gelisah. Mungkin udah pulang, lupa ngabarin. Hp nya abis batre, terus dia ketiduran kali, ya? Batin Marko mencoba untuk terus berpikir positif.

00.30, atau tepatnya pukul setengah satu dini hari, sebuah notifikasi yang tidak pernah ia bayangkan akhirnya tiba. Sebuah sinyal SOS itu terpampang pada layar ponselnya, membuat jantungnya terasa terhenti untuk sepersekian detik. Ia mencoba untuk kembali sadar dengan apa yang tengah matanya lihat, namun pesan itu benar-benar nyata. Marko pejamkan matanya, lalu dengan cepat bulir air mata itu luruh di pipinya yang merah padam karena ketakutan sekaligus marah.

Ia menendang dipan kasurnya yang terbuat dari kayu itu, bermaksud melampiaskan apa yang tengah ia rasakan. Ia lantas berlari keluar dari kamarnya yang gelap menuju ruang keluarga, berniat mencari presensi kunci motornya yang ternyata hilang. Marko baru ingat, motornya tidak ada disini.

“GOBLOK, GUE LAGI BURU-BURU GINI SELALU ADA AJA HALANGANNYA, ANJING!” Pikirannya kalut, ia dengan cepat mengambil kunci mobil milik sang Ayah yang ada disana. Tanpa berpikir lebih lama, ia bergegas menuju Flyover Pasupati.

Air mata terus terjun dari matanya. Ia menggenggam setir mobil sekuat yang ia bisa, karena ia tahu, dalam keadaan seperti apapun jika hal itu menyangkut Haidar, Marko bahkan rela kehilangan dirinya sendiri asal lelakinya itu baik-baik saja.

Jalanan sepanjang Dago Atas itu terasa menyesakkan, Marko terus menambah kecepatan mobilnya melintasi pepohonan tinggi di area rumahnya yang terasa mencekam. Membuatnya semakin terasa gila karena ia tak kunjung sampai di Pasupati.

Ia akhirnya sampai di pangkalan stasiun Dago, lelaki itu akhirnya bisa melihat cahaya dari gedung-gedung dan juga rumah yang ada di sekelilingnya. Ia melihat jalanan begitu sepi, membuatnya semakin menambah kecepatan dengan harapan ia bisa segera sampai di tempat Haidar. Lelaki itu bahkan menghiraukan sebuah panggilan masuk yang sedari tadi muncul di layar ponselnya, ia tidak ingin terganggu oleh apapun. Marko hanya ingin cepat sampai di Flyover Pasupati sekarang juga.

Setelah menuruni jalanan panjang Dago itu, akhirnya Marko sampai di persimpangan lampu merah. Ia lihat lampu lalu lintas itu masih menyala dengan warna hijau, dan ketika ia akan menambah kecepatan lagi ia melihat layar ponselnya menampakkan nama Haidar. Ia dengan cepat mengambil ponsel itu, dan tanpa sadar kakinya yang masih menginjak pedal gas membuatnya melintas lampu lalu lintas yang ternyata sudah berganti warna menjadi merah.

BRAK!!!!

Kepala itu terbentur kaca di sampingnya dengan sangat kencang hingga membuat kaca tersebut pecah tak tersisa. Mobil sedan hitam itu dengan cepat terbalik dua kali hingga akhirnya mengenai beton jalanan yang membuat Marko terhimpit diantara reruntuhan mobil dan juga pembatas jalan. Ia menggenggam ponsel yang masih menyala itu dengan erat, sekuat yang ia bisa. Ia merasakan darah mengalir dari seluruh penjuru badannya, terutama di kepalanya. Ia merasakan darah itu terjun bebas menutupi pandangannya, yang perlahan membuatnya menyesali apa yang terjadi semenit lalu.

“Dar...”

Ia masih bisa melihat ponselnya itu terus menyala, masih menampakkan satu nama yang belum beranjak dari panggilan tersebut. Tangan kanannya tersangkut, ia bahkan tidak bisa untuk sekedar mengangkat tangannya. Ia tidak bisa merasakan apapun lagi di bawah sana.

“Dar...”

Marko terus menggumamkan satu nama itu, nama yang terus berputar di kepalanya sejak hari pertama mereka bertemu. Dengan susah payah Marko menggerakan tangan kirinya yang masih menggenggam erat ponsel itu, tapi ia tidak berhasil. Panggilannya terputus.

“AMBULANS!!! AMBULANS!!! TOLONG!!!! INI PERSIMPANGAN DAGO, DEKET MCD, ADA KECELAKAAN!!!!!” Samar-samar ia dengar sebuah suara dari luar sana.

“To-tolong....”

“AMBULANS!!!!!! TOLONG!!!!!!!”

Teriak orang itu histeris. Marko asumsikan keadaannya sekarang mungkin sangat teramat mengerikan. Ia berterima kasih kepada siapapun di luar sana yang masih berkeliaran di jam satu pagi seperti ini. Terima kasih sudah menyelamatkannya. Marko masih harus tetap hidup. Ia harus menyelamatkan Haidar. Ia harus memastikan Haidar tetap hidup dan baik-baik saja.

Bi, tau gak?

Katanya, kalo nanti kita meninggal, ada waktu sekitar 7 menit sebelum waktunya otak kita berhenti bekerja. Dan katanya, di sisa waktu itu, kita bakal diliatin memori yang palingggg berkesan selama hidup sebelum akhirnya meninggal. Kok bisa keren gitu, ya?

Rooftop kembali menjadi saksi bisu perbincangan kedua anak adam yang tengah nikmat berbaring itu. Tak ketinggalan ditemani sepoinya angin kota Bandung yang menerpa kulit keduanya, Haidar dan Marko tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

“*Keren maksudnya?”

Iya, keren. Bahkan dalam keadaan hidup dan mati pun, kita masih dikasih kesempatan buat kembali mengingat memori paling berkesan yang pernah terjadi dalam hidup kita. Sebegitu baiknya Tuhan ngerangkai cara kerja hidup kita, sampe organ tubuh yang ada di dalem tubuh kita pun dikasih tugas terakhirnya sebelum kita bener-bener pergi. Padahal kan kematian itu mengerikan—tapi mungkin karena Tuhan tau kematian itu mengerikan—dia menyiapkan momen terakhir buat kita untuk mengingat bahwa hidup itu sebenarnya indah. Semuanya indah, dan kita nggak perlu pergi dengan mengingat apa yang tertinggal, tapi kita hanya perlu mengingat apa yang paling bikin kita bahagia.

Marko menoleh ke arah Haidar, lalu terkekeh saat melihat lelaki itu meracau.Menurut lo, nanti kalo kita meninggal, memori yang bakal keputer tuh apa, ya?Lelaki itu ikut menoleh ke arah Marko yang telah menatapnya sedari tadi.

Ini.Marko dengan cepat mendekat ke arah Haidar, lalu mengecup bibirnya. Yang dicium melotot, lalu menjauhkan bibir itu dari bibirnya. “LO GILA YA?!?”

Marko terkekeh, “Ya bener kok, ini. Yang bakal gue inget pasti cuma lo. Dimana gue cium bibir lo, atau saat meluk lo, atau pas bonceng lo, atau pas tidur bareng sama lo sambil nangis. Ya apalagi kalo bukan tentang lo?”

Haidar membeku, ia melipat bibirnya lalu mengalihkan pandangan dari lelaki menyebalkan itu. “DUNIA LO NGGAK GUE DOANG KALI!” Ia cemberut, “Dunia gue itu lo. Cuma lo.”

Cih,” Haidar mendecih, lalu berbalik dengan maksud memunggungi Marko. “Gak usah salting, lo jelek.” Ejek Marko.

SIALAN LO DIEM GAK!!!!!” Haidar bangkit dari tidurnya, lalu menendang bokong itu. Ia lantas berdiri dan berlari dari sana karena perasaan di hatinya yang terlalu membuncah. Ia tidak bisa. Tidak akan pernah biasa dengan semua ini.

Marko yang melihat itu pun ikut bangkit dan segera berlari menyusul Haidar, lalu menarik tangannya untuk ikut berlari-lari di atas rooftop kosong tersebut. “I LOVE YOU HAIDAAAAR!!!!”

Haidar yang tengah ikut berlari bak anak anjing itu hanya bisa menahan tawanya, “I HATE YOU MARKOOOOO!!!!”

Demi tuhan, Jefri tidak tahu dosa apa yang pernah ia perbuat di masa lalu sampai-sampai ia harus kembali merasakan dejavu seperti ini. Ia tidak pernah menyangka akan berdiri kembali di depan ruangan UGD yang membuatnya trauma luar biasa. Ia masih ingat disforia ini, ingatan belasan tahun silam dimana ia kehilangan istrinya kembali terputar dibenaknya. Ia tidak ingin mengulangi kejadian itu. Tuhan, tolong. Dimana putranya sekarang?

“Bapak Jefri?” Satu suara itu berhasil membangunkannya dari lamunan buruk itu. “Saya dari kepolisian Coblong, mendapatkan informasi bahwa mobil Bapak baru saja mengalami tabrakan di persimpangan Dago.”

Jefri pejamkan kedua matanya, berusaha untuk tidak bergetar hebat dengan terus mencengram jemarinya. “Mobil Bapak masih ada di TKP bersama dengan tersangka, untuk korban yang ada di dalam mobil Bapak sudah kami serahkan kepada pihak rumah sakit. Kami akan selidiki kecelakaan ini apakah—”

“Anak saya... Dimana anak saya?”

“WALI ATAS NAMA PASIEN ABIAN MARKO PRATAMA, SEKALI LAGI PANGGILAN KEPADA WALI ATAS NAMA PASIEN ABIAN MARKO PRATAMA!” Suster di ruang UGD itu tengah mencari keberadaannya, membuat Jefri berlari kesana. “Anak saya... Anak saya...”

“Bapak mohon maaf, apakah Bapak wali dari—”

“Abang... Abian... Ini Papa...”

Suster yang mendengar itu lantas mengulum bibirnya, dan membawa Jefri yang sudah kehilangan akalnya menuju ruang tindakan.

“ADA PASIEN BARU KECELAKAAN DI FLYOVER, PATAH TANGAN DAN LUKA MAJOR DI KAKI KEADAANNYA MASIH SADAR ADA YANG BISA BANTU?!??!” Satu suara lain yang terdengar dari luar sana, membuat sang suster terlihat sangat kewalahan.

“Bapak, mohon tunggu disini. Kami sedang berusaha sebaik mungkin,” Suster itu mencoba menenangkan Jefri yang sudah jatuh terduduk di depan ruangan di mana putranya tengah berjuang hidup dan mati.

“SUSTER, DIMANA ANAK SAYA? SUSTER, TOLONG. ANAK SAYA YANG BERNAMA HAIDAR DIMANA?”

“Saat ini kami baru saja menerima dua pasien kecelakaan. Akan kami informasikan kembali apabila kami sudah bisa mengidentifikasi pasien,” Dengan cepat suster lain yang baru saja bergabung itu menenangkan pasangan lain yang baru saja datang.

“ANAK SAYA YANG KECELAKAAN DI FLYOVER, SUSTER... DIMANA ANAK SAYA?” Suster itu kembali menuntun Egi menuju ruang tunggu, “Anak Ibu akan baik-baik saja. Dokter sedang menangani anak Ibu disana, anak Ibu akan baik-baik saja,” Ucapnya kembali.

“Egi, Haidar baik-baik aja... Tenang, ya?” Joni disampingnya dengan cepat membawanya ke pelukan.

“DEFIBRILLATOR!!! DENYUT JANTUNGNYA HILANG!!!” Mendengar itu Jefri berdiri, lalu bergegas masuk menuju tempat putranya terbaring.

“BAPAK, DIMOHON MENUNGGU DI LUAR—”

“Abang, ini Papa... Abang, kamu bisa denger suara Papa?” Lelaki paruh baya itu dengan cepat menggenggam tangan putranya yang sudah dingin, “Abang, jangan tinggalin Papa. Abang, tolong. Papa belum siap, Bang. Ayo bangun, ya? Abian Marko Pratama...”

Ia menatap kedua mata yang tertutup rapat itu, lalu mengusapnya lembut. “Abang, kenapa... hiks...” Tangis lelaki itu pecah kembali hingga akhirnya ia ditarik untuk menjauh dari sana, membuat dokter yang sedang menangani kembali memberi kejut jantung pada Marko yang sudah terbaring tak bernyawa.

“ABANG!!!!!!!!!!!” Jefri kembali berteriak histeris. Monitor pada layar telah menunjukkan garis lurus, Jefri kini sendirian.

Egi serta Joni yang melihat itu lantas ikut menangis, mereka berdua tahu siapa yang ada di balik ruangan itu. “Jo, Marko...” Egi menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu kembali menangis kencang.

“Mohon maaf, dikarenakan pendaharan hebat yang terjadi di dalam perut dan juga kepala... Pasien tidak selamat.”

Hancur. Bumi ini memang pantas Jefri hancurkan.


Suara cicitan burung mungkin adalah hal pertama yang Haidar dengar setelah ia bangun dari tidurnya. Ia merasakan ada sebuah tangan hangat yang tengah menggenggamnya, apakah itu Marko? Dalam hati ia berharap bahwa yang tengah tertidur disampingnya ini adalah kekasihnya. Berharap hal pertama yang dapat ia dengar dari mulutnya itu adalah kalimat manis dimana ia begitu khawatir setelah melihat keadaan dirinya saat ini. Haidar dengan sengaja enggan membuka matanya yang masih sedikit kabur, lalu tersadar ketika tangan tersebut terasa sedikit lebih lembut.

“Ade? Ade udah sadar?” Itu bukan suara Marko. Itu bukan suara lelakinya. Kenapa ada Amih disini? Bukannya semalam yang ia hubungi adalah Marko? Kenapa malah ada Amihnya disini?

“Amih...?” Haidar betulan terkejut, ia belum menyiapkan skenario apapun untuk membela diri di depan sang Ibu. “Amih, ade bisa jelasin—”

“Gapapa, Ade. Amih nggak akan nanya apapun,” Wanita itu tersenyum, membuat Haidar keheranan.

“Amih... Nggak penasaran kenapa Ade celaka?”

Egi kembali mendekat, lalu mengelus pipi putranya. Mengusap luka-luka yang masih basah itu, lalu menangis. “Yang penting kamu masih disini. Itu yang paling penting buat Amih. Itu udah cukup.” Mendengar ucapan itu, dahinya mengkerut. “Amih ngomong gitu kaya Ade bakal meninggal aja.”

Itu mimpi buruk semua orang tua, De. Kehilangan anak mereka bahkan sebelum waktunya mereka pergi.

Haidar tekekeh, “Ade baik-baik aja, Amih. Udah jangan nangis,” Ia melepas tautan jemari sang Ibu lalu bergegas menghapus jejak air matanya.

“Tapi, perasaan semalem Ade nelfon—”

“Hmm?”

“Eh? Enggak Mih, hehe.” Ia tersenyum. Melihat itu Egi hanya bisa tersenyum getir, lalu kembali mengelus jemari putranya. “Ade, Amih nggak tau harus bilang ini sama kamu sekarang atau engga, tapi—”

“Mih, hp Ade mana?” Tanya sang putra, membuat kalimatnya terputus. “Ade laper, Mih. Mau makan,” Egi dengan cepat mengangguk, “Tunggu ya, Amih mintain dulu sarapan ke suster.” Ia dengan cepat bangkit lalu berjalan keluar kamar, lalu kembali lagi dengan ponsel putranya.

“Jangan dulu main hp kalo bisa, kamu baru bangun nanti pusing,” Titahnya, membuat Haidar mendecih. “Emangnya Ade anak kecil?”

Setelah sang Ibu pergi, Haidar bergegas membuka ponselnya. Ia melihat dengan jelas dan seksama, memastikan sekali lagi bahwa ia sudah mengirim pesan SOS kepada Marko.

“Marko kemana, sih? Kok nggak ada disini,”

Haidar cemberut, “Dasar cowok nggak jelas. Katanya bakal langsung muncul kalo gue kenapa-kenapa, mana buktinya? Emang omongan cowok nggak ada yang bisa dipercaya.”

“Argh!” Rintihnya saat lengan yang tengah digips itu tersenggol. “Sialan, sakit banget lagi.” Haidar mencoba untuk turun dari kasurnya, lalu berjalan keluar meninggalkan kamarnya.

“Amih mana sih...” Lelaki itu terus berjalan hingga sampai di depan ruang UGD. Ia masih ingat kejadian semalam dengan sangat jelas, dimana ia dibawa oleh ambulans dan terbaring disini. Seluruh badannya dibalur dengan betadine hingga ia menjerit kesakitan, dan setelah itu gelap. Ia tidak ingat apa-apa lagi.

Haidar melihat ke sekeliling ruangan yang terlihat hening itu, “ADE!” Panggil Egi dari belakangnya, membuat Haidar terperanjat kaget.

“Amih, ih! Jangan teriak-teriak, ini UGD,” Dilihatnya raut khawatir muncul dari wajah Ibunya, membuat Haidar kembali mengerutkan dahinya. “Amih kenapa, sih?”

“Kamu nggak ada di kamar, Amih panik. Kamu ngapain disini, Nak? Jangan bikin Amih takut, tolong...” Egi taruh kedua tangannya di atas pundak sang putra, lalu membawanya ke pelukan. “Amih lama, jadi Ade—”

Kalimatnya terputus saat kedua netranya melihat satu sosok yang tak asing di depannya. “Papa Jefri?”

Egi melepas pelukannya, lalu ikut melihat ke arah pandang sang putra. Ia terkejut, lalu menghalangi tubuh putranya itu. “Ade, kamu laper 'kan? Ayo balik ke kamar, kita sarapan,”

“Sebentar Amih, Ade mau ke— Om Jefri!”

Lelaki itu menoleh, lalu mendapati seorang Haidar yang tengah mendorong infus di tangan kirinya itu berjalan mendekat ke arahnya. “Assalamualaikum, Om. Saya Haidar, temennya Marko,” Ia tersenyum, lalu membungkuk karena tidak bisa memberikan tangan kanannya untuk sekedar salam.

“Haidar?” Ia tersenyum getir.

“Om mungkin nggak kenal sama saya, karena belum pernah ketemu. Hehe. Saya temen SMA dan kuliahnya Marko, Om,”

Oh, i've been knowing you since day 1, Haidar.

“Om lagi apa disini? Om sakit?” Mendengar itu senyum Jefri lantas memudar. Mata lelahnya cukup membuat Haidar untuk menarik kesimpulan bahwa Ayah Marko itu sedang tidak baik-baik saja. “Om nggak sakit, tapi—”

“Om sendirian? Markonya kemana? Kok nggak ditemenin? Jahat banget ya diamah, bikin Om sendirian ke rumah sakit,” Ia kembali terkekeh, membuat Jefri kembali berkaca-kaca. “Iya, Marko jahat, Nak...”

Melihat itu Haidar berhenti terkekeh, ia merasa sadar diri ketika melihat Papa Jefri menangis. “Eh, Om... Maaf, Haidar nggak maksud gitu, Haidar bercanda—”

“Marko udah nggak ada, Haidar,”

Sesaat setelah kalimat itu keluar dari mulut Jefri, telinga Haidar mendadak ngilu. Gendang telinganya berdenging sangat nyaring sampai-sampai membuatnya pening luar biasa. Ia memiringkan kepalanya sejenak, berniat menghilangkan suara yang membuatnya tak nyaman itu.

“Gimana, Om? Nggak ada maksudnya—”

“Marko meninggal semalam karena kecelakaan mobil di perempatan Dago, Haidar. Dia kebut-kebutan dari arah atas, dan dari arah Dipatiukur ada yang lagi ngebut juga. Lampu lalu lintas sudah berganti jadi merah tapi Marko masih dalam kecepatan tinggi, dan disitu dia kecelakaan sampe mobilnya terbalik. Kepalanya pendarahan hebat, Marko ninggalin saya sendirian, Haidar...”

Egi di belakangnya hanya bisa menahan tangis, ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang Jefri yang harus kehilangan anaknya dalam waktu satu malam. Ia tidak bisa membayangkan apabila dirinya yang ada disana sekarang, harus melihat Haidar terbujur kaku tak bernyawa— tidak, Egi tidak akan pernah bisa.

“Om minta maaf atas nama Marko—”

“Dimana dia sekarang?”

“Haidar, keadaannya sudah nggak—”

“Om,” Haidar telan ludahnya mati-matian, “Dimana, Om? Dimana Marko?” Air mata itu luruh juga, masa bodoh dengan Jefri yang akan menganggapnya aneh atau apa. Ia tidak peduli. Ia hanya butuh Marko. Marko-nya.

Jefri menoleh ke arah kanan, ke arah sebuah ruangan yang semalam menjadi tempat terakhir Marko menghembuskan nafasnya. Dengan cepat Haidar melepas infus yang tertancap di tangannya itu, lalu berjalan masuk kesana.

Pemandangan yang Haidar lihat pertama kali adalah sebuah kain putih yang sudah menutupi satu sosok di bawahnya. Apapun itu, Haidar masih enggan menerima bahwa itu adalah Marko. Walaupun ia sudah membaca nama yang tertera pada kasur ruangan itu sebagai Marko, ia masih perlu membuktikan dengan kedua mata kepalanya sendiri.

