Aku Pulang. —haidar dan marko.
what if, salah satu dari mereka pergi lebih dulu.
“Haidar, kalau nanti aku berpulang... Tolong bawa aku kembali pada rumahku, ya? Tolong bawa aku kembali pada rumahku yang sesungguhnya. Tolong bawa aku kembali pada Bandung.”
tw / major character death cw / mentioning death , hurt comfort , heavy angst
Song Recommendation: Lady Gaga, Bruno Mars – Die With A Smile
“Dar, kamu suka penasaran nggak sih sama akhir cerita hidup ini? Kaya ... Nanti, aku bakal mati kaya gimana, ya? Apakah akhir ceritanya akan sama indahnya seperti waktu kita lahir ke bumi? Karena saat momen itulah yang ditunggu-tunggu banget sama orang tua kita. Gue sangat nunggu momen itu, Dar. Kalau nanti gue pergi, apa iya nanti orang yang gue tinggal bakal tetep hidup?“
Tanya Marko, pada sebuah petang indah di kota Amsterdam yang semilir anginnya kini mendadak mengiris kulit. Peralihan musim panas ke musim gugur sudah mulai terasa. Membuat Haidar yang mendengar pertanyaan itu pun lantas menoleh ke arah Marko, sambil memberikan tatapan tak sukanya. “Ngomong apa sih, ngaco.” Ketusnya, yang kemudian dilanjut dengan sebuah kekehan ringan dari mulut Marko.
Mungkin sudah kodratnya sebagai seorang manusia biasa yang punya rasa penasaran berlebih, Haidar maklumi itu. Tapi kalau pertanyaannya sudah tentang, “Apa iya nanti orang yang gue tinggal bakal tetep hidup?” Oh, ayolah. Orang bodoh manapun juga tau jawabannya. Tentu saja tidak, Marko.
“Dar,”
Yang dipanggil diam, enggan menjawab.
“Haidar,”
“Ish, apa sih?”
“Kalau nanti aku berpulang, tolong bawa aku kembali pada rumahku, ya?” Mata itu memicing, memperhatikan Marko dengan matanya yang tunjukan rasa tak nyaman. Marko tersenyum, “Kalau nanti aku berpulang,” Ia genggam tangan mungil itu, kembali mengulangi kalimat sebelumnya. “Kalau nanti aku berpulang,” Ucapnya yang ketiga kali, “Tolong ... Tolong bawa aku pulang kembali pada rumahku. Tolong bawa aku pada rumahku yang sesungguhnya. Bawa aku pulang ke Bandung, ya?”
Haidar pening, ia tidak mampu menerka maksud kalimat itu.
“Aku nggak mau disini. Bawa aku pulang, ya?” Ia tersenyum, begitu tulus.
“Iya, nggak?”
Haidar masih tidak bergeming, matanya tetap memicing ke arah netra bersih Marko yang sore itu terlihat serius. Hatinya sakit, sungguhan.
“Iya. Nanti aku bawa raga kamu pulang ke Bandung. Akan aku kembalikan tubuh kamu kepada pemiliknya. Puas?”
Marko tersenyum. Hentakan kecil dari langkah kaki Haidar menjadi penutup percakapan mereka seraya langit berubah menjadi gelap.
“Arka, sarapan!” Panggil Haidar dari dapur. Ia tatap sarapan yang sudah tersaji rapi itu dihadapannya, dua piring berisikan telur kocok, sosis dan juga roti. Sungguh sebuah English Breakfast yang terlihat berantakan dan amatir untuk ukuran pria dengan usia kepala tiga seperti Marko, yang sejatinya sudah harus memiliki banyak pengalaman di dapur dan membuat banyak eksperimen cantik.
“Good morning, Papa,” Sapa Arka, terlihat masih mengantuk. “Ayah kemana?”
“Kamu ini bangun-bangun yang dicari Ayah terus, padahal Papa nya ada di depan mata,” Ujarnya pedas, membuat Arka terkekeh. “Papa kenapa marah-marah terus, sih? Arka nggak akan ngerebut Ayah kok, Pa,” Balas putranya itu sambil mengambil sebotol susu segar dari kulkas yang tingginya sudah hampir menyamai tubuh bongsornya.