Seluruh badannya bergetar hebat, langkahnya terasa begitu berat. Dengan susah payah dan sisa keberanian yang tersisa, ia akhirnya menyampirkan kain putih yang menutupi tubuh itu. Tangisnya dengan segera pecah, Haidar terjatuh.

Ia berteriak, memanggil satu nama yang hanya ada dikepalanya. “MARKO! MARKO!!!! MARKO BANGUN!!!!! BANGSAT, BANGUN SIALAN!!!!!

Mendengar itu Jefri bergegas menyusulnya, dan membantu Haidar yang sedang berusaha untuk kembali berdiri. “Haidar, sudah ya—”

MARKO, INI GUE, HAIDAR. MARKO, BANGUN, PLIS...” Isaknya begitu kencang, membuat siapapun yang mendengarnya ikut merasa pilu.

“Marko, marko... Marko...”

Sayang... Ini gue, Haidar... Marko... Kenapa... Lo disini... Lo harusnya—” Ia tercekat, kembali menangis sekencang-kencangnya. “Marko, marko...” Haidar melepas pegangan erat dari Jefri, “Marko, kenapa muka lo pucet banget? Hmm?” Ia usap wajah yang sudah pucat pasi itu, kulitnya dingin. Ini bukan Marko. Ini bukan kekasihnya yang memeluk dengan hangat kemarin. Kemana Marko miliknya?

“Sayang... Marko... Hey, bangun. Hmm? Ini gue, gue disini. Gue baik-baik aja. Kenapa malah lo yang ninggalin gue?” Ia terduduk disamping ranjang itu, “Marko... Marko... Marko...” Ia terus memanggil nama itu, berharap yang dipanggil akan kembali membuka matanya dan memeluknya. Berharap nama yang dipanggil akan kembali tersenyum dan berkata, “It's a prank, sayang. Jangan nangis,

Kalau saja Marko mengangkat telfonnya semalam, Marko tidak akan terbaring disini. Marko pasti akan duduk disampingnya sambil mengenggam tangannya sekarang.

“Mana janji lo? Katanya nggak akan pergi ninggalin gue sendirian, lo bohong. Kenapa lo bohong?”

“Marko bangun...”

Ia kembali mendekat, menaruh kedua tangannya di pipi yang dingin itu. “Kenapa nggak angkat telfon gue semalem, Bi? Kenapa... KENAPA?!”

“Marko... Ini nggak adil, lo nggak boleh pergi... Lo nggak boleh ninggalin gue, lo nggak boleh pergi sialan. Bangun, plis? Ayo bangun, sayang...” Haidar menggoyangkan tubuh kaku itu, lalu kembali menangis.

“Marko, kenapa badan lo dingin banget? Lo nggak pake jaket ya semalem, hmm? Marko, bangun... Jawab gue, plis?” Ia remat kain putih itu, “Marko... Bangun... Lo belum pamitan sama gue, gue nggak akan relain lo pergi sampe kapanpun. Lo nggak boleh pergi tanpa seizin gue. Bangun, Abian. BANGUN!!!!” Haidar pukul dada itu berkali-kali hingga akhirnya dihentikan oleh Jefri.

“Haidar, sudah. Marko sudah pergi dengan tenang. Biarin dia pergi, ya?”

“ABIAN MARKO PRATAMA!!!!!!!”

Ia terus memanggil nama itu hingga semuanya gelap. Tidak ada yang tersisa selain rasa takut yang menggerogoti jiwa Haidar. Membayangkan ia harus tetap hidup di dunia yang kelam ini, membuat lelaki itu terus menangis dalam tidurnya selama beberapa hari. Ia sendirian sekarang. Ia sudah tidak punya alasan untuk hidup. Ia ingin Marko kembali.

Atau kini, sudah waktunya bagi Haidar untuk menyusulnya?

Dar, lo tau nggak? Gue selalu berdoa agar lo dijauhkan dari segala hal buruk yang ada di bumi. Ngeliat gimana sekarang guenya yang dijauhin dari hidup lo, mungkin hal buruk yang selama ini gue takutin adalah diri gue sendiri? Gue nggak mau jadi hal buruk itu, Dar. Dan Tuhan udah jawab semuanya sekarang. Maafin gue, Haidar.


—leobabybear 🌹 ditulis hari selasa, pukul dua dini hari.

Sampai Jumpa Lagi, Sayangku. —haidar dan marko.

what if, salah satu dari mereka pergi lebih dulu.

tw / major character death , hospital cw / hurt comfort , angst

Song Recommendation: d4vd – Here With Me


Sebentar lagi musim dingin akan datang. Pohon-pohon cantik yang tadinya penuh dengan warna merah, kini mulai gugur berjatuhan dengan kelopaknya yang kian berganti warna menjadi jingga kekuningan, nyaman sekali untuk dilihat. Semilir angin semakin sering menyapa permukaan kulit warga kota Amsterdam, seolah mengirim sinyal untuk segera rapatkan mantel tebal mereka yang sudah terlalu lama bersembunyi di lemari masing-masing.

Kulitnya sudah semakin keriput, makin peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi, juga makin rentan terkena beragam penyakit. Dasar orang tua tidak tahu diri.

Haidar, yang tengah duduk nyaman di kursi tua sebuah rumah sakit itu ada disana dengan setelan tidurnya. Masih lengkap dengan infus yang menancap di tangan kiri, dan juga canula—sebuah alat bantu untuk bernafas—tersenyum ketika melihat sebuah burung camar jatuh di hadapannya.

“Pa!”

Itu suara Arka, berlari dari arah kanan bersama dengan selimut tebal juga jaket di kedua tangannya. Anak itu ngos-ngosan, lelah karena sudah berlari sangat jauh.

“Dicariin dari tadi sama Ayah, malah diem disini ternyata,” Sahut Arka, lalu berjongkok di depan sang Papa yang tengah melamun. Memperhatikan burung camar yang sedari tadi tengah nyaman berjalan di area taman belakang rumah sakit tempatnya berdiam diri beberapa bulan terakhir.

“Ka,”

Ia mengadah sebentar, lalu membawa jaket serta selimut itu ke pundak sang Papa. “Iya, Pa?”

“Gimana ya, rasanya bisa terbang sebebas burung itu?” Tanya Haidar, masih belum juga mengalihkan pandangan dari sana. “Gimana rasanya ... Bisa hidup tanpa beban, terbang semaunya kesana kemari.”

“Gaenak, Pa. Jadi burung itu gak enak terlepas dia bisa terbang sebebas-bebasnya. Buat apa coba hidup bebas kalo nggak punya arah tujuan yang jelas, terus akhirnya malah nabrak?”

Arka, yang tengah mengaitkan kancing terakhir jaket itu akhirnya mendapatkan sebuah toyoran pelan di keningnya dari sang Papa. “Kamu ini, bisa lembut sedikit nggak kalau lagi ngomong sama Papanya? Jahat banget.”

“Itu bukan jahat, Pa. Itu namanya logis.”

Ia usap keningnya sebentar, lalu duduk disamping Haidar yang tengah cemberut. “Ayah kemana?”

“Tau tuh, tadi kita mencar nyariin Papa. Kenapa gamau diem banget sih, Pa? Kasian tau, Ayah jadi ikutan harus kesana kesini,” Arka dan mulutnya yang sedikit tajam, membuat Haidar sadar sekali lagi bahwa putranya ini benar-benar sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa seutuhnya.

Got you.

Keduanya serentak menoleh ketika mendengar satu suara yang sudah familiar di telinga mereka, “Kok nggak nelfon Ayah, Ka? Kalau Papa udah ketemu?”

“Hehe. Lupa,”

Marko, dari samping sana hanya menghela nafas lelahnya lalu kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kursi itu. Dilihatnya masih ada satu tempat kosong di samping kiri Haidar, membuatnya tanpa ragu langsung duduk disana.

You okay?

Haidar mengangguk.

“Kamu harusnya check up tadi, kenapa malah ngilang dari kamar?” Tanya Marko ketika ia sudah bisa mengontrol nafasnya. “Ya ... Untuk apa? Kita udah tau kok, sama jawabannya.”

Marko dan Arka yang mendengar itu mendadak kelu lidahnya. Tenggorokan mereka sama-sama tercekat, air mata otomatis minta untuk dikeluarkan sekarang juga.

“Ka, dengerin Papa,” telapak tangan yang hangatnya tidak pernah berubah itu hinggap di tangannya.

“Jagain Ayah ya,” Ia menoleh pada putra satu-satunya itu.

Hangat. Tangan Papanya masih hangat. Papanya masih ada disini.

“Yang semangat kerjanya, jangan terlalu nyaman hidup sendiri. Kamu juga perlu teman hidup,”

Arka diam, bingung harus menjawab apa.

Haidar lepas tautan tangan bersama sang putra, lalu beralih kepada sang suami yang duduk di sebelah kiri. “Bi, dengerin gue,”

I love you.

Marko tersenyum, “I love you too. Sekarang, jangan dulu mikirin apa-apa dan tetep berusaha, ya? Kita hadepin sama-sama, just like the old times. Oke? Jangan dulu bilang yang nggak akan terjadi, it will not happen. You have me. You will be alright.

Ia cium punggung tangan itu sedalam-dalamnya, “Tenang, 'kan ada Marko.”


Ada rasa takut yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya ketika dokter yang menangani Haidar bilang bahwa hidup lelakinya itu sudah tidak lama lagi. Ia bingung luar biasa, harus bilang apa nanti kepada Papa Joni dan Amih Egi kalau tau Haidar disini tengah berjuang dengan hidupnya yang tidak lama lagi? Harus bilang apa nanti kepada A' Hendri kalau ia tahu adiknya tengah kesakitan? Harus bilang apa nanti kepada Narendra, kalau tahu sahabatnya tengah berada di persimpangan hidup dan mati? Harus bilang apa nanti kepada Arka, sang putra yang hidupnya selalu bergantung pada Haidar?

Harus bilang apa dia pada dirinya yang belum siap kehilangan?

Langkahnya semakin melamban ketika hampir sampai di depan ruang inap sang suami. Dari kaca panjang itu terlihat tubuh lemah cintanya, dunianya, hidupnya itu tengah terbaring dengan sisa nyawanya yang ada.

Ia geser pintu itu, lalu kembali menutupnya dengan satu gerakan cepat. Setelah menguncinya, ia tarik sebuah kursi dari sana lalu memindahkannya ke samping kiri Haidar. Ia duduk dengan mudah disana, menghalangi sinar matahari yang masuk lewat celah-celah jendela yang tertutup rapat. Haidar tidak boleh terkena udara dingin.

Ia menelusupkan tangan hangatnya menuju tangan kiri Haidar yang masih ditancapi infus. Melihat punggung tangan yang mulai keriput itu kini ditemani lebam kebiruan karena terlalu sering dipasang jarum suntik.

Hatinya sungguh diremat habis-habisan kala melihat kening itu sesekali mengkerut, seperti tengah menahan rasa sakit. Ia genggam tangannya erat, sambil memohon untuk dipindahkan saja segala rasa sakit yang meradang di tubuh Haidar itu ke tubuhnya.

“Jangan ditahan, Sayang. Kalau sakit bilang, aku disini.”

Marko dengan suara lembutnya itu berhasil membangunkan Haidar dari sesi tidurnya. “Hai,”

“Hai. Dimana yang sakit?”

Haidar kembali menggeleng, entah untuk yang ke berapa kali. “Enggak ada yang sakit, Abian.”

“Jangan bohong, Haidar.”

I'm not. 'Kan ada Marko.” Ia tarik garis bibir pucatnya itu cukup tinggi, “Gimana hasil check up kemarin?”

Marko mencoba untuk atur degup jantungnya yang makin berisik, ingin berteriak namun ia tahan sebisanya. “All good. Kamu bisa sembuh, Sayang.” Ia tersenyum.

Haidar terkekeh.

Hening, hanya ada mata yang saling bicara pagi itu. Burung berkicau dengan merdu, menjadi teman mereka di hari yang berhasil membuat hati kedunya patah bersamaan. Yang satu karena harus siap ditinggalkan, yang satu karena harus siap meninggalkan.


Arka sampai dirumah setelah sang Ayah menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat sejenak karena kemarin ia sudah menjaga Haidar di rumah sakit. Walau hatinya terasa berat, enggan meninggalkan sang Papa sedetik pun, namun ketika ia tatap netra sang Ayah ... Ia langsung paham. Marko meminta satu hari untuk bersama Haidar sebelum waktunya tiba.

Rumah dengan dominansi warna putih itu terlihat suram, tidak seperti biasanya. Dulu, akan ada Haidar yang menyapanya di pintu ketika ia pulang sekolah. Akan ada Marko yang menyapanya dari meja makan, sambil memegang koran dan segelas teh hangat di sore hari.

Tapi hari ini, kedua sosok itu hilang dari pandangannya. Penyelamat hidupnya itu hilang dari sisinya.

Seharian ini Arka merasa linglung, selain faktor keadaan Papanya yang memburuk, ada juga faktor-faktor lain yang membuatnya lelah menjadi orang dewasa. Pekerjaan, tuntutan lingkungan untuk segera menikah dan punya anak, juga tuntutan untuk segera mapan, mencekiknya secara perlahan dan kini berada di puncaknya.

Ia tidak menyangka bahwa menjadi dewasa akan sesulit ini. Ia ingin kembali menjadi seorang Arkananta Baskara Putra yang selalu meminta es krim kepada sang Ayah, lalu berujung sakit batuk dan menangis kepada sang Papa. Ia tidak mau menjadi Arka yang ketika sakit harus berobat sendiri. Ia mau Papa dan Ayahnya. Ia mau hidupnya yang dulu.

Kakinya tanpa sadar membawa tubuh bongsor itu berdiri di depan kamar kedua orang tuanya. Dengan tangan gemetar, ia buka kenop pintu itu lalu masuk kesana. Kamarnya gelap, namun hangatnya masih tetap sama. Ia masih dan selalu ingat suasana ketika tidur semasa kecil, ia selalu merasa aman karena punya dua tameng yang bisa di andalkan di samping kiri dan kanannya. Ia tidak perlu merasa takut akan jatuh, karena ada Papa di kanannya, dan Ayah dikirinya.

Tapi, kalau sang Papa pergi dan Arka jatuh nanti ... Ia harus apa?

Lampu dinyalakan, memperlihatkan kamar milik Haidar dan Marko yang cukup berantakan karena sudah lama tidak disinggahi. Ia mendekat ke sebuah laci, itu tempat sakral milik sang Ayah.

Ia tarik lacinya, debu-debu halus pun langsung menyapa hidungnya tanpa izin. Membuat Arka bersin berkali-kali sampai pening. Ia ambil beberapa album foto dari sana, dan membukanya.

Marko adalah orang yang sangat apik dimata Arka. Ia bahkan memberikan nomor abjad dan tahun sesuai gambar itu diambil dan menaruhnya sesuai urutan. Dan apabila dirinya dan Haidar tidak kembali mengatur itu sesuai urutannya, Marko akan langsung marah dan itu adalah pemandangan yang disukai dirinya dan sang Papa.

Dari paling pojok ia lihat sebuah kotak kecil bersembunyi disana, terlihat jarang disentuh karena posisinya yang sangat jauh. Juga terlihat paling berharga.

“Yah, izin buka ya. Jangan ngambek,” Monolog Arka pada udara di ruangan itu, berharap angin bisa mengantarkan pesannya kepada telinga sang Ayah.

Resleting pun terbuka. Ketika ia menilik kembali isinya, ternyata itu adalah kumpulan beberapa flash disk dan sd card yang keberadaannya kini sudah jarang ditemukan. Ia bahkan tidak tahu cara memakainya bagaimana.

Setelah mencari cara menggunakan benda itu di internet, akhirnya Arka bawa flash disk dan sd card itu ke ruang tengah. Ia dengan telaten memasangkannya ke kabel yang ada di tv mereka, lalu merasa bangga ketika ia berhasil mengakses isinya.

Itu adalah kumpulan video-video lama yang seperti sengaja dikumpulkan. Bentar, jangan bilang ini video jorok yang Papa suka bilang?!

Semakin penasaran dengan isinya, ia pun buka salah satu video dengan acak.

“Arka! Liat sini!”

Video dimulai. Itu adalah video ketika dirinya masih kecil, mungkin sekitar satu? Atau dua tahun? Entahlah, ia tidak ingat.

“Papa. Bilang, Papa.”

“Yah. Yah!”

“YES! DIA MANGGIL GUA DULUAN!!!! HAHAHAHAHA,”

“ISH TAI!”

Videonya berhenti. Arka terkekeh sebentar, lalu kembali memilih video-video lain untuk ia tonton.

“Arka sayang Papa atau Ayah?”

“Ayah.”

“Kalo Papa?”

“Engga.”

“Wah .. You hurt my feelings. Kenapa nggak sayang Papa?”

“Soalnya Papa pelit, nggak pernah ngasih Arka es krim.”

Video berhenti lagi. Matanya sudah berkaca-kaca. Ternyata, ia benar-benar sudah menjadi putra yang kasar kepada Papanya.

“Hai, Ka. Ini Papa.”

Setelah mendengar kalimat itu, ia meluruskan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ia menghentikan video itu sejenak, lalu melihat tanggal yang ada disana.

“How's life? Apa semesta baik-baik aja sama kamu? Semoga iya, hehe. Papa sayang banget sama kamu, Ka. Kamu itu anugerah buat Papa sama Ayah. Makasih ya, udah mau dateng di hidup kita yang nggak sempurna ini?”

“Papa sakit, Ka. Kamu kayanya udah tau ya? Sebenernya Papa udah sakit dari lama, cuma sengaja aja nggak pernah berobat karena Papa kira ... Penyakit ini nggak akan jahat sama Papa. Eh, ternyata Papa yang malah terlalu baik sama dia sampe malah dijahatin balik.”

“Kamu jangan sedih. Jagain Ayah, ya? Papa ngerasa bersalah harus ninggalin dia sendiri di dunia ini, padahal dulu janji bakal bareng terus sampe kapanpun. Tapi, karena sekarang udah ada Arka, rasa bersalah Papa berangsur ilang karena tau ... Ayah nggak akan sendirian lagi.”

“Gak tau deh gimana kalau dulu kita nggak ketemu ya, Ka?”

“Papa lagi apa sekarang, Ayah lagi apa, kamu juga lagi apa diluaran sana kalau kita nggak ketemu hari itu.”

“Makasih udah liat Papa sama Ayah. Maaf Papa masih belum bisa jadi orang tua yang baik buat Arka. Terlepas dari apapun yang udah semesta lakuin ke hidup Papa, Papa nggak akan berhenti ngucapin makasih karena mempertemukan Papa sama kamu.”

“Di kulkas ada banyak es krim, Ka. Boleh dimakan kalau kamu kangen Papa. Kalau habis, beli lagi ya. Penuhin lagi biar Papa seneng dan tenang, tau kalau kapanpun kamu sedih ada es krim di kulkas yang bakal nemenin. Tapi ya jangan keseringan juga, kalo nanti batuk nggak ada yang marahin lagi soalnya.”

“Arkananta Baskara Putra, putra Papa. I love you.”


Haidar kritis. Kini hanya tinggal doa yang bisa terucap dari mulut Marko dan kerabat lain. Papa Joni dan Amih Egi sudah sampai beberapa jam yang lalu, keduanya bahkan belum sempat istirahat padahal perjalanan mereka sangat melelahkan.

Papa Jefri juga ada disana.

Dokter bilang, kalau mereka sudah tidak bisa menolong Haidar dengan alasan resiko yang diambil terlalu besar. Mereka salah besar karena berbicara dengan seorang Abian Marko Pratama yang bahkan rela lakukan apapun demi cintanya kembali sehat. Namun, ia bukan Tuhan. Marko jelas tahu Haidar pun tidak suka kalau ia seperti itu.

Suster memberi tahu kepada pihak keluarga untuk memberikan ucapan terakhir sebelum ... Entahlah, telinga Marko berdenging sejak tadi. Ia seperti tengah disumpal banyak benda, benar-benar tidak bisa fokus untuk mendengarkan apapun.

Joni, Egi, Jefri, pun bergiliran masuk diikuti dengan Marko yang terakhir masuk. “Ade, ini Amih ...” Matanya sedikit terbuka, membuat sosok yang melahirkannya ke dunia itu akhirnya jatuh.

“Ade, Amih udah dateng. Maaf ya, lama ...” Ia bersimpuh di samping ranjang itu.

“Ade, bisa bangun sebentar? Lihat Amih, yuk, Nak. Amih disini ...”

Seperti keajaiban, mata Haidar terbuka dengan perlahan ketika mendengar satu suara yang sangat dirindukannya itu. “Ade, ini Amih. Mana yang sakit?”

Haidar dengan susah payah menggeleng untuk yang terakhir kalinya. Masih menjadi sosok pembohong hebat bahkan disaat-saat terakhirnya. Matanya mulai meneteskan air mata, kakinya mulai dingin.

“Ade, Papa disini ...” Joni, dengan tubuh kebanggaannya kembali roboh ketika melihat putra kesayangannya itu terbaring lemah tak berdaya disana.

Bibirnya bergetar, Haidar ingin katakan sesuatu tapi rasanya sulit. “Iya, Ade. Papa sayang Ade. Makasih sudah lahir jadi putra Papa. Papa sayang sekali sama Ade. Haidar Indra Atmajaya, putra Papa.”

Joni dan Egi bergantian cium kening putranya itu untuk yang terakhir kali, lalu mundur dua langkah dari sana. Egi peluk tubuh Joni, menenggelamkan wajahnya di dada sang suami lalu menangis kencang.

“Haidar, ini Papa Jefri ...”

Jefri tersenyum, bibirnya bergetar. “Papa minta maaf ya, kalau dulu pernah buat hatimu sakit. Papa minta maaf, Haidar,”

Haidar menggeleng lagi. Enggak, Pa. Jangan minta maaf.

“Terima kasih sudah mau temani hari-harinya Marko. Makasih, Nak ...” Ia menjatuhkan lututnya disana, ikut mengelus surai lembut itu lalu menciumnya.

Jefri lantas mundur, lalu memberikan sisa ruang kepada sang Putra yang masih enggan bergerak dari pintu. Ia hanya duduk disana, tak bersuara namun air matanya tak kunjung mereda.

“Abang, sini. Haidarnya nungguin,” Sahut Jefri pada Marko yang kian deras menangis. Ia takut. Ia sungguhan takut untuk sekedar melangkah maju.

“Abang,” Jefri akhirnya melangkah maju mendekati sang putra. Ia paham perasaannya. Ia yang paling tahu itu. Maka, Jefri dengan sigap menuntun langkah putranya menuju Haidar yang tengah menunggunya.

Marko tiba di sampingnya, menunduk sangat dalam. Yang ia lihat hanya sepasang sepatu kotor milliknya yang sudah tidak pernah dicuci lagi.

“Abang, ayo. Bilang apapun sama Haidar,”

Marko akhirnya mengadah, berlutut di samping ranjang itu dan menggenggam tangan Haidar erat.

“Maaf.”

“Maaf.”

“Maafin aku.”

Hanya itu yang terucap dari bibirnya.

“Maaf, Marko-nya nggak berguna.”

Kamu boleh pergi.” Susah payah ia ucapkan kalimat itu, namun akhirnya keluar juga.

“Kamu udah ketemu Amih, yang selalu kamu kangenin tiap hari. Kamu udah ketemu Papa, yang selalu kamu kangenin juga. Kamu udah ketemu Papa Jef, dan disini juga ada aku ...”

“Kita semua udah kumpul disini. Jadi, tolong pergi dengan tenang tanpa meninggalkan beban apapun, ya?” Ia tatap netra yang sudah hampir tertutup itu. Marko usap pipi sang suami yang baru saja menitikan air mata.

Aku enggak apa-apa, Haidar. Aku bisa.

“Walau nggak janji hidupku akan tetap baik-baik aja, tapi ... Aku beneran enggak apa-apa.”

Kamu itu duniaku. Dan akan selalu begitu.

“Terima kasih sudah jadi Haidar Indra Atmajaya yang penuhi hari-hari seorang Abian Marko Pratama. Makasih udah mau ketemu sama aku. Makasih udah milih aku. Makasih, Sayang.”

Ia menunduk diatas punggung tangan yang kian dingin. Hangatnya mulai hilang seraya matahari sore itu tenggelam.

Pintu dibuka, Arka ada disana. Dengan bajunya yang banjir keringat, begitu pula pipinya.

“Papa, ini Arka ...”

Ia ikut bersimpuh disamping kanan, meraup tangan kanan Haidar yang sudah dingin. Arka pegang leher sang Papa, masih hangat. Papanya masih disana.

“Pa, ini Arka ...hiks,

“Pa, kalau Papa denger ini Arka cuma mau bilang makasih. Makasih ya, Pa? Makasih. Arka sayang banget sama Papa lebih dari Arka sayang Ayah. Papa itu segalanya buat Arka. Papa yang selalu ada buat Arka kalau lagi kesusahan. Papa, terima kasih ... -hiks,” Ia runtuh, menjatuhkan kepala beratnya diatas tangan yang sudah dingin. Papanya sudah tidak disini.

Langit sore pun berganti menjadi langit malam yang gelap. Genggaman tangan mereka terlepas, Haidar telah pergi.


Sudah satu minggu sejak kepergiannya, dan Marko masih tetap menjadi dirinya. Hanya saja, terlihat sedikit kehilangan arah.

Ada satu surat yang ia temukan di nakas kamarnya. Ia tahu itu dari Haidar. Susah payah ia tahan rasa rindunya dengan menolak menyentuh surat itu, namun akhirnya ia rampas juga. Menyobek sisi amplopnya dengan rapi, lalu mengeluarkan suratnya dengan cepat.

Abian. Cintaku. Hidupku. Duniaku. Sayangku. Maaf ingkar janji untuk selamanya ada disisi lo. Padahal mimpi kita masih banyak, ya? Gimana dong? Hahaha. Jadi makin berat mau ninggalin. Bercanda, kalau udah waktunya ... Ikhlasin aja, ya?

Setiap masa itu ada orang, dan setiap orang pasti ada masanya, Bi. Inget itu. Masa gue berhenti sampai disini. Tapi lo enggak. Jadi, tetap hidup ya?

Gak tau harus percaya sama kehidupan selanjutnya apa enggak, tapi ... God, i hope it's real. Gue mau mengulangi semuanya sama lo. Apapun itu, walau kaya baca buku dua kali alias udah tau endingnya gimana ... Gue nggak peduli. As long as i'm with you, Marko. Kalau ada Marko, semuanya aman.

So, sampai bertemu lagi?

P.s: Gue nulis ini banjir banget anjing tai apaansih najis banget. Tapi ya gimana ya, nulisnya dari hati soalnya jadi sedih.

Your Beloved Husband, —Haidar Indra Atmajaya.

“Sampai jumpa lagi, Sayangku,”

—leobabybear 🌹 ditulis hari jum'at pukul setengah dua belas malam.

Di atas motor itu Marko eratkan pelukannya pada Haidar yang tengah fokus menyetir. Ia bisa rasakan hawa panas hadir disana, ketika yang dibonceng sedang tertidur pulas di pundaknya.

“Bi, udah sampe. Ayo bangun, tidurnya nanti lanjut di kamar.” Lembutnya ketika ia berhasil memarkirkan motor di halaman depan rumah mereka, masih dalam posisi duduk karena Abian belum juga bangun.

“Hmmm,” Suaranya terdengar berat, membuat hati yang lebih muda terasa nyeri. “Mau cepet dipeluk, nggak? Ayo nurut,” Ia menepuk-nepuk paha itu pelan hingga akhirnya Marko bangun dan turun dari sana.

Arka tengah berada di day care, sebentar lagi sudah waktunya untuk pulang. Ia mencoba mengatur urutan mana yang harus dilakukannya terlebih dahulu, apakah; pertama, membuat makanan untuk Abian atau kedua, menjemput Arka di tempat penitipan.

Dan ia pun akhirnya memilih untuk membuat cream soup terlebih dahulu untuk sang suami. Katanya perut Marko terasa kurang enak, ia minta untuk tidak dibuatkan sesuatu yang terlalu berat. Maka dari itu Haidar dengan gesit menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sup sederhana itu.

Walau hanya dari produk kemasan, ia juga memasukan beberapa bahan seperti sayur dan juga penyedap supaya makanan itu lebih lezat. Tak lupa menyajikan roti panggang untuk pendamping, Haidar berhasil menyelesaikan masakannya dalam 15 menit!

Terdengar suara kenop pintu terbuka, Marko akhirnya keluar dari kamar ketika sudah selesai mandi. Ia lihat punggung kecil itu tengah sibuk di dapur dengan seragam kantornya, membuatnya merasa sedikit tidak enak.

“Bandel banget dibilang jangan keluar kamar dulu, ish.” Omelnya ketika ia merasakan sebuah tangan melingkar di sekitaran perutnya, “Di makan ya, Bi. Gue jemput Arka dulu abis ini,”

Yang lebih tua cemberut. Ia merungut sedih ketika mendengar itu. “Nggak ada yang bisa anter emang di daycare?”

“Enggak. Lebih tepatnya, gue enggak mau.” Setelah mengaduk untuk yang terakhir kali, ia pun akhirnya berbalik dan mempertemukan netra masing-masing. Haidar tertawa dalam hati ketika melihat mata sayu yang dipaksakan terbuka itu.

Ia mengelus permukaan dahi sang suami lembut, “Pusing, nggak?” Marko kembali cemberut, lalu mengangguk. “Yaudah, tidur ya? Masih kuat enggak kalo makan dulu?”

“Masih, tapi pengen ditemenin...” Lirihnya, membuat Haidar merasa tidak tega untuk meninggalkannya.

“Tapi Arka harus dijemput, Abian,”

“Apa nggak boleh untuk hari ini aja pulangnya dianterin sama Nanny?”

“Bukan enggak boleh, guenya yang takut-“

They’re good people, nggak mungkin niat jahat sama Arka. Please?”

Haidar menghela nafasnya, “Okey, give me a minute. I’ll call them.

Marko tersenyum sumringah, lalu memeluk hangat suaminya. “Thank you. I love you.

“Sekarang, balik lagi ke kamar ya? Nanti gue nyusul sambil bawa supnya.”

Makan siang selesai, kini keduanya tengah nyaman beristirahat di atas kasur empuk kamar mereka. Arka sudah pulang sepuluh menit lalu, dan kini bocah mungil itu tengah tertidur di kamarnya setelah lelah seharian bermain di tempat penitipan anak. Sangat pengertian, anak itu.

Haidar tersenyum lega ketika mendengar suara dengkuran ringan keluar dari hidung lelaki itu. Ia melihat sejenak ke arah suaminya, yang kini sudah terlelap berkat paracetamol dan juga beberapa obat lain yang sudah ditegaknya. Ia kemudian kembali menelusupkan kepalanya ke leher panas itu, lalu menangis.

Kadang, ia merasa bersalah ketika Abian jatuh sakit seperti ini. Harusnya, ia lebih memperhatikannya. Harusnya, ia lebih bawel agar sang suami bisa nurut.

Tetapi sebagai sesama lelaki, ia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Marko sampai memaksakan diri bekerja dari pagi hingga larut malam. Mereka sama-sama punya tujuan yang ingin dicapai; jangan sampai membuat hidup Arka susah.

Berkali-kali ia coba katakan bahwa sebenarnya sudah lebih dari cukup gaji yang mereka kumpulkan itu, buktinya ia saja bisa menabung untuk membeli sebuah motor baru. Tapi Marko bilang, katanya, “Kalau suatu hari nanti Arka punya mimpi yang tinggi, seenggaknya gue bisa jadi pendukung dia. Entah secara financial, moral, apapun. Gue mau semuanya siap, tanpa perlu sana-sini cari lagi. Iwant the best for him.

Ia kembali sesegukan disana, memikirkan hal itu malah membuatnya semakin merasa bersalah. Abian sudah bekerja keras selama hidupnya, ia ingin lelakinya itu istirahat dan mulai menikmati hidup bersama dirinya dan juga Arka.

“Bi, jangan sakit. Jangan maksain diri lagi, gue sedih. Maafin gue yang gak becus ngurus lo,”

Marko sedikit bergerak tidak nyaman ketika merasakan bajunya ditarik, “Hmmm? Dar?”

Ia mengerjapkan mata beberapa kali, hingga akhirnya tersadar ketika melihat Haidar tengah menangis sesegukan di dadanya.

“Sayang? Kenapa?”

Ia menoleh, lalu mencoba bangun perlahan sambil menarik Haidar ke pelukannya. “Gue kira lo keluar, ternyata masih disini. Kenapa nangis, Dar?”

“Gue aja yang sakit, sini. Jangan lo,” Ia cemberut, pipinya luar biasa merah seperti tomat. “Hahaha, kok gitu?”

“Maafin gue ya Bi, nggak becus ngurusin lo. Maaf lo harus sakit kaya gini, sakit ya? Pusing? Mana yang sakit?” Ia telaah tiap-tiap lekuk wajah sempurna itu, lalu kembali menangis.

“Enggak. Udah enggak ada yang sakit, kan udah dipeluk sama Haidar. Marko udah sembuh.” Ia tersenyum dalam suara beratnya. Walau sebenarnya ia masih sangat pusing, karena baru saja tertidur selama sepuluh menit.

“Marko, i don’t deserve you. Udah ya? Jangan terlalu maksain diri lagi, Arka juga pasti maunya hidup dia biasa-biasa aja kok. Nggak perlu luar biasa apalagi mewah, Bi. Biasa aja, ya?”

Marko tersenyum lagi, ia tahu maksud dibalik kalimat yang Haidar katakan. Ia usap surai coklat itu lembut, lalu berkata “Tapi gue yang pengen, Dar. Arka mungkin nggak mau, tapi gue pengen. I will give him everything, bahkan kalau itu dunia sekalipun. It’s okay, i’m fine tho. Namanya juga manusia, ada titik batasnya. Wajar kalo sakit, kalo enggak gue bukan manusia dong.”

Ia terkekeh disana, membuat Haidar semakin menangis kencang. “Jangan nangis, Haidar. Gue cuma demam, bukan sakit parah. Udah gih sana mending mandi terus ganti baju, nanti kalau malah ketularan gimana? Bahaya si Arka nggak ada yang urus,”

“Gue tuh kadang suka heran sama isi kepala lo, Bi. Kenapa selalu orang lain yang jadi nomor satu padahal yang seharusnya yang diprioritasin itu ya diri lo sendiri. Kalo lo kenapa-kenapa, yang sedih kan gue sama Arka. Kita kehilangan lo, kehilangan dunia kita.”

Mendengar itu, hatinya sedikit terenyuh. “Lo pengen hidup Arka dan hidup gue bahagia, tapi harus ngorbanin lo banting tulang sampe sakit? Jangan harap gue izinin, anjing. Keluar ajalah udah, jangan kerja mending kita cuddle sampe bego,”

“Bahagia gue kan kalian. Inget itu.”

Haidar mengelap area hidungnya yang basah, lalu menghela nafasnya. “Sini, peluk lagi. Pindahin sakitnya ke gue,”

“Idih, enggak. Udah sana mending mandi, gue mau tidur lagi.”

“Sini, ish!”

“Enggaaaaak.”

“Lo sakit, gue sakit. Satu sakit, semua sakit.”

“Arka juga?”

“JANGAN! PUSING GUE NGURUS DUA BAYI.”

“Bayi teriak bayi.”

“Sini, Marko. Peluk dulu,” Ia cemberut lagi, “Kalo ketularan beneran gue enggak tanggung jawab.” Ia menyerah, akhirnya pun menyambut hangat rumahnya pulang ke tempat paling hangat yang ada.

“Imun lo sama imun gue masih bagusan gue, tau, Dar. Kalo salah satu dari kita ada yang kena virus, kayanya lo yang mati duluan deh.”

BUGH!

“AKH BANGSAT, DAR! SAKIT ANJIR PUNGGUNG GUE?????”

“SEMBARANGAN KALO NGOMONG!”

“Heheheh, ya emang?”

“Ya berarti lo harus siap-siap aja liat belahan jiwa lo mati duluan. Bisa, emang?”

“Enggak. Enggak akan pernah.” Ia eratkan pelukan itu, mendadak lupa dengan jarak karena takut kalau harus benar terpisah.

“Pergi bareng aja kita, biar adil.”

“Ah udahlah makin ngaco gini ngomong sama orang sakit!” Ia lepaskan pelukannya itu, tapi ditahan oleh yang lebih tua.

Cup cup cup.

“ANJINGGGGG STOPPPP GAUSAH CIUM-CIUM NAJIS!!!!! ABIANNN!!!!”

“Suruh siapa nantangin pengen peluk mulu, nih gua tularin noh penyakitnya.”

Semoga lekas sembuh, Abian!

ditulis di Bandung, pukul sepuluh. —leobabybear 🌹

hai. apakabar?

Selamat Hari Ayah! —haidar dan marko

Bocah kecil itu bingung, melihat sosok jangkung Sang Ayah yang biasanya selalu ceria dan penuh canda tawa itu kini mendadak sendu. Ia tengah menangis tersedu-sedu, padahal sepuluh menit sebelumnya Sang Ayah tengah mengajarinya kosa kata baru dalam bahasa ibunya.

Bocah kecil itu bingung, maka ia memilih untuk bangkit dari duduknya lalu menghampiri sosok Sang Ayah yang tengah menekuk kedua lututnya sambil menenggelamkan kepala besarnya disana. Ia miringkan kepala mungilnya ke kiri, sambil menaikan kedua alisnya.

“Yah ... Yah ...”

Panggilnya. Sang Ayah masih tak bergeming, namun suara tangis masih memenuhi gendang telinganya yang begitu kecil. Ia coba tepuk pundak itu pelan, namun suara tangis sang ayah malah semakin pecah.

“Yah ... Yah ...”

Suaranya mulai ikut bergetar. Ia takut, sungguh takut. Apa ayahnya itu tengah kesakitan? Atau ia baru saja membuat kesalahan hingga membuat Sang Ayah menangis?

Dengan susah payah kaki mungil itu berjalan menuju satu ruangan yang sebenarnya selalu Sang Papa larang untuk dimasukinya—mengingat kejadian tadi pagi, kata Papa hasil kerjanya jadi berantakan karena ia tak sengaja menumpahkan susunya—maka ia dengan sangat hati-hati mendorong pintu tersebut.

Dilihatnya ruangan itu gelap, namun netranya berhasil menemukan sosok Sang Papa yang juga tengah terduduk lemas di lantai dingin itu.

“Pa ... Pa ...”

Dengan setengah kalut bocah mungil itu coba panggil sosok yang ada di hadapannya. “Pa ... Yayah ... Pa ...”

Berbeda dari reaksi yang ditimbulkan Sang Ayah sebelumnya, kali ini Papanya dengan cepat mendongakan kepala dari kegiatan menunduk itu. Matanya membulat, lagi-lagi bocah itu bingung.

“Hmmm? Ayah kenapa, ka?”

Irisnya seketika memanas, bocah itu tidak tahu mengapa matanya panas. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menurunkan bibirnya sampai mau jatuh.

“Yayah ... Hiks,”

Haidar melotot, ia sungguhan panik sampai-sampai jantungnya mau copot. Dengan cepat ia gendong Arka kepelukannya, lalu berlari meninggalkan ruangan kerjanya yang gelap itu.

Jarak dari kamar ke ruang tengah sangatlah minim. Butuh kurang dari lima langkah untuk sampai, tapi keringat sudah turun tak tahu tempat. Mata sempabnya tak tahu malu terus turun ketika melihat Arka memanggil ayah sambil menangis.

“MARKO!”

Teriaknya saat ia melihat bahu sosok kesayangannya itu bergetar hebat. Kalau akalnya sedang tidak bekerja, ia bisa saja refleks menjatuhkan Arka dari gendongannya. Namun untung saja, Arka yang tengah kalut dan takut saat itu terus mencengkram kaos hitamnya. Membuat Haidar kembali sadar dan bergegas menghampiri Marko.

“Lo kenapa? Bi, kenapa? Ada apa? Kenapa Arka nangis gini? Lo apain dia? Arka jatoh? Hm? Kenapa, sayang? Bi, bangun,”

Jutaan tanda tanya itu keluar begitu saja tanpa tahu antrian. Haidar kelewat panik melihat Marko yang seperti ini. Selalu jadi mimpi buruk, karena baginya kehancuran Marko sama dengan kehancuran dirinya.

“Yah ... Yah ...”

Arka kesusahan memanggil sosok pahlawan hidupnya itu. Ada banyak yang ingin dia ucapkan, tapi lidahnya kelewat kelu untuk sekedar bilang Arka sayang Ayah.

“Selama Hari Ayah, Haidar ...”

Marko mendongak, menyatukan pandangan dirinya dengan dunianya itu. Satu tetes, dua tetes. Tanpa sadar ruang tamu itu sudah seperti Air Terjun Niagara, yang derasnya kalah melewati air mata keduanya.

“Lo kenapa, anjinggggg,”

Ia turunkan Arka, mendudukannya di karpet coklat ruang tamu mereka. Arka, maaf. Kedua orang tuamu lebih butuh satu sama lain sekarang, mohon pengertiannya, ya?

“Jangan ngomong kasar. Ada Arka,” Ia sesegukan, lalu menarik Haidar menuju pelukannya.

“Lo kenapa, ngapain nangis gini? Ada apa, Bi?” Haidar jatuhkan dagunya di bahu lebar itu. Kembali menangis karena masih bingung dengan apa yang terjadi.

“Engga ada apa-apa, sayang. Tadi abis ngucapin selamat hari ayah ke Papa, terus dapet ucapan manis yang bikin gue sadar kalo perjuangin lo itu bukan sebuah kesalahan. Kata Papa, cantiknya mereka kalah sama cantiknya ketawa lo. Kata Papa, pesona mereka kalah sama wibawa lo. Kata Papa, baiknya mereka kalah sama apa adanya lo. Haidar, lo pantes diperjuangin. Lo pantes ditungguin, lo pantes dicintai. Lo pantes bahagia.”