Haidar mendecih, padahal bukan itu maksudnya.
Arka menangkap raut wajah itu, lalu berjalan mendekat menuju Papanya yang terlihat kesal. “Arka juga sayang Papa, lebih dari Ayah,” Ia peluk tubuh Papanya itu, yang kini terlihat lebih kecil darinya.
“Papa sekarang kalah sama Arka, kok malah tinggian Arka?”
“Iya itu Papa sengaja sering kasih kamu susu biar kamu tingginya 180 cm dan bisa jagain Papa kalo ada apa-apa,”
“Emangnya aku ini apaan,” Ia mendecih, “Padahal kalo aku kecil terus juga bakal tetep jagain Papa kok,” Lanjutnya, membuat Haidar terdiam.
“Ayo, Pa, makan. Keburu dingin nggak enak,”
Keduanya menyarap dengan khidmat, hingga sarapan sederhana itu tandas dari pandangan keduanya. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, namun Marko tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Haidar dengan segera mengambil ponselnya di kamar, lalu menghubungi nomor suaminya itu.
Sepuluh detik, dua puluh detik. Panggilan itu terus tersambung, namun tak kunjung diangkat oleh sang empu.
Ia mulai gigit buku jarinya pertanda gelisah. “Kok nggak diangkat, sih?”
Arka yang tengah mencuci piring lantas menengok ke belakang, mendapati sang Papa yang terlihat gelisah. “Mungkin lagi antri bayar, Pa. HP-nya di silent jadi nggak kedengeran,” Ia kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya itu hingga selesai, lalu bergabung dengan sang Papa.
“Abian, dimana? Cepet pulang, jangan kemana-mana lagi.“
Satu pesan itu berhasil ia kirimkan kepada Marko, dengan harapan akan ada sebuah balasan dari sebrang sana.
“Ini dia sempet update dulu kok,” Ia perhatikan satu buah tweet pada laman twitter-nya, menunjukkan bahwa Marko sempat mengunggah sebuah foto bunga matahari yang sepertinya dia beli untuk... dirinya?
“Dasar bego, dia lupa ya gue tuh ngefollow akun private-nya? Nggak surprise dong,” Ia terkekeh, merasa konyol dengan tingkah lelakinya itu.
“Makna bunga matahari...” Monolognya, sambil menyelam safari dan mencari arti dari bunga yang nampaknya memang sengaja dibeli oleh Marko untuknya itu.
“Kesetiaan yang berumur panjang... Cih,” Haidar tersenyum, hatinya menghangat untuk yang kesekian kali. “Setia... Satu.” Monolognya kembali.
Drt... drt
Ponsel itu bergetar, menandakan ada sebuah panggilan masuk.
Haidar tatap layar itu, lalu dahinya mengkerut. Ia perhatikan sebuah deretan nomor dengan tanpa nama itu, lalu terdiam sejenak. Entah mengapa ia merasa ragu untuk mengangkat panggilan itu.
*Drt... drt
“Pa, itu Ayah bukan?” Sahut Arka yang baru saja keluar dari kamar mandi, memperhatikan Papa nya yang malah terdiam ketika suara panggilan itu terus menggema di ruang keluarga mereka.
Haidar menggeleng, “Hallo?“
Tut tut tut
Panggilan itu terputus.
Arka menaikkan alis kirinya pertanda curiga. “Iseng banget, siapa deh,”
Haidar masih tatap nomor asing itu, sebagian dari dirinya merasa ia harus menelfon sang pemilik nomor itu kembali, tetapi sebagian dari dirinya mengatakan sebaliknya.
Tok tok tok
Ketukan itu terdengar di indra milik mereka. Haidar dan Arka saling lempar tatapan, keduanya merasa was-was dan juga cemas.
“Itu bukan Ayah...” Bisik Arka pelan. Anak itu sangat mengenali gerak-gerik Marko, hingga ciri khas ketika sang Ayah pulang pun ia sudah hafal di luar kepala. Marko akan berkata “Ayah pulang...” terlebih dahulu sebelum akhirnya berjalan masuk ke rumah mereka. Marko tidak pernah mengetuk pintu sebelumnya. Itu... Bukan Marko.