Tanpa jeda Marko ucapkan semua perasaan yang sedari tadi minta untuk dimuntahkan. Rasanya kalau ia harus ceritakan semuanya di depan Arka, akan jadi berbeda karena Arka belum paham. Ia jelas butuh Haidar. Ia jelas butuh Haidar untuk bisa bertahan. Tentu, Arka juga. Tapi lebih dari itu, ia hanya butuh Haidar di hidupnya yang penuh luka ini.

“Dar, kalo nanti Arka ninggalin kita ... Lo bakal tetep disini ‘kan, sama gue? Lo bakal nemenin gue sampe nanti, ‘kan? Haidar, gue takut ... Gue takut Arka pergi, lo pergi ...”

Haidar pening, sungguhan. Suaminya ini tengah mengoceh soal apa, sih, sebenarnya? Siapa juga yang mau pergi?

“Lo ngomong apasih, brengsek,” Haidar dan rasa kesalnya terasa kurang lengkap kalau tidak ditemani kalimat umpatan. Walaupun begitu, umpatan barusan terdengar manis ditelinga Marko karena brengsek kali ini terdengar tanpa penegasan. Tidak ada tanda seru yang menandakan amarah, atau tanda titik yang menandakan penyelesaian.

Kekehan terdengar jelas setelahnya, dan tanpa sadar Marko juga ikut tertawa konyol karena merasa geli dengan ucapan sebelumnya. Haidar jelas sudah lelah dengan ketakutan dirinya akan hal yang belum pasti—atau jelas tidak mungkin terjadi—tapi tolong, biarkan saja dirinya yang seperti ini terus begini. Agar Haidar tau, paham, sadar, mengerti, bahwa ia sungguhan takut kalau dunianya pergi.

“Selamat Hari Ayah juga, Ayah.”

Haidar lepaskan pelukan mereka kala ingat ada manusia lain yang jelas tengah bingung melihat tingkah kedua ayah anehnya, lalu menoleh sebentar menuju Arka yang tengah menuliskan tanda tanya besar di matanya.

“Tadi Arka nepukin bahu gue, Dar. Kacau anjing berasa dejavu dulu pernah kaya gitu juga ke Papa,” Mata bengkaknya ikut melirik ke Arah putra kecilnya itu.

“Padahal gue mau musuhan sama Arka satu minggu soalnya udah ngancurin final report gue, tapi mana bisa kalau udah kaya begini,” Ia rengkuh tubuh kecil Arka sambil menciumi pucuk kepalanya yang begitu harum.

“Arka, sayangnya Papa... Arka, kalau mau ninggalin kita bilang-bilang, ya? Biar kita siap,”

Kening itu mengkerut lucu, membuat kedua ayahnya tertawa kencang. Serasa tengah diceramahi putra sendiri dengan kalimat, “Siapa juga yang mau pergi, Yah, Pa?!?!?!!

“Ada kamu disini kaya mimpi, Arka. Makasih ya, udah mau mampir. Mampir yang lama, janji? Sampe Ayah kamu bosen beliin eskrim, sampe Papa bosen marahin kamu yang sukanya gangguin kalo lagi kerja. Sampe kamu sadar kalo di luar sana nggak ada yang lebih besar dari pada kasih sayang kami untuk kamu.”

Haidar ini katanya anak manajemen bisnis, tapi mulutnya kenapa pandai betul bermain kata.

“Paps tadi bilang, bahagianya kita itu ya cuman bertiga, Bi. Jadi, ayo terus bahagia kaya gini, ya? Lo, gue, dan Arka. Mungkin benar di luar sana juga ada sumber bahagia kita yang lain, tapi semuanya jelas kalah sama bahagia yang kita timbulkan kalau lagi bertiga.”

Marko tersenyum, lalu mendekat kepada dua sosok paling paling paling berharga dihidupnya. Dipeluknya Haidar dan Arka sekuat yang ia bisa, dan kembali menjadi Marko yang siap menjadi tameng demi melindungi keluarga kecilnya itu.

“Yah ... Yah ... Uhuk-“

“ANAK LU SESEK WOY BI!!!!”

“Arka, Ayah sayang kamu.”

“Guenya?”

“Bodo.”

“SI GOBLOKKKKKK????”

“PERATURAN NOMOR SATU DI KELUARGA INI DILARANG NGOMONG KASAR, DAR!!!!!”

“ABISAN LU BRENGSEK???????”

“Ya.”

Panjang umur, Haidar dan Marko. Juga Arka.

—leobabybear🌹 ditulis di bandung, pukul sepuluh malam.

Hati-Hati di Jalan. —haidar dan marko.

what if, they didn't make it. an alternative ending.

Pada ketinggian tiga puluh lima ribu kilo meter diatas permukaan laut, lelaki itu mengeratkan pelukannya kala merasakan atmosfer kurang menyenangkan yang tiba-tiba saja bergejolak di dalam dadanya. Sepuluh jam telah berlalu, dan kini, kurang dari lima jam lagi hingga akhirnya ia akan tiba di Amsterdam.

Merasa jengkel karena harus melewati masa karantina yang lebih panjang dari biasanya, namun hari demi hari coba ia nikmati walau rindunya sudah setengah mati. Hingga tak terasa lima hari pun berlalu, akhirnya hari ini Marko diizinkan untuk keluar dari tempat karantina.

Rasa gugup dengan cepat menggerogoti lubuk hatinya. Akalnya sedang tidak mendukung untuk bekerja dengan sinkron hari ini. Maka dari itu yang lelaki itu lakukan saat ini adalah mengirim pesan kepada Haidar, memberinya kabar bahwa ia sudah sampai di rumah. Yang diseberang sana tentu terperanjat kaget, bisa dengan mudah Marko ketahui dari pesannya yang ditinggalkan begitu saja. Alamat sudah ia kirim sepuluh menit yang lalu, dan sebagai pendatang baru, yang ia lakukan saat ini hanyalah menunggu di sebuah kursi sederhana yang mempertontonkan kanal sebagai pemandangannya. Senyum canggung ia singgungkan kala menyadari bahwa kini ia benar-benar sudah sampai di Amsterdam.

Dari sebelah kirinya, ia bisa mendengar dengan jelas suara orang yang tengah kehabisan nafasnya—seakan habis berlari. Ia pun otomatis menengok, lalu tersenyum kala melihat presensi Haidar disana. Terlihat kacau seperti baru bangun tidur—celana tidurnya kusut, rambutnya berantakan, kaos tak berbentuk yang tertutupi oleh mantel tebal—Haidar Indra Atmajaya versi berantakan menyambut kedatangannya.

“Kok cepet bang-”

Bugh!!

Ucapannya terpotong kala Haidar segera merengkuh tubuhnya, menarik leher itu menuju bahunya. Ia ingat cuaca Amsterdam pagi ini adalah -10 derajat, namun pelukan itu berhasil menaikkan suhu disekelilingnya.

“Dar-”

“Ini beneran? Lo disini, Bi? Gue ngga mimpi?” Dengan cepat Haidar menjauhkan wajahnya dari sana, menangkup wajah Marko yang tengah tertutup masker. Yang lebih tua tekekeh, “Iya, ini gue.”

Oh, demi semesta dan seluruh isinya. Haidar kembali menarik Marko menuju pelukannya, ia lingkarkan tangannya di punggung kekasihnya. Mencium ceruk leher itu, lalu menangis.

“Bi... hiks-”

“Lo pasti takut banget ya, Dar? Maafin gue karena bikin lo nunggu lama ...” Haidar menggeleng, “Gapapa, Bi. Sumpah gapapa. Yang penting lo udah pulang.” Marko tersenyum kecut.

“Gue belom dapet asrama, jadi untuk sementara gue tidur di tempat lo nggapapa, ya?” Ucapnya lembut, sambil melepas pelukan itu. Dilihatnya mata sembap Haidar membuat hatinya ngilu. Ia sungguh diberkati hal yang luar biasa. Marko segera menghapus jejak air mata yang menggenang di pipi itu, lalu mencium bibir ranum Haidar cepat. Semesta marah, tapi Haidar dan Marko mana peduli?

Semesta 0 : Haidar Marko : 1.


“Hari ini kita ke Van Gogh, ya,” Sahut Marko kala keduanya tengah nyaman berbagi afeksi di kasur sempit kamar Haidar. Surai yang tengah diusap penuh cinta itu seketika menjauh, “Kok buru-buru amat?”

“Itu 'kan keinginan lo. Pergi ke Van Gogh bareng gue,” Jawabnya.

Haidar mengerutkan dahinya pertanda bingung. Ya benersih. Bisik hatinya. Tak mau ambil pusing, ia hanya mengiyakan ucapan itu. Menggenggam buku-buku jari kekasihnya dengan erat, lalu tersenyum.

I really love your hands, Bi.” Sahutnya sambil menautkan jemari dingin mereka. Haidar angkat tinggi-tinggi genggaman mereka setinggi angkasa, setinggi mimpi mereka satu tahun lalu yang berharap bisa hidup di negeri orang lalu dapatkan validasi yang selama ini begitu mereka dambakan. Sedetik kemudian lelaki itu kembali berkata, “Mulai sekarang, tangan ini gaboleh pisah.”

Haidar elus jemari itu, lalu membawanya turun kembali menuju dadanya. “I love you, Abian.”

Tak ada jawaban. Marko hanya membawa raga itu menuju dekapan hangatnya, lalu mengecup kepala itu singkat.

Maafin gue, Haidar.


Museum Van Gogh pukul dua siang telihat begitu lengang saat kedua anak adam itu sampai disana. “Cenayang ya lo? Kok keren, bisa sepi gini.” Ucap Haidar kala ia mengeratkan mantelnya.

“Cakep 'kan, Bi?” Ia menoleh ke samping kiri, dilihatnya Marko yang tengah termenung kala menatap Museum di depannya itu. Tanpa sadar setetes air mata lolos disana, membuat Haidar lagi-lagi kebingungan.

“Dih, kenapa nangis anjir? Lebay banget,” Ejeknya, membuat Marko segera menghapus jejak air mata itu lalu menyusul Haidar yang sudah lebih dulu bergerak meninggalkannya.

Tour berjalan tidak begitu lama mengingat regulasi yang ditetapkan di tengah pandemi. Seusainya dari sana, keduanya melanjutkan agenda mereka dengan menaiki perahu—city cruise kalau wisatawan menyebutnya. Berkeliling Amsterdam menggunakan perahu sambil menyusuri jalanan ditengah kanal tentu tidak boleh dilewatkan, bukan?

Perahu yang dinaiki mereka pun terlihat sepi. Hanya ada mereka berdua dan warga asing lain di barisan depan, terlihat sibuk mendengarkan penjelasan dari pengeras suara yang menjejal kuping mereka. Membuat kedua anak adam itu semakin merasa bebas ketika diberi ruang untuk saling berbagi rasa.

Ada yang janggal dengan hari ini. Haidar merasa lebih clingy dari hari-hari biasanya. Genggaman jemari keduanya tak pernah terlepas sejak tadi, pun kepalanya juga nyaman bersandar di pundak lebar Marko. Seperti ada sebuah sinyal dari dalam dirinya yang mengatakan bahwa jika sedetik saja ia melepaskan diri dari Marko, ia akan kehilangan lelaki itu untuk selamanya.

“Bi, hari ini lo udah pindah asrama, ya?” Yang ditanya menunduk, menatap netra kekasihnya yang masih nyaman menyender. Marko menggeleng.

“Terus kenapa barang-barang lo udah pada di rapihin?” Tanyanya lagi, membuat Marko seketika menghela nafas beratnya.

“Nanti gue jelasin, abis ini.” Ia tersenyum lalu mengecup bibir itu. Yang lebih muda berdehem, mencoba untuk tidak salah tingkah. Marko terkekeh gemas, lalu mencubit pipinya kencang.

“BANGSAT SAKIT!”


Setelah turun dari perahu, mereka mengakhiri perjalanan dengan berjalan kembali menuju asrama Haidar. Marko genggam erat jemari kekasihnya itu yang kini tengah nyaman sembunyi di balik jaket tebalnya, yang mana membuat Haidar terkekeh saat melihat perilaku tersebut. Padahal mereka sudah bebas disini, tapi mengapa Marko masih menyembunyikan tangannya disana?

“Bi, kelewat anjir. Ini kita mau kemana?” Sahut Haidar kala keduanya dengan santai melewati pemukiman tempat tinggal yang lebih muda.

“Ngobrolnya disana aja, jangan di kamar.”

Kedua alisnya lagi-lagi bertemu. Ia lalu menggidikan bahunya pertanda tak peduli, lalu segera meyamakan langkah kakinya dengan Marko yang terkesan begitu tegesa-gesa.

Amsterdam pukul setengah enam sore terlihat begitu indah hari itu. Peralihan musim yang tengah terjadi disana membuat langit Amsterdam menjadi lebih indah untuk jadi teman sepi keduanya saat duduk di kursi sempit ujung kota.

“Lo aneh.” Barusan itu adalah suara Haidar. Tautan mereka sudah terputus satu menit yang lalu, “Ada apa?”

“Gue bakal pulang hari ini.”

BUGH!

Pandangannya gelap, kepalanya mendadak pening luar biasa. Telinga kanannya seketika berdenging kencang, yang perlahan ikut menjalar menuju telinga kirinya.

“Gue kesini untuk minta maaf sama lo, bukan untuk tinggal apalagi menetap.”

Deg.

Barusan adalah suara belati yang baru saja menusuk hatinya. Haidar mendecih remeh, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Maaf. Tapi kayanya kita harus selesai sampe sini, Dar.”

Aplikasi cuaca menunjukkan suhu kota Amsterdam menjelang malam hari adalah -18 derajat. Tapi mengapa rasanya tubuh Haidar begitu panas seperti tengah berdiri di atas perapian?

“Papa ngga bisa gue tinggalin-”

“Itu lagi, Bi? Alesan lo? Ngga ada alesan lain-”

“Dar, Papa sendirian-”

“Ya terus kenapa kalo sendirian-”

“Dia orang tua gue satu-satunya, siapa yang bakal ngurus kalau dia kenapa-kenapa-”

“Dan lo pikir gue bisa ninggalin orang tua gue-”

“TAPI ORANG TUA LO MASIH LENGKAP-”

“TERUS KARENA ORANG TUA GUE MASIH LENGKAP JADI GUE BISA SEENAKNYA NINGGALIN MEREKA, GITU? HEH BRENGSEK-” Teriaknya begitu lantang hingga berhasil mengalahkan suara desiran ombak di depannya. Haidar berdiri, sarat wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tengah frustasi.

“Lo kalo ngomong di pikir dulu ngga sih, anjing?”

“Emang menurut lo gue juga ngga mau apa mentingin orang tua dari pada ego sendiri? Menurut lo kenapa gue sampe bela-belain daftar beasiwa kaya gini? Demi diri gue? Enggak, anjing. Demi lo. Demi kita.”

“Menurut lo gue belajar mati-matian biar dapet beasiswa, mangkas waktu kuliah satu semester demi lulus lebih cepet lo pikir buat apa? Buat ajang pamer dan merasa paling keren? Sinting. Lo ada disana, Bi. Lo liat semua perjalanan gue sampe akhirnya bisa ada disini. Gue udah nunggu selama ini tapi apa balesan lo?” Air wajahnya berubah menjadi merah padam, mantel tebalnya entah sejak kapan sudah tergeletak sembarang.

“Dar, udah. Kita selesai, ya?”

“KENAPA? KENAPA? BOLEH GUE TANYA KENAPA?” Urat lehernya tanpa izin menyapa Marko, dahi lelaki berkulit madu itu terlihat begitu kacau kala segaris urat juga muncul disana. Ia memejamkan matanya lelah, merasa kesal pada dirinya sendiri karena harus melihat Haidar seperti ini. Bukan, bukan seperti ini perpisahan yang ia inginkan. Bukan seperti ini perpisahan yang sudah ia rencanakan sebelumnya.

“Demi kita, Haidar. Demi kita.”

“BANGSAT JAWAB GUE YANG BENER!” Ia tarik kerah jaket itu.

“DEMI KITA SEMUA, DAR! LO PIKIR KALO KITA HIDUP BAHAGIA DISINI, APA HAL ITU BAKAL BERLAKU JUGA BUAT ORANG TUA KITA?” Netra keduanya menyalang, saling lempar tatapan paling mematikan karena sama-sama kalut.

“REPUTASI MEREKA BAKAL ANCUR SAAT ORANG-ORANG TAU KALAU KITA KAYA GINI. IYA, KITA BERHASIL. HIDUP BAHAGIA, LUPAIN MEREKA YANG MALAH HARUS MULAI BERJUANG NGELAWAN OMONGAN ORANG-ORANG. EMANGNYA LO TEGA NGEBIARIN AMIH JADI BAHAN CACI MAKI ORANG PAS TAU ANAKNYA KABUR KE LUAR NEGERI HANYA KARENA BUTUH PENGAKUAN?!” Cengkraman itu mengendur, bulir air mata seketika berkumpul di pelupuk mata indah Haidar.

“Gue aja yang hancur, Dar. Papa gue jangan...” Lirihnya yang sedetik kemudian disambut isakan yang begitu memilukan.

“Papa sendirian, dia ngga punya siapa-siapa buat sekedar bertahan. Gue ngga bisa- gue ngga mau lagi kehilangan orang yang gue sayang...”

Jadi gue bukan orang yang lo sayang, ya, Bi?

“Gue sayang sama Amih, sama Papa lo. Gue ngga mau mereka harus ngerasain diperlakukan ngga pantas hanya karena gue- kita yang kaya gini, Haidar,” Tangisnya pecah lagi, nyawa anak di depannya entah sejak kapan sudah melayang pergi. Lututnya lemas, lidahnya kelu.

“Gue bisa berangkat karena udah setuju sama Papa bakal nyelesaiin hubungan kita disini. Beliau ngasih izin gue pergi untuk ketemu lo sebentar, abis itu balik lagi.”

Gue sayang sama lo, demi Allah. Sayang banget, Dar. Tapi maaf, maaf...” Ia berlutut.

“Ayo balik lagi ke awal. Kita bisa tetep jadi kita yang dulu, kalau-”

“Dasar bajingan.” Potongnya.

“Lo kesini minta putus, tapi sedetik kemudian berubah pikiran setelah bilang sayang sama gue dan minta semuanya balik ke awal?”

Ingin rasanya Haidar pukul lelaki itu hingga kesadarannya bisa kembali. Namun dasar manusia bodoh, rasa sayangnya terlalu tinggi sampai-sampai ia tidak tega untuk sekedar melukai Marko.

“Lo inget 'kan waktu di ranca upas gue bilang apa? Kalau mau bertahan di Bandung, ngga ada lagi kata kita. Perasaan kita yang harus dikorbanin sebagai bayaran atas menjaga perasaan orang lain.”

“Gue tau kalo lo itu emang brengsek, Marko. Sesuai kemauan lo, kita selesai.” Ia tarik kasar mantel tebalnya, “Makasih enam tahunnya. Sumpah demi Allah, makasih.

Dilihatnya punggung yang tengah bergetar hebat itu makin jauh dari pandangannya, membuat hati Marko kembali diremat habis-habisan. Sakit, sakit luar biasa sakit. Haidar tanpa sadar memelankan langkah kakinya, berharap namanya akan dipanggil lalu Marko memeluknya erat dan tak mengizinkannya pergi. Namun nihil, semakin berat ia melangkah, tetap, suara lelaki kesayangannya itu tak pernah ia dengar lagi sampai hari ini.

Haidar tidak tahu, bahwa usahanya selama ini ternyata akan kembali menemui jalan buntu. Mau dunia ini apa, sih, sebenarnya? Kenapa mereka dipertemukan kalau akhirnya dipisahkan oleh kata selesai? Tapi dunia mana peduli? Yang terpenting hati mereka berhasil dipatahkan, semesta pemenangnya.

Semesta 1 : Haidar Marko : 0.


Tok tok tok

Hari Minggu pukul delapan pagi, suara ketukan terdengar di kediaman Keluarga Atmajaya. Joni yang tengah asik dengan tontonan Pagi dan Egi yang tengah fokus membuat sarapan dibuat bingung dengan tamu yang begitu tiba-tiba.

“Siapa, Gi? Kamu ada arisan hari ini?”

“Engga, ah. Coba bukain, Jo.”

“Males. Lagi seru,”

“Ish,” Wanita itu akhirnya mengalah, lalu dengan segera mengecilkan api kompornya. Masih dengan celemek coklat yang melekat di tubuhnya dan spatula di tangan kanannya, Egi bergegas menuju pintu utama rumah mereka.

“Siapa-”

Prang!

Spatula yang Egi rasa sudah digenggamnya kuat-kuat tanpa sadar jatuh menyapa lantai dingin rumahnya itu.

“Egi?!”

“A-ade?”

Wajah pucat mengerikan itu dengan sopan menyapa tatapan terkejut sang Ibu.

“Kamu kok?”

Dibawanya sang Ibu menuju pelukannya, lalu menangis sejadi-jadinya disana. “Hiks... Amih...”

“Ade, kamu kenapa kok bisa ada disini? Bukannya-”

Ucapannya terputus kala si bungsu dengan cepat berlutut dan memeluk kedua kakinya. “ADE! BANGUN, ASTAGFIRULLAH!” Joni yang baru datang pun ikut terkejut kala melihat putra kesayangannya itu tiba-tiba ada di depan pintu rumah mereka.

“Ade minta maaf, Mih...”