“Guten Morgen. Apakah ini dengan kediaman Bapak Marko?”
Nafas Haidar tercekat, ia dengar suara berat dari pria tua itu yang mungkin usianya sekitar 50 tahun ke atas. Haidar asumsikan, itu adalah suara dari tetangga sebrang mereka. Tapi seingatnya... Tetangga sekitar mereka lebih banyak berjenis kelamin perempuan.
Tok tok tok
Pintu diketuk lagi. Baik Haidar maupun Arka tidak terbiasa dengan suasana “digerebek” seperti ini. Biasanya akan selalu ada Marko yang menjadi tameng keduanya dan menghadapi siapapun orang yang bertamu ke rumah mereka.
“Kami dari kepolisian.”
Mendengar itu, Haidar lantas memutar kenop pintu rumahnya. Ia mendapati dua sosok berlapiskan sutra dengan warna biru navy berdiri tegap di depannya. Ia langsung dapat mengenali siapa mereka, dengan sebuah topi dan lencara dari kepolisian itu memperjelas keadaannya. Ada apa ini? Mengapa polisi datang ke rumahnya?
“Guten Morgen. Kami dari pihak kepolisian, ingin menginformasikan bahwa Bapak Marko baru saja dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan yang terjadi di dekat Noordermarkt.“
Haidar, yang tengah memproses kalimat barusan hanya bisa mematung. “Kami mohon untuk ikut dengan kami segera,”
“Pa, Papa!” Teriak Arka dari sampingnya, yang berhasil menyadarkannya kembali. “PAPA, AYAH, PA!” Netra itu dengan segera penuh dengan air mata, ia menggenggam erat kaos hitam milik Haidar yang semakin kusut.
Ia menggelengkan kepalanya sebentar, Haidar terlalu sulit untuk mencerna semuanya. Ini hanya mimpi buruk, 'kan?
“PAPA! PLEASE, PA!” Lutut itu melemas. Ia coba tahan isakan itu sekuat tenaga, lalu membawa beberapa barang yang ia rasa diperlukan.
“I am very sorry,” Ucap salah satu polisi yang sedari tadi diam, “*His condition might be—”
“Please don't say anything until i see my husband with my own eyes.” Potong Haidar cepat, lalu bergegas masuk ke mobil polisi yang terparkir di depan pekarangan rumahnya itu.
Sepanjang jalan Arka hanya bisa menangis. Ia sangat ketakutan, ia takut terjadi hal buruk kepada Ayahnya itu. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya, membiarkan tetesan air mata itu jatuh di atas jaket adidas hitamnya.
Haidar menoleh, lantas meraih jemari Arka yang gemetar. Ia pegang jemari itu, ia usap hangat dengan jemarinya yang tak kalah gemetar. “Ayah will be fine, Arka. Trust me. He is gonna be okay.“
Arka menggeleng. Ia tidak mau dengar apapun sekarang. Ia hanya ingin melihat Ayahnya.
Lima belas menit berselang, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Lelaki itu dengan segera keluar dari mobil, dan berlari menuju unit gawat darurat yang ada disana.
“*Excuse me, where's my—”
“Mr. Marko, right?“
Dingin. Badan itu terasa begitu sakit dan ngilu. Berapa kali pun Marko mencoba untuk bangun, rasanya seperti mustahil. Ia rasakan sekujur tubuhnya berdenyit, apa yang baru saja terjadi?
Ia buka matanya perlahan, mengengok ke arah kiri dan kanan yang terlihat begitu... Hampa? Kosong? Hening? Ia kebingungan, lalu kembali mencoba untuk bangun lalu berdiri.
Ia rasakan tubuhnya sangat sakit, kepalanya pening. Marko lihat sekitarnya, tempat itu didominasi dengan warna putih bersih. Rasanya ia baru pernah datang kesini.
Ia lihat kakinya yang ternyata tengah telanjang, tidak terbalut apapun. Kemana sepatu miliknya itu? Sepatu kesayangan pemberian dari—
Tunggu. Haidar. Ia harus segera pulang. Ia ingat Haidarnya tengah menunggu dirinya pulang.
Ia kembali celingak celinguk, melihat tempat itu bak anak kecil yang tersesat. Ia harus pulang. Tuhan, ia harus pulang. Tolong bawa Marko pulang kembali. Ia ingin pulang. Pulang kembali pada Haidarnya.
“Abang?”
Samar suara itu terdengar entah dari mana. Marko yang tengah kebingungan kembali berjalan menuju asal suara tersebut, “Abang,” Katanya lagi. Semakin ia berjalan, suara itu terdengar semakin jelas. Ia ingat suara itu. Ia ingat siapa pemilik dari suara lembut itu.
“Mama...?”
Sedetik kemudian, siluet Ibunya muncul dihadapannya. Bak malaikat yang turun dari langit. Ibunya terlihat sangat cantik, terbalut sebuah gaun panjang dari bahu hingga menutupi kakinya. Marko bahkan curiga, apakah Ibunya itu benar menapakkan kakinya di tanah atau.... Ia terbang?
“MAMA!!!” Panggil Marko kencang. Ia peluk raga itu, raga yang begitu ia rindukan sejak dahulu kala.
“Abang... Kamu kok udah gede aja, sih?” Wanita itu usap surai Marko lembut, membawa tangan miliknya menuju pipi sang putra yang terlihat begitu tampan.
“Abang, apa kabar, Nak?” Tanya Echa, sambil menatap netra putranya yang begitu mengingatkan dirinya pada sosok lain yang juga begitu ia rindukan. Jef, apa kabar?
“Mama... hiks, mama...” Rintih Marko terdengar begitu pilu. Mungkin itu adalah rintihan seorang anak berusia lima tahun yang begitu merindukan sosok Ibunya. “Mama... Abang... Kangen... Hiks,” Ia kembali merengkuh tubuh Ibunya.
“Mama... Ini Abang mimpi, ya? Kenapa rasanya nyata sekali...” Ia tatap wajah Ibunya yang tengah tersenyum.
“Hmmm... Mungkin? Kayaknya ini mimpi, tapi mungkin ini juga nyata,” Jawabnya.
“Ma, kita lagi ada dimana? Kok Abang baru pernah liat tempat ini?” Tanya Marko lagi.
Echa tersenyum, lalu mencubit hidung putranya gemas. “Abang, mau jalan-jalan sama Mama?” Ia ulurkan tangan itu, yang kemudian disambut hangat oleh Marko.
Keduanya berjalan disana, disebuah hamparan luas tak berpenghuni. Kalau boleh Marko asumsikan, tempat ini seperti stasiun kereta. Tetapi ia tidak melihat adanya rel yang tertancap di tanah ataupun suara kereta yang hendak lewat. Ia hanya bisa mendapati sebuah tempat perhentian yang berdiri disana, bak menunggu penumpang.
“Mama nggak nyangka kamu akan dateng secepat ini,” Ucap sang Ibunda, membuat Marko terkekeh. “Harusnya Abang yang heran, kok Mama nggak pernah main lagi ke mimpi Abang. Mama kemana aja? Mama udah nggak kangen ya, sama Abang?” Ia cemberut.
Echa tersenyum getir, “Abang...”
Marko menoleh, “Iya, Ma?”
“Waktu kamu sudah habis, Nak.”
Wanita itu menatap putranya dengan nanar. Mengapa... Kamu datang secepat ini menyusul Mama, Nak?
“Maksud Mama?”
“Kamu harus ikut Mama sekarang,” Ia berjongkok di hadapan tubuh putranya yang menjulang tinggi sekali. Yang terakhir kali ia ingat, dulu sekali, entah berapa tahun lalu, putranya itu masih setinggi pinggangnya. Tetapi sekarang, putranya itu sudah tumbuh dewasa sekali. Bahkan ia sudah bisa hidup mandiri dengan orang-orang yang paling ia sayangi.