Joni yang melihat itu dengan cepat menarik satu kesimpulan dalam hatinya, anak itu hancur. Ketakutan yang selama ini menyelimutinya seakan hilang terbawa angin malam kala melihat anak itu menangis tersedu-sedu sambil memeluk kedua kaki istrinya.

Hati kamu sudah patah, ya, Nak?

“Udah, udah. Kamu udah pulang sekarang. Nggapapa, Ade. Nggapapa.” Ia segera rengkuh putra bungsunya itu, memberinya perlindungan paling aman di muka bumi.

Selamat datang di rumah sebenarnya, Haidar.


Tahun demi tahun berlalu. Satu persatu kerabat dekat Haidar mulai melepas status lajang mereka. Digandengnya wanita paling cantik yang ada di bumi pasundan, meninggalkan Haidar sendirian yang masih nyaman dengan luka lama.

“Nikah, woy. Katanya paling cakep sefakultas dulu, tapi kok masih sendirian aja.” Sindir salah satu teman jurusannya.

“Ayo sini lo aja nikah sama gue. Lo sendiri aja masih jomblo, gausah banyak bacot.” Sungutnya kesal, sembari menyesap minuman berwarna merah itu. “Si goblok, gue normal.”

Haha. Makan hati lagi, dah.

“Ya gue juga-”

“Dar.” Kalimatnya terputus kala seseorang menahan lengannya.

“Pft. Brengsek.” Ia melepaskan tangan itu, lalu pergi meninggalkan keramaian.

Haidar melonggarkan dasi yang terasa begitu mencekik kala ia sampai di parkiran. Mengeluarkan sekotak rokok yang tak pernah absen meninggalkan saku celananya, lalu mengambil satu batang dengan cepat dan membakarnya.

“Inget, lo itu punya asma.” Sambung seseorang kala ia tengah menikmati aroma buah yang mengelilinginya.

Sorry, kita kenal, ya?”

“Haidar.”

Ia lempar kotak nikotin yang sisa setengah itu padanya, “Ambil aja semua.” Nafsu untuk membuat paru-parunya semakin rusak itu seketika hilang kala netranya kembali beradu tatap dengan pria itu. Kalau begini ceritanya, bukan paru-parunya yang terasa sesak.

“Haidar-”

“Jangan. Panggil. Gue.”

“Dar-”

“Stop.”

“Sayang-”

“Lo sinting ya?!” Bentaknya. Ia pelototi mahluk menyebalkan itu, “Lo bilang kita udah selesai. Ngapain masih muncul di depan gue, sih?!”

“Haidar, gue minta maaf.”

“Waktu kemaren minta maaf, sekarang minta maaf lagi. Udah, gue muak denger lo minta maaf.”

“Lo belum dengerin-”

“Apalagi yang perlu di denger, Bi?” Suaranya bergetar, seperti memohon untuk segera menyudahi percakapan ini. “Udah, ya? Lo minta untuk dilepas, dan gue udah lakuin itu. Demi lo, demi Papa lo. Demi kita. Udah, ya? Sakit, Bi. Sumpah demi Allah, sakit.”

Ia megacak rambutnya kasar, “Gue udah lakuin semua yang lo minta. Iya, gue masih sayang lo dan akan selalu begitu. Udah, ya? Ayo, sama-sama cari yang baru. Jangan terus ungkit luka lama, gue udah ikhlas lepasin lo.”

Tak ada yang bisa Marko lakukan selain menganggukan kepalanya pertanda mengerti. “Gue juga sayang sama lo dan akan selalu begitu, Haidar.”

“Dar.” Panggil seseorang dari belakangnya.

“Ayo, anak-anak nungguin.” Itu suara Jovan. Marko tersenyum miris.

“Masih sayang gue dan akan selalu begitu, huh?” Ketusnya, yang kemudian melempar balik kotak rokok yang sebelumnya ia terima.

“Lo salah kalau pikir Jovan itu solusi dari semua ini. You just make it more complicated.

Iya, panggil Haidar bodoh. Perkataan Marko barusan berhasil membuatnya sadar bahwa yang ia lakukan saat ini hanya akan membuahkan luka yang sama.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.

Maafin Ade, Amih. —haidar dan marko.

Ada satu hal yang Haidar percayai selama hampir 25 tahun masa hidupnya di dunia. Bahwa yang namanya takdir, sejatinya adalah suatu peristiwa yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Yang Maha Esa. Dalam kamusnya, tidak ada yang namanya kebetulan. Ia percaya, segala hal yang telah terjadi dalam seperempat abad hidupnya ini adalah termasuk ke dalam takdir yang sudah Tuhan rencanakan. Dan salah satunya adalah bertemu dengan Abian Marko Pratama.

Bertemu dengan pria itu, yang Haidar percayai, bukanlah sebuah kebetulan semata. Ia tahu, bahwa ada alasan dibalik mengapa keduanya dipertemukan hingga akhirnya disatukan dalam ikatan perasaan.

Bertemu dengan Marko, yang ia tahu, jelas sebuah takdir yang Tuhan berikan untuknya. Orang bilang ini ujian, orang bilang ini cobaan. Tapi Haidar menolak keras itu semua dengan meyakinkan hatinya bahwa Marko adalah titipan.

Ia tahu bahwa Marko hadir untuk memberinya pelajaran hidup yang tak bisa ia dapatkan dimanapun. Bahwa ada baiknya kita memandang hal tersebut dari sisi positif, tapi mengapa orang terus melihat kaum seperti mereka dari sisi negatif?

Haidar tahu, bahwa ia akan punya garis takdir lain jika ia tidak memilih untuk mencari tahu lebih tentang Marko hari itu. Entah dimana dirinya sekarang, dengan siapa, sedang apa. Namun dengan ketetapannya hari itu, ia akhirnya bisa berdiri disini. Di rumah ini, dengan Marko.

Yang ia tahu dari kelas pelajaran Agama semasa SMA, disaat ia tengah nakal-nakalnya, bahwa ketika kita menolak menerima takdir yang sudah Tuhan tulis dan memilih pergi dengan pilihan sendiri, ia pasti akan bertemu takdir lainnya. Konsepnya seperti jodoh yang sudah bertemu, pasti akan dipisahkan oleh dua hal. Entah maut, atau keadaan.

Haidar jelas tahu di akalnya bahwa ia bukan jodoh Marko. Tapi takdir yang membawanya kesini, membuat ia pasti akan dipertemukan dengan takdir lain karena pilihannya.

Dan Haidar berharap, semoga hanya ada maut yang akan memisahkan mereka. Bukan keadaan, apalagi keluarga.


Haidar kembali mengeratkan pelukannya ketika mimpi buruk itu kembali mendatangi malam harinya. Yang dipeluk tentu saja terkejut, Marko yang segera menyadari hal itu langsung menepuk punggung Haidar perlahan, bermaksud menenangkannya. Setelah beberapa saat, ia melihat dahi mengkerut itu perlahan memudar, hingga akhirnya Marko pun kembali melanjutkan kegiatan tidurnya.

Jam di nakas menunjukkan pukul empat tepat ketika Marko rasakan kehampaan di samping kirinya. Ia meraba kasur itu, namun sosok Haidar tak dapat ditemukan. Ia sontak membulatkan matanya ketika menyadari bahwa ia sendirian disana. Jantungnya berdebar kencang—entah mengapa—lalu ia pun memilih untuk bangun dan keluar dari kamarnya.

Matanya menyipit kala sebuah cahaya tiba-tiba menusuk netranya. Ia pun menggosok netra kanannya, memakai kaca matanya dengan cepat lalu berjalan menuju ruang tamu dimana Haidar berada. Dilihatnya lelaki itu tengah menatap kosong tv yang menyala, membuat Marko kebingungan.

“Dar?”

Yang dipanggil menoleh. Dilihatnya lelaki kesayangannya itu sedang melamun, membuat yang lebih tua bernafas lega ketika mengetahui Haidar benar-benar ada disana.

Mimpi buruk lagi?

Ia menghampiri Haidar, lalu duduk disamping kirinya. Yang lebih muda mengangguk, lalu direngkuhnya raga kesayangannya itu cepat. Ia mengelus pucuk kepala Haidar lembut dan mengecupnya dalam.

It's okay, sayang. You'll be fine as long as i'm here with you.” Katanya, membuat Haidar yang tengah didekap erat itu memejamkan matanya lalu mengangguk.

“Mau tidur disini?” Marko melepaskan pelukan mereka, sambil menatap lelaki berkulit madu itu. Haidar tersenyum kecut sambil mengangguk. Matanya seakan meminta maaf padanya karena telah menyusahkannya lagi malam ini.

Okay. I'll make sure to hug you tight, so don't worry. You can go back to sleep now,” Marko pun merubah bentuk sofa mereka menjadi lebih lebar—yang sangat pas untuk ditempati berdua, lalu menepuknya.

Come here.” Tanpa banyak bicara, Haidar segera mencari posisi paling nyaman dipelukannya. Melihat itu Marko tersenyum getir, lalu mendekap lelaki itu cepat. Sekali lagi mengecup pucuk kepalanya hangat, lalu membiarkan Haidar kembali menyelami dunia mimpi walau satu jam kemudian tangannya terasa kebas luar biasa.


Minggu pagi selalu terasa begitu menyenangkan bagi siapapun di muka bumi. Mereka bisa terbebas sejenak dari banyaknya tuntutan dunia—entah pekerjaan, tugas, dan lain-lain—begitu juga dengan Haidar dan Marko.

Haidar baru saja pulang ketika Marko selesai mandi. Dilihatnya lelaki itu pulang dengan sekantung bunga di tangan kirinya, membuat lelaki beralis camar itu mengerutkan dahinya.

White tulips?” Tanya Marko ketika Haidar menaruh bunga itu di meja makan rumah mereka. “Tiba-tiba?”

“Hadiah buat Amih tahun ini,” Ia tersenyum.

“Iya, tau. Tapi kenapa tulip putih?”

Haidar terdiam sejenak, terlihat berfikir harus menjawab apa namun dengan cepat ia berkata, “Katanya yang lagi musim sekarang bunga tulip putih.”

Dahinya kembali menyatu, pertanda bingung.

“Semalem mimpi apa, Dar?” Tanya Marko ketika Haidar hendak mencuci tangannya. Yang ditanya mendadak kaku, kala pertanyaan itu dilemparkan kepadanya.

“Lo udah kaya gini sejak lama, dan gue ngga berani nanya karena lo terlihat ngga mau bahas itu. Tapi ngeliat keadaan lo yang kian hari kian memburuk—don’t get me wrong, because i’m just worried, you knowso, mind to tell me about it?” Suara lembutnya lagi-lagi berhasil merobohkan pertahanan dirinya.

“Kita udah janji, ‘kan? Untuk selalu cerita apapun, walau itu di hari terbaik atau terburuk?” Tambahnya lagi, membuat Haidar akhirnya tersenyum.

“Selama gue hidup, gapernah terbayangkan kalo ternyata mimpi terburuk gue adalah kehilangan lo, Bi.”

That’s the worst nightmare that i ever wanted to feel. Gue bahkan ngga bisa ngungkapin gimana perasaannya, di mimpi itu, saking buruknya,”

“Katanya mimpi buruk ngga boleh diceritain karena pasti kejadian. Tapi yaudahlah, kalaupun bakal kejadian, at least gue udah punya bayangan.” Jelasnya, lalu berjalan melewati Marko begitu saja tanpa mendengar tanggapan lelakinya.

Marko... Pria itu terlalu terkejut untuk sekedar memberi tanggapan. Maka dari itu ia tahan tangan Haidar, lalu berkata, “Itu cuma mimpi, sayang. Gue ngga akan ninggalin lo. Nih, guenya ada, ‘kan, disini?” Ia bawa tangan itu menuju wajahnya, membiarkan Haidar merasakan eksistensinya. Lelaki gemini itu tertawa.

“Di mimpi itu lo gaada, Bi. Yang ada malah Amih disana. Amih dateng terus nyuruh gue pulang.

Tok tok tok

Deg

Jantung keduanya seketika terasa berhenti kala suara ketukan di pintu itu terdengar. Tunggu, ada yang aneh. Selama tiga tahun masa hidup mereka di tanah Amsterdam, tidak ada satupun orang ataupun tetangga yang pernah mengunjungi mereka. Netra kedua anak adam itu saling lempar tatapan, seolah bertanya cobaan apalagi yang kini akan menghampirinya.

Namun dengan cepat Marko lepaskan pegangan itu, lalu mencium pucuk kepala Haidar cepat. Menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu.

“Engga, Bi. Biar gue aja-”

“Haidar. Gue sayang lo. Inget itu.”

Marko tersenyum, lalu ia bawa langkah kakinya menuju pintu masuk rumahnya. Menarik nafas sebentar, lalu akhirnya ia putar kenop pintu itu.

Wie is dat?-

Bugh!

Ia kembali merasakan sebuah hantaman keras di belakang kepalanya. Pandangannya serasa kabur, menyesali perbuataannya sedetik lalu.

“A-amih?” Ia tergagap, terlalu gagap untuk memanggilnya Tante Egi. Sekujur tubuhnya merinding bukan main, berharap ini semua adalah bagian dari mimpi buruknya. Ia merapal doa dalam hatinya, berharap segera bisa terbangun dari peristiwa ini.

“O-om...” Lanjutnya, kala melihat sosok Om Joni di samping Egi, dengan raut wajah yang hingga kini tak dapat Marko jelaskan artinya.

“Haidar kemana?” Lututnya sungguh sangat lemas. Siapapun, tolong bangunkan Marko sekarang juga.

“M-maksud T-tante? S-saya sendiri disini-”

“Marko, cukup. Semuanya sudah selesai.”

Egi menghela nafas berat, seakan sudah lelah dengan segala skenario yang mereka perankan selama ini. Ia sungguhan lelah, sudah berapa tahun ia dibodoh-bodohi anaknya sendiri seperti ini? Diberi harapan akan bertemu kekasih anaknya yang berparas cantik, namun naas, ekspektasi Egi jelas terlalu melambung tinggi dari yang ia lihat sekarang.

“T-tante maaf, t-tapi-”

“Amih?” Haidar tercekat kala mendengar satu suara yang tak asing di pedengarannya. Ia dengan cepat berjalan maju, lalu menatap netra sang Ibunda yang ada disana.

Oh, ternyata udah waktunya ya mimpi gue jadi kenyataan? Batin itu berbisik kala seluruh atensi empat orang disana terpaku padanya.

“Ade...” Itu suara Hendri. Ia disana, berdiri paling belakang menahan isakannya. Oh, inikah saatnya bagi Haidar untuk mematahkan hati seluruh anggota keluarganya?

Egi pun bergegas masuk lalu menghampiri putra bungsunya itu, mengabaikan Marko yang tengah berdiri disana seakan lelaki itu tidak terlihat.

“Amih kok tau-”

PLAK!

“TANTE!” Teriak Marko kala tamparan itu lolos menyapa pipi kiri kekasihnya.

“Tante, tante, saya mohon. Jangan. Jangan,” Marko terengah, ia seketika kehabisan nafasnya kala merasa dejavu dengan pemandangan ini.

“Saya aja, ya? Jangan Haidar. Jangan, dia udah ngerasain banyak luka selama ini. Saya mohon. Saya aja, ya-”

“Abang.”

Satu suara itu berhasil menginterupsi sesi permohonan Marko kepada Egi. Jefri disana. Papanya. Dia ada disana.

Jefri menggeleng, “Abang, cukup ya?”

Entah sejak kapan air mata itu luruh di kedua kelopak matanya. “Pa-”

“Minggir.” Jelas Egi pada Marko yang kini tengah menjadi tameng bagi dunianya.

“Engga, Tante. Saya mohon-”

“Bi, gapapa. Udah saatnya gue jelasin tentang kita sama mereka. Gue gapapa,” Marko menoleh ke belakang, menatap dunia yang ia jaga mati-matian itu dengan sarat kecewa.

“Dar-”

Jefri melangkah maju, lekas menarik lengan putranya. “Abang, ayo,”

“PA! ENGGA PA!”

“Abang, udah. Cukup tiga tahun, ya?”

Mendengar itu kepala Haidar mendadak pening luar biasa. Air matanya turun deras sekali, semakin deras kala dunianya dibawa pergi.

“PA! PAPA! HAIDAR-”

Pintu dibanting, meninggalkan Marko sendirian di dunia luar yang begitu mengerikan.

“Abang, hey, lihat Papa.” Mereka hanya berjarak ratusan meter dari rumahnya, “Udah saatnya bagi mereka untuk meluruskan apa yang perlu diluruskan. Papa dan kamu mungkin udah berdamai, tapi tidak dengan mereka,”

“Selama ini kamu hidup dengan bahagia, 'kan, Bang?”

Marko mengangguk. Ia mengangguk dengan sangat tulus dari palung terdalam hatinya.

“Banget, Pa. Abang bahagia banget...”

Tangisnya kembali melebur, lalu Jefri bawa putra kebanggaannya itu menuju pelukannya. “Abang, kamu hebat. Abang, anak Papa paling kuat.”

“Haidar, Pa... Hiks-”


Keluarga utuh itu kini tengah duduk dengan tatapan kosong mereka masing-masing di rumah sederhana milik Haidar dan Marko. Tidak ada yang sanggup untuk memulai percakapan, bahkan Haidar sendiri. Ia terlalu takut untuk menceritakan semuanya.

“Kenapa kamu ngga pernah jujur sama Amih?” Akhirnya Egi buka suara terlebih dahulu. Membuat Haidar yang seketika menjadi atensi seluruh keluarganya mendadak kaku.

“Kenapa, Ade? Kenapa?” Ia mulai meneteskan air matanya lagi. Hendri dan Joni di depan mereka hanya bisa diam.

Mengabaikan pertanyaan tersebut, akhirnya Haidar memilih untuk berlutut di kaki Ibunya.

“Kamu pikir kamu lahir dari mana? Kenapa kamu berlutut kaya gini? Kamu ngaku kalau kamu salah? BANGUN, ADE!” Emosi yang sedari tadi sudah diredamnya akhirnya tumpah juga. Hendri dengan cepat menahan sang Ibunda agar tidak bertindak lebih jauh. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Egi pernah dalam fase terburuknya kala pertama kali ia mendengar kabar bahwa alasan dibalik kepergian anaknya menuju tanah Amsterdam itu bukan karena mencari ilmu, melainkan mencari validasi.

“Amih, kita udah janji ‘kan? Untuk nyelesaiin semuanya baik-baik? Karena ade juga udah jadi anak baik selama ini-”

“ANAK BAIK APA MAKSUD KAMU?!”

Joni yang seharusnya turun tangan di kala seperti ini, lagi-lagi memilih untuk diam karena jauh di lubuk hatinya ia tetap kecewa.

“Amih, amih...” Panggil Haidar.

“Amih, ade suka Abian dari pertama kali ketemu... Abian itu rumah Ade, cuma dia yang mau nerima Ade tanpa tapi...” Ia terisak kala memegang kedua kaki Ibunya.

Definisi rumah yang Haidar tau hingga detik ini adalah sebuah tempat dimana ia diterima tanpa tapi. Sebuah naungan yang akan menerima segala baik dan buruknya.

“Amih, kenapa Ade sampe berani bohong dan bela-belain pindah kesini... Cuma semata-mata karena Ade butuh rumah yang nerima orang seperti Ade tanpa dipandang buruk. Dan Amsterdam berhasil kasih itu buat Ade,”

“Kalau kamu bilang dari awal, kalau kamu jujur, mungkin kita bisa ngusahain, De. Tapi kenapa kamu malah milih untuk bertindak sejauh ini?”

“Omong kosong, Mih. Yang ada juga pasti Amih bakal ngatain Ade kurang iman, ‘kan? Sama kaya orang-orang diluaran sana,”

“Mau segimana Ade berusaha dapetin apa yang Ade dan Abian mau, tetap, Mih. Bandung dan isinya ngga pernah bisa ngasih rasa aman dan nyaman buat orang seperti kita.” Kalimat itu berhasil menampar ketiganya kembali pada kenyataan yang terjadi.

“Ade salah apa sih, Mih? Abian salah apa coba? Kenapa orang-orang sejahat itu sampe ngasih tatapan super hina hanya karena kita jalan bareng? Kenapa orang-orang setega itu sampe berani ngatain kita ngga pantes untuk hidup hanya karena pegangan tangan di jalanan?”

“Apa yang pernah kita lakuin ke mereka sampe mereka nyakitin perasaan Ade dan Abian? Kita ngga pernah ngusik kehidupan mereka, tapi kenapa kata-kata mereka nyakitin banget?”

“Apa menurut Amih, Ade dan Abian masih sanggup untuk bertahan hidup disana? Dengan lingkungan yang kaya gitu?”

Egi menatap putranya itu begitu kecewa. Dari mana anak itu belajar bermain kata-kata dengannya?

“Liat? Amih aja sekarang ngeliat Ade kaya gini. Menurut Amih apakah Ade ngga sakit hati? Padahal Ade ngga pernah jahatin Amih,”

“Haidar.” Panggil Joni membuatnya seketika menghentikan bicaranya.

Ia bangun dari duduknya, lalu menarik putranya dari lantai yang dingin untuk berdiri.

“Sudah sepantasnya Papa dan Amih kecewa. Karena selama ini, apa yang diharapkan kita berdua—terutama Amih, ternyata berhasil membuat kita jatuh terpuruk sangat dalam, sampai-sampai hanya waktu yang bisa menyembuhkan.”

“Kedatangan Papa, Amih, dan Aa disini bukan untuk membawa kamu pulang ke Indonesia, apalagi memisahkan kalian.

Joni kalah telak, gelar manusia kuat yang diembannya selama ini runtuh seketika karena hari ini, ia sudah ikhlas.

“Kita hanya butuh semuanya dijelaskan. Bukan tugas kamu untuk mengerti perasaan Papa dan Amih. Karena selama ini kamu juga ngga minta untuk dingertiin, ‘kan?” Mendengar itu Haidar hanya bisa menunduk.

“Maafin Papa karena udah bikin kamu ngelaluin semua ini sendirian, Nak.” Ia memeluk putranya erat, membawa anak kesayangannya itu pada bahunya yang hari ini dibiarkan roboh.

“Papa cuma minta satu hal,” Lirihnya.

“Jangan tinggalin shalat, ya?”

“Terlepas dari dosa apapun yang udah kita lakuin di dunia, harus inget bahwa Tuhan itu maha memaafkan.” Ia tepuk bahu putranya itu.

“Egi, udah, ya? Ayo,” Egi menggeleng.

“Egi, sayang. Kita udah janji, kesini bukan untuk bawa Haidar pulang. Tapi untuk menyelesaikan semuanya. Dan semuanya sudah selesai.”

“Amih, ayo?” Hendri ajak sang Ibu untuk bangun.

“Amih, maafin Ade, ya?” Haidar berjalan mendekat ke arah wanita kesayangannya itu.

Ade boleh peluk Amih, ngga?” Tanya lelaki itu untuk terakhir kalinya. Egi yang sudah hancur sehancur-hancurnya jelas tidak punya daya untuk menolak. Sebagai lelaki yang punya inisiatif tinggi, Haidar merengkuh Ibunya lalu menangis disana.

“Ampunin Ade, Amih. Maafin Ade...”

Konon katanya, waktu akan sembuhkan. Semoga lekas membaik, Keluarga Atmajaya.


Haidar menatap kosong sebuah surat yang dibawa oleh sang kakak jauh-jauh dari kampung halamannya. Amplopnya masih tertutup rapat, namun dari tulisannya saja, ia langsung tahu siapa pengirimnya.

Matanya sungguh lelah. Ia sudah tidak punya energi untuk kembali meluapkan emosinya. Namun ketika Hendri berkata, “Narendra nitipin ini ketika dia sebenernya bisa ikut sama Abang untuk ngomong empat mata sama kamu. Artinya, dia beneran ngga mampu untuk sekedar ngobrol dan ketemu karena dia beneran nyesel. Jangan lupa hubungin anaknya, ya?”

Bisa apa lagi anak itu selain menyobek bungkus amplop tersebut? Setelahnya, ia membaca dengan lamat rentetan kalimat panjang itu, hingga akhirnya hanya ada suara tangis yang terdengar di seluruh penjuru ruangan.

Halo, Dar. Gimana kabar lo? Baik-baik aja, ‘kan? Si Marko jagain lo, ‘kan? Awas aja kalo engga gua pukul.

Dar, kalo surat ini udah lo baca artinya lo udah berhasil ya? Selamat. Maafin gue yang ngga guna ini ya selama jadi sahabat lo.

Dar, semenjak kejadian di sansco gue jadi banyak mikir. Selama ini gue tuh beneran sahabat lo bukan, sih? Kok kayanya dari semua cerita dan pengalaman hidup yang udah pernah lo ceritain dan bagiin ke gue, kayanya itu hal kaga penting semua ya kayanya? WKWKWKWK kok gue bisa-bisanya ngga tau soal lo suka cowok.

Dar, setelah kejadian itu gue jadi sering menyendiri. Mikirin kalo gue udah tau dari awal, kira-kira tindakan apa ya yang bakal gue lakuin? Apakah bakal nyuruh lo tobat dan tetap pada keyakinan gue tentang hal ini tuh sebenernya lebih baik ngga pernah ada (perasaan lo) atau bakal jadi orang pertama yang nyuruh lo untuk kabur dari sini?

It quite taking some times but finally i found my answer, Dar. Gue memutuskan untuk jadi orang pertama yang bakal nyuruh lo untuk kabur dari sini. Tapi gue terlalu takut untuk ngedukung lo setelah kita adu jotos. Jadi, gue kasih tau semuanya ke si Aa Hendri. Maaf ya, Dar, bantuan gue emang ga seberapa tapi seengganya lo udah berhasil ngejar kebahagiaan yang selama ini lo mau.

Gue bukan cepu, gue hanya memberi kesempatan. TOLONG GARIS BAWAHI.

Jangan pulang ya, Dar. Awas aja kalo balik anjing gua pukul. Susah payah gua ngomong ke si Aa kalo lu tau-tau pulang karena iseng gua beneran bakal tonjok lo. Orang-orang disini pada jahat, Dar. Makanya, gausah pulang. Anak-anak malah ngga ada yang nyadar kalo lo pergi, wkwkwk.

Maafin semua kesalahan gue ya, Dar? Maafin sahabat lo yang brengsek ini. Bahkan saat-saat keberangkatan lo aja gue masih terlalu gengsi untuk dateng dan meluk lo untuk terakhir kali. Tapi yaudahlah, udah tiga tahun lalu juga.

Ada satu video dari TikTok yang berhasil nampar gue, Dar. Katanya, “kalo sahabat lo buat kesalahan, kasih tau dia. Tonjok kalo perlu. Tapi jangan pernah lo tinggalin sahabat lo.” gitu. Gue udah ngelakuin semuanya, Dar. Ngasih tau udah, nonjok udah. Ngga ninggalin lo juga udah. Jadi jangan ngerasa kaya gitu lah anjing nambah-nambahin dosa gue aja.

Till we meet again, Idar. From your beloved bestfriend, Narendra Bagaskara.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.

Maafin Ade, Amih. —haidar dan marko.

Ada satu hal yang Haidar percayai selama hampir 25 tahun masa hidupnya di dunia. Bahwa yang namanya takdir, sejatinya adalah suatu peristiwa yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Yang Maha Esa. Dalam kamusnya, tidak ada yang namanya kebetulan. Ia percaya, segala hal yang telah terjadi dalam seperempat abad hidupnya ini adalah termasuk ke dalam takdir yang sudah Tuhan rencanakan. Dan salah satunya adalah bertemu dengan Abian Marko Pratama.

Bertemu dengan pria itu, yang Haidar percayai, bukanlah sebuah kebetulan semata. Ia tahu, bahwa ada alasan dibalik mengapa keduanya dipertemukan hingga akhirnya disatukan dalam ikatan perasaan.

Bertemu dengan Marko, yang ia tahu, jelas sebuah takdir yang Tuhan berikan untuknya. Orang bilang ini ujian, orang bilang ini cobaan. Tapi Haidar menolak keras itu semua dengan meyakinkan hatinya bahwa Marko adalah titipan.

Ia tahu bahwa Marko hadir untuk memberinya pelajaran hidup yang tak bisa ia dapatkan dimanapun. Bahwa ada baiknya kita memandang hal tersebut dari sisi positif, tapi mengapa orang terus melihat kaum seperti mereka dari sisi negatif?

Haidar tahu, bahwa ia akan punya garis takdir lain jika ia tidak memilih untuk mencari tahu lebih tentang Marko hari itu. Entah dimana dirinya sekarang, dengan siapa, sedang apa. Namun dengan ketetapannya hari itu, ia akhirnya bisa berdiri disini. Di rumah ini, dengan Marko.

Yang ia tahu dari kelas pelajaran Agama semasa SMA, disaat ia tengah nakal-nakalnya, bahwa ketika kita menolak menerima takdir yang sudah Tuhan tulis dan memilih pergi dengan pilihan sendiri, ia pasti akan bertemu takdir lainnya. Konsepnya seperti jodoh yang sudah bertemu, pasti akan dipisahkan oleh dua hal. Entah maut, atau keadaan.

Haidar jelas tahu di akalnya bahwa ia bukan jodoh Marko. Tapi takdir yang membawanya kesini, membuat ia pasti akan dipertemukan dengan takdir lain karena pilihannya ini.

Dan Haidar berharap, semoga hanya ada maut yang akan memisahkan mereka. Bukan keadaan, apalagi keluarga.


Haidar kembali mengeratkan pelukannya ketika mimpi buruk itu kembali mendatangi malam harinya. Yang dipeluk tentu saja terkejut, Marko yang segera menyadari hal itu langsung menepuk punggung Haidar perlahan, bermaksud menenangkannya. Setelah beberapa saat, ia melihat dahi mengkerut itu perlahan memudar, hingga akhirnya Marko pun kembali melanjutkan kegiatan tidurnya.

Jam di nakas menunjukkan pukul empat tepat ketika Marko rasakan kehampaan di samping kirinya. Ia meraba kasur itu, namun sosok Haidar tak dapat ditemukan. Ia sontak membulatkan matanya ketika menyadari bahwa ia sendirian disana. Jantungnya berdebar kencang—entah mengapa—lalu ia pun memilih untuk bangun dan keluar dari kamarnya.

Matanya menyipit kala sebuah cahaya tiba-tiba menusuk netranya. Ia pun menggosok netra kanannya, memakai kaca matanya dengan cepat lalu berjalan menuju ruang tamu dimana Haidar berada. Dilihatnya lelaki itu tengah menatap kosong tv yang menyala, membuat Marko kebingungan.

“Dar?”

Yang dipanggil menoleh. Dilihatnya lelaki kesayangannya itu sedang melamun, membuat yang lebih tua bernafas lega ketika mengetahui Haidar benar-benar ada disana.

Mimpi buruk lagi?

Ia menghampiri Haidar, lalu duduk disamping kirinya. Yang lebih muda mengangguk, lalu direngkuhnya raga kesayangannya itu cepat. Ia mengelus pucuk kepala Haidar lembut dan mengecupnya dalam.

It's okay, sayang. You'll be fine as long as i'm here with you.” Katanya, membuat Haidar yang tengah didekap erat itu memejamkan matanya lalu mengangguk.

“Mau tidur disini?” Marko melepaskan pelukann mereka, sambil menatap lelaki berkulit madu itu. Haidar tersenyum kecut sambil mengangguk. Matanya seakan meminta maaf padanya karena telah menyusahkannya lagi malam ini.

Okay. I'll make sure to hug you tight, so don't worry. You can go back to sleep now,” Marko pun merubah bentuk sofa mereka menjadi lebih lebar—yang sangat pas untuk ditempati berdua, lalu menepuknya.

Come here.” Tanpa banyak bicara, Haidar segera mencari posisi paling nyaman dipelukannya. Melihat itu Marko tersenyum getir, lalu mendekap lelaki itu cepat. Sekali lagi mengecup pucuk kepalanya hangat, lalu membiarkan Haidar kembali menyelami dunia mimpi walau satu jam kemudian tangannya terasa luar biasa kebas.


Minggu pagi yang terasa begitu menyenangkan bagi siapapun manusia di muka bumi. Mereka bisa terbebas sejenak dari banyaknya tuntutan dunia—entah pekerjaan, tugas, dan lain-lain—begitu juga dengan Haidar dan Marko.

Haidar baru saja pulang ketika Marko selesai mandi. Dilihatnya lelaki itu pulang dengan sekantung bunga di tangan kirinya, menbuat lelaki beralis camar itu mengerutkan dahinya.

White tulips?” Tanya Marko ketika Haidar menaruh bunga itu di meja makan rumah mereka. “Tiba-tiba?”

“Hadiah buat Amih tahun ini,” Ia tersenyum.

“Iya, tau. Tapi kenapa tulip putih?”

Haidar terdiam sejenak, terlihat berfikir harus menjawab apa namun dengan cepat ia berkata, “Katanya yang lagi musim sekarang bunga tulip putih.”

Dahinya kembali menyatu, pertanda bingung.

“Semalem mimpi apa, Dar?” Tanya Marko ketika Haidar hendak mencuci tangannya. Yang ditanya mendadak kaku, kala pertanyaan itu dilemparkan kepadanya.

“Lo udah kaya gini sejak lama, dan gue ngga berani nanya karena lo terlihat ngga mau bahas itu. Tapi ngeliat keadaan lo yang kian hari kian memburuk—don’t get me wrong, because i’m just worried, you knowso, mind to tell me about it?” Suara lembutnya lagi-lagi berhasil merobohkan pertahanan dirinya.

“Kita udah janji, ‘kan? Untuk selalu cerita apapun, walau itu di hari terbaik atau terburuk?” Tambahnya lagi, membuat Haidar akhirnya tersenyum.

“Selama gue hidup, gapernah terbayangkan kalo ternyata mimpi terburuk gue adalah kehilangan lo, Bi.”

That’s the worst nightmare that i ever wanted to feel. Gue bahkan ngga bisa ngungkapin gimana perasaannya, di mimpi itu, saking buruknya,”

“Katanya mimpi buruk ngga boleh diceritain karena pasti kejadian. Tapi yaudahlah, kalaupun bakal kejadian, at least gue udah punya bayangan.” Jelasnya, lalu berjalan melewati Marko begitu saja tanpa mendengar tanggapan lelakinya.

Marko... Pria itu terlalu terkejut untuk sekedar memberi tanggapan. Maka dari itu ia tahan tangan Haidar, lalu berkata, “Itu cuma mimpi, sayang. Gue ngga akan ninggalin lo. Nih, guenya ada, ‘kan, disini?” Ia bawa tangan itu menuju wajahnya, membiarkan Haidar merasakan eksistensinya. Lelaki gemini itu tertawa.

“Di mimpi itu lo gaada, Bi. Yang ada malah Amih disana. Amih dateng terus nyuruh gue pulang.

Tok tok tok

Deg

Jantung keduanya seketika terasa berhenti kala suara ketukan di pintu itu terdengar. Tunggu, ada yang aneh. Selama tiga tahun masa hidup mereka di tanah Amsterdam, tidak ada satupun orang ataupun tetangga yang pernah mengunjungi mereka. Netra kedua anak adam itu saling lempar tatapan, seolah bertanya cobaan apalagi yang kini akan menghampirinya.

Namun dengan cepat Marko lepaskan pegangan itu, lalu mencium pucuk kepala Haidar cepat. Menyuruhnya untuk menunggu di ruang tamu.

“Engga, Bi. Biar gue aja-“

“Haidar. Gue sayang lo. Inget itu.”

Marko tersenyum, lalu ia bawa langkah kakinya menuju pintu masuk rumahnya. Menarik nafas sebentar, lalu akhirnya ia putar kenop pintu itu.

Wie is dat?-

Bugh!

Ia kembali merasakan sebuah hantaman keras di belakang kepalanya. Pandangannya serasa kabur, menyesali perbuataannya sedetik lalu.

“A-amih?” Ia tergagap, terlalu gagap untuk memanggilnya Tante Egi. Sekujur tubuhnya merinding bukan main, berharap ini semua adalah bagian dari mimpi buruknya. Ia merapal doa dalam hatinya, berharap segera bisa terbangun dari peristiwa ini.

“O-om...” Lanjutnya, kala melihat sosok Om Joni di samping Egi, dengan raut wajah yang hingga kini tak dapat Marko jelaskan artinya.

“Haidar kemana?” Lututnya sungguh sangat lemas. Siapapun, tolong bangunkan Marko sekarang juga.

“M-maksud T-tante? S-saya sendiri disini-“

“Marko, cukup. Semuanya sudah selesai.”

Egi menghela nafas berat, seakan sudah lelah dengan segala skenario yang mereka perankan selama ini. Ia sungguhan lelah, sudah berapa tahun ia dibodoh-bodohi anaknya sendiri seperti ini? Diberi harapan akan bertemu kekasih anaknya yang berparas cantik, namun naas, ekspektasi Egi jelas terlalu melambung tinggi dari yang ia lihat sekarang.

“T-tante maaf, t-tapi-“

“Amih?” Haidar tercekat kala mendengar satu suara yang tak asing di pedengarannya. Ia dengan cepat berjalan maju, lalu menatap netra sang Ibunda yang ada disana.

Oh, ternyata udah waktunya ya mimpi gue jadi kenyataan? Batin itu berbisik kala seluruh atensi empat orang disana terpaku padanya.

“Ade...” Itu suara Hendri. Ia disana, berdiri paling belakang menahan isakannya. Oh, inikah saatnya bagi Haidar untuk mematahkan hati seluruh anggota keluarganya?

Egi pun bergegas masuk lalu menghanpiri putra bungsunya ituc mengabaikan Marko yang tengah berdiri disana seakan lelaki itu tidak terlihat.

“Amih kok tau-“

PLAK!

“TANTE!” Teriak Marko kala tamparan itu lolos menyapa pipi kiri kekasihnya.

“Tante, tante, saya mohon. Jangan. Jangan,” Marko terengah, ia seketika kehabisan nafasnya kala merasa dejavu dengan pemandangan ini.

“Saya aja, ya? Jangan Haidar. Jangan, dia udah ngerasain banyak luka selama ini. Saya mohon. Saya aja, ya-“

“Abang.”

Satu suara itu berhasil menginterupsi sesi permohonan Marko kepada Egi. Jefri disana. Papanya. Dia ada disana.

Jefri menggeleng, “Abang, cukup ya?”

Entah sejak kapan air mata itu luruh di kedua kelopak matanya. “Pa-“

“Minggir.” Jelas Egi pada Marko yang kini tengah menjadi tameng bagi dunianya.

“Engga, Tante. Saya mohon-“

“Bi, gapapa. Udah saatnya gue jelasin tentang kita sama mereka. Gue gapapa,” Marko menoleh ke belakang, menatap dunia yang ia jaga mati-matian itu dengan sarat kecewa.

“Dar-“

Jefri melangkah maju, lekas menarik lengan putranya. “Abang, ayo,”

“PA! ENGGA PA!”

“Abang, udah. Cukup tiga tahun, ya?”

Mendengar itu kepala Haidar mendadak pening luar biasa. Air matanya turun deras sekali, semakin deras kala dunianya dibawa pergi.

“PA! PAPA! HAIDAR-“

Pintu dibanting, meninggalkan Marko sendirian di dunia luar yang begitu mengerikan.

“Abang, hey, lihat Papa.” Mereka hanya berjarak ratusan meter dari rumahnya, “Udah saatnya bagi mereka untuk meluruskan apa yang perlu diluruskan. Papa dan kamu mungkin udah berdamai, tapi tidak dengan mereka,”

“Kamu bahagia, Bang?”

Marko mengangguk. Ia mengangguk dengan sangat tulus dari palung terdalam hatinya.

“Banget, Pa. Abang bahagia banget...”

Tangisnya kembali melebur, lalu Jefri bawa putra kebanggaannya itu menuju pelukannya. “Abang, kamu hebat. Abang, anak Papa paling kuat.”

“Haidar, Pa... Hiks-“

***

Keluarga utuh itu kini tengah duduk dengan tatapan kosong mereka masing-masing di rumah sederhana milik Haidar dan Marko. Tidak ada yang sanggup untuk memulai percakapan, bahkan Haidar sendiri. Ia terlalu takut untuk menceritakan semuanya.

“Kenapa kamu ngga pernah jujur sama Amih?” Akhirnya Egi buka suara terlebih dahulu. Membuat Haidar yang seketika menjadi atensi seluruh keluarganya mendadak kaku.

“Kenapa, Ade? Kenapa?” Ia mulai meneteskan air matanya lagi. Hendri dan Joni di depan mereka hanya bisa diam.

Mengabaikan pertanyaan tersebut, akhirnya Haidar memilih untuk berlutut di kaki Ibunya.

“Kamu pikir kamu lahir dari mana? Kenapa kamu berlutut kaya gini? Kamu ngaku kalau kamu salah? BANGUN, ADE!” Emosi yang sedari tadi sudah diredamnya akhirnya tumpah juga. Hendri dengan cepat menahan sang Ibunda agar tidak bertindak lebih jauh. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Egi pernah dalam fase terburuknya kala pertama kali ia mendengar kabar bahwa alasan dibalik kepergian anaknya menuju tanah Amsterdam itu bukan karena mencari ilmu, melainkan mencari validasi.

“Amih, kita udah janji ‘kan? Untuk nyelesaiin semuanya baik-baik? Karena ade juga udah jadi anak baik selama ini-“

“ANAK BAIK APA MAKSUD KAMU?!”

Joni yang seharusnya turun tangan di kala seperti ini, lagi-lagi memilih untuk diam karena jauh di lubuk hatinya ia tetap kecewa.

“Amih, amih...” Panggil Haidar.

“Amih, ade suka Abian dari pertama kali ketemu... Abian itu rumah Ade, cuma dia yang mau nerima Ade tanpa tapi...” Ia terisak kala memegang kedua kaki Ibunya.

Definisi rumah yang Haidar tau hingga detik ini adalah sebuah tempat dia dimana ia diterima tanpa tapi. Sebuah naungan yang akan menerima segala baik dan buruknya.