“Abang—”
“Ma, Abang nggak bisa pergi kaya gini,” Lirihnya. Ia sadar, maksud dari kalimat Ibunya tadi. Tentang waktunya yang sudah habis, mungkin itu artinya... Ia harus pulang. Bukan pulang ke rumahnya yang hangat dengan Haidar dan Arka, tetapi... Pulang yang sesungguhnya.
Ia tidak menyangka, momen yang ia tunggu akan tiba secepat ini. Tapi mengapa kepergiaannya harus menjadi luka untuk Haidar dan Arka? Mengapa ia tidak bisa pergi dengan cara yang lebih indah?
“Ma, Abang boleh minta satu permintaan?” Ia tatap netra Ibunya. Air mata itu luruh, ia genggam erat kedua tangan Ibunya yang juga sedingin es.
“Ma, Abang harus pulang. Abang harus ketemu sama Haidar. Abang harus pamit sama dia,” Ucap Marko memohon.
“Abang harus pamit samat Haidar, Ma...” Ia terisak, kembali mengingat pesan yang ditinggalkannya sebelumnya bahwa ia berjanji akan pulang lima belas menit lagi. Ia tidak boleh membuat Haidar menunggu lebih lama.
“Abang, Mama nggak bisa—”
“Ma, Abang mohon. Tolong izinin Abang ketemu Haidar untuk terakhir kalinya. Sebentar aja, Ma. Abang janji. Setelah Abang ketemu Haidar, Abang janji akan ikut Mama. Abang janji akan ikut Mama, dan pulang dengan tenang.” Lelaki kelahiran Agustus itu tersenyum.
“Abang mau kepergian Abang jadi kenangan yang indah, Ma. Abang nggak mau kalo nanti Haidar nangis dan inget Abang karena itu kenangan yang menyakitkan. Abang mau pergi dipelukan Haidar,”
Mendengar itu, sang Ibu hanya bisa menangis. Ia tak menyangka, putranya sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang begitu tulus mencintai seseorang. “Mama nggak bisa kasih waktu lama, Bang...”
“Enggak apa-apa, Ma. Asal Haidar ada disana, semuanya selesai.”
Sungguh tidur panjang nan melelahkan. Suara dari ventilator menjadi hal pertama yang Marko dengar setelah tujuh hari terlelap dalam tidurnya.
Jemari yang kaku itu ia coba gerakkan perlahan. Matanya yang terasa penuh dengan air mata itu akhirnya menetes sedikit demi sedikit, ia merasa sudah kehilangan begitu banyak tenaga hanya dengan terbangun sebentar.
“Ayah?” Merupakan hal kedua yang Marko dengar pagi itu.
“AYAH? AYAH INI ARKA, YAH!” Panggilnya membuat Haidar yang tengah terlelap di samping kirinya lantas bangun, lalu menatap ke arah lelakinya itu.
“Abian?” Sapanya terdengar serak, ia tersengal.
Nafas Marko terasa berat, ia melihat ke arah Haidar lalu menangis.
“Hey, kenapa, sayang? Ada yang sakit? Hm?” Ia tatap wajah pucat pasi milik Haidar itu. Pipi berisi nya hilang. Oh, apakah Marko sudah tertidur selama itu?
“Aku panggil dokter dulu ya, sebentar—”
“Biar Arka aja, Pa. Papa tunggu disini!” Ia bergegas lari keluar dari kamar itu, meninggalkan keduanya sendirian.
“Jangan dulu gerak ya, Abian. Kamu tidur hampir seminggu, pasti pusing banget, 'kan? Tunggu dokter, ya?” Ia usap pipi itu, lalu mengecupnya dalam. Haidar menangis, kembali menangis entah untuk yang ke berapa kalinya.
“Dar...”
“Kenapa lama banget tidurnya, Bi? Kamu nggak kangen aku apa? Aku kangen banget sama kamu disini. Rasanya hampir gila, ditinggal kamu sendirian. Aku nggak bisa, Bi... Jangan tinggalin aku, ya?” Ia genggam erat jemari Marko yang dingin. Ia kecup jemari itu, jemari yang selalu menjadi rumah paling hangat yang selalu menerimanya tanpa tapi.
“Abian... Sayangku...” Ia tersedu-sedu, “Kamu pergi, aku juga.”