“Amih, kenapa Ade sampe berani bohong dan bela-belain pindah kesini... Cuma semata-mata karena Ade butuh rumah yang nerima orang seperti Ade tanpa dipandang buruk. Dan Amsterdam berhasil kasih itu buat Ade,”

“Kalau kamu bilang dari awal, kalau kamu jujur, mungkin kita bisa ngusahain, De. Tapi kenapa kamu malah milih untuk bertindak sejauh ini?”

“Omong kosong, Mih. Yang ada juga pasti Amih bakal ngatain Ade kurang iman, ‘kan? Sama kaya orang-orang diluaran sana,”

“Mau segimana Ade berusaha dapetin apa yang Ade dan Abian mau, tetap, Mih. Bandung dan isinya ngga pernah bisa ngasih rasa aman dan nyaman buat orang seperti kita.” Kalimat itu berhasil menampar ketiganya kembali pada kenyataan yang terjadi.

“Ade salah apa sih, Mih? Abian salah apa coba? Kenapa orang-orang sejahat itu sampe ngasih tatapan super hina hanya karena kita jalan bareng? Kenapa orang-orang setega itu sampe berani ngatain kita ngga pantes untuk hidup hanya karena pegangan tangan di jalanan?”

“Apa yang pernah kita lakuin ke mereka sampe mereka nyakitin perasaan Ade dan Abian? Kita ngga pernah ngusik kehidupan mereka, tapi kenapa kata-kata mereka nyakitin banget?”

“Apa menurut Amih, Ade dan Abian masih sanggup untuk bertahan hidup disana? Dengan lingkungan yang kaya gitu?”

Egi menatap putranya itu begitu kecewa. Dari mana anak itu belajar bermain kata-kata dengannya?

“Liat? Amih aja sekarang ngeliat Ade kaya gini. Menurut Amih apakah Ade ngga sakit hati? Padahal Ade ngga pernah jahatin Amih,”

“Haidar.” Panggil Joni membuatnya seketika menghentikan bicaranya.

Ia bangun dari duduknya, lalu menarik putranya dari lantai yang dingin untuk berdiri.

“Sudah sepantasnya Papa dan Amih kecewa. Karena selama ini, apa yang diharapkan kita berdua—terutama Amih, ternyata berhasil membuat kita jatuh terpuruk sangat dalam, sampai-sampai hanya waktu yang bisa menyembuhkan.”

“Kedatangan Papa, Amih, dan Aa disini bukan untuk membawa kamu pulang ke Indonesia, apalagi memisahkan kalian.

Joni kalah telah, gelar manusia kuat yang diembannya selama ini runtuh seketika karena hari ini, ia sudah ikhlas.

“Kita hanya butuh semuanya dijelaskan. Bukan tugas kamu untuk mengerti perasaan Papa dan Amih. Karena selama ini kamu juga ngga minta untuk dingertiin, ‘kan?” Mendengar itu Haidar hanya bisa menunduk.

“Maafin Papa karena udah bikin kamu ngelaluin semua ini sendirian, Nak.” Ia memeluk putranya erat, membawa anak kesayangannya itu pada bahunya yang hari ini dibiarkan roboh.

“Papa cuma minta satu hal,” Lirihnya.

“Jangan tinggalin shalat, ya?”

“Terlepas dari dosa apapun yang udah kita lakuin di dunia, harus inget bahwa Tuhan itu maha memaafkan.” Ia tepuk bahu putranya itu.

“Egi, udah, ya? Ayo,” Egi menggeleng.

“Egi, sayang. Kita udah janji, kesini bukan untuk bawa Haidar pulang. Tapi untuk menyelesaikan semuanya. Dan semuanya sudah selesai.”

“Amih, ayo?” Hendri ajak sang Ibu untuk bangun.

“Amih, maafin Ade, ya?” Haidar berjalan mendekat ke arah wanita kesayangannya itu.

Ade boleh peluk Amih, ngga?” Tanya lelaki itu untuk terakhir kalinya. Egi yang sudah hancur sehancur-hancurnya jelas tidak punya daya untuk menolak. Sebagai lelaki yang punya inisiatif tinggi, Haidar merengkuh Ibunya lalu menangis disana.

“Ampunin Ade, Amih. Maafin Ade...”

Konon katanya, waktu akan sembuhkan. Semoga lekas membaik, Keluarga Atmajaya.


Haidar menatap kosong sebuah surat yang dibawa oleh sang kakak jauh-jauh dari kampung halamannya. Amplopnya masih tertutup rapat, namun dari tulisannya saja, ia langsung tahu pengirimnya.

Matanya sungguh lelah. Ia sudah tidak punya energi untuk kembali meluapkan emosinya. Namun ketika Hendri berkata, “Narendra nitipin ini ketika dia sebenernya bisa ikut sama Abang untuk ngomong empat mata sama kamu. Artinya, dia beneran ngga mampu untuk sekedar ngobrol dan ketemu karena dia beneran nyesel. Jangan lupa hubungin anaknya, ya?”

Bisa apa lagi anak itu selain menyobek bungkus amplos tersebut? Setelahnya, ia membaca dengan lamat rentetan kalimat panjang itu, hingga akhirnya hanya ada suara tangis yang terdengar di ruangan itu.

Halo, Dar. Gimana kabar lo? Baik-baik aja, ‘kan? Si Marko jagain lo, ‘kan? Awas aja kalo engga gua pukul.

Dar, kalo surat ini udah lo baca artinya lo udah berhasil ya? Selamat. Maafin gue yang ngga guna ini ya selama jadi sahabat lo.

Dar, semenjak kejadian di sansco gue jadi banyak mikir. Selama ini gue tuh beneran sahabat lo bukan, sih? Kok kayanya dari semua cerita dan pengalaman hidup yang udah pernah lo ceritain dan bagiin ke gue, kayanya itu hal kaga penting semua ya kayanya? WKWKWKWK kok gue bisa-bisanya ngga tau soal lo suka cowok.

Dar, setelah kejadian itu gue jadi sering menyendiri. Mikirin kalo gue udah tau dari awal, kira-kira tindakan apa ya yang bakal gue lakuin? Apakah bakal nyuruh lo tobat dan tetap pada keyakinan gue tentang hal ini tuh sebenernya lebih baik ngga pernah ada (perasaan lo) atau bakal jadi orang pertama yang nyuruh lo untuk kabur dari sini?

It quite taking some times but finally i found my answer, Dar. Gue memutuskan untuk jadi orang pertama yang bakal nyuruh lo untuk kabur dari sini. Tapi gue terlalu takut untuk ngedukung lo setelah kita adu jotos. Jadi, gue kasih tau semuanya ke si Aa Hendri. Maaf ya, Dar, bantuan gue emang ga seberapa tapi seengganya lo udah berhasil ngejar kebahagiaan yang selama ini lo mau.

Gue bukan cepu, gue hanya memberi kesempatan. TOLONG GARIS BAWAHI.

Jangan pulang ya, Dar. Awas aja kalo balik anjing gua pukul. Susah payah gua ngomong ke si Aa kalo lu tau-tau pulang karena iseng gua beneran bakal tonjok lo. Orang-orang disini pada jahat, Dar. Makanya, gausah pulang. Anak-anak malah ngga ada yang nyadar kalo lo pergi, wkwkwk.

Maafin semua kesalahan gue ya, Dar? Maafin sahabat lo yang brengsek ini. Bahkan saat-saat keberangkatan lo aja gue masih terlalu gengsi untuk dateng dan meluk lo untuk terakhir kali. Tapi yaudahlah, udah tiga tahun lalu juga.

Ada satu video dari TikTok yang berhasil nampar gue, Dar. Katanya, “kalo sahabat lo buat kesalahan, kasih tau dia. Tonjok kalo perlu. Tapi jangan pernah lo tinggalin sahabat lo.” gitu. Gue udah ngelakuin semuanya, Dar. Ngasih tau udah, nonjok udah. Ngga ninggalin lo juga udah. Jadi jangan ngerasa kaya gitu lah anjing nambah-nambahin dosa gue aja.

Till we meet again, Idar. From your beloved bestfriend, Narendra Bagaskara.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.

Pulang. —haidar dan marko.

Sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih kepada para tamu undangan yang telah hadir pada malam hari ini di acara resepsi pernikahan antara sepasang adam dan hawa yang sebentar lagi akan memasuki ruangan, mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah bagi kedua pengantin!

Riuh suara tepuk tangan dari segala penjuru ruangan menyambut kedua anak adam dan hawa itu di pintu masuk. Si anak adam yang tengah berdiri di sebelah kanan terlihat begitu rapih dengan setelan jas hitam legamnya—begitu cocok melekat di tubuh besar itu—sementara si anak hawa, yang berdiri di samping kirinya terihat begitu menawan dibalik gaun bernuansa Beige yang terlihat sangat cocok ketika menyatu dengan kulitnya. Tak lupa tangan kanan si hawa yang mengalun nyaman di tangan kiri si adam, seolah berkata pada alam semesta bahwa hari ini, mereka sudah resmi menjadi sepasang suami dan istri.

Keduanya berjalan dengan khidmat, menyapa ke samping kanan dan kiri mereka yang tengah dipenuhi oleh barisan kerabat serta keluarga mereka yang hadir malam itu. Disusul oleh rombongan tagoni—ralat, rombongan Groomsmen dan Bridesmaid di belakang mereka yang menjadi pelengkap acara. Mereka berjalan berpasang-pasangan, mengikuti si pengantin. Ada 5 pria dan 5 wanita disana.

Lelaki beralis camar itu memperhatikan dengan lamat rentetan kejadian yang kini tengah terjadi di hadapannya. Melihat bagaimana orang yang dikasihinya itu tengah mengawurkan kelopak bunga mawar putih dengan wajah sok bahagianya, ditemani sesosok wanita di sebelah kirinya yang sedari dulu tak pernah ia sukai. Dari ujung ruangan Marko tersenyum kecut, lalu kembali mengambil segelas minuman dingin yang ia harap bisa melegakan hatinya.

Acara inti pun selesai. Ketika satu per satu para tamu undangan melengang pergi meninggalkan ruangan resepsi, secara tiba-tiba tempat itu berubah menjadi sebuah kelab malam but make it halal version. Dalam artian, lagu yang diputar seketika berubah 180 derajat—dari yang tadinya hanya memutarkan lagu bertemakan pernikahan—sekarang menjadi lagu yang lebih up beat.

Haidar dengan jiwa extrovertednya tentu saja tidak bisa melewatkan hal ini. Dengan cepat ia naik ke atas panggung, mengambil alih acara seakan ini adalah resepsi pernikahannya sendiri. Seluruh temannya seketika menjadi sangat heboh, dengan cepat mengabadikan momen itu lalu ikut bernyanyi.

Sekali lagi lelaki di ujung ruangan itu hanya bisa tersenyum, kembali terpukau dengan kelakuan Haidar yang sampai detik ini pun masih berhasil membuatnya geleng-geleng. Tanpa ia sadari, arah pandang lelaki diatas panggung itu juga hanya tertuju padanya. Mengabaikan segala atensi yang diberikan teman-temannya, ia hanya peduli pada sosok di ujung sana.

“Udahan, udahan! Kacau si Haidar mah tong dibere panggung moal eureun!” Teriak mempelai pria dari pelaminan, membuat Haidar hanya mendecih lalu segera turun dari sana.

Artinya: Jangan dikasih kesempatan si Haidar mah, sekalinya dikasih pasti ngga akan berhenti.

Fee gue mahal ya anjing!” Teriaknya.

Setelah menyalurkan bakat terpendamnya, ia pun kembali menghampiri kubu yang berisi teman-temannya itu. Dilihatnya ada sosok Jovan disana, tengah membawa dua gelas minuman yang dengan mudah Haidar asumsikan maksudnya apa. Ia pun terkekeh, lalu menghampirinya.

“Makasih loh, repot-repot.” Pedenya saat ia berdiri di depan Jovan. Ia segera mengambil minuman itu namun Jovan segera menarik tangannya.

“Buat istri gue ini. Ambil sendiri sana.” Sinisnya, membuat Haidar kembali mendecih untuk yang kesekian kali. “Harus banget ya istrinya ditekenin, Jov?”

Jovan terkekeh, namun tidak dengan Haidar. Ia memutar bola matanya pertanda kesal. “Becanda, Dar. Iya ini buat lo nih,” Ia kembali membawa gelas itu kehadapannya, namun sayang hal itu tidak diindahkan oleh sang lawan bicara.

“Gausah, makasih.” Ketusnya.

“Dih gajelas lu. Gue becanda elah,” Ia terkekeh lagi, menampilkan eye smilenya yang tak pernah berubah walau kini keduanya sudah hampir menginjak usia kepala tiga.

“Jov, lo kenapa ngga bilang sama gue?” Tanpa menerima gelas berisi jus mangga itu, Haidar malah bertanya kepada Jovan yang tengah tersenyum.

“Ngga bilang apa?”

“Iya kalo lo udah nikah, sama cewe.

“Ya karena peraturan disini kaya gitu, Haidar. Laki-laki itu pasangannya perempuan.” Dengan lembut Jovan menjawab, membuat Haidar naik pitam.

“Lo bohongin diri sendiri, Jov. Lo nyerah sama diri sendiri. Intinya itu. Kenapa lo nyerah anjir? Kenapa ngga nyoba merjuangin hak lo-”

Ngga semua orang seberuntung lo, Haidar.” Potong Jovan cepat, membuat Haidar seketika bungkam.

“Lagian buat apa juga gue berjuang kalau orang yang mau gue perjuanginnya pun udah hidup bahagia sama pilihannya?”

“Jov anjing?”

Lelaki aries itu menahan tawanya kala umpatan itu menusuk indra pendengarannya—ralat, menusuk hatinya.

“Haha becanda. ‘Kan udah gue bilang, gausah dipikirin perasaan gue mah. Pikirin aja hidup lo sendiri, Dar. Gue nggapapa kok. Gue udah hidup bahagia sekarang.” Ia menoleh ke belakang sejenak, melihat dimana ada wanitanya disana bersama gadis kecil nan cantik tengah bercengkrama dengan mempelai wanita.

“Adanya Karin sama Kirana sekarang berhasil bikin gue lupain lo dan perasaan gue selama ini. Makanya, lo jangan perhatian gini lah sama gue, ya? Entar jadi sia-sia dong usaha gue dan keluarga selama ini. Mau lo tanggung jawab?”

Haidar menghela nafas, “Jadi ini salah gue ya, Jov?”

No, no. Enggak anjir, ga gitu. Gue ikut bahagia dengan kehidupan lo dan Marko sekarang, yang udah berhasil merjuangin hak kalian semestinya.”

“Hak lo juga, Jov.”

“Haidar, udah. Jangan sedih sama keadaan gue. Entar berabe.” Ia menepuk pundak Haidar, lalu memberinya sebuah anggukan.

“Level tertinggi sayang sama orang itu ikhlas, Dar. Semua orang yang tau keadaan lo dan Marko sekarang itu udah ikhlas karena apa? Karena kita sayang sama lo. Termasuk gue, yang udah ikhlasin lo,”

Haidar sekali lagi berhasil dibuat bungkam oleh ucapan sahabatnya itu.

“Cakep ih anak lu.”

“Iyalah, bapaknya juga siapa.”

“Jadi kangen ‘kan sama anak gue. Sama anjir, Jov. Lagi gemes-gemesnya,” Kekeh Haidar yang tanpa sadar segera merubah arah pandangnya menuju satu sosok yang sedari tadi nyaman berdiri di pojok ruangan. Seperti sudah jodoh, kedua netra mereka sama-sama bertemu. Haidar tersenyum.

“Gua kesana dulu ya, Jov.” Seperti sudah paham, lelaki kelahiran april itu hanya tersenyum sambil mengangkat jempolnya. Haidar dengan cepat memunggungi Jovan, lalu segera berjalan menghampiri dunianya.

Sebenarnya Marko sudah mencuri perhatiannya sejak tadi. Padahal yang lelaki itu lakukan hanyalah diam, berdiri tegak dengan gagah dan percaya diri tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun—atau lebih tepatnya karena ia tengah sendirian, otomatis tidak ada yang mengajaknya untuk berbicara—namun sialnya, hebatnya, menariknya, hal itu membuat Haidar gila.

Tailah diem aja ganteng. Laki siapa sih.

Marko tengah memegang sebuah gelas berisi jus jambu kala Haidar berjalan mendekatinya. Tak ingin terlihat jelas bahwa ia sudah menantikan momen ini, ia pun meneguk jus berwarna merah muda itu. Berusaha keras menahan garis bibirnya agar tidak naik terlalu kentara.

“Apa kabar, Mas?”

Marko hampir tersedak ketika kalimat itu keluar dari mulut Haidar.

Shut up.

“Eh iya lupa. Suami.”

Marko mendecih, “Haidar.”

“Dih kok jadi lu yang takutan, Bi?” Ejeknya, membuat Marko menggaruk tengkuknya yang tentu saja tidak gatal.

Haidar segera mengambil satu gelas jus jambu yang ada di samping Marko. Ia tahu bahwa jus itu adalah miliknya, karena saat Jovan menawarkan minumannya tadi, ia melihat Marko segera mengambil gelas baru lalu menyimpannya disana.

Bangsat pengen teriak anjingggg.

Cheers?” Haidar angkat gelas itu, yang kemudian disambut baik oleh Marko. Gelas keduanya berdenting mengeluarkan suara yang nyaring di telinga mereka, lalu dengan segera membuat mereka menghabiskannya.

“Bi tau nggak.”

“Hmmm,”

“Temen-temen gua pada berisik banget anjir ngebahas anak-anaknya. Bacot banget pokoknya, belum tau aja anak gue-”

“Anak kita.”

“Anak gue, lah? Gue yang ngurus.”

“Anak gue, lah? Gue yang nyari nafkah kerja sana sini beliin susu pampers-”

“Ya gua juga sama itu mah?”

“Yaudah anak kita.”

“Cih.”

Marko tertawa. Haidar pun ikut tertawa.

“Besok flight jam berapa?”

“Besok? Jam 11,”

“Oalah. Sama dong.”

“Tolol. Seat kita sebelahan.”

“Oh iya. Lu ‘kan suami gua.”

“Haidar.”

“HAHAHAHAHAHAHA BLUSHING BANGSAT!!!” Tawanya pecah kala melihat pipi kesayangannya itu bersemu merah semerah tomat ceri yang tadi ia makan.

“HAIDAR!”

“WOY DARRRRR!!!!” Teriak seseorang dari tengah venue, mengacaukan sesi obrolan mereka.

“SINI!!!! HAYU FOTO FOTO,” Lanjutnya, dengan segera membuat Marko menatap tajam mereka.

“Hadeh. Gapernah ngeri sama jalan pikiran orang-orang extroverts and all their gila foto habit,” Ia memutar bola matanya pertanda risih.

Haidar terkekeh sambil berjalan mundur membelakangi pemandangan teman-temannya yang tak henti menyuruhnya untuk datang lalu menatap Abian Marko Pratamanya sambil berkata, “Iya, Bi. Iya. Sabar, ya? Abis ini, kita pulang.” Ia mengedipkan mata kirinya, lalu segera berlari menghampiri kerumunan itu.

Marko yang melihat itu hanya bisa tertawa, sambil meneruskan kegiatan menganggumi dari jauh lalu mengisi ulang jus jambunya.

“Siapa tuh, Dar?” Sahut salah satu teman SMA-nya. Netranya bergerak menuju seorang pria yang ternyata adalah Marko yang tengah berjalan menuju stand minuman.

Haidar menoleh, “Oh itu. Si Marko,”

“Marko? Anak mana? Kok ngga pernah liat,” Sambung temannya yang lain, membuat keenam lelaki itu ikut fokus melihat sosok yang sedari tadi asyik mengobrol dengan Haidar.

Laki gue itu, jangan diliat-liat bangsat.

“Anak sini lah anjing. Mana mungkin dia dateng kalo bukan anak sini. Parah lu, padahal seangkatan,” Jelasnya, membuat teman satu SMA-nya itu hanya ber-oh ria karena nyatanya memang seorang Abian Marko Pratama tidak pernah ada dalam ingatan mereka.

“Selalu ada aja ya yang kaya begitu. Seangkatan, tapi kaga kenal.”

Haidar terkekeh kala memorinya seketika memutar masa-masa remajanya, “Emang ansos juga sih anaknya, tapi dia pinter. Langganan anak olim, cakep juga,” Ia tersenyum.

“Iya bener cakep. Pasti udah punya istri tuh, anaknya 2,”

Ngaco. Orang kaga punya istri dia mah, punyanya suami. Dan suaminya itu gue. Mau apa lo?

“Yu ah foto!”

Narendra hanya bisa tersenyum dari atas pelaminan. Ditemani sang istri, Asyifa, yang kini tengah duduk di sampingnya, lelaki itu tanpa sadar meneteskan air matanya.

“Kenapa nangis, ih?!?” Teriak Syifa dengan suara cemprengnya.

“Kamu mah telat nangisnya, tadi pas akad malah cengengesan sekarang jol nangis. Gajelas!” Ia memukul bisep Narendra kesal, namun yang dipukul hanya bisa tertawa. Ia menghapus jejak air matanya, lalu menoleh ke arah sang istri.

“Gue bahagia banget, Syif. Bahagia banget.”