“Kalo kamu pergi, aku juga pergi. Kamu alasan aku untuk hidup. Kalau kamu nggak ada, aku juga nggak mau hidup lagi. Kamu nggak boleh pergi.”
“Dar...”
Ia menggeleng, “Kamu udah berjuang keras untuk kembali setelah perjalanan panjang, terima kasih, ya. Makasih banyak udah kembali lagi, Abian. I love you so much, sayang. Please don't leave me again...“
“Dar...” Marko susah payah tarik oksigen yang hinggap di hidungnya itu, “Dar... Inget janji kamu waktu itu?”
Marko tatap wajah kesayangannya itu, wajah yang akan sangat ia rindukan ketika sudah pergi jauh. “Kalau aku berpulang... Bawa aku pulang ke Bandung...” Ia kembali menggeram kesakitan, “Maaf, maaf...”
“Haidar... Maaf...”
“Enggak, Marko. Enggak akan gue maafin kalo lo pergi ninggalin gue.”
“Dar... Mama... Mama jemput...”
Mendengar itu, Haidar hanya bisa kembali terisak. “Jadi selama ini... Lo ketemu Mama, Bi?” Marko lantas mengangguk. Ia kembali meneteskan air mata, menyaratkan bahwa ia begitu bahagia bisa kembali bertemu dengan Ibunya itu.
“Jadi... Lo mau ikut Mama aja? Nggak mau sampai tua disini sama gue?” Haidar kembali menangis. “Gue udah janji, Haidar...”
“Makasih, Dar... Makasih ya, sayangku...” Ucapnya susah payah, Marko ucapkan dengan sisa tenaga yang dirinya punya. Agar Haidar tahu bahwa Marko akan selalu berterima kasih atas apapun yang Haidar lakukan untuknya.
“Jangan sedih-sedih, jangan nangis terus. Gue bakal baik-baik aja disana...” Ia usap netra yang basah dengan air mata itu, “I will always love you,“
“Peluk gue, Dar...” Pinta Marko untuk yang terakhir kali. “Peluk gue yang erat, ya?”
Haidar lantas duduk disampingnya, memeluk erat Marko seperti ini terakhir kalinya. Atau ini... Memang yang terakhir?
“Maaf, Haidar...”
“Iya, Abian. Gue nggak apa-apa. Gue akan baik-baik aja sama Arka disini.” Ia peluk erat raga itu, “Gue takut... Gue takut. Gue takut nggak bisa ketemu lo lagi,”
“Kita pasti ketemu lagi,” Ucap Marko, lalu tersenyum. Ia lihat bayangan Mamanya sudah tiba di depannya.
“Good bye, Haidar.” Satu pelukan hangat terakhir yang bisa Marko berikan kepada Haidar yang harus bertahan hidup di dunia sendirian. Haidar berteriak kencang, seakan hari ini adalah hari kiamat. Hari kiamat untuk dirinya yang kehilangan Marko. Abian Marko Pratama-nya.
“MARKO!!!!!!!!! MARKO BANGUN, PLIS. BANGUN, SAYANG!!!!” Ia kembali mengaum bak kesurupan, ia rengkuh tubuh itu sangat kencang. Haidar terlalu takut untuk melepaskan tubuh itu.
“Papa... Ayah udah pergi dengan tenang. Ikhlasin ya, Pa?”
Arka muncul dari belakangnya, ia mendengar semua percakapan orang tuanya itu. Ia menangis kencang ketika melihat kedua bola mata teduh milik Ayahnya itu telah tertutup rapat.
“Ayah, terima kasih sudah menjadi Ayah terbaik untuk Arka. Jangan khawatirin Papa, ya? Ada Arka disini yang akan jagain Papa.” Ia ikut rengkuh tubuh Marko yang sudah tak bernyawa itu, lalu kembali terisak kencang bersama Haidar.
Tuhan, dari banyaknya kemungkinan yang ada, apakah cinta mereka bisa menyatu kembali tanpa perlu dipisahkan oleh maut?
—leobabybear 🌹 ditulis hari minggu, pukul setengah sebelas malam.