Seperti sudah paham, Asyifa langsung mengangguk, “Kamu hebat. Ayang aku hebat. Pasti berat juga ‘kan sebenernya buat kamu untuk ikhlasin semua ini? Tapi apa yang udah kamu lakuin adalah benar, Na. Kamu melakukan hal yang benar dan berkat kamu, Haidar bisa hidup bahagia sekarang sama pilihannya. Kalau bukan karena kamu, Haidar mungkin ngga akan bisa bertahan. Kalau bukan karena kamu, Haidar mungkin ngga akan ada disini.

Narendra kembali menangis, padahal ini adalah hari bahagianya. Yang lebih konyol adalah ia menangis bukan karena akhirnya bisa melepas status lajangnya, tetapi karena ia bahagia bisa bertemu kembali dengan sahabatnya yang kini telah hidup bahagia.

Haidar deserved it, right?

Of course. Udah cukup semua rasa pahit yang dia terima, sekarang waktunya untuk manen yang manis-manisnya.”

Narendra menggangguk, lalu menggenggam tangan istrinya erat. “Makasih karena udah nemenin aku selama ini, Syif.”

To infinity and beyoondddd!


Langit gelap dan udara dingin bumi pasundan mereka terobos dengan bebas, padahal jam sudah meunjukkan pukul setengah dua belas kala sepasang anak adam itu tengah nyaman duduk dan menautkan genggaman mereka diatas jok Vespa. Angkringan ITB mereka lewati, Jembatan Pasupati mereka lalui.

Haidar selalu merasa tidak adil ketika melihat tempat-tempat yang punya jutaan kenangan itu tak pernah berubah di makan waktu. Mana bisa hanya dirinya sendiri yang menua?

Marko tengah nyaman menyetir dengan satu tangan kala tangan lainnya di hak milik oleh seseorang di balik punggungnya. Tapi tenang, ia adalah pengendara taat aturan, kok. Tidak seperti Haidar yang sukanya ugal-ugalan.

Jalan-jalan tanpa arah adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan—walau sebenarnya mereka berniat untuk makan di angkringan tapi nyatanya tempat itu sudah tutup—akhirnya Haidar dan Marko memilih untuk memanfaatkan momen kepulangan mereka ini untuk mengingat kembali romansa masa muda.

“Lepasin tangan gue.” Sahutnya ketika mereka sampai di jalan Asia Afrika.

“Nggak.”

“Peluk aja, Dar. Motor orang ini kalo lecet tanggung jawab mau?”

“Biarin sih? Punya suami si teh gina ini, ‘kan?”

“Maksud lo apa?”

“Ya tinggal lo ganti aja.”

“Sinting!” Ia toyor kepala yang tengah nyaman menempel di bahunya itu kencang.

“EH ANJING BI LO JANGAN GITU NTAR JATOH!!!”

Tertawa lagi. Tertawa terus.

Rooftop nggak, Dar?”

“GAS!!!!”

Dan disinilah mereka sekarang, rooftop kampus pukul dua belas kurang 15 menit. Kalau kalian tanya bagaimana bisa mereka masuk ke area kampus jam segini yang jelas-jelas seharusnya sudah ditutup rapat, well, silakan tanya Haidar dan pengalaman berorganisasinya selama tiga tahun yang harus bulak balik kampus – kost jovan saat masa-masa ospek berlangsung.

“Cakep.”

“Tolol anjing. Gelap gini cakep apanya?” Ketus Marko menyahuti ucapan itu.

“Elu cakep.”

“Sialan.”

Marko membuka bungkusan rokok kebanggaannya itu—yang sudah lama sekali tak ia rasakan kehadirannya di indra pengecapnya—mengambil satu batang dengan cepat lalu membakarnya.

“Bi.”

“Hmmm,”

“Gue kadang suka ngga abis pikir aja sama rencana semesta. Kayanya emang suka bercanda banget ya, dia?” Ia termenung sejenak memikirkan hal-hal yang tak masuk akal di nalarnya.

“Lo tau istrinya si Naren tadi? Itu Syifa, bendahara di himpunan gue. 3 tahun ngejabat di himpunan selalu berantem kaya tom and jerry tau-tau backstreet anjing. Sekarang nikah pula,”

“Terus si Jovan. Huft,”

“Kenapa lagi si Jovan?” Sinisnya.

“Masih buruk hati aja lo. Malu sama umur, inget anak dirumah.”

“Kangen.”

“Sama.”

“IH DENGERIN GUE DULU!”

“Hahaha iyaa, sayang. Jovan kenapa?” Sahut Marko sambil melepas jas hitam yang ia pakai lalu menaruhnya dipundak sang suami.

“Iyaa si Jovan yang dari dulu paling humble yang kerjaannya cuma hayu-hayu aja sekarang udah nikah. Nikahnya juga sama di Karin,” Ia bergidik ketika udara dingin behasil menembus tulang-tulangnya.

“Padahal katanya dia suka sama gue dari jaman maba, tapi sekarang malah milih untuk nyerah karena katanya ngga semua orang seberuntung kita. Jadi kasian ngga sih, Bi? Sama si Karin? Jatohnya rasa sayang si Jovan ke dia tuh ngga tulus selama ini.”

“Lo jangan sotau. Siapa tau Jovan emang beneran sayang sama istrinya,”

“Iya, sayang. Sayang karena kasian.” Timpalnya membuat Marko termenung. Ia terlihat berfikir sejenak, lalu memeluk Haidar dari belakang.

“Tapi menurut gue, kalo Jovan sayang sama Karin karena kasian—atau sebaliknya justru malah tulus tau, Dar, jatohnya.” Ia nyamankan dagunya disana, “Karena kalo lo sayang sama orang karena kasian, tandanya lo bener-bener nggak mikirin hal-hal yang lain, selain lo pengen ngelindungin dia. Dan juga, ngebantu dia untuk bangkit dari sesuatu yang mungkin lo ngga tau.”

Mendengar kalimat itu di telinganya membuat Haidar diam tanpa kata. Melihat Jovan—sahabatnya yang tidak bisa memperjuangkan haknya hanya membuatnya sedikit kesal dan sedih, mengingat bahwa dulu dialah yang memberinya dukungan sampai akhirnya ia berhasil.

“Yah. Sayang banget dong, ya, Bi? Gue tolak dia waktu itu.” Candanya, membuat Haidar sekali lagi mendapat toyoran ringan di kepalanya sebagai hadiah.

“Inget. Lo udah punya anak.”

“Kenapasih tiap gue ngomong selalu dibalik-balikin mulu tailah!” Ia mencubit pinggang itu, membuat sang empu segera melepaskan pelukannya lalu meringis kesakitan.

“Jelek mainan lu! Gausah sentuh-sentuh titik lemah gue!”

“Dih titik lemah titik lemah najis,” Kekehnya lagi, lalu beralih pada ponselnya dan bergegas membuka aplikasi Spotify.

“Bi, ayo dansa.” Ia mengulurkan tangannya.

When we were young banget lagunya? Hahaha,” Marko tertawa remeh sebentar, lalu dengan senang hati menerima uluran itu. Dibawanya Haidar menuju tempat terhangat yang dimilikinya, dan perlahan, keduanya mulai tenggelam dalam alunan lagu Adele yang terputar.

Jam di lengan menunjukkan pukul dua belas tepat, alarm ponsel Marko berbunyi kala jam menunjukkan 00.00.

Happy Anniversary, Sayang.

Yang dipanggil memejamkan matanya, enggan untuk menumpahkan seluruh air matanya disana. Yang bisa ia lakukan hanya sekedar mengangguk, lalu mengeratkan pelukannya.

“Makasih karena ngga milih untuk nyerah dan tetap disini nungguin gue,”

“Iya, Bi.” Paraunya.

Makasih karena udah milih gue, Haidar.

“...”

“Makasih udah mau ngabisin waktu sama gue,”

“...”

“Besok kita pulang, ya?”

Haidar mengangguk. Wajahnya ditangkup dengan hangatnya tangan Marko, membiarkan air mata itu tumpah disana. “Makasih, ya, Bi. Karena udah bertahan sama gue, selama ini.

Dibawah sinar rembulan kota Bandung, sekali lagi, mereka satukan rasa cinta dan lelah mereka jadi satu lewat pagutan paling manis yang pernah mereka rasakan. Disini, di bumi pasundan ini.

Haidar dan Marko, selesai.

—leobabybear🌹 ditulis di bandung, hari sabtu pukul tujuh malam.

Maafin Abang, Pa. —haidar dan marko.

Abian Marko Pratama, S.S.

Selendang hitam yang begitu khas selalu diberikan kepada para mahasiswa yang baru saja berhasil menyelesaikan sidang itu tergeletak sembarang diatas kasur dingin kamarnya. Tipikal seorang Abian Marko Pratama, yang tidak begitu antusias ketika diberikan sebuah apresiasi atas pencapaiannya. Ia memilih untuk menyimpan selendang itu ketimbang menyombongkannya dengan cara memakainya kesana kemari seharian, atau sekedar mengambil banyak foto layaknya yang dilakukan Haidar semester lalu.

Walaupun begitu, tentu saja ia tidak lupa untuk berterima kasih kepada Gina. Perempuan yang nampak lebih antusias saat berhasil membobol pintu rumahnya itu baru saja pulang setelah memberikan sebuah kue dan hadiah lainnya sebagai bentuk ucapan selamat karena sahabatnya telah berhasil lulus. Mungkin kalau Haidar yang memberinya kejutan, akan jadi lain cerita. Pasti mereka berdua sedang menghabiskan banyak waktu sekarang—entah dengan cara mengambil foto, atau mengejek satu sama lain perihal siapa yang paling keren karena lulus lebih dahulu.

Ia bukan mahasiswa istimewa seperti kekasihnya yang memiliki track record mengesankan selama menjalani pendidikan di kampus. Ia hanya mahasiswa kupu-kupu biasa, sudah lebih dari cukup baginya untuk sekedar lulus. Tidak ada gelar Cumlaude pun, tidak masalah. Yang terpenting adalah ia lulus tepat waktu, dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa sebagaimana mestinya dengan cara menyelesaikan tuntas skripsinya. Dan juga, membuat Papanya bangga. Reputasi, bro. Bahaya juga kalau gue macem-macem, kasian Papa. Bisiknya dalam hati.

And what's next?” Hela lelaki itu saat ia menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke bantalan kursi belajarnya.

Tok tok tok

Lelaki itu terperanjat kaget. Buset, baru aja ngomong.

“Bang?”

“Iyaa Pa,”

“Beres?”

“Beres.”

“Papa masuk, ya?” Ucapnya, lantas membuat Marko segera bangkit dan membuka pintu kamarnya.

Jefri yang tengah mengenakan pakaian lengkap—setelan kemeja khas seperti seorang Dosen yang akan mengajar—akhirnya masuk ketika pintunya terbuka. Pria berusia setengah abad itu tersenyum tatkala pandangannya melihat skripsi sang putra yang tersimpan di atas mejanya.

“Tadi siapa yang nguji?” Tanyanya sembari menarik sebuah kursi lipat di dekat lemari kamar putranya. Ia bergegas mengenakan kaca matanya, lalu membuka skripsi tebal itu.

“Kaprodi, Pak Yosef, sama Bu Intan. Intens banget, gila, Pa. Berasa lagi dihakimi,” Ia geleng-geleng, sambil terkekeh karena tidak percaya bahwa ia baru saja diuji oleh 3 Dosen yang paling terkenal menyeramkan di Fakultas Sastra dan Bahasa.

Jefri tersenyum bangga tatkala melihat nilai yang terpampang disana, “Keren judul kamu, Bang,”

Anak itu terpaku sesaat ketika sang Ayah memuji judul skripsinya. Ia menggaruk tengkuknya sebentar, “Hehe, lebih universal aja sih, Pa, dari yang sebelumnya ditolak. Makanya berhasil tembus,” Ia tersenyum kaku sambil menatap figur Ayahnya.

Jefri melepaskan kaca matanya, “Bang,”

“Hmmm?” Marko bergerak canggung, berusaha mengalihkan pandangannya dari netra sang Ayah yang mendadak auranya menjadi sedikit menyeramkan. Ia melipat lengan kemejanya hingga keatas siku, “Kenapa, Pa?”

Sang Ayah terlihat menelan ludahnya sejenak ketika Marko melemparkan pertanyaan itu. Lalu tersenyum.

“Masih ada wacana untuk ambil kuliah di Eropa, Bang?”

Bugh

Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang menghantam belakang kepala lelaki itu kala sang Ayah menyinggung sesuatu yang sensitif baginya.

“Masih. Kemaren baru aja Abang daftar beasiswa. Tapi gagal, Pa. Jadi harus nyoba lagi tahun depan-”

“Abang,”

Lelaki itu menatap sang Ayah tanpa melanjutkan kembali kalimatnya.

“Motor kamu kemana?”

Mampus skakmat.

Ia menggigit bibir bawahnya pertanda gugup lalu terkekeh, “Lagi di bengkel. Biasa lah, Pa. Gasnya kosong jadi ngga enak pas dipake-”

“Papa serius, Bang. Motor kamu kemana?”

“Di bengkel, Pa. Lagi di service–”

“Abian Marko Pratama.”

Ia mengatupkan bibirnya cepat kala sang Ayah berhasil mengucapkan mantra paling mematikan di muka bumi.

“Jujur sama Papa. Apa yang bikin kamu bertindak sampe sejauh ini.”

“Bertindak apa sih, Pa? Emang Abang ngapain-”

“Apa yang lagi kamu kejar, Bang? Kamu nyari apa sampe harus pergi jauh-jauh ninggalin Papa?”

Marko menghela nafas, lalu menganggukan kepalanya sambil tersenyum getir.

“Papa yakin udah siap untuk dengerin semua penjelasan Abang?”

“Tentu-”

I might hurt you, Pa,”

Well, boy, you're already hurt his feelings since a long time ago.

Jefri masih tak bergeming ketika mendengar peringatan yang diberikan putranya itu.

“Abang mau ngejar dunia Abang, Pa.”

Dahinya mengkerut pertanda bingung. “Maksud kamu apa?”

“Haidar.”

“Siapa Haidar?”

Hatinya menghangat, senyumnya mengembang. “Pacar Abang. Kita udah jalan enam tahun,”

Jefri tak pernah menyangka bahwa hal ini akan tetap membuatnya diam seribu bahasa walau ia sudah pernah melihatnya langsung dengan mata kepalanya sendiri. Ia tak pernah menyangka bahwa akan terasa lebih menyakitkan ketika putranya sendiri yang membenarkan bahwa apa yang ia lihat malam itu adalah benar—ada sesuatu yang terjadi antara dua anak adam ini.

“Maksud kamu?”

“Abang ngga suka perempuan, Pa.”

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat dengan sempurna di pipi kiri Marko. Ia memejamkan matanya kala merasakan rasa sakit yang langsung menjalar menuju ubun-ubun kepalanya.

“Vespa kamu kemana, Bang?!”

“ABANG JUAL, PA! ABANG JUAL MOTOR KESAYANGAN ABANG DEMI BISA BERANGKAT NYUSULIN HAIDAR!” Suaranya lantang menyerukan kebenaran yang selama ini tak ingin ia beritahukan kepada sang ayah. Kedua telinga Jefri seakan dijejal banyak kapas—berdenging, kepalanya pening.

“Pa, Haidar sendirian disana... Dia nungguin Abang, Pa. Kita hampir berhasil, sedikit lagi—”

PLAK!

Tamparan kedua kembali mendarat di pipi kirinya.

“Apa kamu bilang? Berhasil? BERHASIL APA, BANG?!” Jefri terengah-engah, melihat dengan hina putra satu-satunya itu. Air mata lelaki itu refleks jatuh tanpa izin. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar jawaban anak itu.

“Berhasil mematahkan ekspektasi orang tua maksud kamu? Kalau gitu kamu berhasil—kalian berhasil.”

Jefri pun bangkit dari kursinya, lalu segera memunggungi putra kebanggaannya itu.

Satu detik kemudian, Marko dengan cepat berlutut di kaki itu. Ia pegang kedua kaki sang ayah, lalu merintih dengan sisa tenaganya. “Pa- hiks,”

“Papa yang paling tau gimana rasanya kehilangan sosok yang paling Papa sayang. Papa yang paling tau itu. Abang ngga bisa kehilangan dia, Pa. Haidar ... Dia itu dunia Abang,”

Ditinggal Haidar pergi rasanya ngga pernah semenyakitkan ini, Pa. Ditambah sekarang ngga ada jaminan apakah Abang bisa nyusulin dia atau engga. Abang ngga mau bikin dia nunggu terlalu lama, Pa. Abang ngga mau bikin dia hidup sendirian di dunia yang jahat ini ...”

Maafin Abang, Pa... Abang ngga bisa nemenin Papa disini. Ada yang harus Abang perjuangin, Pa. Ada yang harus Abang kejar—Please, ikhlasin Abang pergi ya, Pa?”

“Tolong izinin Abang untuk nyusulin dia, ya, Pa-”

“Bangun.”

“Engga. Sebelum Papa bilang iya-”

“BANGUN, BANG!”

Marko menyerah, akhirnya ia pun memilih untuk bangkit.

PLAK!!!

Ia kembali merasakan tamparan itu di pipi kirinya. Perih, sungguh. Demi Tuhan. Tapi ini tak seberapa dengan tamparan yang diberikan semesta. Ia kuat. Haidar kuat. Mereka sama-sama kuat, karena sudah terbiasa ditampar realita.

Tangan Jefri gemetar. Entah dosa apa yang akan ia terima nanti karena perbuatannya ini. Tapi satu hal yang pasti, putranya itu memang pantas untuk mendapatkan tamparan darinya.

Sang kepala keluarga meninggalkan kamar yang terasa sesak itu sebentar, lalu ia kembali dengan sebuah amplop coklat di tangan kanannya.

“Papa akan beri kamu dua pilihan. Pertama, kamu tetap disini, hidup sama Papa dan melupakan semua yang udah kamu bilang barusan seakan-akan hal tersebut tidak pernah terjadi—ATAU,

Ia berikan amplop tersebut kepada sang putra, “Kamu pergi dari sini.”

Netra Marko mebelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.

“Ini apa?” Tanya Marko saat ia pegang amplop tersebut.

“Papa menawarkan kesempatan.”

Kedua netra Marko menatap sang ayah bingung, seakan melontarkan pertanyaan maksud dari semua ini.

“Kamu punya satu kesempatan untuk pergi tanpa kembali lagi kesini,” Seraknya, lalu memejamkan kedua matanya.

“Kamu masih punya kesempatan untuk milih, Bang. Kamu pilih untuk tetap disini sama Papa, atau nyusulin dunia kamu?”

Panggil Jefri bodoh, karena tanpa berfikir panjang pun Marko sudah punya jawabannya. Tentu saja ia akan memilih untuk meninggalkan Papanya dan mengejar kebahagiannya.

Panggil Jefri bodoh, karena ada satu orang yang pernah mengajarkan putranya itu ketika sebuah kesempatan datang kepadanya, ia diberi tahu agar tidak melewatkannya.

Dan orang itu adalah Haidar, Jef.

“Maafin Abang, Pa-”

“Oke.”

“Kamu nggak main-main ya Bang, ternyata?” Ia tersenyum getir.

Tentu saja.

“Papa mungkin kecewa, tapi Papa lebih ngga sanggup kalau harus liat kamu tersiksa. Sampai kapanpun, kamu akan tetap seperti ini, 'kan, Bang?”

“Papa udah nahan kamu selama ini, berharap semuanya bisa berubah. Tapi nihil. Ngga ada lagi yang bisa Papa usahain selain relain kamu pergi.”

“Pa-”

“Bilang terima kasih sama Mama. Papa hanya menjalankan amanat terakhir Mama kamu.”

“Maaf karena Papa terlambat, Bang. Papa terlalu berharap sama kamu. Kamu berhasil mematahkan harapan Papa yang seharusnya ngga pernah Papa bangun sejak lama karena kenyataannya kamu memang berbeda,

“Ca, kamu liat?” Kepalanya mengadah keatas, menatap langit-langit kamar putranya itu.

“Aku udah ngelakuin apa yang kamu minta. Aku udah nepatin janji untuk jadi orang yang akan ngedukung Abang kalau suatu saat dia minta izin untuk pergi,” Air matanya mengalir luar biasa deras. Ia pun terjatuh, namun dengan cepat Marko tahan beban berat Ayahnya itu.

“Papa seneng kalau selama ini kamu bisa menghabiskan waktu sama orang yang kamu sayang, Bang. Karena Papa tau gimana rasanya ngga bisa menghabiskan waktu dengan belahan jiwa Papa, maka dari itu Papa ngga mau hal itu terulang lagi,”

“Papa ikhlas, Bang. Kamu berhak untuk bahagia. Jangan pikirin Papa, ya? Bukan kewajiban kamu untuk nemenin masa tua Papa, karena teman hidup Papa pun sudah dipanggil Tuhan. Tapi kamu-” Ia mengangguk yakin, menatap netra putranya sekali lagi dengan penuh rasa bangga.

“Kamu harus bahagia. Bersama pilihan kamu.”

“Pa... Jadi selama ini kalian udah tau?”

Since the very first time we met him, Bang. Sejak hari itu.”

Haidar, lelakimu sudah berhasil. Ia berhasil pulang.

—leobabybear🌹 ditulis hari sabtu, pukul sebelas malam.